Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Pusang Tahimik Mar 2020
Kumusta mga hari sa lupa
Yaong mga anino'y hindi nakikita
Mga haring sila ang nagtatakda
Ng mga bagay dito sa lupa

Kumusta mga hari sa lupa
Yaong papel na may mukha
Mga haring dinadakila
Ng mga uhaw na dukha

Kumusta mga hari sa lupa
Na kaharian ay ang yaman sa lupa
Handang pumatay ng alila
Upang pigilin ang daigdig sa pagluha

Kumusta mga hari sa lupa
Na di kailanman kumalam ang sikmura
Na kailanma'y hindi lumuha
O nagbuhat ng kutsara

Kumusta mga hari sa lupa
Bundok ng bungo'y sumusumpa
Sumisigaw sa hinagpis na mga alila
Sa kamay ninyo mga hari sa lupa

Kumusta mga hari sa lupa
Pagbati ko sana'y makita
Nawa'y maunawaan ang Salita
Sapagkat dito tayo lahat nagmula

-JGA
Mensahe para sa mga hari sa lupa
When my mind wanders
down lanes devoid
of love
and rabid thoughts pounce
threatening
to devour my heart
I sing Your sweet,
nectarine Name
Hari
Your name is the
lifebuoy
we can cling
to
in
the
raging
whirlpool
downward
pull
of
samsara
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Ishani Sengupta Mar 2021
The all attractive mighty-
Blue-skinned idol deity,
Grasping all suffer and misery
Call himself The Hari.
Even a leaf can symbol a devotee
Being natkhatlal is what Maiyaa worry;
His existence is an endless rath,
Knowledge is what defines Jagannath.
The Lotus-Eyed he is-
Lord of Love whom we wish,
Charioteer to Arjuna
Raas and Kanhaiyya,
Together we say-
Hari! hari!
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
4:00 pagi kita bangun solat subuh, kemudian kita bersiap2 utk ke tempat kerja, sampai kantor pukul 7:00 pagi, hari masih gelap.
Mungkin kita anggap hari ini akan hujan, jadi abaikan. Masuk kantor, bekerja dan kita lihat pukul 12:00 siang, sudah waktunya makan siang, tapi keadaan masih tetap gelap.
Keluar pintu kantor, suasana masih gelap, hitam pekat seperti malam..mungkin masih bisa dianggap hari ini akan hujan lagi. Jadi abaikan saja.
Tapi kalo jam 14:00 pm pun hari masih gelap.. pertanda apa itu?..keesokkan pun sama, nonton tv semua orang kalang kabut menceritakan bahawa dunia ini sudah tidak ada lagi siangnya..dan begitu juga dengan lusa..masih tidak ada lagi matahari..
Tetapi pada hari keempat kita bangun pagi, kita dapat melihat matahari, tetapi jangan terkejut karena matahari telah terbit dari sebelah barat..
Kehebatan ahli dunia akan mengatakan itu fenomena alam, tapi sadarkah, itulah pertanda besar yang paling awal sebelum tibanya hari kiamat!!
Maka telah tertutuplah pintu taubat..
Saat itu, kita akan lihat satu fenomena luar biasa di mana golongan kaya akan keluarkan semua harta utk diinfakkan, golongan yang tidak pernah baca quran, 24 jam baca quran, golongan yang tak pernah solat jemaah akan berlari2 menunaikan solat secara berjemaah..tapi sayangnya semuanya sudah tidak berguna lagi..
Bismillahirrahmanirrahim.
entablature archetypal wrangle arguable arraign arrest ascribe arsenal article artificial artisan ascension austere askance obliquely aspire assail assault assay assert diligence obsequious assimilate stigma perspicacious astute asunder atman atrium attrition intrepid autonomous avarice avert avocation azimuth azure abbreviate aberrant abhorrent relinquish loathe abstinence abstention  abysmal accelerate accordance accoutrement accrue exasperate acquaintance baccalaureate bacillus backbite baggage ballistic baluster bandolier banister barrage barranca barrier bartizan basilica bastion batholiths bathyscaphe battalion batten battle bauble ***** beastly ******* beckon beacon bazaar bizarre Bedouin beguile behavior beleaguer belligerent belvedere berserk beseech bewilder bezant bicker bigamy bight bilk billet billiard billow biogenic biscuit bivouac blatancy blizzard bodacious boggle bollix bombardier boudoir bouquet butte boutique bower brassier mesa breach breech brochure brogue brooch broach bruise brusque buccaneer buffoon bureau buttress buxom caffeine cauldron calisthenics calligraphy callous camouflage campaign campanile cannery cannibal canny cantaloupe cantankerous cantilever capacity capillary capricious carbohydrate caricature carnivorous carouse carriage cartography casserole cassette cataclysm catastrophe cache categorical caterwaul cavalier cauliflower celerity alacrity cellophane cellulose cemetery centennial cereal cerebellum ceremonial cesarean cessation chaff challenge champagne chandelier changeable chaparral charade chargeable chassis chateau chauffer chauvinism Cheshire chiaroscuro chicanery chiffon chigger chrysanthemum cipher circuit citadel clairvoyant clastic clique coalesce coercible coincidental colloquial colossal column combustible communicable community commute complacency compulsory comradery conceit conceal concession confetti conglomerate conjugal connive connoisseur consensus constellation consummate continuity contrivance convalesce convenient convertible convolution copasetic copious corduroy coriolis cornucopia corollary corpse corpuscle correlate correspondent corridor corroborate corrosion corrugate corrupt costume counselor countenance counterfeit courageous courier courtesy covert covetous cranny crease credenza credulity crescent ******* criterion crochet crocodile croissant crotchety crucial cruel cryptic cuddle cuisine cul-de-sac culinary culpable culvert cumbrous cummerbund ******* cunning curare curiosity curtilage curtsy curvaceous custody cylindrical cymbal cynicism cyst dabble daffodil daiquiri damsel dastardly dazzle deceit debilitate debonair debris debutant decency decipher decimate deconcentrate decorum decrepit dedicate defamation defendable defensible deference deficient deficit definitive defoliate delectable deliberate delicatessen delinquent delirious demarcate dementia demolish demure denigrate dentil denunciation deplorable depreciate dereliction derisory derrick descent desirable despair desperate despicable despondent destine deterrent detonate deviance devisal devisor devour dexterous diabolicalness diagnosis dialogue diamond diaphragm diarrhea dichondra dawdle differentia difficulty diffuse dilapidate dilate dilemma diligent dilute diminutive dinghy dinosaur director  dirigible disadvantageous disastrous disperse disciplinary discomfiture discordant discotheque discreet discrete discrepancy disgust disguise dishevel dispersal dissect dissention dissertation dissident dissipate dissolve dissonant distillate distortion distraught disturbance divvy docile docket doctrinal dodder ***** eccentric linguistics domical dominate domineer dominion dossier doubloon douse drawl dreary dubious dulcet dungeon duodenum duress dwindle dynamism dynasty ebullition echinoderm eclectic ecliptic economist ecumenism edifice editor educe effervesce efficacious egalitarian elaborate elapsed eerie elegy eligible eliminate elite elixir elongate elucidate elusion eluviation emaciate embarrass embassy embellish embezzle embroidery embryo emissary emollient emphatic enchilada encore encumbrance endeavor endogenous endure engender ensemble enthusiast entourage entrepreneur epaulet epitome erratic erroneous escapade esophagus espionage esplanade etcetera ethereal etiquette eucalyptus eulogy exaggerate exacerbate excellency exhilarate expectant exquisite facetious Fahrenheit fallacy fanion fealty feisty frisky felicitous fenestration ferocious fertile fervent fickle fictitious fiery finesse finial fjord flaccid fledge flippant flirtatious flivver fluctuate follicle forbearance forbiddance forehand forebode forceps forfeit
forgo forlorn formidable foundry foyer fracas fraught frivolous frolic frontier funnel copious furrow fuselage fusillade futile forgone frivolity frolic galaxy galleon galoot galore galoshes gambit gangrene ganglion gargantuan gargoyle gardenia garret garrote gasolier gatling gawky gazebo gazelle gazette geezer geisha gendarme generosity genre genteel gentry genuine geodesic geranium gesticulate ghastly giggle ****** gimmick giraffe gizzard glacier glamour glimmer glimpse glisten glottis gluteus gluttony glyph gnarly gnaw goddess godling gorgeous gorilla gory gossamer gourd gouts gracious gradient granary grandeur granulation grapple gratify gratuitous gregarious grenade committee grievance griffin gristle grotesque gristly grotto grouch groupie grisly grovel grudge gruel gruesome gubernatorial guerrilla guffaw guidable guidon guile guillotine gullet gymnasium gyrate habitable hacienda haggard halibut halitosis hallelujah hallow halyard hammock harangue harass harried hasp hatred haughty hearth hedonism hegira heinous hegemony hemisphere hemophilia hemorrhage herbivorous hereditary heresy heritage heroine hesitate hibiscus hidden hideous hieroglyphic highfalutin high-rise hilarity hippopotamus hoarse holler holocaust holster homicidal horror hosiery hurricane hydrant hydraulic hydronic hyena hygiene hyphen hypnotize hypochondria hypocrisy hypocrite hypotenuse hysteria idiocy igloo ignoramus ignore illicit illiterate illustrate imbecile immaculate immaterial immature immersible immigrant immune impasse impeccable impedance impenetrable impervious imperfect implement implicate implicit important impressible innately inert impression impugn inadequate inanimate inauspicious incandescent incantation incarcerate incentive incinerator inclusion incoercible incompressible incontrovertible controversy indefatigable inconvertible inconvincible incorruptible indices indictment indigent indigestion digestible indignant indiscretion indiscreet indisiplined indiscernible inducible inebriate ineffable inefficacy ineludible inexorable inexpiable inextricable infallible infatuation inferior inflammatory inflexible infuriate inimitable iniquitous infuse infusion ingenuity ingratiate inimical innards innocence innovate innumerable inoculation insatiable insectivorous insincerity insinuation inspection inspirator instability installation insurance insufferable insufficiency insurrection insupportable integrity intellect intelligence intemperance intension interaction interception intercession interdiction interface interference interpolate interrogate interrupt intersperse intervene interstice intractable intergalactic intransigent intravenous intrepid intricate intrigue introductory introject intrude inundate invective invariable invertebrate investigate intuitive invertible investiture inveterate inviable invidious inviolate invigorate invincible invoke invocation invalidate involute invulnerable impregnable ionosphere ipso-facto irascible iridescent eradicable irrational irredeemable irrefragable irrefutable irregular anomalous irrelevant irreproachable irrepressible irresistible irrevocable irreverent irresponsible irritative irrigate irritability isolable isosceles isostasy  issuance isthmus italicize iterative itinerary interjection ******* jackhammer jackknife jackpot jackrabbit jaguar jai alai jalopy jalousie jamboree Japanese jacquerie Jacobin jargonize jaunt javelin jealous jehoshaphat jeopardy jocular jouncy journal jubilant jubilee judgment judicature judicious juggernaut jugular juke julep juncture junta jurisprudence juvenilia juxtaposition kahuna kalpa kamikaze kerf kangaroo karat ken katzenjammer katydid kempt kerosene kewpie khaki kibitz kibosh kilter kimono kinesiology kleptomaniac knell knowledge knuckle kook kowtow kulak kyrie labyrinth laccolith laceration lackadaisical laconic lacunar lacquer lagging laissez-faire lamprey languish lanyard lapidary laputan larceny lariat laryngeal larynx lascivious latent latter lattice latrine launderette lavatory laxity lechery legacy bequeath legend leister lei leisure lemming leniency lentic leopard lethal lethargy lettuce leviathan levitate lexical liable levity liaison libation liberate licentious lieutenant ligament lilac limnetic limousine limpid lineage lynchpin lineolate lingerie lingual liniment linoleum liquefy litany literacy lithesome littoral lizard loath local loiter longevous loquacity lottery louver lucidity lucrative ludicrous luminary lummox lurid luscious lyricism machinator machinelike machismo macrocosm besmirched machiavellian mackerel mademoiselle maelstrom maggoty magisterial magnanimous magnifico maintenance malaprop malarkey malediction malamute malicious malign malinger malleable mandarin maneuver mange maniacal mannequin manure manzanita maquette maraca maraschino marauder marbleize marbly marionette marmalade marquee marquetry marrow marshal marshmallow martyr mascara masochism massacre matriarchy maudlin mausoleum maxillary mayonnaise meager meandrous medial medieval megalith mediocre Mediterranean megalomania melancholy melee membrane memorabilia menagerie mercenary mendacity meritorious mesmeric mesquite metallurgy metaphor meticulous metronome metropolitan mezzanine micrometer midriff mien demeanor millennium minarets minion minuscule minutia misanthropic miscellaneous mistletoe moccasin modus operandi monaural mongrel monotony morgue morose morsel moribund mortgage mosaic mosque mosquito motley mottle mucous membrane mucus mullion multifarious munificent museum musketeer mutable mustache mutineer myopic myrmidon mystique naïve narcissism narcosis narrate nausea navigable Neanderthal necklace needle nefarious negligible nemesis neophyte nertsy  nerve-racking nestle nether newfangled nocturnal nonchalant non sequitur normative Norwegian nostalgic nuisance nullify obedient obeisance obelisk obese objectify oblate oblique obliterate oblivious obsess obsolete obsolescence obstacle obstinate occupy occurrence ocelot odious oedipal officiate ogle ogre oligarchy omelet omnificent omniscient ontological argument oodles oomph opaque operable operative opossum optimal orangutan orchard orchestra ordinance oregano orgiastic oriel oriole ornery orphan osculate ostensive ostrich osteology oust overwhelm overwrought oyster pachyderm pacific pageant painstaking palate palaver libel palette pallet palomino pamphleteer panorama pantheism parapet paradigm papier-mâché paraffin paralyze parishioner parliament parody parquetry parsimonious pasteurize pathogenic payola ******* pediment pendant pendentives penicillin pennant pentathlon perception percussion perennial parameter perimeter peripheral peristalsis permissible pernicious perron perseverance persistent persona persnickety personnel persuasion petite pertinacious pessimistic pestilent pestle petticoat petulant phallus phantasmagoria pharaoh pharmaceutical peasant philander phenomenal philosopher phlegm phoenix phooey phosphoresce physique picayune picturesque piety pilfer finagle pilaster pillage pineapple pinnacle piquant pique piteous pitiful pittance pizzazz placate placenta plagiarism plaintiff plateau platypus plausible plinth plunderous pluvial poinsettia pollutant polygamy pommel ponderous portico portiere portentous prairie precipitous predecessor predicate predilection preeminent preempt preferential premier preparation preposition prerogative presumption pretentious preternatural privilege proclivity prodigious proffer progenitor progeny promissory promontory propellant propensity propound proselyte prospectus protégé protocol protuberant pseudonym  ptomaine pulchritudinous pursuant pygmy pylon python qualm quarrel quarry quash queer quell querulous quibble quitter quixotic rabbet rabbit rabbi radiant rambunctious rancor rankle raspberry rethink rebellion recant recital reconcile redundant referral reglet relevant reluctant remiss reminiscent remnant rendezvous renegade repartee reprieve repertoire repetitious reprehensive reprisal repugnant rescind reservoir resistant resurgence resurrect revelry reverie retaliate reticent retrieve retrograde reveille reverberation reversible reversion rhapsody rhetoric rheumatism rhinoceros rhinoceri rhubarb ribaldry ricochet riddance rigmarole risqué rive rollick Romanesque Rosicrucian rotisserie rotunda rogue roulette rubato ruminate rusticate sabotage sabbat saboteur sacrilege sadomasochist salacious salmon salutatory samurai sapphire sarcasm sarcophagus sardonic sarsaparilla sassafras sassy satiate satirical saturate saunter savoir-faire savvy scabbard scaffold scalawag scarcity scathe scenario scenic schism sciatic nerve ******* scintillate scissor scourge scrawny scrimmage scribble scruffy scrounge scrumptious scrunch scrupulous scrutiny scurry scythe sedition seethe seismic self-applause seltzer semiporcelain seniority sensible sensual separate sepulcher sequel sequin sequoia serape serenade sheaves serendipity  servant settee shabby shackle shanghai shanty shellac shenanigan Sherlock shirk shish kebob shoulder shrapnel shriek shrubbery shtick shush shyster Siamese sibyl significant simile simplicity simultaneous sinewy siphon skeptic skiff skillet skirmish skullduggery slaughter ****** sleeve sleuth slither slough sluice smart aleck  smidgen  smithereens  smolder  smorgasbord snazzy sneer snide snivel snorkel sobriety socioeconomic sojourn solder soldier solemn solicit soluble solvent sombrero somersault soothe soprano sophisticate sophomore sortie soufflé sousaphone ***** spiel souvenir sovereign spaghetti spandrel sparrow spatter sphinx spatula species specific spectacle spectral spelt sphincter spinach spinneret spiritual splatter splitting splurge spry  splutter sporadic sprawl sprinkler spree sprightly squawk spurious sputter  squabble squalor squander squeak squeal squeamish squeeze squiggle squinch squirrel stable squoosh stabilizer stagnant stagnate stalactite stalagmite stammer stampede stationary stationery statue statuesque statute staunch stealthy stein stellar stench stencil stoic steppe sterile stickler stifle stimulant stingy stirrup stolid strafe straggle strangulate stratagem strategy strenuous stretch strident stringent strudel streusel strychnine studious stultify stupe stupefy stupendous special stylus stymie styptic sublimate subliminal submergible substitute submersible subpoena subsequent subsidiary substantiate suburb subversion success succession succinct succor succulent succumb sufferance suffocate suggest suicidal sully sultry sumptuous sundae sundry superfluous superior supersede superstitious surreal supplicate surrender surrogate survey surveillance suspension suspicion sustenance swarthy ******* swath swear sweaty swelter swerve swindle swivel swizzle sycamore syllable symphony symposium symptom syndicate syndrome synonym synonymous synopsis synthetic syphilis syringe syrup suffrage tableau tabloid tacit tambourine tandem tangible tarantula tarot taunt technique telekinesis temperamental temperance thence temporal temporary tenuous tequila terrace terrain terrific terrify tetanus tether thatch thistle thither through though throat throttle thwack thwart ticklish tiffany timbre tirade titillate toboggan tolerant tongue top-notch topography  tortoise trauma tortuous torturous tourist tracery tournament tourniquet trachea traffic tragedy tragic traipse traitor tranquility transcend travesty transcribe treachery treatise trellis trepidation trestle trinket triplicate triumphant trivial troglodyte troubadour  trousers truncate tumultuous tundra turbid turpitude turquoise tutelage twixt twiddle twitter tycoon tyke typhoon tyrannical tyrannize tyranny umbrella unfulfilled unanimous usury undulate unequivocally unguent urethra unprecedented unscrupulous untenable unwieldy utterance vaccinate vagary valance valiant vandal variety vehement veldt veneer vendetta venetian vengeance vernacular versatile version vertebra vicinity victual vigilante villain vincible vinyl violate vitality vivacious volition voluminous voluptuous ****** vulnerable wahine waiver wallaby warble warrant wayfarer weasel wheedle wheezy weird whilst whistle whither whittle whoopee whoopla wistful whither wizen wont worse worst xanadu yowl yucca zephyr zeppelin zucchini extraversion embezzlement euthanasia extortion obscure carousing marauder aptitude ribaldry rigmarole chicanery shenanigans capers antics escapade crafty cunning cleaver connive furtive sneaky stealthy plunderous pillaging usurper pilferous wheedling finagler longevous loquacity derisory deplorable critical decimations tithe cynic frivolity frolic derriere easel emasculate emaciate linguistic depravity berate scold scorn scoff rail rebukeness  brawl vapid hamster spleen sequiter sequacious sequesterous flatulence impressible herbaceous impropriety veneration ignoble fatuous phatic journey acrid pungent fetid fiendness gamut ire irascible graffiti irk tedium diminutive minutia iota iterative reiteration self inductive interpolations objectified interstitial extrapolation trepidation tumultuous tortuous adjunct turpitude salient viable seethe conflagration lexical etymology idolatrous affectionate ****** caress craw swell surge flow flux amorous enamor endear ardent ardor cajole piquant poignant prescient puissant presage apex crux citadel pinnacle vertex vortex matrix ****** peak languishing lurid larcenous licentious lascivious squanderous squaloring wallow in the furrow confluence wretched infelicitous trajectory sordid warp strong raw war resume quirkness ***** tinker **** fink stink ******* eccentric pinky suit idiomatic cognate somatalogy virtuoso concurrent intemperance obsessive habitual addicts psychosomatic pathological psychopaths diabolically maniacal dementia panoramic tableau tediously meticulous laboriously beleaguering excruciating exacerbation autonomous avarice oscillating ostracism adrenergic analeptic adumbrate obdurate aberrance genocidal xenophobic prospectus personification of sartorial perfection visage picturesque vision of spectral grace picture of positive prosthesis protractive analysis cyborg ebullition ne plus ultra monad cybernetics prognosis prognostication clambering clamorous clangor hectic mayhem pulverize annihilate pompous bombastic query squash squawk squish squirm sprocket squeal squelch staunch statuesque steadfast steep stench stint strategic logistical tactician stratum stolid stoic stodgy viscid tumult stray streaky stretch strenuous striated strident stringent strive structural strut subjugate subjective substratum substantiate subterfuge subvert sultry sulk sundry superlative superfluous superficial syllogism soliloquy superovulation superfluity superfetation superfecundation suspicion swig superstratum sycophant ingratiating surrogate suspension swindle swallow swanky swath swill sympathetic symbolic synapse synchronous syncopate synoptic synectics syndrome synonym syntax systematic larceny lecher oligarchy ribaldry rigmarole intoxicate tangential tectonics tantamount telepathy tantalize throng tactile taint talisman talesman squabble brash torment temerarious terminus thrall torpid torpor torque tousle  traduce transform transubstantiate transpire transmute transmogrify transport trapezium traverse treason tremulous trendy trivia trifles trounce turgor truculent tuft turf turbid turgid tussle twain twang twinge twerp twit twitch tweak **** procedure vernacular posthumous spasmolytic propagate prolific proliferative profusion profundity proliferate profligate cogent fecund secund secular thick trick quick mystical silhouette sojourn excursion genre engender jaunt pilgrimage prophet trek waver wrought waxy waylay weave weary web wedge ***** wend whang whet whimsical whir whinny whereupon whish whisk whoosh whizbang whoop whorl wield wile wilco wild whence wingspread wiry wiseacre wherewithal rapacity wolf whistle wrath wraith wrack worship wrest wretch wring wriggle wry shyster shylock phone roan tone zone bone hone loan drone known own moan cone done groan koan gnome dream gleam cream seam beam          team serene ravine green gene careen tellurian terrene quaff query quiescent radishes reciprocate raunchy raspy rascal rampant rampage ravage ****** ravish rebuke rebuff rend reave recourse reconnaissance reconnoiter rectify recompense rectitude reconcile regime reintegrate relegate rejuvenate remission remonstrance reparation replication reprieve reprisal nocturnal emission repose remunerate resonant retort revelation revision grandiloquence cleft fissure crevasse rift rill robust rouge niche
crack tromp stomp chasm crevice trudge rostrum rout roust row ruckus sagacious salacious sapient satiric sarcastic sartorial sartorius scalawag screed scrutable contemptible scurvy scuttlebutt seditious seduction sect segregant sequacious psychic reverie subterfuge serenade sequiter serendipity shuck shylock sibilant shush signet simulation siren skeptic sleek slick slinky snare ****** sneeze sneer snide smug intrados loquacity spandrel iambic sonorous spatial spatiotemporal telemetry spectral spry spectrum speculate solicitor sprout spoof specular splendiferous sporadic spurt binge spree ***** squalid forte fortitude Gumby emit war  time raw umbrage ultraism ultimatum unary unbridled uncanny unanimous ambiguous biased unabated uncharted articulate deviating undertow congenial feint feign unity predicate unprecedented paradigm unscrupulous brash dire unfathomable unlimited urchin usurp utmost utilize fluctuate vague vacuous vanity vanquish vantage veer vast advent veracity verbatim vertex vortex vertigo vestige vex vigor vitalize virile vicissitude viscous visceral virtuous virulence vital virago vivacious vivid livid splurgeness stag vituperatively vociferous volition void voracity waft vulturine wacky waifs wainscot waive wallah itinerant wand wane lavish wanton wonderlust warrantee warn warp warlock warren wastrel wastage warranty dicker insidiously sinister flagrant verity maniac pack mendacity abscissa ordinate yacht yearn yaw yare yen yelp yin yonder yoni yore yours yolk zany zest zeal  zenith zingy zooid treatise hyperbolic lingam blasphemous farcical fugueness and estranged ensemble orchestration rendition various assorted forms of related stranger weirdness traveling down this obtusely overt contusion in my vehicular contrivance convection convolution abalone absolute acceptance accurately acquiesce acquire actually adamant additional adequately adherence affiliation affinity against aggressive allegiance although allusions amendable analogous analysis anchor ancient animation annihilation appeared approach appropriately archaic assembler assimilation assuage attain attempts attendant attribute audience aura auspicious authoritarian authoritative barbeque before belligerent binary blazing Buddha bulwark carousel ceaselessly ceremony chaos character charisma Christmas chronological cite classification classify clutter cocoon cognation cognizant comment communal complete conceive conceptual conclusion conducive conquered consciousness constituent construction continuum contrarily convenient corporeal collage creates credibility crystalline culture curious curriculum decadent decide deferred deified deity deliberately delineate deluded delusion demagoguery democratically descriptions desire destroy destructively develop dialectic dictates difficult diffuse disappeared ecstasy ecstatic efficiency elaborate elliptical empathy endeavor engaging equipment escape especially essence eventually evolutionally excellence excitement expectorant expedience experience extraneous extremity façade facet fashions fever flatten forgotten frailty framework gapping glimpse grandiose graphically groan growing hedonistically hierarchy hobby holocaust homogenous hovering ideology imagination immaturity immediate imperative impertinence important inadvertency inapplicable indispensable individually infancy initiate innate interpreters intervene intricacy intrinsic irrelevance jagged kaleidoscope lit literally lose ludicrous macabre minstrel meld mischievous model monstrous mores myriad mystic necessity negativity Newtonian normalcy nuance nullify obnoxious obscure obvious occasional officiate ominous omnipotent oppose optimizes oscillating ostracism paradoxically partially participants pebbles perceive pervasive phenomena portrayal posses preceding pretty prevalent pregnant primitive prism processional progress prominent proprietor psychic psychological purpose pyramid quandary rational receptacle recumbent redemption refused reiterate relatively relativity relevant reminiscent renaissance revere schemes schizophrenia separately sequence serious severe socially spontaneous stalwart stimulus stomach struggle stunned succession superimpose supplement suppose surround swimming switch symmetry sync taubla tapestry tenacious tendency tyrant terrestrial torrential totally tomorrow transient turbulence tyrannical ulterior ultimate universally unwarranted vicious weather yankee whether soliloquy amenity ambivalence ameliorate aggrandize aghast agrapha barnacle gerrymander jasper jasmine obfuscate obdurate castigate metaphysique cyborg appliance intrepid intrigue mystique impetus volition gumption motivation inspiration metaphor parable leprechaun leniency secund hefty endogenous exogenous lozenge irrefragable recalcitrance fecund jaded seal ordinand obdurate aberrance ignominious interface consent imbroglio embroilment lethargy impressionism agitator treacherous lurid allure obstreperously abstruse subconscious squanderous squalid anomalous punitive incendiary infrangible extemporaneous incognito (succubus , incubus) incongruous incredulous indemnify indigenous infernal infidel iniquitous secular funky spunky Rosicrucian epicurean phlegm levity levee lubricious loath loathe frigid **** ******* lick fenestration dire ****** brash crass rash aggrandize tactile acuity bridge rude crude bandy randy monad positive indenture obnoxious obtrusive obtusely overt indemnities annuities cavalier dawdling gallivant bought naught fought caught ought dribble rip zip gig blond entropy catalyst cohort cavort chronological sublime purvey pander meandrous extravagant exorbitance ***** vicarious endear eccentric cognate frolic frivolity fawn agnate aggregate junction function conjunction conjecture conjugation adjunct contiguous constituency cohesive coercion covert maestro maitre d mastoid newel minx murk monad muss muggy mull mirador bartizan musky meager demonstrative anarchy iconoclasm misnomer mimicry minaret mimetic monocracy pungent mordant mnemonics mangle maim mutilate mesomerism morpheme nepotism nurture vexation anxiety vindictiveness vendetta moot void null meringue laconic obliterate papaya proboscis podiatry polemist porcupine palindrome pandemonium presumptive procureness ploy **** paltry pander paphian pummel puny presage felicity parley parturient potpourri partisan peccavi verity goad penumbral platitude platonic proxy photic pharos perdurable preemptory posh perfunctory perilymph phoneme phenetic phantom permeate proximity phantasm phalanstry delusory apparition pietism oviparous expiate vindicate extricate  exonerate absolve posthumous prehensile prerogative presumptive prestissimo preterite retroactive primacy prevaricate equivocate primordium primeval puissance  pristine prescience prompt prodigious protagonist prurient pyre lurid pshaw guffaw purlin purloin quirk pith quark ***** tip put temerarious userp asymptote pirate tiny hat  thief tine slow slide slim hide me effigy infinitesimal slink slick paw
flaw craw claw heuristic swum cuckold climb locuna live **** sly **** sequacious expeditious sequesterous glove glaive glade
don’t dale  otter glue equestrian gog rift cog gone lean had good gold ride ode *** house pine low law earth *** guilty slime negligent torrentially torrid tortuously tempestuous einzeln function truckness presumptive procureness ploy **** off the line cyborg cylon live antonym exogamous dimorphism pry rap gape homogeny gap dudely cruel incredulity ergo apropos ipso-facto pith tip push where keeky geek peek peep glib jive gawk talk dudely cruel off the line but off it !  pit ego colossal incredible fantastic great outrageous amazing fabulous terrific stupendous splendiferous glorious God grandiose orgiastic magnificent ne plus ultra astounding astonishing bodacious marvelous exuberantly ecstatic subliminal nostalgic allusions subordinate ancillary conjectures similar analogous configurations exotically ****** quixotic render proof orchestration rendition unicorn railway mainsail ebullition monad girdle thigh spasmolytic heuristic sartorious sartorial discrepancy amendment rip reave rive tear rend esoteric erudite beleaguer hype synch torque your ringer occipital sync ubiquitous eucharistic oblation obeisance oblate obelisk ubiquitous edifice ******* efficacious salacious lubricious sagacious expeditious grief  orgiastic paroxysmal orthogenesis overture repertoire quagmire quandary poshly plush lushly lustful longevous loquacity hunky-dory harbinger guzzle gyro gyre exult heuristic awkward humph haberdashery hauberk huarache bourgeoisie dichotomy greave zealot goatee cavalier humerus gumption hors d’oeuvres coalescent hysterically delirious coercion nullify correspondence corral coral architrave archaeology ardent ardor arduous awry askew asinine altruistic allure allude alluvium aloof egress effulgence ephemeral apathetic anxiety antonym existential exigency exodus expiate esoteric exacerbate evoke exact exult excerpt exorbitance cajole argent apriori arbitrate appliqué aqueduct presumptuous prestige precocious precursor preempt predilection premises premonition preoccupy preponderance prescient pretentious perineum peristyle perpetuity pervade pertinent portent elicit pursuance putrid quasi queasy quaver quarrel rampart ransack voracious rapport ratchet raucous ravenous reciprocal rectitude emanate imminent perdition erudite erogenous scarp lambent reticent vehement auspicious austere consternation construe contingent convection convolution convenient cocoon coerce collaboration collude vacuum vacillate vestibule vicarious recalcitrant repudiate resend resilient resonance purvey wreak writhe wreath fortuitous fulminate fuscous cudgel futurity gable gallivant gallant embellish gauntlet scavenge scandalous scarify scatter schlieren scholarly scoundrel scowl unmelodious scramble scrabble scraggly craggy cephalic fallacious fallible absurd cutaneous synthesis commission extreme  conscientious adherent proponent subtlety diligent receive interesting abhorred exorbitant arrangement intelligence surprisingly important encompass contributes asymmetrical excellent elliptical collaboration straddled collapsible spanned feasible oriented pervasive artistry instructor precursor innovate adrenergic adumbrate queasy acclimatize accommodate acceptive accordant accrue accusation acrimony actuarial acuity adduce adjective adjunct admonish adroit aerobic aesthetic prosaic affiliate affluence aggravate aggregate agnate agonize airy albeit alchemy allege allegiance allegorical alleviate allocution ambience ambivalence amenity amenable anaclitic analgesia anacrusis analeptic anathema subordinate ancillary anecdotist animism animosity annulet announce anomaly anonymity antagonize antecedent subsequent antefix antenna anterior pathos antipathy antithesis aperture appall adorn pertain appreciate aquifer arbiter arbitrage arboreal frantic pedantic febrile fanatic quixotic hegira to xanadu frenetic zealot zeal eucharistic oblation occipital ubiquitous omnipresence opulent effluent affluence larcenous overture orgiastic paroxysmal ornithology orthogenisis gleam sheen English bird treacherous lecherous asinine dumb foolish stupid inane ignoramus absurd idiotically imbecilic silly unintelligent dense dingy crazy insane quasi slow epos epitomize epochal era gemma schema lemma jargon idiom colloquialism vernaculars peer quay pier pair appearance insipid vapid insidiously insolent pompously bombastic blatant flagrant chaparral epopee pseudopodia actuator militantly mercenary covert adumbrate intimate obfuscate abet abeyance proxy fugue edict advocate détente anticipate angary amentia terse inabsentia expurgation imputation impugn exculpate eugenic euphenics incumbent incipient accidence acoustics acquittance amore malign asperse amok amuck allegorist pervert aspect aorist wrist expiate asylum epigynous anovulant antenatal antidote antiquity antitrust antithetical argufy apartheid apocalyptic apologist apothecary apomixis appreciate aposteriori apostrophe protractive analysis parabola avidity liberty concise tine albeit life still arrogance coherent abandon abate abash abase abdicate abduction abject abominable abominate abomination abound abrogation absolution absorption accentual accession accede accessible accommodate accomplice accomplish accrual accursed acerbity acrimony accredit accustomed actuality actuate addle adamant adjutant adventive adultery adulterate adventure adversity advertent adulteration venturesome advocacy eyrie aerie aerial affix affront aggressive agile acuity tactile nimble agnostic agog agonist aghast avid avarice agrarian curtilage Arian airhead peterbrain alacrity alchemize alibi allegation allegory gorge ally allocate aloof altercation ambition amatory prelude amaze amateur  ambidextrous ambient amble amiable amicable amorist amulet analeptic analgesia analytics anathema android amalgamated anemometry animism annals chronicles annex annul annoy anonymity antecedent arcade armature arson articulate ascension assiduity asperity asynchrony augmentation audible auger aural areola auspice austerity authenticate autonomic astronomical enumeration auxiliary avenge avert economist autonomist autonomy aviatrix axiom avow avouch bifurcate bigamy bend bind bent bisexual berate bereft hype due behave behaviorism ******* behest bereave beholden biologism bureaucratize circumvent conscribe bacchae backslide backswept badland baddy bagnio baize balky ball hawk balmy bambino bamboozle banal bandwagon baneful banishment bankruptcy banter bandy barbarism barbarous barratry base pay bang bash bastardy bawdry lewd obscene ***** bawl beamish beatitude ****** beat beautiful bedlam beggary begrudge befuddle perplex behalf beleaguer beneficiary benevolence benighted bequeath bequest berth betroth bevy birth bitchery bivouac blabber blandish coax blah blither blare blazon bleak blear blighter bliss bloomy blot blunder blotch blooper bludgeon gag blurt blush bluster bonkers bosh boulevard bout brat browse brunt brute buck passer buffet bungle bungalow bunk bunt buoyancy burglarize burnish burp belch burlesque bureaucratize sorrowful lamentation baleful caterwaul
true clench closet queen constitution provocative soap menagerie melee cirrus camorra caboodle cabotage cabriole cacophony
cadge cahoots cagey cairn calamitous calculate calibrate  caliginous caliper calyx callet cameo campestral canard candid candidacy candelabra candor canker can’t canter canteen canoe capitation captivate capture carapace caribous carnal carnival carny cartomancy casque castellated caste castle catacomb catatonic phonics caustic cavernous celibate censor centric centrifugal centripetal certify cervixes cestus chalet chalice chameleon changling chaperone charlatan chary chaste chastise chastity cheeky cherish chesty chide ***** chintzy chivalrous chinch chomp choose chortle chromatic chronic intrinsic chroma chump chutzpa chute cinch conciliatory ciliary ciliate citadel citation civility clank clammy clang clairaudience taciturn reticent classify inveterate claudication cloven cleft cliché click clinch clement clip clique ******* cloak & dagger clobber clog clone clonk cloth clothe clothier cloture redolent clout cluck clump clumsy clunk coadunate coalition coadjutor coaster brake coax cochlea chronology inundate **** coexist anachronism coercive coitus coincide collinear collateral collegiate collision collusion coma combinatorics comfy  commandeer  commensurate comensal commend commerce commence commodious commotion compatible compensatory competitive compile complexional complicity comply connotation compost composure compunction compulsory concatenate concoct catenary concubinage condolence condemn condescending conducive cavalcade confidant confession confirmatory confiscate conformity confrontation congruence congeal congenial conjure connection connivance connote conquest conscript consequence conservatism consistent console consolidate consort conspire contagium contention continuity controvert conveyor copulative cordial cordon cornucopia coup couth coy crag cranky craven cringe crud culminate cumulate cursive credulity credulous infidel gullible diatonic perturbed derogate edict delict rage tirade irate vehemence denouement denounce tire dervish dictatorial diction proof desolate deontology Kant indenture defray detinue douceur amuse disseminate eustachian daft dainty damnify dapper dastardly dauntless daymare dead heat dead horse debauch debacle decadent debauchee decamp declamatory declension decorticate deductive default defeasance defenestration defunct defrock deformacy degeneracy deft deforce hipster mesmeric deification deist deleterious delimit deltoid delve deluge delusion delirious demimonde demesne demiurge demoniac demonetize demonstrable denizen denegation denigration demur demure despot desperation destine despise detect determinative determinism detersive deterrent detest determinacy detectaphone devout devoid detract desultory detrimental detour deviate deviant devastate devotion devious devisee devolution devolve developer dialectic dharma diagnosis prognosis matriculate diacritical differentia diffraction digenesis dignitize dignitary dilly diligence ***** dilemma dilapidate diminution **** ding diphtheria diphthong dent dirge dirk disaffirm discontinuity disclaim discern discord disconsolate discourteous discredit discontinuance discretion discriminate distain disenfranchise disenchant disencumber disenthrall disembody disgorge disgrace dishonest disguise disengage disinfestant disjunct disillusion disinfectant dislodge dismal disloyal disoblige disobey disparity disparage dismantle dismay dispatch dispel dispersive disproof dispute disrupt dissertation disrepair dissipate distillate distort distract ditto ditty diverge divaricate divert divest divulge dominion doohickey dormer doss dowdy doughty dowry drastic douse drat dray dread drawl dreary drippy drifty drivel droll drown drowsy drudge plan dubious dude dudgeon dulcify duct ductile drakeness ducky duel dull dusky tawny dynamic dwelling dwindle derisive bombastic primordial integumence parenthetically pragmatically prosaically practically protractively portion premise portent pervasive perpitude phenomena hierarchy predicate metaphysique endoskeleton ectomorphic dour droll dismal dank dreary bleak stark Electra complex lore epigone epigraph epsilon epistaxis epilation earnest earthshaker earthward earwitness eclectic ebonize electroacoustics ciphony ebullience eccentricity echelon echoic eddy edgy edify edit educe edition eerie edacious effectuate effeminate effete efficient efflux effrontery effluent effusion ego defense eidetic ejecta elaborate elapse electioneer curtail elocution elucidate elegant eloquence Elysium emancipation manumission detinue osteopathy elucubrate emasculate emaciate embark embargo emanate emblazon emote embellish elusive enhance embracive embouchure emergent emendator embryology emit emissary emitine jacquerie empathy empennage emphasis emphatic emigrant empirical emulate emunctory encephalic enclitic yuck junk funky junkies enchant enchain enclosure encroach encrustation encumber endergonic endorse endowment enduro enfetter enforce energetic enemy enema enervate engender engage propensity preternatural proclivity prestidigitation gesticulation equilibrate equilibrium equilibrist preterite rendition retroactive engross engulf enhance enjoin enlightenment enlist impressed enormous ennoble enrich  ensheathe enshroud ensnare ensnarl entanglement enthrall enthusiasm entice entity enthuse entrap entreat entrance enunciate envoy envy envisage epigynous epigraphy cipher epilogue episodic epitaph epistolary epithet equate equestrian equity equivocal equivocate eradicate erosion eroticism errancy erratic erroneous ersatz erumpent erudition erythron epistemology espalier essentialism progressivism esprit espy estimator estrus estuary etcetera ethnic ethos ethic eternal ethereal eugenic euphenics eustachian tube salpinx euthenics euthanasia evacuate evaluate evasive eventuate evaporate evict evident evil evert evolve exact exaction exult exaggerate exasperate excel excerpt exception exclaim exclude exculpate excursion excuse execration execution exempt exhume exile exhaustive exhibitionism exhilarate exegesis exert exonerate expense expletive explicit exploitation exponent export exposition exserted exposure expound expurgate ubiquitous extemporize extenuate exterminate extensive externalize extinct extort extradition extrasensory extraordinary extol extract exuberate extrude foible fasciculation twitch flinch fenestra Fabian falchion falangist Phillip felly ferro falsie **** fess fink out festinate ***** bustle fourragrere fimbria feduciary fabricant fable fabulist façade facile facilitate facsimile facture faena fain fairing fallopian fallow fascinator fash fatalism fastidious fastuous fatidic fatigue Faustian fatuity faux pas feasible faze ******* facilitate feline feeler ferocity fertile fervid fervor fetor fetus fetology fetish feverish fester fetation fetch fiat fief fiasco feticide obnoxious fiacre figment fickle fictitious fiddling fidelity fidgety fierce fiesta  filch filly filthy finale finesse fingertip finicky fang finite firmament flabbergast fixation flak flashy flagitious ******
flashpoint paroxysmal retrograde flaunt flasher flask flat flap flaw fledge flee fleece fleet fleshy flighty flick flexible flimsy  
flimflam fling flinty florid flora ****** flourish flotsam  flub fluke flurry flush focalize foist footing foray forfeiture forgery foreign
forensic formalize format formica formulate fornication forsooth forswear perjurious fortify forte fortissimo fortuity forum abjure
abnegation fossil fosterling four flush frame up freaky frazzle frenulum fret frigidity frigate frill fringe fritter frontal fructify fruition frump frugal fuel fulcrum fulgurous fulham sable furor furring brazen furtive fustigate future perfect fuchsia find roan gauntlet gamut gatecrasher havoc glass jaw glare glass eye gabber gadzooks gaff gaga gage gaggle gag rule gainful gainsay gait gala gale gall gallery gallivant gallop galvanic gambrel roof gander gammon garb garish garble garnishment garrulous garter gasp **** gaudy gauge gaunt gavel gear fad gee haw gemma gender genealogist geotropism germinate gestation ghost writer ghoul gig gigantic gill gimmick gimp girlish gist gizzard glaive glamorize glance glaze glean glint glitch gloat globe gloomy glitter glom glob glop glorify gloss glower glutton glum slum glue hue gluteal gnash aphorism adage gnosticism gnome goggle gnomic gold digger psychic golem gore gorge gown gossipy gouge grasp greedy frigid gremlin greave grieve grin grime grim grind gripe ***** groom gross grit groin grove grout growl grumpy grunt guck gruntle guide guile guild guilty guise gull gulch gully gunk gushy gust gussy up gulp gusset gush gustatory gung ** gusto gutsy gyne gyre gynecocracy gyve guy  aceimnorsuvwx  bdfhklt  fgjpqyz atheist goblin Godiva grog hang up disinter gamet zygote hunks hunkers haunches black white life death lithe heart rending miserly greedy stingy frugal habitation propinquity habituate hackamore hagride hairbreadth halftrack hallucinosis hamstring handicapper handless hangin hand woven hanker hanky panky haphazardry hari kiri **** harangue harass harbinger harem oviparous residual harmonic harpy harsh hast hassle haggle hasty pudding haugh haunt haversack haversian canal hawk hazard heady heal headway heap hearing hearty heave heathen heavenly heavy duty heft heir heinous heifer heist helix enliven glue hellion helm hemlock hence heredity primitive anachronistic hangover heretical heritage hermit recluse heresy primordial integumence skull hernia hue hex heuristic hirsute hireling ally hint **** hoard hoax hitch hoist hokey hoot horizon hornswoggle horologist hostile hostage housebreak huckster hovel huff humeral hurtle hustle hutz pah homage homogeny exogamy hone honesty honkies hooky hutch hypercritical hypotaxis hysterics incoercible idiosyncrasy impugn idolatry ileum imagism idempotent ides ichor icky icon ics ictus ideational identity crisis matrix idea iffy ignescent illustrious immaterialize imitation inextremis immanentism immolation mollify impeach impedance impecunious impassion immutable retrograde recumbence inabsentia impious impenitence impinge implore impotent paroxysm impressment impute impromptu impoverish improvident imprudent improvise imputation inanely inanimate inauguration incorrigible inappreciative inconsequential irreverence inconsolably disconsolate irreparably irreconcilable incorporeity ideally ideogram inferential illicit incarnate incestuous inch incident converse incipient incite incognita incommodious incompliant incommunicado indagate incursion incus incumbent indecorous indecent exposure indecipherable indefeasible indenture indictable  indicative indignant indiscrete indite indolence indubitable induce indulgent industrious ineffectual inane inert inertia infamy infanticide infest infinitesimal inflect inflict infringe encroach infrastructure inflation influential informant inimical iniquitous innumerable innuendo inquisitor injunction injudicious inkling innocuous insolent insidious insipid inept phatic volatile instigate insinuate instinct intangible interdict intentional interject intimate intimidate intricacy intrigue intrinsic intrepid introspection introvert intrusive intuitive inviolate invade inundate invalid inventive inveigh inure defeasance foist isomorphic isthmus fistula jabber jackal jackleg jag jaunt jeer jerkin jest jetty jettison jiffy jig jilt jive job jack jolt josh jostle joust jovial judicious juggernaut jugglery jumble jumpy junctural jungle junk ****** jurisdiction justice justification jute jutty juvenile delinquency juxtaposition kale kalimba kangaroo court kaput karate karst kayo keel keep kempt kept keynesianism kick in **** kindle kinetic kink kist **** kleenex kismet kirtle kith kithe kitsch klaxon knack knavery **** knout kobold koan kneed king cogent adroit lollygag lummox languorous lanyard limbus lotic loquacious lesbian lam labial lambaste lampoon landmark bilk lang syne languish languid languor larder larky larvicide larynx lascivious lateral latent recumbent lapel laud lavish layette lecher leeward leer leech legacy legate lefty lest lewd avant-garde levant avaricious liaison libido libertarian lien ligature lilt list lisp liturgy livid loiter loom loophole lubricity lubric lucent lugubrious yuck lunkhead dolt lurk luscious luster luxury lynch lysis legerity lemma lickspittle limnetic ankh maverick mare liberum marabou machete machinate machiavelianism magniloquent macroevolution macrogamete Magdalene mantis mantra maniacal manubrium mare’s nest maenad majuscule maladjustive malfeasance maleficent malefactor malevolence mash malm malocclusion manipular manifesto mastectomy maw manacle manifest Manitou mana marrow pith manumission constitution marsupial mare nostrum masseur pervade perpitude quark master plan master race mastoid glitch exiguous skimpy scanty sparse masticate matriarchy matriculate escutcheon nombril mere mathematics matrix matinee impetus maxim axiom meatus minimax mediation mediocre medley metabolic meddle ménage a trios menagerie mendacity meroblastic menial meiosis meliorate memorandum memoir memento mori menace mesne menarche menorrhagia meninx mesh mesomerism mesne lord metal methodical meticulous mettle miasma microcosm militia mingy minion koan mirage mire misnomer modality mockery ****** mongrel monstrance morbid morose mortify mortise martingale motivity musky mushy murky muse mutuality muzzle myopia mystique mesomorphic nabob nadir narcosis nark native natty navaid necking pilaster neigh neuter neutrino nexus ****** nihilism nimbus nimiety nitty gritty noisome nominalism nonconformity non sequiter nooky noose nostalgia nostrum notch notion notorious noumenon nous nuance nubile nymph nympholepsy numinous ***** obliquity oblivion ubiquity eucharistic oblation obligee oasis oath obbligato obligatory obliterate obnoxious obscene obstreperously abstruse exude obviate ochlocracy odium odalisque ominous awesome omnivorous onerous onus opprobrium opprobrious optimal opulence orifice ornate orotund ostensible osteopathy oust outlier overawe overt **** ozone procurator pagan palingenetic pallid pallor paragon pagoda palpitate pander pandemic panhandling paraphrase paternoster pathetic paunch pavilion pawky peachy peculiar pedagog pedal pedantic peart peccant peeve perception intuition peremptory perdition perdurable detinue perfective
perfidy perforce periphery perjure perk permeate permute perorate perpetual perpetrate perpetuity perplexity persecute
perspicacious perspiration pertinent perturb ******* pesky perky pester pestilence petrify petrous phalanges juggernaut              
phenomenal phylogeny phobic phony photosensitize phrenic physicality ***** physicalism pick pictorial pious piety piffle pilgrimage pinion pithy placate placid plaint planetoid plasma platitude platonic plenipotentiary plucky plunderous poach plenary plummet polemic polyphonic postulate pouch polyandry polygamy populist pounce popsicle potentate pout practicable chatter prattle precarious precedence precess precious predetermined predicament preen prelusive premonition prefix preposterous prevail prevalent presumptuous **** prim priority depravation probity prodigious profane promulgate proffered prohibitive projective promiscuity propagandize propagate prophetic prosthetic propinquity prophylaxis protocol proprietous propitious haggard proxemics prosecutor prospectus protensive proximity pummel pundit prejudice piranha punitive purgatorial purificatory putschist kitsch quag quantum jump quarrelsome quarterstaff Quetzalcoatl quickie quirt quoit rescind reverb revile mnemonics retuse rabble rachis raconteur ratification radial radix raffish raft ragamuffin railroad raiment rake ramify ramet ramus rank rancid **** rapper rapt rapture rarefy rarified rave ravel raw raze razzle-dazzle razzmatazz realm ream reap rebuttal rebuff rebuke receptaculum recital recess reconcile recondite recourse recriminate rectilinear rectify rectitude recumbent recuperate recursive redeem redolent refer reek reeve reflective reflex refraction refulgence refuge refuse relativistic reliquiae remedy remorseless remnant repertory replicate reproach reptilian repugnant repulse repulsion rescissory residue resignation resolute restitution retraction restriction restraint resuscitate reticent retentive retinue retreat retribution revel reverberation reversal revert revulsion rhapsodic rhombus rhomboid rictus ridgy rifle riff rigorous ritzy rival roan roam roar rive robust rodent rodeo roguery rollick frolic romp rote rouge rout ******* rubble rubric rumpus rumor rural ruse rustle Ruth sitzkrieg superciliary supercilious surfeit suture bravo bravado seminal vesicle sacerdotalism sacroiliac sagacious saga safari saguaro salpinx salubrious salvo salve sanction sanctify sanguine sashay satchel satiate saucy savory scads scalpel scandalize scapula **** schmaltz schlep schnook scorn scour scoff scowl scow scram scrounge screak scud **** scuz seclude ****** seer selfish seminiferous senility sedition smear sycophant sensitize sensorium sentiment sequester sequential servile sham shindig shoddy singular screech situate skedaddle skew sketchy skittish skivvies slang slight slogan slovenly slouch sneaky snub soffit solvency sophistic spangle spar spawn spew squall squamous steeple logistical tactician strategy stupor subjunctive suborn subvert the clarity of criticism can create credibility comprehension can cause conducive consciousness supremacy surly burly squirrelly schema temporize tai pan tup trochlea ulna taboo taciturn tacit tacky tact talus tamper tang tamp tangible tangential tank tankard tassel tawny ****** telepathic temerity telos tenable tenet ternary terra-cotta testy topos tiercel theocracy tempting thew tizzy trite thirl throng thundering tantrum tonic torso topsy-turvy torus tour de force touristic **** tout tragus tractive trance tranquil traject transcend trample transducer transfix transgress transition transposition transude transpire treasure treason trek trenchant tremendous tributary trigeminal  trollop triumph tropic tropism troth trough tractable tract strumpet trove trump trustless tribunal twang tweeze twinge twirl twaddle tunic typecast tyrannical tyrannosaur traction padness tyrant tympanum twist ukase ultraism ultima ratio ultrastructure uglify umbilicus umbra umbrage unabridged unconditional unambiguous unanimity uncanny unceremonious uninucleat union unique unison unity farce sham unmannered unremitting unspeakable upsurge upstage urchin urbanist usherette usufruct travesty usury utensil ****** utmost ut uvea utter uvula utility uxorious usurp surreptitious vagabond vagarious vagile vagrant vagrancy vale valor validate vampire vanguard vas deferens vast vaunt vector venery venial veranda venture verbalist verboten verdant verdict verge vertebration verve vexatious fierce vigil vigorous vile vilify villainous vindicate violent virtue vitalist ***** vituperative vogue vomitus volunteer vouch vulcanization vulturous vulgarism weld **** volume decimate wahoo waive wangle wee weepy welch whammy war wharfage whereof whereupon wherein wherefore whereon wherewithal whine whopper wild goose chase wishy washy wisp woeful wrathy wrought wrong xenophile ******* fornication phantasmagoria fluent voluble yammer yelp yes man yummy zany zealotry zilch zing zombie zooidal zoom zounds zygomatic contiguous constituency confluence contiguity continuum concurrence conjunction conjugation métier quintessential
There was a motion on the floor for the nomination of a proxy to be my epigone.  I feared I didn't have enough votes to challenge so I filibustered.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
Bintun Nahl 1453 May 2015
"Ketika hari itu 100 istri jadi pekerja,
Maka hari itu pula 100 harga diri suami hilang!
Ketika hari itu 1000 istri jadi pekerja,
Maka hari itu pula 1000 harga diri suami hilang!
Ketika hari itu Sejuta istri jadi pekerja,
Maka hari itu pula sejuta harga diri suami hilang!"
Astaghfirulloh...
Begitulah sistem DEMOKRASI KAPITALISME
memporak porandakan tatanan rumah tangga keluarga Muslim.
Kesempatan kerja pabrik dll..
Lebih banyak didominasi pekerja perempuan,
Dengan alasan, seorang perempuan lebih nrimo
Dibanding pekerja laki2 yg yg suka rese&sering; banyak protes.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
21st Century Aug 2018
Babalik si Jesus at alam kung hinding hindi niya tayo bibiguhin. Babalik ulit siya para pagtakpan ang ating mga kasalanan. mag bibilang Ako ng hanggang Sampu. isa,dalawa. dalawang hakbang ang inialay niya  tatlo,baka tatlong beses ulit siyang ipagkakaila Apat,Lima hindi siya tumigil sa paghakbang para sa atin
Anim,pito,wallo,siyam,sampo
Hinding hindi ako titigil sa pagbibilang hanggang sa maramdaman niyo na tayo ngayon ay nawawala.At patuloy parin si Jesus sa paghakbang para lang mahanap niya at maipakita niya ang tunay na mukha ng Pag-ibig. Pag ibig na nagdala sakanya sa kapahamakan. Pag ibig na siyang dahilan sa paghihirap niya at sa  sugatan niyang Katawan. Pag ibig na kung saan nag simula ang lahat. At dahil sa sakripisyo niya tayo ngayon ay nandito. Kapatid hindi pa huli ang lahat may mga panahon kapang itama ang iyong nga nagawang kasalanan. maniwala ka. Hinding hindi ka niya pababayaan. Dahil siya ang Diyos at siya ang Diyos ng sangkatauhan.At ito ang sinabi. "Ako si Jesus ang simula ang at katapusan. Ako ang Buhay ang Daan at ang Katotohanan"
Marahil nagtataka ka kung bakit.bakit naging ganyan ang takbo ng buhay mo bakit naging ganyan bakit naging ganito. Kapatid uulitin ko hindi pa huli ang lahat. Tandaan ang balita ng Diyos na mas dapat pakinggan. isa puso, mahalin at higit sa lahat mas dapat tuparin. Wag kang mawalan ng Pag asa. At wag na tayong maglokohan pa. Dahil palagi siyang Nandiyan at hinding hindi siya mawawala para gabayan ka. Alam kung naniniwala ka. At alam kung didinggin niya ang iyong mga panalangin. Kapatid manalangin ka. Kayat hindi na natin kailangam pang humiling dahil matagal na niyang binigay ang ating Kagustuhan at iyon ay ang pagkakaligtas natin mula sa ating mga kasalanan. Alam kong alam mo na. Babalik at babalik si Jesus para sa atin. Ibabalik niya ang kapayapaan sa iyong mundo. Dahil siya ang ating Diyos wala nang iba.
Sinasalipadpad* ang mga *kalat sa pulitika
Umaalingasaw ang baho ng iilang kandidato
Sa modernong botohan
Tila may iilang selyo,
May mga balotang sanay
Sa may agnas na kandado.

Binaha ang pila ng nanghihingi ng boto
Istratehiya ng isa'y musika sa mga bingi
At may mga bulag na nabibili ang dangal
Iisa lang sana ang daan
Pero may nagwawagayway ng limang daan.

Sa Pula at sa Dilaw
Andaming banderitas.

Alam nyo, kapwa ko
Magising tayo
Mamulat na tayo
Tama na ang bawian-buhay.

Itong Hari ng mga Pula
May tandem na Itim
Dugo't budhi ma'y kayrumi
Hindi kasi pinapansin
Ang Itim ang Hari ng Droga
Panay ang kalat sa Puerto Princesa
Ang Pula ang taga-walis
Tila anghel sa bawat sigaw ng masa
Naglipana kasi ang salapi
Mula sa bulsa niyang binulsa lang din
Nagkabaun-baon sa utang
Itong siyudad na wala noong bahid.

Binayaran pati ang dangal
Hindi lamang ng mga naturingang mangmang
Eh kasi pati yung may rango
Nagpatiwakal na rin
Nanlimos ng barya ng bayan.

Buhay mga kinitil
Kung ang salita ay bibitiwan,
Barilin nyo kami nang talikuran
Habang may hinagpis
Kaming Inang Bayan.

Magwagi ka man Pula
Hindi papayag ang Hari ng Sanlibutan
Patas siyang lalaban sa Bayan
Pagkat siyudad niya ito,
Kaya nga "City of the Living God."

Marami mang pakulo ang partidong Pula
Sana'y Ama, dinggin mo ang mga Anak
Kami'y maralita
Palimos ng pag-asa
Lalaban para sa hustisya.

Mga kamay Mo ang yumapos sa bayan
At basbas Mo'y sa Dilaw
Pagkat ang puso ang Iyong tinitingnan
Hindi ang pagkilos nang walang pagtingala Sayo.

Ikaw ang Maghari Ama
D Jun 2019
?
Jam tujuh pagi tadi Ibu mengetuk pintu
Bunyi ketukan itu sampai empat kali terulang
Di ketukan empat setengah,
Pintu terbuka setengah juga
“Ya?”
“Mandi, Mbak.”
“Pingin tidur lagi.”
“Tapi hari ini hari kemenangan.”
Raut wajahnya yang telah menjadi warisanku tak sedikitpun menunjukkan bahwa dia telah memenangkan apapun.
Tidak seperti kebanyakan orang,
Untuknya hari ini bukanlah tentang seberapa kental kolam santan yang menyimbahi santapan-santapan
Bukan juga tentang berpeluk-rindu dengan orang-orang sambil sesekali bertukar kabar
Lelah mengutuk dirinya karena seumur hidup merasa kalah,
Aku tahu bahwa sehari saja ia ingin merasa menang.
Ia sendiri tahu betul saat hari ini berakhir dan tamu berpamit untuk pulang setelah semua habis terkunyah; ia akan kembali merasa kalah.
Menang atas dan untuk apa?
Seribu kata maaf pun ia telan begitu saja tanpa mencerna kata tersebut keluar dari mulut siapa
Tanpa adanya hari kemenangan yang dibanjiri oleh teks bersampul maaf,
Hidupnya memang sudah tentang meminta maaf dan memaafkan
Tak ada pilihan lain.
Hanya saja hari ini sinar sendu wajahnya menunjukkan bahwa akhirnya,
Setidaknya untuk dia,
Harapan pahitnya terhadap ‘maaf dan memaafkan’ akan diselebrasikan;
Dan seperti dirinya, lebih dari sejuta orang akan melakukannya walaupun untuk sehari saja.
Kepada siapa lagi ia harus meminta maaf dan meminta dimaafkan?
Pada suatu hari yang kejam.
Budi mau ke sekolah.
Ganti baju, minum susu, tidak lupa gosok gigi.
“Buk, Budi berangkat dulu ya.”

Ibu pertiwi tidak menjawab.
Budi melongok ke dapur lalu melihat ibu pertiwi.
Tampangnya kusut, pakaiannya berantakan dan matanya sembab.
Budi marah.
Sosok bangsat macam mana yang telah membuat ibu pertiwi sedih !
Di mana bapak pertiwi? Ibu pertiwi sudah jadi janda dan masih dicabuli. Memang anjing !

Jadi siapa yang telah membuat ibu pertiwi sedih?
Apakah si bangsat itu adalah mereka?
Yang menanam beton raksasa dan mengambil semua dengan paksa?

Atau apakah si bangsat itu adalah kalian?
Yang menumpang dan mengotori air udara tanah, menggusur alam atas nama pembangunan?

Atau apakah si bangsat itu adalah dia ?
Yang berjalan angkuh dan tamak. Sesekali mencari peluang, sumber daya mana lagi yang bisa di sikat ?
Babat terus tambang, sekalian laut, hutan, juga hewan!

Atau apakah si bangsat itu adalah saya ?
Bersembunyi di balik hati nurani yang katanya peduli, katanya cinta bumi, saya adalah omong kosong!
Saya tidak benar-benar cinta. Jijik betul merasa ibu pertiwi sungguh berarti, ikut menjerit ketika ia ternodai, mana yang lebih munafik apakah diri saya atau aksi ?

Pada suatu hari yang kejam,
Budi tidak berangkat ke sekolah.
Akal sehat budi meronta ingin lari selamatkan diri bersama ibu pertiwi.
Anak cicit Adam dan Hawa terlalu goblok dan jahat.
Manusia terlalu serakah dan merasa berkuasa.
Lihat itu,
Asap hitam pekat bergerak mendekat.
Mampus kau! Ibu pertiwi sudah sekarat!

Pada suatu hari yang kejam,
malam datang dan manusia mulai buta.
Ibu pertiwi gelap gulita, budi merangkak tanpa arah.
Apa perlu listrik untuk buka mata?
Atau cukup hanya sepercik bara?
Budi bingung. Ibu pertiwi sedih. Bapak pertiwi bodo amat.
untuk pertama kali saya bacakan tanggal 22 Juni 2019 dalam acara “Diskusi Panel: Dimulai dari Kita kepada Lingkungan” oleh Light Up Indonesia, Weston Energy.
AgerMCab Jan 2019
Dumating ka sa buhay ko ng hindi ako nakahanda
Ni hindi ko inaasahang  mayroon pang nakatakda
Akala kong wala na, ngunit humabol pa ang tadhana
Pag ibig mo'y wagas, ang wika mo sa harap ni bathala

Nagagalak ang aking puso na may halong pagkagulat
Ang iyong tagong pag ibig sa wakas iyong siniwalat
Pagmamahal na tila sa mundong ito hindi nagmula
Pag ibig na wari ko nga ay galing sa ibang planeta

Ang kagulat gulat, kaya ko palang magmahal higit sa akala ko
Pagmamahal na magagawa kong ihinto ang lahat, para lang sa iyo
Gusto ko sanang ipaalam, ipagsigawan at ihiyaw sa buong mundo
Na ikaw ay akin at akin lang sana, ngunit maaaring dulot ay gulo

Natuto tuloy akong sumigaw ng pabulong
Hanggang kelan ko kaya kakayaning bumulong
Ang pag ibig ko ngayon tila ay hindi makasulong
Ang katagang "mahal kita", tila presong nakakulong

Sa ngayon, ang alam ko, NGAYON ang mayroon ako
Hindi ko nga alam kung anung bukas mayroon tayo
Sa ngayon, ang ngayon lamang ang pinanghahawakan ko
Yung ngayong minamahal kita at mahal mo rin ako

Yung ngayon na naririto ka sa buhay, sa puso, at isip ko
Yung ngayon na sa iyo lamang umiikot ang buong buhay ko
Kumikislap ang mga mata at ngumingiti ang mga labi
Na para bang sa mga pangarap ay may bukas na hinahabi

Sa aking pangarap ang lahat lahat sa iyo'y akin
Mula anino, pati iyong diwa'y aking angkin
Ngunit paano kung ako'y magising na, lahat magwawakas
Ikaw rin ba'y nangarap na para bang tayo'y mayroong bukas?

Ang tunay daw na pag ibig ay hindi mapag ari
Paano ang gusto kong ika'y aking gawing hari?
Nais ko'y akin lang, ang iyong ngayo't iyong bukas
Sana'y akin ka hangga't ako'y mayroon pang lakas

Darating ang panahon, tayo'y magwawalay
Sa oras na yan mundo ko'y malulumbay
Sadyang kailangan ko nga lang tanggapin
Ika'y hindi kayang tuluyang maangkin

Ganap ang dusang nasa akin
Dahil ikaw ang aking hangin
Ang aking araw, aking langit
Aking tala at buwan sa dilim

Oo't may dahilan kung bakit ngayon tayo pinagtagpo
Kung anumang dahilan isipin pa ay nakakahapo
Ni hindi nga natin alam kung hanggang kailan ito
Ano kaya bukas? Ikaw pa kaya ay naririto?

Alam kong kahit kailan, hindi mangyayari
Na sa aking pagtanda, ikaw ang aking hari
Ikaw ang kapiling, kamay mo ang aking hawak
Aalalay s'aking tungkod, lalakad ng malawak

Pakinggan na lamang sana ang aking pangako
Kasal-kasalang pauso ay aking inako
Wala man tayong mga saksi
Basbas ng simbahan o pari

Di man nakasuot ng damit pangkasal, wala rin ako pati mga abay
Galak ay lubos parin kung ikaw ang kaagapay
Ako'y handang maging sa iyo, sa abot ng aking gunita
Maging kalaban ko man ang lahat, dahil sa aking panata

Akoy gagawa ng altar na aking sarili
Upang sa aking bibig sumpa ay mamutawi
Pangakong ikaw lang ang mahal sa habang buhay
Hanggang sa dumating aking araw ng paghimlay

At kung sakaling akoy mabigyan, ng pagkakataong muling mabuhay
Kahit sa ibang panahon, hahanapin ka ng puso ko ng walang humpay
Upang taimtim na panatang binitawan, ay maisakatuparan
Pag-ibig na walang hangganan, pagmamahal na walang katapusan
#tagalogpoetry #tagalogpoem #tulangfilipino
RL Canoy May 2019
Umiibig akong matapat ang puso,
sa iyo, O Sintang pithaya ng mundo.
Dilag na bulaklak sa harding masamyo,
sinuyo’t pinita ng laksang paru-paro.

Tinataglay nila’y mararangyang pakpak,
subalit ang nasa’y tanging halimuyak.
Iba sa bagwis kong luksa ang nagtatak,
sa mata ng iba’y isa lamang hamak.

Ako’y dahop-palad, niring mundo’y aba,
sa utos ng puso, ikaw’y sinasamba.
O! ang saklap naman, umagos ang luha,
pagkat lumilihis ang ating tadhana.

At niring landas ta’y lalong pinaglayo,
nang ikaw’y nabihag ng hari ng mundo.
Buong taglay niya’y di tapat na puso, 
tanging hangad lamang ang kagandahan mo.

Sinta ko ano pa ang aking magawa,
kung sa ngalan ng Diyos kayo’y tinali na?
Daloy ng tadhana’y mababago pa ba’t,
panaho’y balikang ikaw’y malaya pa?

Bihag ka na ngayong walang kalayaan, 
hawak ang mundo mo ng lilong nilalang
Wari'y isang ibong ang lipad may hanggan,
at ang yamang pakpak, dustang tinalian. 

Paano O! Sinta yaring abang buhay?
Ikaw’y tanging pintig nitong pusong malumbay.
Kung ikaw ang buhay ng buhay kong taglay,
Sa iyo mabigo’y sukat ng mamatay.

Subalit nasa kong lumawig sa mundo,
sapagkat buhay pa niring pag-ibig ko.
At ikaw O! Sintang namugad sa puso,
napanagimpan kong pinaghintay ako. 

Sa harap ng hirap na di masawata,
tanging asam ko’y lalaya ka Sinta.
At itong pagtiis ay alay ko Mutya,
mula sa puso kong nagdadaralita.

Maghihintay ako sa pagkakahugnos,
sa tanikala **** higpit na gumapos,
sa kalayaan na lubhang nabusabos,
at mariing dulot, galak na di lubos.

Ang aking paghintay akay ng pag-asa,
lawig ng pag-asa’y kambal ang pagdusa.
At ang dukhang pusong batis ng dalita,
tila pinagyakap ang pag-asa’t luha.

O! aking minahal ako’y maghihintay,
kahit walang hanggang paglubog ng araw.
Magtitiis ako sa gabing mapanglaw,
hanggang sa pagsilang ng bukang liwayway.

Yaong sinag nito’y ganap na tatapos, 
sa dilim na dulot ng dusa’t gipuspos.
Sinag na tutuyo sa luhang umagos, 
niring mga matang namumugtong lubos.

Yaong pamimitak ng mithing umaga,
araw na mabihis ng mga ligaya,
ang buhay kong abang tinigmak ng luha,
mula sa kandungan niring Gabing luksa.

Maghihintay ako sa gitna ng dusa, 
kapiling ang munting kislap ng pag-asa.
Magtitiis kahit sanlibong pagluha,
hanggang sa panahong muli kang lalaya.

Maghihintay akong di hadlang ang pagal, 
kahit ang panaho’y lalakad ng bagal.
Magtitiis ako pagkat isang tunay
itong pag-ibig kong sa puso’y bumukal.

Maghihintay kahit dulong walang hanggan,
na pagdaralita’t mga kapanglawan
Kahit di tiyak kong muling sisilang,
ang bukang liwayway na tanging inasam.

©Raffy Love Canoy |May 2019|
Nath Rye Jan 2016
Isang pinto ang nasa aking harapan.

Pintong gawa sa kahoy. Limang tao ang lapad ng pinto, at dalawan' tao ang taas nito. Dahan-dahan 'kong hinawakan ang nakausling parte.

Hinila ko. Ang bigat.

Isang engrandeng *ballroom
ang itinatago ng pintong aking pinasok. Ang una talagang mapapansin ay ang magarang wallpaper na yumayakap sa pader. Sa pinakaharap, may hagdanan na tila hari't reyna lang ang maaring gumamit. Sa bawat dulo ng hagdanan, may mga nakapatong na gintong mga dekorasyon- mga anghel at mga hayop na makikita lamang sa panaginip. Pero, mapapatingala ka talaga sa larawan ng Diyos at mga anghel na sumasakop sa buong kaitaasan ng ballroom.

Ang amoy naman, amoy ng mamahaling pagkain.
May mga lamesa at mga plato para sa mga nais kumain

Ang unang yapak ko sa loob ay sinalubong ng mga tingin mula sa mga tao sa loob. Lahat sila'y magkamukha...

magkakambal kaya?

Nilapitan ako ng waiter. May dala-dalang alak.
"Ser, gusto niyo po ba ng-"
"Bakit magkamukha kayong lahat dito?"
Lumabas lang ang mga salita sa aking bibig. Di na ako nakapaghintay.

"Ah... ser, kung gusto niyo po ang kasagutan sa tanong niyo, sigurado akong may makakapagpaliwanag sayo nang mas maayos."

At sabay siyang umalis.

Inikot ko ang ballroom. Kinausap ko ang mga tao. May mga sumasayaw, may mga kumakanta, at mayroon pang mini magic show. May mga nakabarong, iba nama'y naka tuxedo.

Naging masaya ang mga usapan, hanggang itinanong ko ang tanong ukol sa kanilang pagiging magkamukha. Pinapasa-pasa lang nila ang tanong sa mga ibang nasa ballroom. Ika nga, "hindi nila mapapaliwanag nang mabuti."

Ano naman ang napakakumplikadong paliwanag na ito?

Lahat ba, naitanong ko na?

Nanlaki ang aking mga mata. May nakita akong nag-iisa sa dulo ng kwarto. Mukhang matalino. Nilapitan ko.

"Sarap ng pagkain."

Binigyan niya 'ko ng tingin ng pagkagulat.

Makalipas ang ilang segundo, nagsalita na rin siya.

"Ganyan ka ba talaga nagsisimula ng isang conversation?"

"Di eh. Pero masarap naman talaga. Kinailangan ko lang ilabas ang matinding damdamin ko para sa handa."

Tawanan. Pero desperado na 'ko. Gusto ko nang malaman kung bakit.

"Bakit magkamukha kayong lahat dito?"

"Ah.... ikaw ay tulog ngayon. Nananaginip ka lang. Ang bawat tao rito'y indibidwal na parte ng iyong sarili. Ang iba't-iba **** personalidad, nag anyong-tao."

"Ha?"
Ginagago ako nito, ah.

"Subukan '**** kurutin ang 'yong sarili. Di siya masakit, di ba?"

Tiningnan ko ang braso ko. Kinurot ko, yung masakit talaga.

Wala akong naramdaman.

"Gets? Ako ang parteng nais tumulong sa iba, sa kapwa-tao."

".... Maniniwala muna ako sayo, ngayon. Pero, ibig sabihin ba'y ang lahat ng personalidad ko'y pantay-pantay?"

"Hindi. Ang mga taong nasa itaas ng hagdan, sila ang pinakamalalaking parte ng 'yong sarili. Kaya sila ang mga pinakamakapangyarihan dito sa ballroom."

"At pwede akong umakyat doon?"
Gusto kong umakyat.

"Handa ka bang tanggapin ang iyong sarili? Pa'no kung puro mamamatay-tao pala ang mga nasa itaas? O magnanakaw? O sinungaling?"

"Edi ok, tanggap ko naman na di ako perpekto."

Pero sa isipan ko, natakot ako. Nakakatakot makita ang mga masasamang parte ng sarili mo, na naging sarili niyang tao.

"Edi umakyat ka. Panaginip mo 'to. 'Di akin."

"Sige, salamat pare."

"Geh."

Inakala ko na ang huli niyang sasabihin ay may relasyon sa pag-iingat, o pagkukumbinsi na 'wag na 'kong umakyat. Pero dahil sa isang "geh" na sagot niya, nahalata 'kong wala na akong makukuhang impormasyon kung di ako aakyat.

Nasa harap na ako ng hagdanan. Kung nakatayo ka pala rito, parang nakatitig ang mga gintong dekorasyon sa 'yo.

Isa-isa kong inakyat ang mga hagdan, at sa taas, may nakita akong apat na tao.
  
Yung tatlo, nakikinig at tumatawa sa biro ng isa.

"Hi...?"
Wala naman akong ibang masabi, e.

Bigla silang tumahimik at napatingin sa 'kin.
Alam na siguro nila kung sino ako, dahil nilapitan nila ako at nakipag-kamay.

"Alam mo na ba ang lugar na ito? May nagsabi na ba sa 'yo?"

"Oo. Sabi sa 'kin ng isa na kayo raw ang mga pinakamalaking parte ng aking personalidad."

"AHHH! Mali siya! Nasa impiyerno ka na ngayon. Masama ka kasi eh."

Napatingin lang ako sa kanya.

"Joke lang, 'wag naman masyadong seryoso. Edi madali na lang pala! Sige, pakilala tayo!"
Ngumiti naman ang apat.

Nauna yung tatlo.

"Ako ang parte **** responsable. Alam mo ang mga responsibilidad mo, at maaga mo tinatapos."

Wow. Responsable pala ako.

Ang pangalawa.
"Ako naman ang parte **** madasalin. Malakas ang tiwala mo sa Diyos, kaya mahilig ka magdasal."
Grabe, banal pala ako?

Ang pangatlo.
"Ako naman ang parte **** mahilig sa sports. Mapa-boxing man o swimming, o basketball. Lagi kang handa."
Parang yung bodybuilder ko lang na klasmeyt ah. Napatawa ako.

At ang pang-apat, at ang lider:
"Ako ang parte ng sarili mo na nais makatulong sa ibang tao. Handa kang magpatawa kung kailangan, pero kaya mo naman ring magseryoso. 'Di ka nang-iiwan. Tunay kang kaibigan."

Pero yung tao kanina yung nais makatulong sa ibang tao.... baka ito yung sinungaling. Bahala na.


"Kayo ang pinakamalaki? Natutuwa naman ako."
Nagtawanan lahat.

"Pero may isa pa. Ang pinakamalaki talaga sa lahat."

"Saan?"
Saan nga ba talaga?

"Dito. Halika. Bago ka magising. Para makilala mo."

Pumunta yung pang-apat sa isang dulo ng kwarto. May pinindot siya. May maliit na butas na nagpakita sa pader. Madilim. Nahirapan akong pumasok. 'Di na sumunod ang apat.

Sa gitna ng kwarto, may isang tao. Isa. Nag-iisa, kasama ng mga libro at papel.

"Ikaw ang pinakamalaking parte?"

Tumingin lang siya sa 'kin.

"Ikaw ba talaga? Ano naman sinisimbolo mo?"

"Ako ang katahimikan. Ang katahimikan sa iyong loob. Matatag ang puso mo, at kahit marami kang kinakatakutan, hindi ito nagiging hadlang sa 'yo. Ako ang nagbibigay buhay at enerhiya sa lahat ng mga personalidad mo."

*At ako'y napatahimik. Katahimikan pala ang pinakamalaking parte.
It's 3:44 am woooooooo I started at 3. ps this is in tagalog/filipino. thank you
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau bagaikan embun di pagi hari
Menyegarkan tubuhku dengan sejukmu
Merasakan kamu di setiap ku hirup udaramu

Kau bagaikan sinar mentari di siang hari
Menyelimutiku dengan terikmu
Berada di atasku setiap waktu

Kau bagaikan udara di sore hari
Menyentuhku tak disengaja
Membelai rambutku dan aku bahagia

Kau bagaikan gelap di malam hari
Tak pernah melihat wajahmu
Tak pernah bermimpi kamu

Kau adalah nafasku untuk hidup
Yang selalu ku ingat setiap waktu untuk ku hirup
ga Dec 2018
Penghujung hari tiba
Kau menutup tirai panggung
Mengganti naskah dan cerita
Siap untuk kau mainkan kembali

Penghujung hari tiba
Hangat sentuhanmu menguap
Kecupanmu memudar
Kau rebut kembali rasa yang kau titipkan

Namun kitalah kepura-puraan yang sempurna
Dua tokoh utama dalam naskah drama
Aku cermin pecah yang berkali-kali direkatkan
Kaulah sang pandai kaca

Malam akan segera berlalu
Kau tutup tirai, siapkan panggung baru
Rias kembali wajah serta tubuhmu
Aku siap melupakan hari semalam
1/09/2018
On Your prayer white Altar
I offer my throbbing ruby heart
kneeling amidst the lotus flower snows
Ascetic Himalayan mountain cliffs
Ancient Rishis
gaze sagaciously,
chanting Hari Om
we breathe in the rarified incense
of Prema
climbing altitudes
dizzying heights
quartz crystal stars,
sphatik rosaries
at our feet
only Hari exists
and this love
that illumines
the face of creation
Hari Om Dearest God
across the dazzling abyss
in Your arms we dance
numberless candles
inflorescent, incandescent
beyond
the Northern lights



http://www.sairapture.com/hari-om.html
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Chloe Sayre Sep 2012
My love
Rests on imaginary nails.
My body 'neath moonlit willow trees,
The siren calling, "Hari Krishna!" Pulling the monk
Out from
Under dreams of harmony and peace, to place
Love back in it's proper hierarchy.
Tossing his silken gown,
We prey.
ln Aug 2014
Maybe it's the way the national flag flies so high
Despite the country's imperfections
Maybe it's the way we're united
Not separated, despite the difference in cultures,
Believes, traditions, languages

Maybe it's the way you see an Indian eating with chopsticks,
The way you see a Malay in a saree,
The way you see a Chinese making ketupat's for Hari Raya.

Maybe it's the unity you see,
Maybe it's the goosebumps you feel when you say Merdeka,
Maybe despite the hate you have towards history,
Deep down, you know how grateful you are to be Malaysian.

Maybe it's the way you walk into a mamak,
And say
" tauke tapau roti canai 1 milo ais 99 "
And maybe,
It lies in diversity,
Beyond everything else.

*Malaysia, tanah tumpahnya darahku.
Setelah 07 Oktober adalah normal baru.
Orang orang Gaza tak lagi punya kehidupan.
Kehidupan telah dihancurkan kekacauan.
Kekacauan panjang yang penuh penderitaan.

Tiap hari Hassan dan keluarganya terlunta lunta.
Menyusuri jalanan tanpa tahu harus kemana.
Tenda dan barang tertinggal di pengungsian yang hancur diserang.
Itulah normal baru Hassan.

Berkali kali Asmaa mendapat kabar buruk.
Murid muridnya telah tewas satu persatu.
Dia hanya bisa menangis teringat mereka.
Itulah normal baru Asmaa.

Samara sedih ketika anaknya ulang tahun.
Dia tak bisa membuat kue **** seperti biasanya.
Yang dia buat hanyalah lumpur berbentuk kue ****.
Itulah normal baru Samara.

Berbotol botol minyak goreng dibeli Mai.
Semuanya diisi ke dalam tanki mobilnya.
Setelah itu dia melintasi jalan Al Rashid yang penuh kehancuran.
Itulah normal baru Mai.

Mustafa sering duduk di tepi pantai.
Terus terusan termenung sedih sambil menangis.
Teringat gadis pujaannya yang tewas mengenaskan.
Itulah normal baru Mustafa.

Fadi sering kelelahan berjalan kaki jauh.
Mencari cari solar panel untuk mengecas laptop.
Dan juga tempat yang menjangkau internet.
Itulah normal baru Fadi.

Tiap hari Mariam selalu kelelahan.
Dia harus mengantri air dan mencari kayu bakar.
Setelah itu mencuci , memasak dan membersihkan tenda.
Itulah normal baru Mariam.

Tiap pergi ke pasar Heba selalu merasa jengkel.
Harga telur , ayam dan sayuran semakin naik tinggi.
Sementara dia kesulitan mendapatkan donasi.
Itulah normal baru Heba.

Yousef sering ikut nelayan ke laut.
Naik perahu sambil membawa jala untuk mencari ikan.
Tapi hanya sebentar di laut kapal perang datang menggempur.
Itulah normal baru Yousef.

Tiap melihat foto dirinya Mohammed selalu sedih.
Badannya kurus kering dan pucat kulitnya.
Akibat sering kelaparan dan kekurangan gizi.
Itulah normal baru Mohammed.

Abdullah selalu kesulitan mendapatkan donasi.
Dia sudah senang jika bisa membeli mie dan kopi.
Baginya itu menjadi suatu kemewahan.
Itulah normal baru Abdullah.

Tiap teringat kebun olive miliknya Ali selalu sedih.
Kebun warisan keluarganya itu sudah terbakar habis.
Tak ada lagi yang tersisa selain hanya kenangan saat musim panen.
Itulah normal baru Ali.

Melanjutkan sekolah online memang melelahkan.
Tiap hari Tareq harus berjalan jauh untuk mengecas laptop.
Dia juga sering kesulitan mendapat koneksi internet.
Itulah normal baru Tareq.

Gas dan bensin sulit didapatkan.
Satu satunya bahan bakar hanyalah minyak goreng.
Ayahnya Omar menjualnya di pinggir jalan.
Itulah normal baru ayahnya Omar.

Khaled dan keluarganya sering kelaparan.
Uang donasi tak menentu dan tak ada bantuan makanan.
Satu satunya yang bisa dimakan hanyalah makanan ternak.
Itulah normal baru Khaled.

Tiap melihat foto dirinya Eman sering menangis.
Wajahnya tampak kusut dan kecantikannya memudar.
Bibirnya yang kering tak bisa lagi tersenyum.
Itulah normal baru Eman.

Musim dingin Aya sangat menderita.
Dia meringkuk kedinginan di dalam tenda yang kehujanan.
Tak ada selimut atau apapun yang menghangatkan.
Itulah normal baru Aya.

Tiap hari Walid pergi kemana mana.
Naik kereta keledai mengantarkan orang orang.
Sambil berhati hati menghindari drone terbang.
Itulah normal baru Walid.

Kamera Nassar tampak kusam.
Tiap hari dia selalu menyusuri jalanan berdebu.
Yang dia potret hanya rombongan pengungsi dan mayat mayat bergelimpangan.
Itulah normal baru Nassar.

Ketika ramadhan Fatema merasa sedih.
Dia tak punya bahan untuk membuat kue.
Yang dia punya hanyalah sisa tepung penuh belatung.
Itulah normal baru Fatema.

Kakeknya Ashraf terbaring lemah di dalam tenda.
Sering berteriak ketakutan saat mendengar suara.
Ledakan demi ledakan bombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru kakeknya Ashraf.

Khalil sering menggerutu.
Tiap pertandingan El Classico dia tidak bisa nonton.
Yang bisa dia lakukan hanya membaca berita sepakbola.
Itulah normal baru Khalil.

Huda merasa lelah meneruskan kuliah online.
Sementara dia sering terkenang dengan kampusnya yang telah hancur.
Dan juga teman temannya yang telah tewas.
Itulah normal baru Huda.

Ketika musim panas Kareem sangat menderita.
Dia kepanasan di dalam tenda yang sempit.
Sementara di luar matahari benar benar terik.
Itulah normal baru Kareem.

Shayma kesal laptopnya rusak.
Dia tak bisa lagi menonton film dan anime yang sering dia unduh.
Sementara tukang servis laptop baru saja tewas.
Itulah normal baru Shayma.

Tiap pergi ke pasar ayahnya Lubna merasa sedih.
Sayuran dan buah buahan harganya naik tinggi tak terbeli.
Padahal dulu bisa dipanen banyak di kebun sendiri.
Itulah normal baru ayahnya Lubna.

Malak sering sakit sakitan.
Tak ada yang bisa dia lakukan selain hanya terbaring lemah.
Kehilangan semangat untuk melakukan apapun.
Itulah normal baru Malak.

Tiap sore Zaina selalu kelelahan.
Dia terus keliling tempat pengungsian menjual falafel buatannya.
Tapi hanya sedikit orang yang punya uang untuk membeli.
Itulah normal baru Zaina.

Saat merasa suntuk Dima sering menyesal.
Dia tidak membawa koleksi novelnya yang tertinggal di rumah.
Satu satunya penghiburan hanyalah mengingat berbagai cerita koleksi novelnya.
Itulah normal baru Dima.

Anak anaknya Hussein selalu kelelahan.
Tiap hari mereka menghabiskan waktu berjam jam.
Hanya untuk antri pembagian air dan makanan saat panas terik.
Itulah normal baru anak anaknya Hussein.

Tiap hari Reem selalu kelelahan kurang tidur.
Apalagi saat menstruasi dia benar benar menderita.
Sobekan tenda yang kasar dia jadikan pembalut.
Itulah normal baru Reem.

Amal telah kehilangan semangat dan harapan.
Tak sanggup meneruskan kuliah online di tengah kekacauan.
Rencana melanjutkan kuliah ke Eropa sudah dia lupakan.
Itulah normal baru Amal.

Dr Ghassan sering kebingungan.
Pasokan obat obatan di rumah sakit Al Quds semakin habis.
Sementara tiap hari puluhan orang dan anak  yang terluka terus berdatangan.
Itulah normal baru Dr Ghassan.

Ahmed dan keluarganya kelelahan bertahan hidup.
Berkali kali mereka pindah tempat pengungsian.
Setelah tenda tenda dibombardir pesawat jet dan helikopter.
Itulah normal baru Ahmed.

Saat tengah malam Aboud sering bersedih.
Dia menyesal tidak bisa menyelamatkan rekan rekannya di rumah sakit Al Shifa.
Mereka tewas dieksekusi massal hingga Aboud merasa sedih mengingatnya.
Itulah normal baru Aboud.

Tiap malam Mahmoud sering meratapi nasib.
Dia kehilangan segalanya tak punya apa apa lagi , tak punya siapa siapa lagi.
Dia sering mempertanyakan kenapa dirinya masih hidup.
Itulah normal baru Mahmoud.

Sham mengalami trauma parah.
Tatapannya kosong dan sering menangis.
Teringat keluarganya yang tewas dilindas tank.
Itulah normal baru Sham.

Saat malam yang dingin Sondos selalu menghangatkan diri.
Dia membakar tumpukan buku kuliahnya dengan rasa kecewa.
Baginya hukum internasional dan hak asasi manusia cuma ilusi belaka.
Itulah normal baru Sondos.

Tiap malam Bayan dan Layan tidak bisa tidur.
Di tengah bombardir pesawat jet tanpa henti mereka terus memandangi langit.
Berharap keajaiban akan mengubah keadaan.
Itulah normal baru Bayan dan Layan.

Normal baru menjadi masa kini yang menyakitkan.
Terlalu menyakitkan untuk dijalani selama setahun lebih.
Tak ada yang tahu kapan berakhirnya kekacauan panjang yang tak berkesudahan.
Terus menerus menghancurkan kehidupan dan mengancam masa depan.


November 2024

By Alvian Eleven
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
3 Maret 1924..
Tak banyak уαηg tahu αρα уαηg telah terjadi ∂ι hari itu | dahsyatnya makar & kemunduran umat telah melupakan peristiwa detik2 hancurnya institusi daulah Khilafah sang pemersatu
Hingga derita mendera bertubi silih berganti menimpa muslim ∂ι segala penjuru | teraniaya,terhina,tercabik,tertindas,tersakiti,terjajah,menangis tersedu
Umat уαηg satu tak lagi menyatu | terpecah tersekat oleh nation state buatan sekutu | bak anak ayam kehilangan induk terancam hidupnya sewaktu-waktu
Begitulah wajah muslim hari ini | ketika tiada lagi institusi уαηg melindungi | problematika terjadi tiada henti
Hari ini | tepat 91 tahun umat Islam hidup tanpa institusi Khilafah | saatnya melawan lupa & bergerak mewujudkannya
Khilafah janji Allah tersampaikan melalui lisan mulia Rasulullah SAW | walau banyak уαηg beranggapan utopis kembali mewujudkannya | yakinlah tiada janji уαηg pernah ingkar kecuali janjiNya
Nabi saw bersabda,
"Akan datang kepada kalian masa kenabian,& atas kehendak Allah masa itu akan datang.Kemudian,Allah akan menghapusnya,jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu,akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah;& atas kehendak Allah masa itu akan datang.Lalu,Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu,akan datang kepada kalian,masa raja menggigit (raja yang dzalim),& atas kehendak Allah masa itu akan datang.Lalu,Allah menghapusnya,jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu,akan datang masa raja dictator (pemaksa);& atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.
Kemudian,datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".
[HR. Imam Ahmad ]
Saudaraku,
Telah tiba saatnya satukan langkah satukan perjuangan,
Menyongsong kembali janji Allah Sang Penggegam Kehidupan,
Tegaknya kembali Daulah Khilafah ∂ι atas jalan kenabian..
Takbir !!
Allahuakbar !
SalamPerjuangan!
‪#‎3RDMARCH1924‬
‪#‎melawanLupa‬
Yenson Mar 2019
Viva our Anarchist, viva our Revolutionaries
those magnificent dudes in their underwhelming cabral
with shining mad grins showing unwashed brown teeth
they devised another supernova anarchical dastard deed

Here comrade

we anchor his neighbour to his parked car outside
remember the neighbour is same national as the Mata Hari girl
we make the neighbour engage him about the car
just casual enquires and info about the car and knowing a possible
buyer for the car
off course there's no buyer
all this is just the anchoring bit

Then

We steal the car,yes we steal the ****** car
No one's gonna talk, we have them all in our pockets
we already told them he's loaded and a parasite
a leech bleeding us the working classes
everybody hates him, there are all on our side

Bingo.......!

He's gonna go spare, that will do his ****** head in
he's gonna think neighbour has something to do with the theft
he gonna hate that neighbour, he may even go confront him
but not only that, he's also gonna hate the Mata hari girl
because neighbour and Mata hari come from the same country
so that's his love life ruined and no friend for our man
Isolation quickens mental breakdown plus all the grief and stress


Ahh....is that devious or what ........
we're not anarchist for nothing
we create emotional hurt and pain for the man
we give him grief and stress, we frustrate the ******
we foil his plan to go meet the Mata hari gal
it's all suffering and depression all the way......

( But we know he's not meeting the Mata Hari girl,
we know there's nothing going on in that end )

( Yes, we know that, silly, but the punters we are using
as gang stalking perpetrators, don't know that)

(Keep up with things, we manipulate them and all the other
foot soldiers with lies, delusions, distortions and make them all think, they are controlling the man, do you want further training
we are rogues and con-artists, that's what we do, silly!)

Our intrepid leftist Anarchist have foiled a non-event again
The used and manipulated crowds are all smiling in satisfaction
A car has been stolen with community approval, another Tax they say.
The man has not hated or blamed his neighbour he is not an emotionally immature or unintelligent  fool
the man has not anchored any of this to Mata Hari, who is also
just a pawn as are all the other contributors to this saga

This is how the Anarchist Leftist divide people and infect communities with Hate, division, unrest and ill wills all round

This is the politics of Hate and Division
This is how things roll in Modern britain today......!
050916

Minulat tayong may sukli ng kasaysayan,
Saksi sa matinding gisahan ng rekado sa Tahanan.
Pangako'y iniukit ng mga Anak na payak
Nagbabasagan ng plato, nagtitilamsikang tubig,
Pagbili ng lakas ng loob
at talas ng dila sa Pulitikang Tindahan;
Luha't dangal, pawang huling hain
Ng Ama't Ina ng Lipunan.

Nakakangalay makisabay sa uso
Kung nawalay pati ang yupi-yuping puso.
Hindi tayo nagpaampon sa Lipunang mapanukso,
Yakap ang Langit, uhaw lamang sa pagbabago!

Sumisigaw ang damdaming nilusaw ang galit,
Ang pait ng kahapong sinabuyan ng panlalait.
Minsan, sobra ang demokrasya kaya't may kapalit.
Kaya't minsa'y susulong bagkus panay ang subalit.

Hindi natin kayang palayasin ang Ama't Ina,
Kung ngayon pa lang, may mga multong rebelde na.
Hindi natin kayang itaboy ang kamay ng Hari ng mga Isla,
Pagkat tayo'y ibinigkis, iba't iba man ang pananampalataya.
At higit pa sa pulso ng Bayan ang nagluklok sa kanila.
Mainam na ngang masaktan sa una,
Kung saan dunong at talino'y maituon sa pagpapakumbaba.
Masakit sa loob kapag tinatama ka,
At bawat palo't kusang pagdidisiplina.

Kung hindi susundin silang Ama't Ina,
Kung hindi magpapasakop sa babaguhing sistema,
Kung hindi huhubarin ang estadong may ibang klima,
Hinding-hindi bubuhos ang pagpapala.

Umaasa tayo pagkat di natin kayang mag-isa,
Sandigan nati'y hindi na Pulitikang Balisa,
Sana'y pag-iisip ay mabago ng Amang may grasya,
At tayo'y maging bahagi ng paghilom ng bansa.
Tatlong bituing* patungo sa *Norte
Sa Silangan at Kanluran
Ang dugong hindi bughaw
Kalayaa'y sagisag.

Nagdadalamhati ang Perlas
Pagkat ito'y tanyag
Sa sari't saring anumalya
Pawang sa pulitika't
Maging sa simpleng eskinita.

Tuwid na daan ang sabi ng Hari
Itong kaibigan ko nga
Pumaskil pa sa Facebook
"Tuwid na daan patungo sa kamalian."

Maulop ang daan patungo sa katuwiran
May limitasyon sa bawat miyembro ng lipunan
Kasapi rin tayo sa eskandalong may hithit
Uhaw nga sa salapi, sirang plaka naman.

Kinalakhan ko ang dungis ng bayan
Nasanay na lang bagkus tuloy lang ang pangarap
Sabi nila'y tatsulok ang patakaran
Ang mayayama'y tataas
Mahihirap ay *
lulusong sa putikan

Mayroong tama sa bawat nasaksihan
Ngunit hindi ko maitatangging
Ako'y kasapi ng masalimuot na kasaysayan
Ngunit kung tanging mali
Ang pupukaw sa paningin
Aba't wala akong mararating.

Mahirap na nga
Makitid pa ang isip
Mayaman na nga
Hindi pa nasusuka sa kurapsyon.

Batu-bato raw sa langit
Bagkus ang tamaa'y sa lupa rin ang bagsak
Tayo na't sumulong
Pagkat ang giyera'y walang urungan.

Walang nararapat na panigan
Pagkat ang tama'y
Hindi na dapat pinag-iisipan
Kung ang prinsipyo nati'y
Lalang para sa kaluwalhatian
Nasisiguro ko, ito'y may magandang patutunguhan.
Wala akong maisip. Wala lang. Sulong Pilipinas
Bayan ko, Bayan kung sinilangan
Saan ka ngayon matatagpuan
Kagandahan mo't perlas bakit lumagapak?
Bayan ko, Bayan ko tinalikuran kanang lahat.

Kalunos lunos na hagupit sa bayan ko'y sumapit
Pagkat mga kababayan ko
Sa salapi naaakit, tila wala nang malasakit sa Bayang nagigipit.

Wala na ang mga tunay na bayani, mga mapagbalat kayo tila naghahari.
Mga pangakong tila binaon sa kabaon.
Saan naba tayo ngayon?

Bayan kong tinatangi.
Paanu ba magagapi kung ang mananakop ay kauri.
Masdan mo silang mag hari
Ang Bayan ko'y naging isang malaking munti..
CC BY-NC-ND 4.0
We do not get a human life
Just for the asking.
Birth in a human body
Is the reward for good deeds
In former births.
Life waxes and wanes imperceptibly,
It does not stay long.
The leaf that has once fallen
Does not return to the branch.
Behold the Ocean of Transmigration.
With its swift, irresistible tide.
O Lal Giridhara, O pilot of my soul,
Swiftly conduct my barque to the further shore.
Mira is the slave of Lal Giridhara.
She says: Life lasts but a few days only.



Life in the world is short,
Why shoulder an unnecessary load
Of worldly relationships?
Thy parents gave thee birth in the world,
But the Lord ordained thy fate.
Life passes in getting and spending,
No merit is earned by virtuous deeds.
I will sing the praises of Hari
In the company of the holy men,
Nothing else concerns me.
Mira's Lord is the courtly Giridhara,
She says: Only by Thy power
Have I crossed to the further shore.
Aridea P Jan 2012
Di suatu tempat, di suatu hari

Kini ku beranjak dewasa
Dan malam ini aku berfikir
Hormonku telah mencapai puncak

Aku butuh bercinta
Ya... memang gila diriku ini
Tapi... aku benar-benar dan sangat ingin

Ku butuh pelukan seorang pria
Di setiap malamku yang dingin
Ku butuh ciuman mesranya
Untuk menghangatkan tubuh ini

Adakah pangeran yang mau melakukannya untukku?

Setiap malam aku kesepian
Hanya bermimpi...
Bercumbu dengan bayangannya
Memeluknya... menciumnya
Begitu mesra menyentuh jiwa

Gila! Gila! Gila!
Memang gila fikiranku ini
Tapi tak bisa ku hindari
Saat nafsu ini melumuri jiwaku
Pikiranku... dan cintaku

Begitu jauh...rumah pangeranku
Tak sanggup sendiri aku ke sana
Sekali lagi...
Pelukan...
Sentuhan...
Kecupan...

Dan saat-saat bercintalah yang akan ku tunggu
Hingga sang pangeran tiba
So Dreamy Oct 2013
Orang-orang bilang
Burung hanya datang untuk bernyanyi,
Membangunkan setiap jiwa dan menghancurkan alam mimpi,

Tapi bagiku
Nyanyian burung menandakan kebahagiaan tersendiri,
Mereka datang untuk menyambut pagi,
Bukan sebagai alarm alami,
Bukan juga untuk menghancurkan alam mimpi,
Tapi untuk menyambut pagi,
Memanggil mentari

Cahaya pun datang menyingsing
Senyum mentari lantas menari-nari,
Menghiasi langit bumi,
Secercah senyum penuh cinta tiba mengawali,
Ada sebuah lembaran baru yang menanti kami,
Yaitu hari ini.

*s.g.
Aridea P Jan 2014
Palembang, 11 Januari 2014

Ini kisahku
Kisah mengharu biru
Tentang aku yang tak berkawan
Di pulau perantauan

Ini ceritaku
Cerita yang terekam waktu
Tentang seorang anak Hawa
Yang mati tapi bernyawa

Alarm berbunyi, memecah sunyi
Aku diam di sini, sendiri
Mencoba tuk menutup mata, tapi selalu terjaga
Menerawang masa depan, melukiskan kehidupan

Terdengar Ayam bernyanyi, berirama seni
Aku masih merenungi, siapa jati diri?
Mencoba tuk menutup mata lagi, meski ku pun tak yakin
Ku coba sekali lagi, berharap mulai bermimpi

Esok hari penting, tak ingin ku langkahi
Kemarin hari sendu, birkan berlalu
Sekarang hari biasa, cobalah terbiasa
Kenangan akan tercipta, berawal dari mimpi di kala senja
VENUS62 Jul 2014
Swaymvar- Wedding! With Translation in English

Kavi, tha khayalon me khoya
Dard-e -dil soch ke roya

Tab Apsara sundarsi hui prakat
Ahista se gayee Kavi ke nikat

Likhte kyun ** kavita hamesha udaas
Racho koi rachna jisme ** harsh-o- ulhas

Ghatne wali hai ghatna avismarniya
Reh jayega baki sub kuch asmarniya

Aney wali hai baraat aaj raat
Yahi kuch gyarah- barah baje ke baad

Chaand ke saath hogi chandni
Sitare layenge jhilmil roshni

Indra layenge varsha ko saath
Varun ayenge thamey badalon ka haath

Suraj layenge bas kiran ek
Teeno mil sajayenge indradhanush anek


Draupadi ke saath honge punch pandav
Shiv bhi karenge nritya tandav

Agni khud karenge havan
Halka sa jhonka denge Pavan

Patton se banegi chudiyan hari
Maang mein mitti hogi lal sindoori

Aasman mein cha jayega kala-neela sa rang
Krishna jab nachenge radha ke sang

Rachegi khoob ras leela wahan
Dekha na hoga kabhi ye jahan

Pakwan har ek hoga anvesh
Bhojan hoga bahut hi vishesh

Srishti banegi ati ati -sundar
Rachegi jab
Ambar aur dharti ka swayamvar!



Translation The Wedding!
The poet was lost in thought
Heartbroken and distraught

When appeared an Apsara ethereal
She touched his shoulder lightly

Why do you write poems full of sorrow
Do write some poems replete with joy

About to happen is an event memorable
Everything else will be forgettable

The bridegroom will ride on a chariot light
Around eleven-twelve tonight

The moon will swing in with his moonlight
The stars will twinkle on their own shining bright

Indra will bring along the rains
Varun will hold the clouds in rein

The sun will be present as a single ray
The trio will create a rainbow array

Draupadi will come with five pandav
Shiv will swirl to his Dance Tandav

Agni himself will do the Havan
Gentle breeze will be supplied by Pavan

The bangles will be made from leaves green
The color of the earth will be vermilon red

The sky will be decked in black and blue
When Krishna will dance with Radha his beloved true

There will be celebrations lavish
Mortals will be left in disbelief

The food will indeed be delectable
Each dish will be a creative spectacle!

Creation will be at her very best
When the earth and sky
will be in their union blessed.
Maa ki mamta ko dekh maut v
aage se hat jati hai
gar  maa apmanit hoti
dharti ki chaati fat jaati hai
ghar ko pura jeevan dekar
bechari maa kya pati hai
rukha sukha kha leti hai
paani *** kar soo jati hai

Jo maa jaisi devi ghar ke
mandir me nahi rakh sakte hai
wo lakho punya bhale kar le
inshan nahi ban sakte hai
maa jisko v jal de-de
wo paudha sandal ban jata hai
maa ke charno ko chukar paani
Gangajal ban jata hai

Maa ke anchal ne yugo-yugo se
Bhagwano ko pala hai
maa ke charno me jannat hai
Girijaghar aur Shivala hai
Himgiri jaisi unchai hai
sagar jaisi gahrai hai
dunia me jitni khushboo hai
maa ke anchal se aaye hai

Maa kabira ki sakhi hai
maa tulsi ki chaupai hai
meerabai ki padawali
khusru ki amar rubai hai
maa angan ki tulsi jaisi
pawan bargad ki chaya hai
maa ved richao ki garima
maa mahakavya ki maya hai

Maa maansarovar mamta ka
maa gomukh ki unchai hai
maa parivaro ka sangam hai
maa rishto ki gahrai hai
maa hari dubh hai dharti ki
maa keshar wali kyari hai
maa ki upma kewal maa hai
maa har ghar ki phulwari hai

Saato sur nartan karte jab
koi maa lori gaati hai
maa jis roti ko chu leti hai
wo prasad ban jati hai
maa hasti hai to dharti ka
jarra-jarra muskata hai
dekho to dur kshtiz ambar
dharti ko sheesh jhukata hai

Mana mere ghar ki deewaro me
chanda si murat hai
par mere man ke mandir me
bas kewal maa ki murat hai
maa saraswati lakshmi durga
ansuya mariyam sita hai
maa pawanta me ramcharit
manas me bhagwat geeta hai

Amma teri har baat mujhe
vardaan se badhkar lagti hai
he Maa teri surat mujhko
bhagwan se badhkar lagti hai
saare teerath ke punya jaha
mai un charno me leta hu
jinke koi santan nahi
mai un maawo ka beta hu

Har ghar me Maa ki puja **
Aisa sankalp uthata hu
Mai dunia ki har maa ke
Charno me ye sheesh jhukata hu.....
Copyright© Shashank K Dwivedi
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
Tinalikdan ng araw ang langit
Hinayaang lamunin ng dagat ang hari
Mahinahon ang karagatan
Tila nagdurugo ang tubig
Hinabol ang hangganan ng nakikita
Doon nasilayan ang mukha ng asawa
Papalapit ngunit hindi naman niya kayang masungkit
Mga mata'y ipinikit
Sinariwa ang halimuyak ng kanyang mga halik
Labis na nasasabik
Gustong balikan ang mga sandali
Pagbukas ng mga mata,
Kadiliman ang naghasik
ng labis na pangungulila't hinagpis



-Tula IX, Margaret Austin Go
Marge Redelicia May 2015
ilang oras,
ilang araw, linggo, buwan,
ilang taon
na akong naglalakbay.
nakita't nadaanan ko na lahat.
dito sa masalimuot na lansangan
memoryado ko na ang mga
pasikot-sikot sa mga eskinita,
bawat lubak at hukay sa kalye,
ang mga graffiti at nangangalawang na karatula.

pero kahit kay tagal na ng lumipas na panahon
hanggang ngayon,
di ko pa rin masikmura
ang mga nakakabinging busina at humaharurot na makina
ang nakakasulasok na baho ng usok at nagkalat na basura.

sa una ako'y nangangawit
pero ngayon nangmanhid
na ang mga kamay ko
sa higpit ng kapit sa manibela na
walang sinuman ang makakaangkin dahil
ito ay s'akin lamang,
akin.

puso ko ang mapa:
lukot at punit-punit.
dito ako sunudsunuran at alipin.
kahit alam kong mali,
di ako kikibo, ako'y tahimik.
naghahanap, pero siya rin mismo nawawala.
tahanan lang naman daw ang gusto niya
kung saan lulunasan ng yakap
ang pagod at pait,
kung saan ang mga simangot
ay masusuklian ng ngiti.
pero saan?
saan kaya?


ako ang hari ng daan.
walang kinikilala na batas.
nakikipagkarera sa hangin
sige-sige sa pag-arangkada.
kung may masagasaan,
kahit siya ang duguan,
siya pa rin ang may kasalanan.

dahil paminsan
naiisip ko na baka
mas swerte pa siyang nakahandusay sa kalsada
kaysa sa akin na pagod,
naiinip, naiinis sa likod ng manibela.
malapit nang maubusan ng gasolina,
ang mga gulong ay pudpud na.
'di ko pa rin mahanap ang tahanan
kaya tumungo na lang kaya ako
sa kamatayan?

"para po"
ako'y napalingon.
oo nga pala, may pasahero ako.
inaangkas lang Kita
paminsan umuupo likod
madalas nakasabit sa may salamin
o nakalapag sa harap
kasama ng mga abubot at basura.

"ate, para po"
hindi.
inapakan ko pa ang gasolina.
nagbibingibingihan sa mga bulong Mo.
oo,
alam kong pagod na ako
pero kaya ko 'to,
hindi ko kailangan ng tulong.

"para, diyan lang sa may tabi"
hindi.
hinigpitan ko pa ang hawak sa manibela.
gusto ko lang naman makauwi.
oo,
alam kong nawawala na ako
pero sigurado ako ang ginagawa ko
siguro, sigurado
siguro.

"para"
ngayon
napagtanto ko na
ako'y sawi, ako'y mali.
papakawalan na ang pagkapit sa patalim,
ang pagtiwala sa sarili.
sa wakas
ako ay

bibitaw.

sa Iyo na ang manibela, pati na rin
itong upuan na 'to, and trono.
Ikaw na,
ang gasolina at gulong na nagpapatakbo
ang mapang nagtuturo
mula ngayon hanggang magpakailanman.
Ikaw na
ang Kapitan
ang tagapagmaneho ng buhay na 'to.
wala nang pagkuha, pagdukot, pag-angkin.
mula ngayon,
iaalay ko na ang lahat.
ako ay Iyo.

ilang oras,
ilang araw, linggo, buwan,
ilang taon
na akong naglalakbay
at tuloy pa rin ang biyahe.
ganun pa rin ang kalagayan ng kalye:
malubak, maingay, madumi.
pero kapag Ikaw ang nandyan sa upuan,
para tayong lumilipad.
anumang madaanan
biyahe ay napakabanayad.

puso ko'y nananabik.
saan Mo ako sunod dadalhin?
saan kaya makakarating?

kahit saan man mapadpad,
kahit gaano man kalayo,
'di na ako mawawala.
ako ay nakarating na.
o tahanang tinatamasa,
nahanap na rin Kita.
basta't kasama Ka,
Hesus
*ako'y nakauwi na.
A spoken word performed for Para Sa Sining's Katha: Tula X Sayaw.

— The End —