Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Ra Jul 2020
Salah apa cermin padamu
hingga kau membenci itu
Salah apa cermin padamu
padahal hati yang sedang biru
Salah apa cermin padamu
padahal ia hanya membisu
?
Used to be THAT insecure of my own self to the point where I just hate seeing my reflection on the mirror. For yall out there, please love yourself and treat'em with all the kindness that you can offer. Have a good life! :)
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aridea P Oct 2011
Untukmu Cinta
Sejuta kata tercipta untukmu
Segenap jiwa ku serahkan padamu
Hingga akhir waktu ku sembahkan hanya untuk mu

Meski tak kau terima
Cinta dalam hati ku
Terhempas begitu saja
Bagai dari langit ku jatuh

Ingin ku berenang di lautan
Arungi samudera bersama ombak
Desir pasir melagukan alunan daun
Lambaian tangan untuk berselancar

Indah cinta mengikat raga
Satu aliran nadi di salam darah
Mulut mengucap selalu kata cinta
Hati pun akan selalu bahagia
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Ara Oct 2013
Kau... membenciku kah?
tidak menyukaiku? atau mungkin kau iri padaku?

Kau begitu munafik!
dulu aku selalu bercerita tentangnya padamu, meskipun aku dan dia sudah tak lagi bersama kau pun tahu aku masih sangat sangat menyukainya. Kau tahu aku mengaguminya berbulan bulan, kau juga tahu untuk mendapatkan hatinya seperti berlari mendapatkan satu bintang kecil. Walau pada akhir nya aku hanya jadi pelampiasan perasaannya, tapi aku masih sangat menyukainya pada waktu itu meski kenyataannya harus seperti itu.

Aku teman mu, dan aku juga tahu kau juga temannya lebih dekat dari sekedar pertemananku denganmu.
tapi apa kau tak bisa mengahargai perasaanku sebagai temanmu?
kau tahu semua isi hatiku tentangnya, tapi mengapa kau sekarang?
memadu kasih dengan dirinya yang sampai detik ini kau tahu aku masih sangat mengaguminya!

kau jahat! kau benar-benar penghianat bertopeng pertemanan!
kau bukan lagi temanku sekarang. Itu terlalu sakit, sangat sakit untuk ku percaya.
kau bahkan hanya mengatakan maaf hanya untuk sekali seumur hidupmu?! itukah dirimu yang sebenarnya? menikamku tanpa ampun.

kalian berdua sama saja, tak ada gunanya aku mempertahankan seorang teman penghianat, dan sorang pengagum yang gila perempuan.

'seorang pencuri kekasih sesungguhnya mencuri seorang penghianat!'
Moonity Nov 2018
Upaya faal semesta
Beginilah adanya
Insan di dalamnya
Begitulah hadirnya

Katamu semesta tiada pernah salah
Dan aku percaya padamu, pada semesta

Bahkan ketika waktu terus pergi
Dunia lantas berevolusi
Kalakian musim bersilih
Keyakinanku padamu tak lantas lenyap

Lain halnya dengan waktu, dunia, musim, dan cinta

Katakan
Kau dan aku, apa kita pernah mengkhianati buana?
Sehingga menjadi kami adalah kesulitan berarti

Arkian, cinta ubah wujudnya jadi bersyarat
Insan, iman, susila, keharusan

Sedang cinta terlampau luas layak angkasa
Semesta tak salah, aku percaya
Begitu juga cinta
—dari : yang tak lagi percaya kisah kasih.
Aridea P Jun 2012
Palembang, 16 Juni 2012

Aku mencintaimu dalam sehari
Aku merindukanmu berhari-hari
Aku selalu mengenangmu di dalam hati

Aku menyatakan cinta padamu
Kamu tak mengerti arti cintaku
Aku pun meninggalkanmu
Cintaku termakan waktu
Ku putuskan meninggalkanmu

Aku tak ingin ingat kamu lagi
Aku berusaha buang rasa ini
Aku sudah terbiasa hidup sendiri
Karena aku tak cinta lagi
Aridea P Oct 2011
Cinta…
Betapa sayang ku lebih
Kau tak tau berada di sini
Bahwa sayangku tersembunyi

Cinta…
Lama sudah ada di sini
Kau tak dengar jeritan ini
Lirikmu yang selalu mewakili

Kasih…
Lebih indah saat ku bermimpi
Tapi, tidak pernah terjadi
Aku, hanya duduk sendiri

Kasih…
Lamunanku tertuju padamu…
Tak sadar aku inginkan kamu
Dan selamanya aku Cinta kamu Kasih…


by. Aridea Purple
Aridea P Oct 2011
Jakarta, 5 Mei 2008


Kau kah itu?
Bayangan yang kabur
Lepas dari ragamu
Kau kah itu?
Yang memetik senar
Dan mulai berlagu
Kau kah itu?
Yang buat ku tersenyum
Tiada henti di setiap waktu
Kau kah itu?
Yang buat mataku
S’lalu tertuju padamu
Kau kah itu?
Yang buat ku gila
Tak henti memikirkanmu
My King…
Kau kah itu?
Yang kini ku rindu
Selalu…
Kau kah itu?
Klo Sifa Jul 2015
aku adalah bulan purnama yang ada di atas jalanmu.
Menerangi dengan redup sehingga kau tak peduli.
Namun ada dan menjaga. walau sedikit signifikansi bagi anda.

Keelokan ku tak terlihat bagi siapa saja. sembarangan. Aku barang mahal. kau perlu congkak dan mendongak untuk melihat.

Tenang saja, aku bukan seperti saudaraku yang satu itu. Terlalu membutakan sampai kau tak sanggup memandang.

Agar bisa kau sawang aku redup.

Sekarang kutanya

Kurang sayang apa aku padamu?
Terinspirasi dari jalan yang selalu dilalui penulis setiap pulang ke kos di daerah Kober, Depok.
ga Aug 2017
Ini aku, gambaran hatiku
Kusertakan padamu, kusisipkan untukmu

Sejenak aku rebah, luka tanpa daya
Aku didera puluhan cabikan
Aku kalah dalam perang
Perang melawan hatiku

Gersang namun hujan
Tandus namun ranum
Itulah hatiku

Malam demi malam kulalui
Dengan mata terjaga
Hari demi hari kulewati
Ditemani gundah gulana

Aku yang hanya menunggu,
bagaikan menantang murka laut

Tiang layarku patah dihantam ombak
Kain layarku robek diterjang badai
Aku terombang-ambing antara suka dan duka

Ombak bergulung-gulung menanti di depanku
Aku menoleh ke belakang,
Menimang untuk merubah haluan

Kutak rela
Bukan sosokmu yang kunantikan, cukup kabar darimu. Berserilah hatiku
ga Sep 2017
Senyum itu, dari mana datangnya
Tolong beritahu aku rahasianya
Agar nanti bisa kulakukan lagi
Biar mereka tahu, manisnya kau kala itu

Senyum itu, bisakah lebih lama?
Maafkan aku ini ingatannya lemah
Jadi tolong tersenyumlah lebih lama
Biar aku ingat, manisnya kau kala itu

Senyum itu, di hari yang sunyi tanpa kabar
Apakah senyum itu ada di kala hujan?
Aku ingin tahu, jadi bisikkan padaku
Di mana senyum itu saat malam menuju Minggu

Senyum itu, semanis kala itu
Tapi, siapa yang dituju senyum itu
Mungkinkah senyum semanis itu
Menyisakan pahit yang teramat pahit?

Tetaplah semanis itu, kalaupun pahit
cukup aku yang tahu
Tetaplah semanis itu, aku masih ingin
membagi malamku padamu
Kali ini kau harus punya waktu..
Ceritakanlah rahasia senyum manismu itu.
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
Aridea P Jul 2012
Palembang, 28 Juni 2012

Aku berbicara padamu,
tapi kamu tak mendengar barang satu kata pun
Aku memandangmu,
tapi kamu tak menoleh sedikitpun
Aku menyentuhmu,
tapi kamu tak membalas sama sekali
Aku memanggilmu,
tanpa harapan apapun
Karena kamu di sini,
tapi tak ada
Kamu di sana,
tak ada di sini
Nara S Feb 2022
sekiranya kau dapati dirimu
cemaskan diriku
maka tunggulah aku
pulang..

dalam pelukmu,
dalam relungmu,

aku kan datang
kembali padamu

obati aku,
rinduku,
dengan hangat kehadiranmu
yang tak kunjung henti
kunanti

jemputlah aku
sebelum hilang
rasa madu
dari bibirmu..
Coco May 2019
Hari ini aku ingin bercerita
Bagaimana sebuah rasa berubah menjadi sebuah asa

Saat itu..

Aku melihatmu
Berjalan, tapi tetap pada bayangan yang sama
Bagaimana bisa?
Kau sudah melewati beberapa cahaya
Yang bahkan berbeda beda

Aku penasaran
Rasa untuk membawamu dari bayangan itu muncul
Aku berharap usahaku berhasil
Sebuah rasa yang berubah menjadi asa

Lagi. Aku bermimpi
Agar kau tak berhubungan lagi dengan bayangan lalu mu
Aku bertindak. Membantumu
Lagi, asa itu berasal dari rasa yang sama.
Rasa untuk membantumu bangkit dari bayangan itu.

Namun, lambat laun rasa itu berubah
Berubah menjadi asa untuk kita memiliki bayangan yang sama

Ketika waktunya tiba, ku kira aku berhasil
Ternyata... sangat jauh dari kata itu

Kau lebih memilih menghentikan usahaku, tindakanku
Dengan alasan “aku butuh jeda”

Baik. Ku turuti maumu
aku bahkan masih berpikur positif.
Tapi semakin larut, kau tak juga kembali

Oh. Dan kusadari,
Kau pergi, bersama bayangan itu lagi
Kau menjauhi ku dan mendekati bayangan itu, lagi

Sungguh aku tak sanggup mencernanya
Rasa itu. Asa itu. Bahkan kau tak pernah menganggapnya, kan?
Sungguh, apakah kau mengerti maksud dari segala cerita tentang rasaku?
Tentang asaku?

Kau pergi tanpa mengucapkab selamat tinggal.
Bukan. Setidaknya kau bisa memujiku
Memuji atas rasa dan asa ku.

Sekali lagi, karena rasa ini, asa ku muncul kembali
Ya, sebuah asa.
Asa untuk melenyapkan segala rasaku padamu
Baik itu rasa penasaran, ingin menolong, atau rasa ingin memiliki bayangan bersama mu
Surya Kurniawan Oct 2017
1/
Biasanya aku melihatmu di pojokan ruang itu. Melamun betapa sedih dan merananya jika jadi dirimu. Senyummu usang, sudah selayaknya kau buang. Atau paling tidak, kau gadaikan ke pasar loak. Pertimbangkan, aku bahkan menawarkan diri untuk jadi gerobak rombengnya.

2/
Mengamatimu bagai meneliti susunan arsitektur sarang semut, bercabang rumit walau sekelumit rahasiamu tak terungkit, atau paling tidak cerita masa lalu mu tak pernah terkuak.
Omong-omong, sudah tiga hari aku datang dan duduk di bangku yang sama, bahkan meja dan kursinya tak segan menyapaku dari kejauhan "kawan, mari duduk sini dan amati keindahan". Aku tak begitu paham bahasa furnitur, jadi ku jawab seadanya.

3/
Duduk diam mengawasi kerumunan, siapa tahu kau kembali terlihat, tanpa terhalangi punggung, atau ransel. Pintu maupun kerudung. Jangan bilang aku penguntit, karena aku tak bermaksud buruk. Aku hanya tak tahu apa yang harus ku lakukan untuk sekedar bertukar sapa, atau paling tidak tatapan mata. Menurut ku matamu cukup layu jika tak ada kawanmu yang menemani. Air mukamu tak pernah kulihat benar-benar menikmati hidup merdeka, mereka tetap saja terjajah. Entah karena sedih atau kecewa.

4/
Hari ini kau tak ada di antara kerumunan, tak ada dalam ruang, tak ada diantara rekan, tak pula hadir dalam lamunan. Aku takut telah menculikmu tanpa sengaja dengan tatapan. Aku terus memandang kedepan, mendengar percakapan.

5/
Tak ada. Aku tahu. Tak berharap pula aku akan tibamu di dalam ruang.

6/
Aku mendengar gosip dan rumor, bahwa kau yang di ujung ruang telah berpindah ke lain ruang. Ujung koridor. Aku bergegas kesana.

7/
Hari ini aku berhasil mengejarmu, berbicara padamu. Tapi kau tampak tak senang, dan hanya mengulang kata-kataku. Aku juga tak sengaja menemuimu di toilet. Masih mengulang kata-kataku. Sore ini aku berjanji akan menemuimu di ruang ujung koridor.

Kala itu, dia menghadap cermin. Menyapa citranya sendiri. Di ruang ujung koridor.
Teka-teki yang selalu membuat aku keki
"Bahwa bukan kesedihan yang nyala
Di ruang mata, melainkan hakikat rela"

(Kisah Soe Harry, 2 - Astrajingga Asmasubrata)


aku datang padamu dengan surah yasin
dan rasa ingin
bertemu yang tak bisa dicukupkan oleh
simpuh sujud
seorang anak yang imannya sedang
runtuh. ayat

demi ayat menjelma percakapan kita
tentang hakikat
hidup dan mati: tentang hidup adalah
seluruhnya ibadah
dan mati adalah nikmat tertinggi. mad

dan waqaf menjelma tempatku berhenti:
tempat aku
meluruhkan air mata saat terbayang
wajahmu yang
tak bisa lagi kupandangi. aku bertanya
seberapa rindukah

tuhan padamu tetapi tak ada jawaban
meski telah aku
cari di setiap lembar yang sebentar lagi
menuju akhir.
aku bertanya akankah kau bangun untuk
sekadar menyapaku

tetapi tak ada jawaban meski aku telah
sampai di ayat

kun fayakun.
2017
KA Poetry Dec 2017
Skycrapers on land of history
Buildings filled with people who tries to live
A twilight city
When it's the first time to saw an angel, You.

Berjabat tangan diawal realita
Berpeluk mesra diakhir imajinasi
Aku jatuh padamu
Terlalu dalam.

Walking around the city
Feels like just you and me
Talking things, laughing things
Living our day in different dimension.

Hari - hari disisimu membuat hari mewangi
Ketika kaki menginjak di depan duniamu
Menatap mata
Hati pun berbicara, mulut membisu.
13/12/2017 | 21.16 | Indonesia | K.***
zahra ly Jun 2020
Ibu mengajarkanku menerima biru
Agar pada setiap simpuh hanya ada bisu
Dan pada 777600 tak tersisa pilu

Ibu mengingatkanku merapal namamu
Agar padamu, Ia angkat abu dan biru
Agar kamu, terlupa apa yang lalu lalu
Semoga Tuhan menjagamu
ophelia Jan 2019
indahnya kota jogjakarta pada malam itu
tidak seberapa indah dengan
binar mata
dan senyum lekuk bibir mu
pada malam itu,
bising klakson mobil pada kemacatan malam itu bahkan bukanlah perihal yang menggangu. nyaman, bahkan bagiku semua tenang.
teringat jelas bagaimana kita menelusuri kota jogja sambil mendengarkan lagu saat kau menggengam tanganku erat, bagaikan takut kehilangannya.
untukmu Tuan,
sosok yang selalu memberikan ku kehangatan di malam hari disaat semua bergetar kedinginan.
tubuh dan ragamu yang amat ku kasihi,
terima kasih sudah memperlihatkan indahnya dunia yang pernah jahat ini.
padamu Tuan,
aku mengundangmu untuk sejenak meletakan kepala mu dibahuku dan menikmati malam yang indah, berdua.
nyatanya, sampai kini kau merasa aku sudah pulih,
namun tuanku sayang,
aku belum cukup kuat untuk melangkah,
ragaku masih tertatih meraba jalan pulang,
masih terasa sesak luka yang kau buat.

apa kau mengerti, anak cucu adampun akan merintih bila disakiti.
bukan, bukanku menyalahkanmu.
hanya saja aku yang terlalu terbuai.
menggantungkan seluruh hidup dan matiku padamu,
tanpa pernah terpikir olehku,
bahwa kaupun tidak mungkin menggantungkannya padaku seorang.

jika menurutmu aku baik-baik saja,
ya, kau benar, aku baik-baik saja.
setidaknya sampai aku besar nyali untuk mengutarakannya di depan wajah tak bersalahmu.

kau tak benar-benar tahu, sayang.
tapi, ah sudahlah!

semoga Tuhan menggenggam luka kita kuat-kuat.
Moonity Jun 2018
Aku akan mengatakannya sekali lagi
Pada matahari tengah malam di belahan bumi lain
Ada tapi tak pernah kau lihat
Siapa di dalam benakmu ketika terdengar kalimat pahit itu

Aku akan mengatakannya sekali lagi
Hujan di tengah langit cerah biru sekilas awan bergerak pelan
Nyata tapi kebencianmu padanya

Lagi aku mengatakannya padamu
Aku cinta kamu
Terakhir kali sebelum melepas yang harusnya bebas
Selamat tinggal, cintaku yang konyol.
—ini adalah kebohongan terbesarku tapi semoga saja waktu membantuku lupa akan kamu yang terlalu lama menetap tanpa balasan.
Megitta Ignacia Mar 2020
Diamku itu
sebentuk kedewasaan
hasil tempaan semesta

Pura-pura rabunku itu
sebentuk kedewasaan
bisikan suruhan semesta

Jarak tubuhku yang sengaja kujauhkan itu
sebentuk kedewasaan
kesadaran yang ditumbuhkan semesta

Mungkin bumi terlalu banyak diputari bulan
mungkin juga ini jawaban doamu
sampai akhirnya membawaku padamu lagi
aku bisa saja menghampiri & menhakimimu
atau memuntahkan segala rasa & pikiran saat itu

Kedewasaanku itu
bukan hanya cerdiknya lidah bertutur manis
kau saksikan sendiri matangku

Memang masih sedikit perih
hantu kenangan buruk yang terpanggil dadakan

Kedewasaanku itu
adalah sebentuk ikhlas
adalah bentuk penepatan janjiku
bahwa tidak akan kuganggu dirimu
Kau tahu tidak?
290220 | 18:53 PM, JIEexpo Kemayoran Jakarta, panggung mld spot. God is strategic. Di tengah kesibukan di bali, tiba2 pgn pulang ke bandung & tp krn gaada flight yg cocok di kertajati dipaksa turun di jkt kebetulan keluarga memang mau ke javajazz dr bdg jadi bisa ikut pulang. Sm sekali at all ga pengen ikut kmn2 cm mau di hotel, atau mau berkelana sendiri main ke mblock & museum macan. Taunya akhirnya tetep ikut, trs di dalam gw & bokap kepisah sm nyokap & adik. Gw udah cape nyusurin booths, jadilah nonton faris rm padahal bokap males tp gw paksa tanpa ada ekspektasi apapun, toh udah bbrp x jg nonton faris di bali, tp namanya cukup familiar. Abis maksa bokap buat duduk sila di karpet, dia point out agak teriak gitu ke gw kalau ada muka familiar, trs gw memang sama sekali ga peduli, ga ngecek & anggep dia delusi krn lg gelap juga lightingnya. Pegangan gw adalah bener/ga bener pun, chapter buku yg memang udah selesaiya udah ditutup dan udh gw buang ke kolong pikiran, udh ikhlas ga berasa apa2 juga, masa pedihnya udah cukup berlalu hampir setaun yg ilang memang udah gw anggap mati sekalian. Abis nonton, keluar mau makan smbil menenangkan panic attack krn tetep ketriggered, sambil nelpon kesayangan di pulau sebelah, ada figur yg cukup familiar bulak balik dpn gw. Tapi yasud memang gw anggap dia hanya hantu seliweran. Ya gitu, semarah apapun, gw udah naik kelas, ga perlu ada yg dijelaskan kalau dari sisi gw, toh udah gw perjuangin sampai titik penghabisan pun malah dulu dilemparin kata-kata menusuk hati & minta dirinya ga diganggu. Mungkin dari sisi hatinya beliau yg belum damai mangkanya bulak balik mondar mandir kaya setrikaan. I saw you, I froze a little, tp memang kini sudah bukan pada tempatnya lagi, I'm happy & in love with A. You're a closed book E, I still care but what I'm capable is to pray & wishes you all the best from a far.  Sejujurnya, ga ngerti kenapa semesta bikjn ada plot twist kejutan ini, tp gw percaya rencana Tuhan ya yg terbaik.
Megitta Ignacia May 2019
Lunas sudah
selepas kutelusuri
segenap
frekuensi relatif
tak bersisa
aksiku menghadang dirimu.

Bukan khayal
angsa anggunku
satelit jiwa kala lampau
heranku dibuatnya
gamblangnya usaikan
cerita.

Benarkah
kesembronoanku?
Dambaku, kau tanya nalarmu.

Buram rekamanku
namun tak lagi
ada inginku berceloteh
per kau lempar ke kolong
tak beri sela kompromi.

Mustahil pudarkan rasaku,
hanya pikiranku,
luruh binasa.

Setakar janjiku,
ini kali terakhir aku datang padamu.

Makasih ya
Kini, aku berhenti mengugat
walau tanganku bergetar pelak
Tuhan buat yang baik menyeruak
kutenang, tak lagi koyak,
toh jika baik, kembali dipersatukan kelak.
demikianlah.
akhirnya kulepas juga genggamanku.
210519 | 14:42 PM | meja kayu bundar
Setelah berdoa sepanjang malam dan pagi, akhirnya memutuskan kirim pesan lewat nomor baru, nothing to lose. Aku tak akan pernah tenng kalau tak begini, akan kuusahakan apa yang kubisa, daripada diam menunggu & menebak-nebak apa yang ada di kepalanya. Janjiku, ga masalaj jika hasilnya bukan seperti apa yang kuhendaki, yang penting udah kucoba perjuangin. Untuknya yang memilih menjauh, kenapa bergegas segitu cepat? kamu pakai ayat-ayat kudus menyakitkan, karena akupun menyerahkan semuanya ini ke tangan Bapa yang mengirimu padaku. Kali ini, ini yang terakhir, aku doakan yang terbaik bagimu. Makasih untuk 7 tahun ini, agar kau tahu sampai saat ini hanya kamu yang kubiarkan masuk ke pintu kehidupanku I put 110% jiwaku ke kamu, di bali ini kalo aku liat makanan enak aku mikirinnya kamu, gimana caranya biar aku bisa buatin itu buat km pas berkeluarga, walaupun mungkin sebaliknya aku justru suam-suam kuku di semestamu. Sampaikan salamku pada keluargamu, aku pamit, maafkan apapun kesalahnku padamu. Semoga suatu saat nanti pintu silaturahmi yg kamu tutup itu, bisa jadi baik. Entah.
ku kan berjanji setiaku hanyalah dirimu
tak kan terganti di hatiku aku padamu
Mai May 2018
Aku termenung pasrah
Menunggu lelah
Mendapat kabar tak indah
Membuat hati gundah
Waktu pasti akan mengobati hati
Hidup akan terus di jalani
Semakin pahit kehidupan
Semakin banyak perjuangan
Semakin panjang waktu kehidupan
Semakin dalam pengorbanan
Aku hanya akan menatap ke depan
Tanpa memperdulikan masalah kehidupan
Aku hanya akan terus melangkah maju
Tanpa menoleh lagi padamu, wahai masa lalu
Aku tidak melupakanmu
Aku hanya sedikit menapak satu langkah di depanmu
Aku hanya sedikit sibuk dengan dunia baruku
Bukan berarti melupakanmu, wahai masa lalu
Kau guru terbaikku
Mengajarkanku untuk lebih baik di masa depan
Memberiku pengalaman yang tak mungkin terlupakan
Membekaliku dengan keikhlasan dan kesabaran
Kata semoga dariku takkan pernah lekang untukmu
Walau mungkin kau takkan pernah tahu itu, wahai masa lalu
Favian Wiratno Oct 2020
jiwa ini kembali meragu; terbeban pertanyaan memburu.
rasa tidak tentu,
entah apa yang ditunggu.
berawal dari sebuah tatap,
rasa ingin sekali menetap.
entah apakah diriku ini sedang kalap,
atau hati ini memang sedang berharap.
jiwa ini kembali meragu; sepertinya aku jatuh cinta padamu.
ga Dec 2017
Bisakah kau lihat warna-warni hujan
Seperti kau melihat warna dalam suara
Bisikkan padaku warna langit
Karena langitku selalu hijau abu-abu

Bisakah kau melihat wajahku
Seperti aku bisa merasakan hela nafasmu
Bisikkan padaku warna dunia
Saat bibirmu menemukan tempatnya
Karena kau menyuruhku memejamkan mata

Bisakah kau melihat warna debu
Dari setiap omong kosong yang kau bakar
Bisikkan padaku warna hatimu
Karena milikku sewarna bara arang

Bisakah kau melihat warna malam
Tirai megah pentas hidupku
Kali ini biar kubisikkan padamu
Warna yang lebih gelap dari hitam
kekasih, sebelum takdir melenyapkan tubuhku
dan takbirku menjadi sesuatu yang senyap

ajari aku mencintaimu:

ajari lidahku menyebut namamu
ajari mataku melihat parasmu
ajari telingaku mendengar suaramu
ajari tanganku memegang tanganmu
ajari kakiku melangkah padamu

sekali lagi

agar aku, kekasih, yang cuma
hamba sahaya ini bisa merdeka

merdeka adalah berada di haribaan cintamu
sepanjang waktu
2017
rks Aug 2017
Aku bingung,
Ketika kamu selesai meneguk minumanmu, aku kira aku sudah ada padamu
Aku tidak sadar kalau saat itu kau belum mengizinkanku masuk
Apa karena kamu masih ingin melihatku? Atau karena kamu tidak menginginkanku?
Nyatanya, dugaan terakhirku yang benar.
Aku, dalam sekejap telah pergi
Bahkan kamu pun tidak peduli akan kepergianku
Bagimu, mengamati kepergianku hanyalah hal yang sia-sia

Suatu saat, mungkin kita akan bertemu lagi, di waktu yang belum aku ketahui
Dan jika waktu itu sudah tiba, biar kan aku masuk kedalammu,
Aku juga ingin terjun untuk menghilangkan kering tekakmu.
rks Aug 2017
Seharusnya aku ingat bagaimana penampilanku saat pertama bertemu denganmu
Seharusnya aku ingat kalimat pertama yang kuucapkan padamu
Seharusnya aku ingat harum minyak wangi yang kupakai saat pertama bertemu denganmu
Sekarang aku kebingungan, bagaimana agar membuatmu jatuh hati lagi padaku
GEIGA VIA TANARO Nov 2017
Suatu hari semesta ingin aku hancur sehancur hancurnya
Diterpa angin, di hujam badai, terbentur tanah, terhantam bumi
Kepalaku akan terhantam bumi
Lalu aku akan kembali padamu dengan dua kemungkinan
Apakah aku sudah sembuh?
Apakah aku kena gegar otak?
Penunggang badai Feb 2021
Kuingat, waktu itu aku membawamu ke sebuah kedai. Sebuah tempat yang hari lalu pernah kujanjikan padamu. Dengan motor tua peninggalan ayahku, aku merasa bangga. Dengan kau di jok belakang, malu-malu mendekap badanku erat, kita melaju tanpa banyak bicara melintasi jalanan kota.

Sesampainya kita, aku menoleh kesana-kemari mencari tempat yang pas. Tempat yang khidmat untuk kita menunaikan ibadah temu, setelah lama menjalankan puasa rindu.

Masih seperti biasanya, tanpa memandang situasi bagaimanapun, kita tetap saja seperti biasa: tidak banyak mengobrol. Hanya tersenyum, basa-basi (aku dengan pernyataan pamungkas bahwa "rambutmu cantik hari ini", dan "jangan memujiku terus" adalah andalanmu ketika malu) , tersenyum lagi dan salah tingkah sejadinya. Begitu kikuk kita di waktu itu.

Kita begitu seadanya. Saling berhadapan, saling menggenggam tangan meski canggung. Kutengok dari balik jendela, hujan perlahan jatuh membasahi seisi bumi. Tentu kedai tempat kita juga. Kulihat ramai manusia mulai bergegas dan menepi menghindari tumpah ruah sang hujan.

Rinainya mulai melantun tak beraturan di jalanan, di atap kedai, di jok motorku dan di hati kita berdua. Sambil memandang keluar, aku yakin kau merefleksikan hal yang sama dengan apa yang ada dipikiranku. Bahwa keping ingatan masa lalu mulai berpendar, berputar dalam kepala. Yang mungkin selalu berusaha kita lupa.

Satu hal yang benar, bahwa hujan dengan begitu saja telah menjadi bagian dari identitas kita berdua. Kutipan bahwa hujan turun selalu membawa kenangan, bagiku sesekali benar. Dan diantara kau dan aku, memiliki kisah yang dianggap kelam.

Kita adalah dua manusia yang hatinya pernah patah dan kecewa, lalu dipertemukan dengan cara yang begitu acak oleh semesta. Atau, entahlah. Aku hanya yakin begitu. Mungkin buku-buku Fiersa Besari banyak mempengaruhi caraku berpikir soal ini.

Ditemani lagu-lagu dari Dialog Dini Hari, dan dinginnya suasana kedai sebab hujan yang menggerayangi, semakin menambah kesan romansa terlebih kopi pesanan kita datang menghampiri.

Masih ditengah hujan yang mulai menjinak, aku mengingatkanmu soal buku bacaan yang telah kita sepakati sebelumnya saat masih hendak merencanakan via telepon. Ya, benar, tujuan utamaku adalah mengajakmu menikmati buku bersama. Untukku, Ini kali pertama. Semoga saja engkau suka.

Dan hujan, adalah diluar dari rencana. Aku tersadar, bahwa ia membantuku banyak kali ini. Untuk memeluk hatimu kian erat, untuk menghempas keluh-kesahmu jauh tak terlihat.

Kita mulai mengeluarkan bacaan. Dari ranselku, dari tas jinjingmu.

Aku dengan Tan Malaka, kau dengan Boy Candra. Begitu kontras, namun kutau bahwa ada bahagia dengan harta yang masing-masing kita miliki itu. Yang bahwa kita membacanya karena terpana dengan mantra disetiap kata-katanya—atau juga karena pemikiran kritis yang disulap menjadi sebuah goresan pena pada setumpuk kertas oleh sang aditokoh. Kagum dengan warisannya—dalam tulisan, mereka benar-benar kekal selamanya—dalam ingatan.

Kita tenggelam jauh kedalamnya, jauh kedalam setiap paragrafnya. Mata kita beradu sesekali saat fokus tergoyah, saling melempar senyum karenanya. Lalu pada satu waktu, kita mulai menutup buku, mengartikan temu, menyempurnakan rasa hingga waktu tenggelam berlalu.

Berlalu... Benar, semuanya berlalu sejalan dengan gerak sang waktu. Tak terkecuali kita didalamnya.

Aku menyayangimu, sebagaimana keberlakuanku pada buku. Aku merindumu, sebagaimana bumi merindukan hujan. Dan episode-nya bagiku selalu saja menyajikan wangi yang sama, sebagaimana wangi petrichor yang tersisa, dari rinai yang pergi meninggalkan bentala.

Kita menjadi "pernah", lalu lestari selamanya.
Dhia Awanis Oct 2016
Untuk setiap 'aku rindu padamu'
yang terucap untukku, terima kasih

Jarak melipat diri beberapa senti karenanya
dan gelapnya malam tak lagi begitu kentara

— The End —