Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Aridea P Nov 2011
Palembang, 28 JULI 2011

Ya Allah,
Kamu tau nggak setiap hari aku selalu sakit?
Kamu tau nggak BESAR banget keinginan aku buat ketemu Westlife?
Kamu tau nggak setiap detik aku pengen punya BB?
Kamu tau nggak setiap hari aku nunggu pesanan yang aku minta sama Kamu?
Kamu tau nggak aku selalu ingin terusmenyembah-Mu?

Tapi mengapa Engkau masih musuhi aku?

Jawab pertanyaan aku ya Ya Allah :)
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Ara Oct 2013
Kau... membenciku kah?
tidak menyukaiku? atau mungkin kau iri padaku?

Kau begitu munafik!
dulu aku selalu bercerita tentangnya padamu, meskipun aku dan dia sudah tak lagi bersama kau pun tahu aku masih sangat sangat menyukainya. Kau tahu aku mengaguminya berbulan bulan, kau juga tahu untuk mendapatkan hatinya seperti berlari mendapatkan satu bintang kecil. Walau pada akhir nya aku hanya jadi pelampiasan perasaannya, tapi aku masih sangat menyukainya pada waktu itu meski kenyataannya harus seperti itu.

Aku teman mu, dan aku juga tahu kau juga temannya lebih dekat dari sekedar pertemananku denganmu.
tapi apa kau tak bisa mengahargai perasaanku sebagai temanmu?
kau tahu semua isi hatiku tentangnya, tapi mengapa kau sekarang?
memadu kasih dengan dirinya yang sampai detik ini kau tahu aku masih sangat mengaguminya!

kau jahat! kau benar-benar penghianat bertopeng pertemanan!
kau bukan lagi temanku sekarang. Itu terlalu sakit, sangat sakit untuk ku percaya.
kau bahkan hanya mengatakan maaf hanya untuk sekali seumur hidupmu?! itukah dirimu yang sebenarnya? menikamku tanpa ampun.

kalian berdua sama saja, tak ada gunanya aku mempertahankan seorang teman penghianat, dan sorang pengagum yang gila perempuan.

'seorang pencuri kekasih sesungguhnya mencuri seorang penghianat!'
Noandy Mar 2016
/1/
Merindu berarti meranggas
Bak guguran detik demi detik
Pada tangan pedih di petang hari
Merindu berarti meradang
Saat senandung semu
Dari semua kisahmu
Menorehkan luka
Pada jejak lisanku
Yang tak kunjung bermuara
Karena kita yang bertualang
Hanyalah jiwa dalam deru
Jerit

/2/
Siapa yang tinggal dalam gelap
Jika bukan sekumpul hantu
Dan kepulan sisa ragamu
Yang denyut nadinya
Sangat susah untuk kuraba
Untuk apa membunuh diri
Bila ternyata
Tak pernah hidup
Di cinta hingar bingar
Di pilu tak berpijar
Sumbu tubuhmu
Akankah menyala lagi
Apabila ku dekap dalam ratap?

/3/
Terbitnya kabut
Setelah fajar
Takkan bisa
Gantikan
Kenanganmu dalam redup
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu 18 Mei 2008


Dulu diary ku indah
Sekarang telah ku ubah
Tapi, saat gagal bertemu kau
Ku satukan diary yang terpisah
Sebagai bukti dariku
Yang kan ku berikan untukmu
Agar kau tau
Seberapa besar  cintaku
Kasih ku t’lah tercurah
Berdetik-detik, berjam-jam
Bahkan berhari-hari lamanya
Semoga dapat kau terima
Meski terluka akhirnya
Biar ku pergi saja
Lupakan kenangan indah
Dan yang paling menyakitkan
Tapi, takkan ku biarkan
Diary ku berubah indahnya
Noandy Sep 2016
Kuharap ingatanku tidak
Berjalan mundur perlahan
Dengan keteguhan
Lalu berdiam
Melebur
Hancur
Seperti
Jam
Jam
Di
Ran
Ting
Ranting
Lukisan Dali

Kuharap aku
Disalib
Melayang
Tanpa
Lihat
Duka
Mu

Hantu-hantu
Vermeer
Dal­am
Ruang
Ter
Tutup
Menjelma
Meja
Menopang
Detik
Demi
Detik

Dali,
Mungkin­ begitu
Seru dunianya
Tanpa kau di dalam sana
Beeha Dec 2012
indahnya sebuah melodi,
sebuah lagu yang berirama,
sungguh merdu,
sungguh syahdu.

alangkah indahnya hidup ini,
jika diibaratkan dengan sebuah lagu,
setiap detik kehidupan,
mempunyai iramanya yang tersendiri.

alangkah indahnya cinta ini,
seperti melodi lagu-lagu tanpa nyanyian,
penuh dengan kesedihan,
tetapi juga membawa kebahagiaan.

tatkala perginya seseorang itu,
ke dunia lain mahupun yang sama,
sakitnya tidak diduga,
seperti mengenggam serpihan kaca.

kehidupan ini tidak dapat dibicara,
dengan hanya kata-kata,
ianya dapat dirasa,
apabila dilalui.
afteryourimbaud Jun 2018
[Untukmu di Langkawi, 26 Jun 2018]

Beratus-ratus retakan kaca
tidakkan pernah imbang neraca
betapa berat hatiku menunggu
detik-detik tak berpenghujung
beribu-ribu detakan hati
takkan pernah akan ku lari

biar Bukowski dengan kebuntuan
biar Rimbaud dengan ketidaktentuan
akan hanya ada dirimu dalam
laci yang penuh dengan kepastian.

Berbatu-batu kau ke utara
begitulah rasa ini terawang-awang di udara.
Aridea P Oct 2011
Teriakan demi teriakan
Kami... menangis...
Sakit... sakit...
Kenapa? Mengapa?

Setiap detik hati kami
Selalu resah dan gelisah
Terbelenggu, kami terbelenggu
Apa salah kami? Apa yang jadi dendam?

Anak cucu kami
Tak bersalah? Tak tahu menahu?
Tapi mengapa?
Kau binasakan mereka?
Kau hancurkan kami?

Mengapa kami, tempat tinggal kami?
Kenapa? Mengapa?
Tolong... tolong... Tuhan
Apa rencana-Mu?
Apa yang Kau inginkan?

Kami sabar, kami diam!
Seakan menunggu ajal datang
Kami diam, kami takut
Suara ledakan hancurkan hati kami

Kenapa? Tak ada pembelaan?
Mengapa? Harus ada perang?
Kami lemah kami tak  berdaya!
Kami hanya bisa menunggu!
Entah apa yang ditunggu.

Ajalkah...
Damaikah...
Ataupun derita...
Ya Tuhan kami...
Mengapa ini terjadi??
NURUL AMALIA Nov 2018
waktu tidak serta merta memberi salam maupun pamit
ia berjalan saja mengikuti poros
dan terkadang aku tak merasanya
cepat..
kemarin rasanya aku baru akrab denganmu, setalah kebungkaman yang berbicara menahun
aku hanya bisa tertawa, jika aku ingat dulu.
kamu dan aku kemudian dibawa waktu untuk saling bicara untuk pertama kali
sebenernya aku dipaksa karena aku membutuhkan bantuanmu
aku memanfaatmu..agar kita dekat mungkin itulah cara-Nya
maaf..
sampailah kita diakhir studi kuliah
topi bertali dan jubah sudah mantap kita kenakan
tapi dihari itu aku tak melihatmu
mauku melihatmu dengan jas hitam dan kemeja merah mudamu yang manis
tapi aku senang.
semoga kamu gapai maumu selalu
dan selamat.. aku masih merepotkanmu hingga detik ini
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mendengarmu berceloteh,
Daun telingaku kian mengecil,
Menciut sesak dalam lubangnya,
Hingga tiada bunyi menggugah pikiran.

Memandangmu beserta materimu,
Kelopak mataku tak kuasa terbuka,
Ku paksa terbelalak, menatap tajam,
Sampai pandanganku kosong hampa.

Menghadiri kelas mata kuliahmu,
Detik jarum jam seakan tertidur tuk berdetak,
Ruangan seakan penuh dengan jeritan jiwa,
Tinggallah hasrat untuk kembali pulang.

Wahai bapak dosenku,
Adakah engkau menawarkan air di panasnya hati,
Akankah kau menabur harum bunga di otak yang usang,
Atau apakah rasa jemu takkan terganti?.
Jack Jun 2022
Jauh aku datang,
Singgahan sementara,
Ribut pasir di padang gersang,
Menari di sanubari hati,

Cahaya matahari menemani sunyi,
Bulan menghiasi langit yang gelap,
Harapan seperti menanti hujan,
Keras hatiku timbul rekahan,
Badan aku membara keseorangan,

Jarum detik sudah behenti,
Tetapi aku masih berjalan lagi,
Peluh bersilang ganti,
Nafas ku semakin pendek,
Persoalan berhimpun di minda,
Sampai bila, sampai bila.
Namun, getaran tenaga menjadi kudrat terakhir.
Hingga badan aku rebah dan tenaga aku gersang..
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Jack Jul 2023
Tujuh lapis langit,
Tiga lapis bumi,
Petualang mengembara,
Jauh dari tanah,
Menjelajah samudera,
Rindu pada darat,
Ku lepaskan pada laguna,
Hujan di libas badai,
Sanubari hati ini
Impikan haruman cindai,
Oh Juwita,
Tiap detik pasti rindu,
Lafas tiada noktah ataupun koma,
Hanya ombak dan bayu berlagu,
Awan berarak syahdu,
Bintang malam menjadi arah,
Ku harap,
Aku tidak sesat ke jalan yang salah.
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
Sipaa Adriani Jun 2019
Rasanya tubuhku seperti ditikam jutaan kali
Ragaku,perlahan mati
Rasaku hancur tak bertepi
Dan kau si bajingan,yang ku dambakan
Yang selalu ku beri pujian
Yang detik ini masih pertahankan
Tapi malah membunuh ku secara perlahan

Aku benci hadirmu yang selalu membayangi diri
Disaat ku mulai melangkah kan kaki
Sejauh mungkin, melupakan kau
Dan rasa kita yang perlahan mati

Tolong,untuk kali ini
Jadilah bajingan yang sedikit punya rasa baik hati
Bantu sedikit aku memulihkan raga ini
Bantu aku sedikit percaya diri
Bahwa kau memang sudah sepantasnya tak di sisi
Pergilah jauh dan tak perlu lagi kau kembali disini

Rasaku sudah mati
Sejak kau memilih berlalu pergi
Aku benci
Tapi aku mencintai
KA Poetry Dec 2017
Mahluk Tuhan yang begitu murni
Menutup diri untuk tak terlihat
Melihat hanya dengan doa
Menggincu disisi akhlaknya

Dusta bahwa dia tiada lain dari sempurna
Dia lah arti kata sempurna
Dusta bahwa dia tidak berjalan dengan arahanNya
Dia lah jalan untuk diriku berpulang

Rajutan luka perih di jiwa
Penyembuh kesepian
Reinkarnasi seorang malaikat
Permata yang paling berharga

Kau adalah jantungku
Berdetak di setiap detik kematianku
Kau adalah darahku
Berjalar renang disekujur tubuhku

Membuatku merasa hidup.
04/12/2017 | 19.52 | Indonesia
KA Poetry Oct 2017
Detik waktu terus berjalan
Hari demi hari
Kulewati dengan gelap menyertai
Hari demi hari
Hujan gelap menemani

Desir cinta yang disenandungkan
Seakan memancing diriku untuk keluar
Bayang - bayang kelabu
Menyerupai sketsa hitam dirimu

Aku menunggu kedatangan
Sang surya
Agar ia menghantarkanmu
Ke duniaku
Yang mendung.
12/10/2017 | 12.58 | Indonesia
Merinda Jan 2019
Aku adalah sang waktu
Pejalan klise dari masa lalu
Aku adalah sang waktu
Tak pernah terbayang apalagi tersentuh
Aku adalah sang waktu
Hujan dan badai tak pernah hentikan laju
Aku adalah sang waktu
Sering dilupakan namun tak kenal pilu
Aku adalah sang waktu
Langkah tak berdaya siap membunuhmu
Aku adalah sang waktu
Menggerus detik yang kian rapuh
Aku adalah sang waktu
Tak diharapkan namun seketika membelenggu
Surya Kurniawan Jun 2017
Dalam ke-tiga ratus empat puluh empat meter per detik kecepatan suara, ternyata tak ada bibirmu didalamnya. Sebab kabar tak lebih cepat dari suara, dan tak lebih lambat dari jatuh cinta.

Apakah mungkin, suara dapat merasuk lebih cepat jika dia merangkak di dalam air mata?

Mungkin juga sebaiknya kita perhatikan bagaimana suara merambat melalui  dua puluh satu derajat selsius suhu udara, menjadi sebuah rangkaian gelombang kata-kata yang melambat dan merangkai dengan sendirinya.

Apakah mungkin getaran suara dapat lebih cepat, jika kulitku tidak menjadi sehangat ini?

Jika kamu bukan getaran suara, lantas mengapa sepersekian detik nama mu bergaung dalam kenangan?
ga Jun 2018
Pertama kalinya kugenggam tanganmu
Satu kembang api dipantik dari ulu hatiku
Seribu lainnya menyusul saat jemari kita saling bertaut
Menghiasi langit malam dengan pendar menggoda
Hitam pekat dibasuh percik api warna-warni
Kusaksikan dengan jelas saat kutatap wajahmu lekat-lekat

Kala itu tak satupun kata berhasil kita ucapkan
Namum dalam hati, tiap detik kulayangkan ribuan doa
dan segala mantra :
"Tuhan sang empunya dunia ini, hendaklah hentikan waktu sejenak untuk hambamu ini. Atau panjangkanlah malam sebelum mentari terbit nanti. Terima kasih Engkau turunkan bidadari, tepat disebelah hambamu ini".

Rambutmu bagaikan ombak musim panas
Bergulung-gulung indah harum manis bergairah
Namun dadaku layaknya laut dikala badai
Gemuruh layaknya seribu ksatria berkuda
Inginku berteriak sekencang-kencangnya
Gemanya terdengar sampai kampung Ayah-Ibuku

Jikalau nun jauh di belahan dunia sana
Seseorang berhasil menginjakkan kakinya di bulan
Inginku umumkan pada dunia
Malam itu akulah manusia pertama yang berhasil menggenggam bulan
Akulah pungguk yang melawan seluruh hukum gravitasi
Akulah pungguk yang tak lagi merindukan bulan

Kalau saja bisa, saat itu juga
Ingin kutuliskan berlembar-lembar puisi cinta
Ingin kupetik gitar dan bersenandung mesra
Karena bisikan lembutmu melantunkan hasrat hidup
Tatapan sayumu membiaskan mimpi-mimpiku
Senyuman indahmu melukiskan harapan-harapanku
Mimpi dan harapan seorang lelaki biasa
Menghabiskan hidup dengannya, tuan putriku ratuku, malaikatku, wanitaku yang istimewa
22/05/2018
Pagi mulai menjelang, biar kuantar kau pulang
Nabiila Marwaa Oct 2018
bagaimana kau masih bisa percaya
waktu itu berjalan maju
jika engkau dapat dengan mudah mematahkan detik-detiknya
dan kenangan adalah salah satu kemunduran
yang kita percayai sebagai sebuah kemajuan?
ga Aug 2018
Tawa renyahmu di sela-sela bisikan lembut
Menghangatkan malam yang dingin
Ingin kumiliki sepasang sayap di belakang pundakku
Agar bisa kubawa tubuhku ke hadapanmu, kapanpun kau katakan rindu
Kupasrahkan seluruh ragaku atas senyummu yang menyihir
Kurelakan setiap jengkal kata yang kuucapkan,
setiap detik yang kulewatkan,
setiap nafas yang kuhembuskan,
setiap detak dari jantungku,
Untuk kau kuasai

Malam-malam yang membelaiku dengan lembut
Memberiku alasan untuk terlelap dengan nyaman
Namun kau datang meretas mimpiku
Suaramu selembut angin memetik dedaunan musim gugur,
menggema dalam kepalaku
Senyummu semanis madu mengaliri relung-relung hatiku
Sentuhanmu sedahsyat guntur menggelegar
Memaksaku terbangun seketika dan menyadari
Kaulah mimpi yang tak ingin kusudahi

Kau menumbuhkan taman bunga di tengah padang pasirku
Kau memaksa bulan muncul di saat pagi hariku
Kau memutar badai pada lautku yang tenang
Kau memancing senyum saat hari-hari kelam

Kau bara apiku yang terus meradang
Kau kicau merdu yang menyambut sejuknya pagi
Kau bintang-bintang yang menutup dinginnya malam
Kau cinta yang mengisi hatiku hingga memerah
12/08/2018
Mimpi yang tak ingin kusudahi,
Angan yang selalu ingin kuandaikan.
Afeksi cita Jun 2020
•••
Tak jarang jiwa ini meragu
Akan pikiran ini dan itu
Tak jarang sukma ini terbelenggu
Oleh rasa yang tak menentu

Ada detik ku ingin melupa semua
Ada saat ku ingin menikmati semua
Ada malam ku ingin mengakhiri semua
Namun, ada juga hari ku ingin meresapi semua rasa

Rasa yang tak menentu
Ntah apa yang ditunggu
Mungkin karena diri terlalu lama terbelenggu
Hingga dia datang saat itu,
Memberi sebongkah cita dalam hidupku
•••
Ingar bingar Nov 2021
Rasanya seperti ingin muntah,
perutku bergerumul,
dadaku bergemuruh,
hatiku penuh amarah,
tubuhku lemas tak bertenaga.
Aku lelah.

Air mata di ujung pelupuk mata,
mengalir deras sekali terpicu.
Sumbu kesabaran yang kian pendek,
terus menerus terbakar oleh amarah.
Aku lelah.

Hari-hari berlalu begitu saja seolah tak bermakna,
yang kutunggu hanya Sabtu Minggu saat tak perlu kutatap layar terang itu 12 jam sehari.
Detik-detik lewat tak memandang lara dan amarah yang terus membakar hati
Apa aku bisa bertahan, atau sebentar lagi hati ini mati?
Aku lelah.

Bakar. Bakar. Terbakar.
Bila hati ini kemudian mati dan dipenuhi kebencian dan kegusaran,
bila kemudian ia dikuasai oleh kegelapan,
bila hatiku mati...

Aku bagaimana?
Annisa Nov 2019
terima kasih sudah melengkapi
disini tertulis
untukmu pada dini hari

jika dihadapkan lagi oleh tawamu
satu detik saja
kita ada

berdesir wangi lembut
aku kenang lagi aromamu
akan ku putar lagi perjalananku
menghampirimu

13 januari nanti
jangan berhenti
tetap seperti ini

siapa aku berani menuntut abadi
Menanti dalam hening yang panjang,  
jarum waktu tak kunjung berbelok.  
Detik-detik terhenti di angkasa kelam,  
aku tunggu pukul 21:00, dengan harapan.

Namun, saat itu datang, ia terbang.  
Fase yang aku tunggu pudar di angin malam,  
jejaknya lenyap tanpa kesan,  
dan kini yang tersisa hanyalah bayang.

Apakah ini luka yang membiru,  
menoreh lembut di dada tanpa suara?  
Ataukah sekadar angan yang terbang jauh,  
meninggalkan ruang kosong di relung jiwa?

Mungkin luka, mungkin juga rindu,  
menghilang bersama waktu yang tak pernah tahu.  
Tetap kau berdiri di bawah langit biru,  
menghitung bintang yang pernah jatuh,  
sambil menanti, dalam luka yang samar membiru.

— The End —