Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Alia Ruray Jun 2015
Aku mengingatmu
di sela waktuku bertualang
di setiap spasi dalam kalimat 'kita'
aku mengingatmu.

Kau buatku menetap tanpa alasan.
Lantas pergilah aku bertualang;
pergi terbang
ingin kau tau kau tidak mengekang
ingin kau tau aku bisa, kapan saja,
terbang.

Tapi di setiap kepakan sayap,
aku merindu.
Di labuhanku yang berganti-ganti,
aku menemukanmu.



Duduklah kau rapih,
sambut ku yang selalu pulang.
(24 June 2015)
KA Poetry Sep 2017
Cinta itu sungguh hal yang terkuat dan terindah yang pernah dialami semua manusia
Tuhan menciptakan manusia berpasangan yang didasari oleh itu.

Hal yang misterius tentang cinta adalah siapa pasanganku kelak
Hal yang menantang tentang cinta adalah bagaimana aku bisa mempertahankannya
Hal yang paling indah tentang cinta adalah Aku dan Kamu.

Menulis kisah kasih di sebuah lembaran kertas
Menggunakan tinta hitam
Yang akan selamanya menetap di lembaran itu
Tinta yang mewakilkan cerita kita
Semua kutuliskan dengan dirimu didalamnya.

Mencintaimu adalah sebuah distorsi yang tidak bisa kukendalikan
Mencintaimu adalah sebuah anugerah yang paling ku syukuri
Mencintaimu adalah sebuah amanah yang Tuhan telah berikan
Kepadaku.

Menjagamu..
Mencintaimu..
Membahagiakanmu..
Me­ndoakanmu..

Tutuplah matamu, rasakan cintaku.
Satu..Dua..Tiga..
Bukalah matamu
Selamat datang di Dunia kita.
25/09/2017 | 12.23 | Indonesia
andai sedari dulu
tak mungkin ia sekarang
mungkin menjadi orang
mungkin berlayar di cakrawala
mungkin melatah di depan dunia
atau mungkin menghiasnya dengan warna

andai sedari dulu
mungkin sudah berjasa
seribu hal yang tercipta di tangannya
beribu hati dan jantung yang berbangga
nama yang dimana-mana tertera
atau muncul dalam wajah-wajah media

tapi kalaupun sedari dulu
mungkinkah sudah lain
atau mungkinkah tetap sama?
tak ubahnya berjiwa seekor kuluk
tak ubahnya bertubuh pohon membusuk
dengan dunia ia kalah beradu
meraung mati di kamar itu
menetap sama, tanpa apa
tanpa siapa dan bagaimana kabarnya

mungkin jika dahulu, bisa jadi
sekarang tetap saja menderita
tetapi beda, ia jadi seorang manusia
yang mencoba dan gagal
tetapi diam dia tak bakal

sayang, lihatlah
terlambat ia sudah
an old poem of mine but it'll do
Shitty Girls Dec 2016
Maafkan aku air mata
Seringkali kau jatuh sia-sia
Maafkan aku air mata
Yang selalu aku buang dengan sengaja
Jangan salahkan aku
Salahkan luka-luka itu
Luka-luka yang tidak pernah kering
Menganggap ia selalu penting
Hingga selalu menetap di sini
Membekas tanpa peduli
Sesakit apa rasanya
Hingga harus menjatuhkan air mata
I'm sorry i'm indonesian so i write (maybe some) poem(s) in bahasa
Favian Wiratno Oct 2020
jiwa ini kembali meragu; terbeban pertanyaan memburu.
rasa tidak tentu,
entah apa yang ditunggu.
berawal dari sebuah tatap,
rasa ingin sekali menetap.
entah apakah diriku ini sedang kalap,
atau hati ini memang sedang berharap.
jiwa ini kembali meragu; sepertinya aku jatuh cinta padamu.
KA Poetry Sep 2017
Imitasi cinta yang disenandungkan dari mulutmu
Ilusi yang kau tanamkan layaknya biopori
Intimidasi yang kau lakukan atas kebebasanku.

Kamu..
Sebuah Monster yang menjadi mimpi terburukku
Mengingatmu..
Memberiku penderitaan dari memori - memori gelap
Kamu..
Adalah mahluk Tuhan yang mampu menghancurkan jiwa para umatNya.

Engkau datang dengan senyum manis
Memelukku
Lalu meremuk diriku
Datang disambut cerah
Menetap disambut gelap.

Kamu
Adalah sebuah
Kutukan bagiku
27/09/2017 | 12.33 | Indonesia
a daydreamer Oct 2018
Dunia berputar cepat
Saat kanan kiriku sudah berlari kencang
Aku hanya menetap

Tenang, semua ada waktunya
Aku hanya menarik nafas
Dan berjalan cepat
a daydreamer Oct 2018
Tubuhku berisi daging dan darah yang mengalir; tapi yang kurasakan hanya kehampaan yang mendalam.

Aku tidak bisa merasakan sedih, walau kulit tergores dan darah mengucur cepat. Hanya kekosongan yang menggali dan membolongkan dadaku.

Aku tidak bisa merasakan manis, walau mulutku dipenuhi makanan penutup lezat. Hanya kepahitan yang menetap di lidahku seperti mengunyah obat tablet mentah.

Aku takut. Aku takut menjadi hantu.

Aku ingin menjadi manusia lagi. Aku ingin merasakan sesuatu.
Mousamous Apr 2018
pasal VI: tentang aku dan kau; sebuah rasa dalam diam.

- yang aku percaya, skenario tuhan selalu indah walau tak kelihatan di awal, sebab tentu saja, pemandangan akan lebih nampak anggunnya dari ketinggian. dan ini perkara melihat sesuatu dari direksi yang berbeda, atau bahkan berlawanan. rasa dalam diam.

- perihal rasa yang terus saja terpendam, anggap saja aku hanyalah secuil makhluk yang kagum kepadamu, terlepas dari senyummu yang menawan, atau paasmu yang santun, dan hal "wah" yang mereka utarakan lainnya. rasaku apa adanya, tanpa menuntut apapun darimu.

- mengingat kau dan aku tak pernah bersua dengan sengaja, kurasa, rasarasa yang kumiliki hanya akan bertepuk sebelah rasa, sekedar sapa, dan berujung tanpa kata. toh nyatanya entah aku yang sanggup bertahan ataukah memang aku yang terlalu bodoh karena masih saja bertahan, hitungan tahun tanpa jawaban terus saja membuatku beradaptasi dengan keadaan.

- dan jika dilihat, mungkin hanya usahakulah yang terus membuatku bertahan, melihat segalanya hanya jarak dan jarak yang membuat kita dekat, walau kau masih saja entah purapura tak peduli, atau mungkin memang tak peduli. tapi kuharap kau tak bosan menjadi tempat rasaku bermuara.

- menuntut kejelasan? oh, tentu bukan caraku bermain dengan memaksa kehendak. karena dimataku, rasa bukan hanya sekedar hasrat, melainkan suatu hal yang sensitif, terlepas dari rasionalnya akal. takutku kemudian hari, salah rasaku menetap, kemudian menjadikanku lupa arah pulang sebenarnya.

- sampai nanti di akhir cerita, kau menjawab segala tanya yang tak kuharap terjawab. rasa mu sedikitbanyak memiliki kesamaan denganku, sama2 dalam diam, memilih berdiam diri dalam kediamannya. hanya saja kau lebih mahir, sedangkan aku memilih nyaman dalam zona amatir.

- bahagia? kupikir begitu, mengingat rasa kita sudah samasama berirama, terlepas dari tujuanku yang enggan menjalin hubungan (entah apa alasannya). kukira jawab yang membuatku senang, namun haluan berubah arah. justru jenuh yang kurasa, lelah, dan memilih berpaling di kemudian hari.

prdks.
ps: hanya rasaku yang membuatku tertawan dalam usaha, bukan rasamu, apalagi ikatan aneh nan lemah namun menyakitkan. terima kasih telah sejenak menjadi muara untuk riak kecil ini. bagiku, kau sebatas cerita dalam senyapku.
Datang tanpa diduga
Kamu datang memberiku kata
Entah ini senang atau sekedar bingung
Menanyakan kabar pada hati yang juga ikut dibuat bingung
Karena aku juga tak tahu
Aku ini pelabuhan; tempatmu singgah sejenak
Atau rumah; tempatmu diam menetap
Entah perasaan ini harus dibawa kemana
Yang jelas kutitipkan pada semesta
Malam ini, di bawah kendali perahumu
Bahasa Indonesia
Vickiazaira Mar 15
Ada yang dipanggil rumah,
tapi tak pernah benar-benar menunggu.
Ada yang terlihat hangat,
tapi selalu terasa sendu.

Langkahku pernah menuju ke sana,
dengan hati yang penuh harap.
Tapi pintunya tak pernah benar-benar terbuka,
hanya sekadar celah, cukup untuk masuk, tapi tak untuk tinggal.

Aku pernah menunggu di ambangnya,
bertanya dalam diam,
menunggu kepastian yang tak pernah bernyawa.

Kini aku paham,
tak semua yang nyaman bisa menjadi pulang.
Tak semua yang dekat bisa menjadi tempat menetap.
Dan tak semua yang dicintai, bisa mencintai dengan cara yang sama.
hihi halloow! kali ini aku coba menulis lagi setelah 8 bulan lamanya✌🏻
xGalih Aug 2020
/I/
Tik, tik, tik, angka-angka berdetak di tengah malam yang riuh dalam sunyi.
Aku melukis senyum pada langit pirau yang terjebak dalam ruang-ruang gelap.
Jendela mempersilahkan gagak masuk menyampaikan rekam tawa dari orang-orang yang melukis kesedihan di birai bibir.
Seolah parade, bergembiralah seisi ruangan yang hanya ada aku saja di dalamnya.

/II/
Kota mulai curiga kepada siapa saja yang mencoba menetap.
Berlari dan tergesa adalah cara bunuh diri dalam kota yang melaju cepat dan semakin cepat.
Aku memilih menjebak diriku dalam ruang tak berpintu, yang lantainya kususun dari debur gelombang bulan purnama.
Ranjangnya mencekik kerongkonganku di pagi hari yang tak pernah tiba.

/III/
Apakah terlambat untuk menjadi diriku sendiri?
Ataukah terlalu cepat untuk menemukan diriku dalam tubuh yang nirmakna?
Jika kesunyian berbunga makna, seharusnya aku menemui makna atas diriku pada suatu pagi di ujung simpul tali.
Aku melayang, engkau menerka udara.
Aku hidup, engkau perdebatkan prosesi pemakaman dalam daftar-daftar tak kasat mata.

/IV/
Seekor nyamuk menganggu kewarasaannya dalam menghitung berapa bintang yang tak pernah melempar cahaya.
Keningnya menjelma komidi putar, menjauh, mendekat, pergi dan kembali.
Suara-suara berbaris, mempersempit lorong waktu dan jembatan kota yang mulai menua.
Telapak tangannya bergetar seiring detak jantung yang terus mempercepat kembang-kempisnya.

/V/
Senang pernah bersua, tapi aku tak ingat.
Di antara aku dan lainnya, siapa yang memperkenalkan diri di awal pertemuan?
Begitu juga esok hari, wajah siapa yang tergores dalam cermin?
Siapa yang mengucap selamat tinggal dalam jumpa yang seharusnya tak pernah menjadi sebuah perpisahan?
arby Apr 26
Tanpa alas kaki, kita merasakannya:
pasir hitam yang mendebarkan,
menggoda telapak kita seperti kenangan masa kecil,
di sore yang belum sepenuhnya reda,
pukul dua, mentari masih garang.

Aku dengan hitam yang selalu kupilih,
kau dengan merah muda yang tak pernah gagal memancarkanmu.
Percakapan kecil teranyam di antara suara ombak,
sementara anak-anak dan orang dewasa bermain
dalam pemandangan yang tak bisa kutukar dengan apa pun.

Ini bukan hyperthymesia,
tetapi setiap detailnya menetap,
hangat mentari, percikan air laut,
tawa-tawa kecil yang melayang bebas di udara.

Dalam diam aku membisikkan,
damai sekali.

Pantai ini, di ujung Poncosari,
dulu hanya milikku sendiri,
sepi yang kutemani dalam sunyi.
Kini aku di sini lagi,
tapi tidak lagi sendiri,
aku berbagi damai itu denganmu,
membiarkan kenangan tumbuh,
mengakar di pasir hitam ini,
tempat di mana dunia terasa cukup,
hanya dengan kita berdua.
Poncosari - Bantul, Indonesia.
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —