Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Weißer Tagesanbruch. Stille. Als das Kräuseln begann,
hielt ich es für Seewind, in unser Tal kommend mit Raunen
von Salz, von baumlosen Horizonten. Aber der weiße Nebel
bewegte sich nicht; das Laub meiner Brüder blieb ausgebreitet,
regungslos.
Doch das Kräuseln kam näher – und dann
begannen meine eigenen äußersten Zweige zu prickeln, fast als wäre
ein Feuer unter ihnen entfacht, zu nah, und ihre Spitzen
trockneten und rollten sich ein.
Doch ich fürchtete mich nicht, nur
wachsam war ich.
Ich sah ihn als erster, denn ich wuchs
draußen am Weidehang, jenseits des Waldes.
Er war ein Mann, so schien es: die zwei
beweglichen Stengel, der kurze Stamm, die zwei
Arm-Äste, biegsam, jeder mit fünf laublosen
Zweigen an ihrem Ende,
und der Kopf gekrönt mit braunem oder goldenem Gras,
ein Gesicht tragend, nicht wie das geschnäbelte Gesicht eines Vogels,
eher wie das einer Blume.
Er trug eine Bürde,
einen abgeschnittenen Ast, gebogen, als er noch grün war,
Strähnen einer Rebe quer darüber gespannt. Von dieser,
sobald er sie berührte, und von seiner Stimme,
die, unähnlich der Stimme des Windes, unser Laub und unsere
Äste nicht brauchte, um ihren Klang zu vollenden,
kam das Kräuseln.
Es war aber jetzt kein Kräuseln mehr (er war nahe herangekommen und
stand in meinem ersten Schatten), es war eine Welle, die mich umspülte,
als stiege Regen
empor von unten um mich herum,
anstatt zu fallen.
Und was ich spürte, war nicht mehr ein trockenes Prickeln:
Ich schien zu singen, während er sang, ich schien zu wissen,
was die Lerche weiß; mein ganzer Saft
stieg hinauf der Sonne entgegen, die nun
aufgegangen war, der Nebel hob sich, das Gras
wurde trocken, doch meine Wurzeln spürten, wie Musik sie tränkte
tief in der Erde.

Er kam noch näher, lehnte sich an meinen Stamm:
Die Rinde erschauerte wie ein noch gefaltetes Blatt.
Musik! Kein Zweig von mir, der nicht
erbebte vor Freude und Furcht.

Dann, als er sang,
waren es nicht mehr nur Klänge, aus denen die Musik entstand:
Er sprach, und wie kein Baum zuhört, hörte ich zu, und Sprache
kam in meine Wurzeln
aus der Erde,
in meine Rinde
aus der Luft,
in die Poren meiner grünsten Knospen
sanft wie Tau,
und er sang kein Wort, das ich nicht zu deuten wußte.
Er erzählte von Reisen,
davon, wo Sonne und Mond hingehen, während wir im Dunkeln stehen,
von einer Erden-Reise, von der er träumte, sie eines Tages zu tun
tiefer als Wurzeln…
Er erzählte von den Menschenträumen, von Krieg, Leidenschaften, Gram
und ich, ein Baum, verstand die Wörter – ach, es schien,
als ob meine dicke Rinde aufplatzen würde, wie die eines Schößlings,
der zu schnell wuchs im Frühling,
so daß später Frost ihn verwundete.

Feuer besang er,
das Bäume fürchten, und ich, ein Baum, erfreute mich seiner Flammen.
Neue Knospen brachen auf in mir, wenngleich es Hochsommer war.
Als ob seine Leier (nun wußte ich ihren Namen)
zugleich Frost und Feuer wäre, ihre Akkorde flammten
hinauf bis zu meiner Krone.
Ich war wieder Samen.
Ich war Farn im Sumpf.
Ich war Kohle.
So Dreamy Dec 2017
kau putar lagi satu lagu bernada manis dan mudah didengar itu, sederhana. berbeda dengan musik-musik yang biasa kusimpan di playlist-ku, yang nadanya keras dan isinya tak mudah dicerna. kumpulan seni berisi teka-teki. sejenis indie, mereka bilang. aku dan kamu tak lain hanyalah dua kutub magnet yang berbeda; kamu yang begitu lembut dan aku yang mereka beri label seorang laki-laki berwajah datar, tak berperasaan. salah. kukatakan sekali lagi, salah. aku dan kamu tak lain hanyalah dua kutub magnet yang berbeda, yang juga saling tarik-menarik tak pernah mau lepas pada waktu yang sama. dengan segala perbedaan yang mereka pikir terlalu sulit untuk dipersatukan, logika dan imajinasi, bagai minyak dan air, aku dan kamu memilih untuk saling membenahi satu sama lain. isi pikiranmu adalah buku berjalan bagiku dan ruang kosong dalam sudut otakku yang biasa kau sebut sebagai ‘ruang khayal’-ku, kau jadikan ia sebagai salah satu guru dalam hidupmu. dari sana kau pelajari bagaimana caranya mengenali berbagai nada musik dan segala makna dari balik kiasannya yang beresonansi, kisah-kisah yang hanya dapat hidup dalam dimensi imajinasi, serta inspirasi-inspirasi yang dapat kau cari dari peristiwa sehari-hari. aku dan kamu tak pernah sama, kamu satu perempuan berambut lembut dengan suara yang lembut, isi pikiran yang berjalan mulus. orang-orang bilang kamu perempuan berpendidikkan, jenis perempuan berwawasan luas, berjiwa luas. sementara aku laki-laki penggila musik yang menganggap seni adalah satu hal yang perlu ditekuni seuntuhnya. menjadi musisi adalah satu impian besar yang membuatku tak pernah berhenti berlari untuk mencapainya dan kamu pendukungnya, nomor satu. kamu ingin jadi jurnalis dan aku ingin jadi pemusik. aku dan kamu berasal dari ranah yang jauh berbeda, namun disatukan karena cinta.
Schade.
Echt schade.

Schade
um dich
für dich
auf dich.

Schaden
bei dir
von dir
in dir.

Du bist schade für mich.

Wie schade.
Echt zu schade.

Jeder wer dich liebt
wird geschadet sein;
ist heute froh
wird morgen leiden.

So ist es gewesen,
also wird es immer sein.
Ich hab es miterleben,
hatte ihr zugehören,
war glücklich genug zu ihr zugehören,
und hab seit damit aufgehört;
und hab seit selbst davon angehört-
Stell dir das vor!

Zu schade.
Echt schade.
Stell dir das vor!

Du hast uns als Spielzeuge angesehen.
Du hast uns als verzichtbar angesehen.
Stell dir das vor!

War selbst glücklich genug dazu zugehören.

Jeder, wer dich liebt
wird geschadet sein
wird im Arsch gebissen
wird vergiftet sein

Jeder, wer dich liebt,
wird Mitleid kriegen,
doch nicht von dir
doch ja dienetwegen.

Tanz.
Tanz zu der Musik.
Tanz zu der Musik deiner Exen.
Tanz zu der Musik du anregtest.

Leider, sie sind nicht Liebelieder.
Nein, sie sind nicht Liebelieder.
Leid, sie sind doch Leidlieder.
Wegen Seelenqual geschrieben.

So ist es gewesen,
so wird es immer sein.
Stell dir das vor!
Wird ein Tag ein Lied sein. :)
Will one day be a song.

Please do not attempt to translate this with an online dictionary or translation service unless you are already familiar with the language. If you complain to me about how Google Translate told you it translates, I'm going to tell you to **** right off. This will NOT literally translate; it relies heavily on puns.

I will translate if asked, but it may take a while for me to get it accurately into english for the connotations I want.
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
So Dreamy May 2016
sore itu dingin.

kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela
secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu.
kutunggu kabar
namun tak juga kunjung datang

duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat.
teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat.
terlalu sibuk atau apa?
biar kunanti lagi bersama rintik hujan.

semenit
lima menit
  sepuluh menit
   dua puluh menit
    lima puluh menit

kutunggu telepon balasanmu
namun belum juga kau
izinkan aku mendengar suaramu

aku diam
bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun
biarkan!
aku letih
berpura-pura merasa tidak sakit hati

bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.

kemudian aku sadar;
seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.
AnnaStorm Dec 2014
julemusikken går i ring på mc D
Julen er musik på en fastfood restaurant
Platte pop numre blusser glæden frem i mig
Og selvom jeg ikke vil, nynner jeg med i mit hoved
Hvad er jul uden plastik og dårlig samvittighed?
Hvad får bjælder til at ringe hvis ikke de blev spillet i radioen?
Jeg sidder her på det falske lædersæde og drikker cola
Og venter på sne
For for mig og alle andre på mc D
er sne det eneste der mangler
smallhands Feb 2015
Alas, the infamous ritardando
Where the outrageous and the mild concur
Brittle as the music was, each pulse sang with bliss
As quiet operas performed in our rebellious, shut mouths
Slow love beats with broken chords
and we partake shamelessly
We dance until we confuse stars
with lights on the low ceiling
We can kiss to the sound of cassette tapes rewinding
There is music even in our silence

-c.j.
anna charlotte Sep 2015
jeg bliver stadig ødelagt
hver gang jeg hører din musik

den Musik vi delte
hver gang vi sås

vores midtpunkt
vores kerne
vores musik
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
Diska Kurniawan May 2016
Dengarkan ketika kau merasa takut,
akan semua ketulian,
Gosip dan kata-kata tak bermakna,    
Semua berita peperangan
Maupun musik tanpa nada.
Telingamu seharusnya takut.

Lihatlah ketika kau merasa takut,
akan semua kebutaan,
Kebajikan yang munafik,
Imajinasi yang berlebihan
Terlebih jika kau tampik
Matamu selayaknya takut.

Ucapkan ketika kau merasa takut,
akan semua puisi dan syair,
Mantra yang mereka panjatkan,    
pada setan dimana mereka lahir
Semua bisu yang kau nyanyikan
Bibirmu seharusnya takut.

Cintai ketika kau merasa takut    
akan semua iba dan nestapa,
Mabuk dengan segelas kasih,
Mereka yang bertelanjang jiwa
Sehingga matipun tertatih
Hatimu selayaknya takut

Pikirlah ketika kau merasa takut
akan semua yang dungu,
dimana nuklir-nuklir itu mereka sesap,
dan kebijaksanaan para ***** dituju
Ketika para pendeta tergagap.
Otakmu seharusnya takut

Rasalah ketika kau merasa takut
akan semuanya yang berbentuk,
menyerupakan tawa dengan doa,
Yang menyayat hiruk pikuk
Derap dan tangis yang fana
Dirimu selayaknya takut
                                                                          
Maka biarkan aku berani
Karena kau hidup, dan aku tak punya diri.
Hiatus until the end of my fatigue.
nana nilsson Feb 2015
bitter kaffe, salte tårer, rodet værelse, rodede tanker, sprukne læber, en ufortjent karakter, nøgne træer, nøgne kroppe, ****** musik, adskillige vabler, lykkeønskninger fra nogle bekendte, manglede lykkeønskninger fra nogle venner, udspilede øjne, tunge øjenlåg, forsvundet hårnåle, krakeleret neglelak, kortvarig latter, kortvarig solskin, lektier jeg ikke fik lavet, fladt baghjul, velbehag, ubehag, løbende sminke, ukomfortable kram, ulovlig film-streaming, længsel, oprigtige smil, påtagede smil, ubesvarede e-mails, tiltrængte gensyn, sammenbrud over en matematisk ligning, sammenbrud på min fødselsdag, sammenbrud over min farmor, sammenbrud
Gymnasiepoesi Mar 2015
men tanken om at det i stedet er hende
der får din varme
uskyldige kys i nakken
i mørke soveværelser
hendes fingre flettet ind i dine
hende, der fjerner dit tøj
og rører dig
hende, der hører dig når du så passioneret spiller
blid musik
hende, der hører dine inderste tanker
på dovne søndagsmorgener

jeg håber *** ved
at *** ligner mig
og jeg håber *** er klar over
at det før var mig der før hørte dine historier
delte din musik
og arret over dine læber

jeg håber *** ved
at jeg var der først
at det var mig der sov i dine arme
holdt dine hænder
kyssede dine læber
samlet i timevis

jeg håber du husker
de magiske stunder
stille nætter i stormvejr
kys under fyrværkeri
og i nattens mørke
efter ungdommens fester

bliver jeg mon hos dig
bliver jeg gammel med dig
i dine tanker
som du vil blive i mine
for du var der først
Coco Aug 2019
Disela musik yang teburai,
Terdapat rasa yang menyatu

Sambil bernyanyi terdapat dua pasang mata yang bercahaya
Saling tarik menarik
Menjaga agar tetap satu frekuensi

Sangat lucu melihat ini semua
Bagaimana musik dan nyanyian dapat menutupinya
Padahal, pipi keduanya telah bersemu
Bibir keduanya tak henti melengkung ke atas
Ditambah, sudah saling mengenal
Sungguh kurang apalagi?
når jeg en dag dør
bør mit hjerte være ved at briste
med alle de mennesker, jeg har fyldt livet ud med
de sting, jeg har syet stof sammen med, syet mig selv sammen med
de billeder, jeg har taget og de billeder, jeg har set
"dette her øjeblik vil jeg huske for evigt"
et løfte jeg vil bære med mig, jeg venter på at udløse det
hvad man lader synke ind i ens person
jeg vil danse hver dag
med høj musik og løse lemmer og let latter
helst alene
jeg vil være afhængig af at danse
"nu tager jeg lige min morgendans"
(sådan, i stedet for løb)
svede på den glade måde
finder genbrugsting - silketørklæder, porcelænskopper, træmøbler
sidder på gulvet, tegner på mine venner på mine hænder
flytter til fremmede byer med fremmede mennesker, fremmede venner
og får nye ar på sjælen, ny ild i blodet
persiske gulvtæpper i parisianske loftslejligheder
lyserøde roser, rosenrød hjertefryd
skrive bøger skrive mig ind i andres liv
i de andres liv
fylde et, to *** med kunst
fylde mig selv med kunst
balancere mig på snore på relationer på drømme
danse på hvidmalede gulvbrædder, tømme karaffel efter karaffel af vand
marmormonomenter i øjenkrogen lyserøde følelser, mørkebrune hænder
stå op til morgenens sarte ansigt, sarte farver
køre i toge og busser til ingen som helst steder og bare kigge
købe fremmed musik, tage til ukendte koncerter
sejle i grønne søer
klatre i bjerge
printe og klippe i mine egne fotografier, printe mine egne bøger
græde og bløde og svede og elske
og fyldes som
en menneskelig frugtkurv
med
oplevelsespapayaer,
efterårsæbler, følsomhedskiwier og
glædesappelsiner
der er så længe til
der er så kort tid til
Dalam kerlap kerlip dunia malam
Debuman musik keras menggema dalam telinga
Menggeliat diantara tubuh para adam
Mengumbar buah dada
Menebar wewangian erotis
Menarik para lebah mendekat
Jalang bukan sembarang jalang
Mendesah indah hanya bermodalkan tubuh molek
Selembar uang sengaja tersangkut dalam lingerine
Senyuman diberikan
Membuat libidoku tak terbendung lagi
Mengoyak pakaian minim yang menghalang akses untuk menjelajah tubuhmu
Kau mendesah lagi
Melodi indah mengiringku menuju surga dunia
Peluh yang menyatu malam itu menjadi saksi
Betapa indahnya tubuhmu bak bidadari
Kuhantam titik titik nikmat dalam tubuhmu
Kau bernyanyi, nyanyian erotis terindah yang pernah kudengar
Kutatap wajahmu, rona merah dan peluh menyatu
Wajah sempurna
Penglihatanku berkabut
Sekelebat cahaya putih menyilaukan terlihat
Ketika kita bersama menikmati indahnya surga dunia
Benih benih janin tak sanggup kubendung lagi
Kau pun mendesah lagi
Ah, kau memang bukan sembarang jalang
Anna Sep 2016
nyt musik. nyvasket hår. efterår. klistermærker, chokoladepapir og finurligheder postet i min bog. sene aftener i selskab med musik og madlavning. afleveringer der er lavet til tiden.  optimisme. den flotte lighter, dine kys. lakridste, minus lakrids (undskyld).
kysse til kl 04 om morgenen, le og derefter sove. velkendte hænder, men nu er de flettet ind i mine. nye serier, hvidløgsbrød og søndage uden stress. den gode kaffe om morgenen. den velfortjente bajer på kanalen om aftenen. dig.
a daydreamer Jan 2018
Disana,
Diantara bisingnya kerumunan kota,
Aku berdiri sejenak,
Mendengar alunan musik mengendus sajak.

Beberapa pasangan mata menoleh,
Menutur, menyinyir,
Mengikuti bayangan dosa lama
Yang telah tenggelam,
Dilahap oleh manisnya senyum
Dan tawa para badut malam.

Lepuh, rasanya.
Lilin-lilin yang menginduk di kulitku kian meletih
Teriak pedih tak kunjung hari
Terhambur sudah harapan palsu ini.
Sophia Edens Jan 2015
Jeg gemmer mig bag alt.
Her for tiden,
er det somom der intet forhæng er,
foran mig.
Jeg kan kun gemme mig
bag mennesker jeg elsker,
mange ting er ved at gå op for mig nu.
Tingene bliver seriøse.
Jeg bliver ældre,
uden min egen vilje.
Og så dog ja.
Jeg vil gerne blive ældre,
opleve verden,
møde nye artsfæller
og musik skal spille forbi mig i en ****.
Jeg vil være lært.
Bekræftet.
Elsket, ikke af alle, men af nogen.
Men lige nu
er jeg ikke den jeg vil være, endu.
Lige nu skal jeg gemmes væk
fra det skæmmende og tænke frem.
Ikke være i nuet som alle andre.
Ikke kigge tilbage på de gamle billeder.
Kun frem. Kune frem. Kun frem.
Jeg er der snart.
Jeg består ikke det der ******.
Men når lige at hoppe med
inden det kører fra mig,
mod det hvide, uklare lys.
Hent mig.
Fra dette skræmmende sted.
Læg dig ved siden af mig
og sig ingen lyd.
Kun dig og dit åndedræt,
har jeg brug for.
Kun dit nærvær.
Kun nærvær.
Nærvær.
Og gem mig væk.
Er legt die Nadel auf die Ader
und bittet die Musik herein
zwischen Hals und Unterarm
die Melodie fährt leise ins Gebein

Los! Los! Los!
Bop bop shu bop

Er hat die Augen zugemacht
in seinem Blut tobt eine Schlacht
ein Heer marschiert durch seinen Darm
die Eingeweide werden langsam warm

Los! Los! Los!
Bop bop shu bop

Nichts ist für dich
nichts war für dich
nichts bleibt für dich
für immer

Er nimmt die Nadel von der Ader
die Melodie fährt aus der Haut
Geigen brennen mit Gekreisch
Harfen schneiden sich ins Fleisch
er hat die Augen aufgemacht
doch er ist nicht aufgewacht

Nichts ist für dich
nichts war für dich
nichts bleibt für dich
für immer
-
He lays the needle in the vein
and he asks the music to come inside
between his throat and forearm
the melody travels softly in the bones

Go! Go! Go!
Bop bop shu bop

He has closed his eyes
a battle rages in his blood
an army marches through his bowel
the intestines become warm slowly

Go! Go! Go!
Bop bop shu bop

Nothing is for you
nothing was for you
nothing remains for you
forever

He takes the needle from the vein
the melody travels out of the skin
violins burn with shrieking
harps cut the flesh
he has opened his eyes
but he is not awake

Nothing is for you
nothing was for you
nothing remains for you
forever
http://www.youtube.com/watch?v=clWpAaH0gNk
Annesofie Olsen Jan 2015
Endnu en aften
Hvor jeg sidder og skriver digte Som jeg aldrig bliver tilfreds med
Bruger aftnen på tumblr og de andre sociale medier
Hører  musik
Kigger på snapchat  og ser hvad mine snapchat venner laver
De er sammen og hygger sig
Det føltes som om jeg er den eneste der er alene
Men
Jeg kan godt lide at være ensom
Det er ikke en dårlig ting at være ensom
Eller det bilder jeg mig selv ind
Luis Mdáhuar Aug 2014
I saw what's a writtters block
words accummulated
on a bubble
in complete disorder
big smalll and all kindsofonts
like a back pain
or a sore tooothh
trying to go thrugh a funnell
with no musik to push them through
there are no imaginary worlds
it is all real
andenrangs poet Mar 2015
jeg så dig danse på en lørdag nat. jeg har aldrig set dig danse før.
det var allerførste gang jeg så dig danse.
du dansede til et nummer komponeret af en mand med et uforglemmeligt og krøllet navn.
og hele rummet summede af lyden af et klaver der blev slået an af en rystende finger og violin strengene der dansede rundt i luften, efterlod rummet i en skygge af pulver drømme og stjerner der faldt ned omkring dine fødder.

du dansede noget der kunne minde om en vals. men du dansede den alene.

vil du ikke danse lidt med mig i stedet for at gøre det helt alene? det ser så ensomt ud. smukt, dog ensomt.

du trak på smilebåndet. men så ej på mig.

så kom herhen.

du tog mig pludselig i dine arme og scenen var din, min, og vores. jeg har aldrig danset. kun i stuen som lille i min mors gamle balletskørt.
og det gik op for mig hvor perfekt min spinkle krop passede i den silhuet der før var udfyldt af noget ingen andre end du kunne se.

og scenen var din, min, og vores.
verden forsvandt omkring os mens vi dansede mellem stjernerne.
jeg forsøgte at få del i dine tanker ved at lade mig suge ind i dit blik....men du havde travlt med at koncentrere dig om dine trin. ikke bare for dansens skyld, men det blik du anstrengte dig for ikke at sende mig handlede ikke blot om dansen men angsten for at træde forkert.
hvad ville der ske hvis du så mig i øjnene?
jeg kunne mærke din kropsvarme helt ind i sjælen mens du snurrede mig rundt. let og elegant og tilbage i dine arme.

se på mig.

stjernene var for længst faldet ned men var ikke længere at finde for mine fødder. for du så på mig. du så mig lige ind i øjnene, længe nok til at det  begyndte at gøre ondt da du trådte et skridt tilbage men ikke længe nok til at jeg kom ind under huden på dig.

tak for dansen.

følelserne... var de ikke lige der?
og før jeg vidste af det var der ikke længere andet end mig og den sørgelige musik der nu fyldte rummet med opløste håb og tusind fejl og mangler.

på en lørdag nat så jeg dig danse for første gang. jeg havde aldrig set dig danse før. og på en lørdag nat så du mig i øjnene for første gang. du havde aldrig set mig i øjnene før....
.... og jeg har ikke danset siden
Tim English Dec 2013
Burn it **** it **** it HATE IT spray it with blood, shards of teeth and broken bones, ripping flesh like paper, the guts coil out like loops of rope, intestines spilling on the floor with fractal red reflekted rain in the moonlight, broken beams & dust collected on shelves left over from behind when there was a then, I gathered my thoughts and ran for the safety of death, where nothing can hurt, where it's safe and white and empty of mind DEATH where it's all over and everything is uncovered for what it was, just NOTHING, an illusion fleeting by, but don't you lust for LIFE, what's between her warm wet thighs, the sensation of ******* and the gasp of ******, it's a ******* SIN, it's how it begins and how it's perpetuated, afflikted on this world, this plain (PAIN) of existence. HOW TO GET WHAT I WANT? And not this endless WANTING, not the coward's way out but SATISFACTION, drugs, ******, ******* MUSIK, MUSICK, you make me sick and I am reviled by mine own self, in sickness and in health, DEATH, why won't you come for me, when I pray on bended knees, for this DISEASE called life to END, send me on to whatever's next, the Abyss or one last kiss from a ***** who never loved me to begin with, WHY AM I HERE?! And what is there to fear when nothing could be worse than this, torture me forever in lakes of fire, it's what I deserve, I'm cursed in any case and I hide my face in shame, who's to blame but me for existiing the first place, IT'S MY FAULT and I tear at my skin and I rip out my hair and of course it's not fair, NOTHING IS FAIR, that's the extent of existence and WHAT THE **** DID YOU EXPECT?
ungdomspoet Dec 2015
en at kigge på når jeg vågner søndag morgen
- en der vil tage min hånd og danse rundt med mig
- en at dele de ting der gør mig lykkelig med
- en at dele de ting der gør mig bedrøvet med
- en som vil have et godt forhold til min familie
- en der får tiden til at stoppe i stressede morgner blot ved et kys
- en at tage med ud at se på kunst
- en at diskutere politik og læse avis med
- en som kigger på mig som om jeg var den eneste i verden
- en der ville tage med mig til Paris
- en som vil kysse min nakke blidt i søvne
- en at drikke morgenkaffe og ryge morgensmøger med
- en der kan få mig til at grine når jeg har mindst lyst til det
- en der vil fortælle mig at jeg er en tåbe når jeg opfører mig ligeledes
- en der vil fortælle mig at jeg er kærlig når jeg opfører mig ligeledes
- en at læse mine digte højt for
- en som vil tage med mig på eventyr og ikke være bange
- en der får mig til at føle som den bedste version af mig selv
- en at lytte til lækker musik med
- en at tænke på når man hører dårlige kærlighedssange
- en som tør dele sine tanker og følelser med mig
- en at lytte til
- en at leve for
- en at elske med
- en at kysse på
- en at have tillid til
- en som elsker mig på trods af mine fejl
- en der kan se mine kvaliteter som kvaliteter
- en som syntes at disse ting også er væsentlige
Anna Oct 2017
nyt musik på spotify. bogindkøb. højt musik i badet. efterårssolen der sommetider titter frem. efterårsblade der snart drukner kbh i orange og brune farver. tøj der matcher årstiden. nyklippet hår. planlægning af fremtidige rejser. at cykle i skole til lyden af khalid og the weeknd. den dyrebare kattelighter. nye øreringe. at spamme photo booth hver gang jeg har en god dag. og selvfølgelig osteboller fra lidl (det er løgn. dem elsker jeg året rundt).
55
55 and very alive
my legs be a kickin

in the main in the game
my beatin heart still tickin

outta bed to clear my head
the pace of life jus quickens

open eyes can see the sky
another day I'm winnin

stuff to do, jus movin through
de pop of life is trippin

me be bop rocks in non-stop
dis musik track be flippin

last dime spent, I still be bent
a mash up life o whippin

been to school, so now its cool
into the grave to be slippin

Music Selection:
Bird and Diz,
Ko Ko


Oakland
1/29/11
jbm
Louise Sep 2016
det orange skær lægger sig som et yndefuldt lag over alle de opsatte trekanter, der så fint repræsenterer den syvdags-beboende flok af festglade mennesker, der dag for dag snor sig spruttende af glæde rundt mellem de mange stier, der opfyldes af et ocean af humørfyldte druklege

jeg selv er en del af det, og jeg trasker nynnende rundt mellem lattergaspatroner, smadrede oliofska flasker og knækkede stoleben
lad os kalde det en smuk losseplads

jeg er så stærkt fascineret af atmosfæren
også selv når mit hoved sumre og pumpes op af den velkendte klang af dak
og når jeg næsten dehydrere, af alt det vand jeg burde ha indtaget, i stedet for at anvende det til at drukne min hjerne i, når mine tanker lader sig sejle roterende rundt i orange bølger
dette dræner også én fra energi
så jeg mindes tydeligt øjeblikket, hvor vi tillod os selv at falde hen en times tid
og derefter, med et sæt, vågne op af tørsten samt trangen til at fortsætte indtagelsen af det påvirkende væske

vi går over mod apollo for at
endnu en gang
opleve nydelsen af tame impala's smukke udsendelser af øregangsorgasmer
jeg har det lidt halvdårligt, og forsøger lidt akavet at rette fokus mod mine eksotiske babyhår i panden, som stikker ud fra den gule skyggekasket, der meget udiskret og med en ekstrem ensfarvet sammensætning, matcher alt andet gult på min krop
for en stund virkede ignorancen

åh, se, en pomfritbod

et sødt pars hænder smelter sammen i aftensolens skær, lige inden de vender sig mod hinanden og blidt lader deres læber mødes. selve romantikken i seancen, bliver desværre hurtigt udvekslet af et råsnaveri, og jeg ryster let på hovedet
mine midlertidige følgesvende hiver straks deres mobiler frem og filmer et nøjagtigt pragteksemplar af mit sørgelige kærlighedsliv, mens jeg står standhaftigt og udstråler et hjerteskærende ansigtstryk
under mit humoristiske og selvironiske lag af skuespil, står jeg og overvejer alvoren i den thomas helmig sang, mine ører skuer i det fjerne
og med ét fremstår hele situationen nærmest egentlig som en bedrøvelse i sig selv, når jeg realiserer sandhedens betydning

en brummende bas drøner bagfra forbi os, og jeg opfanger i selvsamme sekund, at den gigantiske højtaler, imponerende nok, er blevet hægtet fast på cyklen med knapt så sparsomme mængder gaffatape
og jeg tænker, at cyklens skarpe sving, har en vis lighed med den roterende fornemmelse af lidelse, der dybt mærkes langs min rygsøjle
om det er fra mit efterhånden propfyldte net med unødvendige, fjollede småting eller de mange udmattende gåture på pladsen er jeg ikke helt klar over

nu ligger jeg herhjemme
ikke i teltet eller hos andrea, for den sags skyld
men helt hjemme
mine øjenlåg vibrerer af savn, når jeg hører musik, der minder mig om roskilde gengivelsen af de mange øjeblikke, 'nede mette' har sejlet rundt mellem mine slidte øregange, kan ikke fremstå på samme måde, som det gjorde på festivalpladsen
lugten af cigaretter sidder stadig mellem mine fingre
jeg spekulerer over, om det måske skyldes de mange gennempillet filtre

alt i alt har jeg en mærkværdig fornemmelse af, at skulle vanedanne mig selv ind i roskildes dagsrutiner, hvilket ville være en stor overbelastning for den ellers ganske normale hverdag
men jeg sidder alligevel her, inde i min nøddeskal og tænker at min modreaktion på savnen, vel umuligt bør være andet end at lede efter de små værdifulde ligheder, der kan genskabe min fascination af roskilde festivalens mange glæder
Infamous one Nov 2017
Around band practice makes me want to do more with music. I play simple drums can hold a beat. Ideas on how to read tabs for bass and guitar. Music is fun it takes me away and helps me use my imagination sets a mood and tempo while writing. I wish I could sing hit those notes and have melody in my voice. I've been told write music but dk who to connect with.
Being young and angry can only get you so far. Now I'm older wiser and at peace. I have so many ideas as I get older feels like I'm running out of time. Music makes work fly by making it more tolerable.
Surya Kurniawan Sep 2018
Dari dalam diri Dali dan Dada datang menghampiri ke daftar orang-orang mati.
Meyakinkan manusia manapun yang mau mendengar musik merdu melodi mimpi.
Yang lalu lalang bergentayangan malang di terang liang lawang-lawang.
Luapan oli di lobang lintasan lalu lintas layaknya di lorong-lorong lupa.
Obrol diobral, diobok-obok oleh organisasi olahraga oportunis yang jadi objek operasi.
Jalanan yang jelas-jelas jelek jangan dijadikan juga sebagai jaminan judi dan jamban di jaman sekarang.
Sebab itu saudara sekalian sudah sanggup kah simpanan saudara selamat sampai sasaran?
Coco Oct 2018
Lilin telah nyala
Musik telah berirama
Inikah saatnya?

Tanpa diminta ia datang
Aku yang tak menutup pintu, pasrah

Ia berjalan di alur kerangka kepalaku
di setiap sudut batinku
Abu abu, tapi bahagia

Lilin padam
Musik berhenti
Tapi mengapa dia tak pergi?

Tolong, waktu mu sudah habis
Kau bisa pergi, jejak abu
Jangan takut
Aku tidak lupa dengan keabu abuannya

Aku hanya tak bisa berpikir
Mengapa dia memilih menjadi jejak abu?
Hellooo.  Im Indonesian and not good at English
Thank you and sorry
Xo
Louise Sep 2016
diskolysets skær strejfer henover mine blødende fingrespidser, mens hvert evig eneste lille ord fra sangen, så fint lader sig skære dybt ind under min hud, og efterlader mørkerøde blodaftryk på det ellers så hvide lagen. dog tvivler jeg på, om det kan være værre end den knugende tomhed, der finurligt forfører sig ind mellem de lydløse skrig og misantropiske tankegange, når ikke kassettebåndets søde klang af musik udløser rotationen af drømmescenarier, rundt i mine efterhånden slidte tankestrømme.
for ja, kærligheden til dig ramte mig som en syngende lussing, og mine våde kinder er stadig tydeligt afmærket fra slaget.
jeg tror aldrig jeg lærer, at leve med din signifikante tilstedeværelse, og dets påvirkninger på mig.
hver gang du vender hovedet, har du mine øjne i nakken, strålende af fascination, over dit æteriske jeg. for smuk, er du altså ikke kun - du er nærmere en spiritistisk ektoplasma, og jeg frygter altid, at det hele blot var en række af illusioner, der fuldstændigt uplanlagt, men gang på gang, plantede sig helt inden i mig.
jeg tager mig selv i at ønske ved hvert et stjerneskud, for ikke at nævne alle de gange jeg har siddet og pillet enkelte rosenblade af ad gangen, i et ihærdigt håb om, at ende med; "han elsker mig"
men som virkeligheden afspejler sig i denne latterlige metafor, så ender jeg altid med det forkerte sidste blad, hvorefter jeg med en apatisk bevægelse, smider alle de afrevne rosenblade ned på den kolde jord - som var de alle håbende, der dalede.
i en elegant slutning, afspiller jeg den hjerteskærende sang igen, mens jeg ganske nydeligt danser let henover rosenbladende,  som en ironisk præsentation af, at livet burde være en dans på roser
ungdomspoet Nov 2014
jeg stirrer på uret
mens tonerne hvirvler rundt i mit hovede
tempoet er hurtigt
stemmen er forførende og hvisker til mig
at jeg spilder mit liv
på at side og kigge fortabt ind i en rød væg
for intet er godt her
jeg er ikke glad for alle de bøger og regler
jeg ville hellere male og tegne
til lyden af glasdråber der spiller på trommer
som når regn rammer husets blanke tag
vandrer fortabt rundt
på sorte gader oplyst af stjerner der står oprejst
langs breden af de kolde sten
lukker mine øjne og åbner mit sind
tænder en cigaret
flammen fra lighteren giver den liv
og røgen danser i mund
mine blå konger
med tomme hjerter
hvor er min hvide prins?
jeg er alene
min blå konge forlader mig
ligesom de mange før ham skoder jeg ham
han dør tavst på den kolde sorte vej
hvor jeg før dansede rundt til høj musik
men jeg nåede at blive afhængig
så jeg finder min magiske flamme frem
og giver en ny blå konge liv
lader ham kysse mig
gøre mig glad og tilfreds
indtil han ikke er der mere
og jeg må starte helt forfra
- cigaretter som metafor
- drenge
- om mig

— The End —