Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mungkin suamimu tak pandai berkata apalagi merayu dengan romantisme karya sastra...
Tapi mungkin dengan cara itulah Allah menjaga lisannya...
Menjauhkannya dari fitnah dunia yang tak halal baginya...

Mungkin suamimu tak pandai berkata..
Tapi heningnya menahan kita banyak bicara..
Memutus rantai kalimat sanggahan yang lahirkan perkara..
Sehingga keseimbangan suasana lebih terjaga..

Andai saja Allah ciptakan sebaliknya, mungkin rumahmu bagai arena tarung laga
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu tak berparas mempesona
Apalagi secantik selebritis di warta berita..
Tapi mungkin lisannya selalu berucap kata mutiara yang terpancar dari jiwa yang terjaga...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin hatimu tak tenang saat jauh darinya
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin suamimu bukanlah saudagar kaya yang membawa pulang limpahan laba hasil usaha...
Namun meskipun besarannya begitu sederhana...
Mungkin ia selalu menjaga kehalalan apa yang dibawa..

Mungkin suamimu bukanlah pejabat yang bertahta, yang dihormati dan dipuja bawahannya
Tapi mungkin dibalik kedudukannya yang biasa, ia mampu menjadi imam bagi keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya,
Mungkin belum tentu ia miliki derajat takwa
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa yang masakannya selezat pujasera...
Tapi mungkin ia pandai mendidik buah hatinya, memahat pribadi yang berkarater mulia.

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa,
Yang terkadang masakannya itu-itu saja
Tapi mungkin ia pandai mengatur alokasi harta, sehingga pemberianmu tak terhambur percuma

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin kecintaanmu akan terlalu berlebih padanya...
Melebihi cintamu pada Allah sang pemberi karunia..
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat kau melakukan semuanya
Tapi mungkin ia sabar membantumu... meringankan pekerjaan rumah tangga..
Sehingga semua terlaksana dengan kerja sama..

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat minim perannya dalam keluarga...
Tapi mungkin ia sangat keras bekerja
Sehingga nafkah telah cukup terpenuhi lewat dirinya...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin banyak para gadis menanti dipinang menjadi yang kedua
Jika suamimu terlalu sempurna...
Aaa.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Tak mampu menyulap rumah menjadi rapi tertata...
Tapi mungkin ia begitu cerdas menguasai matematika...
Sehingga anak yang cerdas dalam eksakta terlahir dari rahimnya karena genetika...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Menambah sedikit tugasmu dalam membantunya bekerja..
Tapi mungkin ia begitu taat dalam beragama..
Membimbing anak-anak dalam kerangka syariat agama...
Sehingga meringankan kewajibanmu dalam membimbing keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin engkau merasa tugasmu telah tertunai sempurna..
Cukup sekedar menyempurnakan nafkah keluarga
Aaa..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Percayalah......
Selalu ada kebaikan dalam setiap ketetapan Allah Sang Sutradara
Maka temukanlah sebanyak-banyaknya rahasia dibaliknya..
Agar engkau mengerti mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Jikalau engkau masih sulit menemukan jawabannya...
Gantilah kaca matamu dengan kacamata syukur atas segala karunia...

Adalah hakmu jika engkau berharap Khadijahmu menjadi lebih sempurna...
Asalkan kau siap membimbingnya dengan menjadi Muhammad baginya.

‪#‎RZMuhasabah‬

Suka · Komentari · Bagikan
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
Aridea P Oct 2011
Pertengahan tahun aku kenal dia
Tepat saat kenaikan kelas 9
Ku berteman dengan nya
Hingga kami menjadi sahabat
Ku beri dia segalanya
Termasuk contekan
Saat ada masalah sama guru
Aku membelanya
Hingga awal bulan tahun kedua
Kami terus bersama

Seiring waktu berjalan
Ku masih baik dengannya
Ku selalu menjaga perasaannya
Tapi… di pertengahan bulan tahun kedua
Aku konflik dengannya
Ternyata sahabatku selama ini
Seorang munafik yang berkata lebay
Ku sedih, ku kecewa, ku marah!
Dan ku bersumpah tak ingin mengenalnya lagi
SELAMANYA
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Aisyah Adler Mar 2016
Perasaan ini terus bergelung
Bersembunyi di dalam relung.
Seakan mencoba tuk keluar, namun keadaan tak mendukung.
Ia pun lelah akan waktu yang terus berjalan namun berbanding terbalik dengannya
Yang hanya duduk beralaskan rasa percaya
Menatap langit kelabu menunggu turunnya rintikkan hujan pertama.
Walau kerinduannya semakin lama semakin bertambah,
Ia tak pernah bosan untuk membendungnya
Dan menunggu,
Menunggu datangnya hujan.
Karena ia percaya bahwa seberapa besar kerinduannya, seberapa dalam rasa sakitnya, dan seberapa lama ia menanggung deritanya, hujan yang turun akan menyapu bersih luka di relungnya.
Bagaikan obat penawar yang selalu ia temukan saat penyakitnya kembali datang.

Ia tak pernah bosan bercerita kepada langit,
yang dengan setia mendengar celotehannya.
Sambil menunggu turunnya hujan, ia bercerita akan lika liku yang ia alami.
Mendongak menatap langit, dan bercerita.
Sejenak ia dapat mengalihkan perhatiaannya dari hingar bingar sekitar
dan menemukan ketenangannya sendiri.
Yaitu bersama langit, saat menunggu hujan.

Rintikan pertama menerpa wajahnya. berhasil mengangkat sudut-sudut bibirnya.
Ia tersenyum.
Yang ditunggu memang tak pernah datang terlambat.
Diikuti dengan rintikan lainnya dan kemudian hujan turun dengan deras.
Inilah kebahagiaannya.
Namun juga kesedihannya.
Saat rintikan hujan yang turun berhasil membuatnya tersenyum sekaligus menangis.
Karena dapat membawa ketenangan dan penghapus luka,
namun juga dapat membawa kerinduan yang turun disetiap rintikannya.

“Jika hujan tidak dapat membuatku seutuhnya bahagia, lantas kemana lagi aku harus mengadu?”
coffeesign Jun 2013
perempuan datang atas nama cinta,
bonda pergi kerana cinta.
digenangi air racun jingga adalah wajahmu,
seperti bulan lelap tidur di hatimu,
yang berdinding kelam dan kedinginan ada apa dengannya ?
meninggalkan hati untuk dicaci,
lalu sekali ini aku lihat karya surga,
dari mata seorang hawa ada apa dengan cinta ?
tapi aku pasti akan kembali dalam satu purnama,
untuk mempertanyakan kembali cintanya.
bukan untuknya bukan untuk siapa,
tapi untukku ,
karena aku ingin kamu,
itu saja*
        
                                                 rangga
Aku memiliki seribu mimpi tapi ibu bilang aku tak tahu diri
Tak mengerti keadaan dan kondisi, akupun berhenti membicarakan itu dengannya.
Kopi panas yang ku seduh dengan kekecewaan kemarin pagi diseruput lega olehnya.
"Jadikan perkataan mereka cambuk bagimu"
Salah seorang teman pernah berkata begitu padaku.
Tapi kepalaku ini berisi setan-setan bengal!
Mereka hanya mengerti kesedihan dan kemarahan.
Aku tidur dengan tangan penuh tinta merah setiap malam,
berusaha memindahkan kotak-kotak terlarang dari sudut mimpi ke ruang kegagalan.
Mereka berhenti mencoba membunuhku tapi kali ini mereka menaruh racun disetiap gelas yang akan ku teguk
Bukan! Bukan racun mematikan
tapi cukup membuat jiwaku lumpuh untuk waktu yang tak menentu
Aku berhenti membicarakan mimpi-mimpiku kepada siapapun
Aku tak ingin mimpi yang tersisa hancur diinjak-injak oleh kaki yang bahkan tak peduli berapa lama aku membangunnya 'kembali'
Tahun-tahun tak bernyawa
Meludah kata-kata serapah seakan hatiku dinding beton dingin
Kecukupan seperti apa yang membuat mereka bahagia!
Atau biarkan aku tergeletak di kasur lembut itu
Jangan! Jangan coba bangunkan aku
Mungkin ketenangan di dalam sana mampu meredam kekacauan di kepala malamku
#puisi #mimpi
fustypetals Feb 2017
pada akhirnya,
aku tak lagi peduli,
begitu juga dengannya

pada akhirnya,
aku lelah,
dan begitu juga dengannya

pada akhirnya,
tak ada lagi yang akan saling mengingat diantara kita,
kau tak ingat aku,
aku pun juga begitu

pada akhirnya,
tak ada lagi yang akan saling mempertahankan,
kau akan membiarkanku pergi,
dan aku pun juga akan begitu

tapi aku akan membiarkan waktu berjalan,
karena aku percaya,
seiring waktu berjalan,
semuanya akan menjadi baik-baik saja

/f.r/
Aridea P Oct 2011
Jumat, 13 Agustus 2010


Sekarang aku makin dewasa
Bapak... Mamak... Aku...
Anakmu kini 15 tahun
Ya Allah Terima Kasih atas Rahmat-Mu

Bapak, maaf bila esok ku tak berguna
Mamak, maaf bila esok ku gagal
Ya Allah, ampuni Hamba
Semakin dewasa, semakin ku berdosa

Tak sanggup aku melawan rasa itu
Aku telah bercinta...
Bercinta dengan nya
Ku tahu dia tak pernah di sini
Tuhan... Tuntunlah aku pada-Mu
Aku merasa hina di hadapan-Mu
Aku merasa hina di belakang orang tua ku
Ampuni Hamba Ya Allah...

Ku tahu t'lah berdosa
Oh Tuhan, Aku bercinta dengannya di dalam khayal


Creates by. Aridea .P
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Tuesday 2 September 2008

Sudahkah akhir cerita ku
Namun mengapa kamu di sini
Semakin indah semakin ku sayang
Hingga, ku tak bisa pergi tanpa mu
Namun, diriku tidak mampu
Diri ku tak berdaya
Bila melihatmu lebih nahagia dengannya
Mengapa, bukan ku yang di sana
Mengapa, senyum ku tidak ada
Ku hanya senyum sendiri
Melihatmu bahagia
Tubuhku tak berdaya
Sambil terluka . . .
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
AKHI, JIKA BENAR ENGKAU MENCINTAI
ISTRIMU...
Ijinkan dia berdakwah...
Berkumpul dengan akhwat seperjuangan....
Relakan kepergiannya ke berbagai majelis ilmu...
Sekalipun itu mengurangi waktunya, untukmu...
Banyak suami salah prioritas...
Istrinya boleh bekerja di luar rumah...
Bebas beraktivitas jika hasilnya menunjang
ekonomi keluarga...
Bahkan didukung untuk kuliah pascasarjana...
Tapi, minta ijin 2 jam saja dalam seminggu untuk
ngaji, TIDAK BOLEH?
Jangan egois, wahai saudaraku..
Suami memang punya "hak veto" dalam rumah
tangga...
Keputusannya adalah kewajiban istri
mentaatinya...
Larangannya adalah keharusan istri
meninggalkannya...
Maka, gunakanlah kewenangan itu dalam
PRIORITAS YANG BENAR...
Dakwah itu wajib, bagi pria juga wanita...
Doronglah istri ikut berjuang di jalan dakwah...
Sesekali ambil alih kerjaannya di rumah agar dia
bisa leluasa bergerak...
Sudah pasti ini mengurangi kebersamaanmu
dengannya...
Tapi, percayalah ini hanya sementara...
Kelak ada masa bebas bercengkerama dengan
yang tercinta...
Di dalam surga, dan kalian berdua akan terus
bergembira...
ﺍﺩْﺧُﻠُﻮﺍ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﺃَﻧﺘُﻢْ ﻭَﺃَﺯْﻭَﺍﺟُﻜُﻢْ ﺗُﺤْﺒَﺮُﻭﻥَ
"Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan
isteri-isteri kamu digembirakan".
(QS. Az-Zukhruf, 43: 70)
‪#‎women‬ and sharia
D Aug 2019
“Tiga tahun dan kau tak pernah menulis tentangku.”
Katanya setengah bercanda, rambut hitam sebahu itu menutupi sebelah matanya. Bahkan saat berbicara tentang kecewa, dia tetap memilih untuk tidak menatap mataku.
“Tidak seperti pada si musisi itu, atau si perempuan yang kau bilang jahat.”
“Kau tahu aku hanya bisa menulis saat aku terluka, atau saat ada kafe baru di Jakarta — Namun itu tuntutan.”
Dia mendelik, tapi aku tahu dia sedang menahan tawa. Tawa yang kudengar hampir setiap hari setahun lalu. Selain bunyi tawa, terlalu banyak yang kita tahu akan masing-masing.
“Ya. Sepertinya seru kalau ada yang menulis tentangku.”
“Menulis tentangmu? Harus kumulai dari mana tulisan itu?”
Walau pemilihan kata “Seru” terdengar sangat remeh ditelingaku, pikiranku hinggap ke hal lain; mungkin harus kutekankan pada si konyol bersampul Rock and Roll ini bahwa ide tentangnya memang terlalu banyak dan terlalu dalam untuk digambarkan lewat satu atau seribu kata, setidaknya untukku. Di saat banyak yang mengagumiku karena lidah ini terlalu banyak berceloteh tentang film, sastra dan bercinta, laki-laki satu ini telah mendengar sinisnya makian yang terlontar dari lidahku — serta menjadi saksi akan terlemparnya makian tersebut ke sudut-sudut ruang. Selama dua tahun kedua bola mata coklatnya harus melihat ratusan lembar diri ini. Setiap hari lembaran yang berbeda. Namun aku tahu, dari sekian lembar yang ia baca, hanya beberapa yang betul-betul ia hafal - telaah - dan dia simpan di memori terdalamnya untuk suatu saat ia bolak-balik lagi. Setelah setahun berpisah dengannya, tubuh ini seakan tak mampu menghapus rasa yang begitu familiar, begitu kental, begitu erat, saat bersanding disebelahnya. Tidak pernah ada yang melihatku setelanjang ini.
“Kamu ingat saat kita hendak berangkat ke Bandung?”
“Untuk nonton konser Jazz?”
“Ya.”
Aku bisa merasakan nafasku berhenti.
“Aku melemparmu dengan handphone-ku.”
“Yang lalu retak dan mati.”
“Aku meneriakimu.”
“Aku juga.”
Terlepas persona beringasnya, suaranya hampir tidak pernah bernada tinggi, kecuali satu kali.
“Hari itu aku bertengkar dengan Ibu.”
Ada sesuatu dari dirinya yang sampai detik ini tak bisa kutemukan pada orang lain; ketidakmunafikannya.
“Kalian berdua sama sarapnya. Itulah yang bikin kalian begitu dekat.”


Dia tidak pernah berusaha menenangkanku dengan khotbah klise tentang kasih Ibu, atau tentang tanggung jawab seorang Ibu yang begitu berat — yang kadang membuatnya meledak membanjiri semesta dengan segala emosinya. Dia tidak pernah berpura-pura menjadi filsuf, menaruh tanda tanya kepada setiap kata dan kejadian, atau tidak pernah menjadi psikolog gadungan yang memaksaku bercerita saat otak ini masih melepuh belum waras. Jika banyak perempuan yang dalam hati berdarah-darah karena ingin diperhatikan, kekagumanku terhadap cuainya lelaki ini patut dipertanyakan. Sikap yang terlihat acuh tak acuh itu malah terlihat begitu natural di mataku. Ada perasaan nyaman yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata di saat aku tidak lagi mendengar rentetan omong kosong seperti; “Semua akan baik-baik saja.” “Tuhan akan membalas suatu yang baik dan buruk.” “Kamu perempuan yang kuat.”
Sebaliknya, lelaki nyentrik ini lebih memilih untuk menatap diam sebelum ia menyetel lagu pilihannya untukku keras-keras. Mengenal orang ini begitu lama, ada sedikit banyak hal yang kupetik dari hubungan kita yang lebih sering tidak jelas; mungkin cinta kasih tak harus repot.
Mousamous Aug 2017
Pasal I; tentang mengikhlaskan dan melepaskan.

- kau harus tau, bahwa dirimu yang telah kulepaskan dengan ikhlas, adalah dirimu yang sekarang. bukan dirimu dahulu, ketika ku pertama mengenalmu.

-kau harus tau, bahwa melepasmu bukan tentang rasa yang kian hari berubah, namun, melepasmu adalah jalan terbaik setelah mengikhlaskan dirimu berbahagia dengannya.

-sekali lagi, kau juga harus tau, bahwa melepas dirimu bukan berarti berlepas diri dari segala luka, namun aku paham, bahwa segala sesuatu yang terpaksa dan dipaksakan, justru semakin memperdalam luka. semoga mengikhlaskanmu tak sesulit melepasmu.

-perlu diingat, sebagai penegasan bahwa melepasmu bukan karna egoku semata, bisa kau temukan, semua proses melepaskan dan mengikhlaskanmu adalah demi kebahagiaanmu semata, karena dengan bersamanya (semoga) kau bisa benarbenar berbahagia, dan kuharap, diriku ikut andil sebagai pembawa bahagia bagimu.

prdks.
ps: terima kasih karena pernah mengikhlaskanku berada disampingmu.
ga Jun 2018
Pertama kalinya kugenggam tanganmu
Satu kembang api dipantik dari ulu hatiku
Seribu lainnya menyusul saat jemari kita saling bertaut
Menghiasi langit malam dengan pendar menggoda
Hitam pekat dibasuh percik api warna-warni
Kusaksikan dengan jelas saat kutatap wajahmu lekat-lekat

Kala itu tak satupun kata berhasil kita ucapkan
Namum dalam hati, tiap detik kulayangkan ribuan doa
dan segala mantra :
"Tuhan sang empunya dunia ini, hendaklah hentikan waktu sejenak untuk hambamu ini. Atau panjangkanlah malam sebelum mentari terbit nanti. Terima kasih Engkau turunkan bidadari, tepat disebelah hambamu ini".

Rambutmu bagaikan ombak musim panas
Bergulung-gulung indah harum manis bergairah
Namun dadaku layaknya laut dikala badai
Gemuruh layaknya seribu ksatria berkuda
Inginku berteriak sekencang-kencangnya
Gemanya terdengar sampai kampung Ayah-Ibuku

Jikalau nun jauh di belahan dunia sana
Seseorang berhasil menginjakkan kakinya di bulan
Inginku umumkan pada dunia
Malam itu akulah manusia pertama yang berhasil menggenggam bulan
Akulah pungguk yang melawan seluruh hukum gravitasi
Akulah pungguk yang tak lagi merindukan bulan

Kalau saja bisa, saat itu juga
Ingin kutuliskan berlembar-lembar puisi cinta
Ingin kupetik gitar dan bersenandung mesra
Karena bisikan lembutmu melantunkan hasrat hidup
Tatapan sayumu membiaskan mimpi-mimpiku
Senyuman indahmu melukiskan harapan-harapanku
Mimpi dan harapan seorang lelaki biasa
Menghabiskan hidup dengannya, tuan putriku ratuku, malaikatku, wanitaku yang istimewa
22/05/2018
Pagi mulai menjelang, biar kuantar kau pulang
Coco Aug 2019
Tiiin. Lalu lalang kendaraan
Aku masih disini berdiri, dengannya
Apa aku menunggu sepi? Tidak
Aku juga tidak tau sedang apa. Haha

Tiba tiba kulitku tersengat
Bukan. Bukan terkena listrik
Ia memegang tanganku dan menarikku
Mengikutinya
Kami melangkah menyusuri jalanan
Tiba tiba, dia melepas tanganku
Dia terlihat.....kaget?
Dia kaget, bagaimana denganku?
Haha lucu sekali dia ini
Aku jadi suka


Tapi, tunggu....
Ini aneh
Tanganku yang ditariknya,
Namun mengapa seakan seluruh pusat perhatian ku yang ditariknya?
Sengaja ya?
Dia ini haus akan perhatian ya?
Bilang saja padaku, biar aku perhatikan hehe
Im back. Xoxo
EVewritesss Apr 2018
Jemari mulai gemulai
Dikala ia mulai melambai
Bahasa tubuhku tidak diragukan lagi
Lika likunya sudah tertebak dari haluan pertama bapak satpam
Dia mulai menyapa
Aku teriak keras
hatiku yang teriak
Hawa panas tubuh beriringan membara bersama
Peluh terbawa jatuh dipipi
bisa bayangkan, bagaimana wujudku waktu itu....
Kini, segala fana itu harus di nikmati, entah menarik, suram, dan basi
Aku pikir, kapan lagi akan bertemu dan beradu argument sedekat itu
Kapan lagi berdialog serius dengan elokan tubuh cukup dekat
Kapan lagi aku bisa pandangi wajahnya 4 cm lebih dekat dengannya....
Jadi kupikir, aku harus syukuri, jika nanti tak bisa lagi. Yasudah ku kenang saja....
Nanti senja jadi pelengkap saat mulai mengenang moment itu, sudah ku jadwalkan
Jangan sia-siakan waktu dan selebrasi saat berasama dia atau mereka. Coba nikmati, arungi bersama, cairkan bersama. Pasti indah rupanyaaa
tubuhku milikmu
jiwaku milikmu
mataku tidak bersinar lagi
aku benci
cinta ini asli
tetapi
1+1 tidak bisa menjadi 1
cinta ini dosa
aku kotor dibuat olehnya
tetapi aku cinta,
bukan dengannya
tetapi dengan perasaan palsu ini.
stephanie Jul 2020
(Disclaimer: gue udh lama ga nulis jadi maaf ya kalo aneh he he he)

6 tahun. Itulah lama kita berteman.


Umurmu 14 tahun ketika kamu menyapaku dan mengajak berkenalan di ruang kelas 8B. Namamu bagus, Thevin. Tapi entah mengapa orang disekitarmu memanggilmu Ncek. Akupun mulai mengenalmu sebagai Ncek, teman pertamaku di kelas itu. Entah apa yang membuat kita menjadi akrab; aku yang sering memintamu untuk menemaniku berjalan ke Citraland sampai kamu jatuh sakit, atau kamu yang sukarela mengambil novelku yang dibuang ke tempat sampah oleh Pak Eko.

Umurmu 16 tahun ketika kita kembali berteman. Diujung masa SMP (dengan bodohnya) kita bertaruh untuk tidak berbicara lagi setelah lulus. Namun lewat Aji, kita memutuskan untuk berteman lagi, bahkan jauh lebih dekat dari sebelumnya. Kamu melindungiku dari patah hati dan aku mendengar kisahmu mengenai hatimu yang patah.

Umurmu 19 tahun ketika persahabatan kita terasa retak. Aku yang terlalu rapuh dan kamu yang menjaga aku dan dia secara bersamaan membuat semuanya semakin mustahil. Sahabatku menjadi sahabatnya; hal itu terngiang-ngiang didalam kepala. Aku memutuskan untuk menjadikanmu musuhku, orang yang sepihak dengannya. Padahal kamu hanya ingin menjadi sahabat yang baik bagi kami berdua.

Sekarang, umurmu 20 tahun. Kamu bukanlah orang yang sama seperti Thevin yang mengajakku berkenalan 6 tahun yang lalu, namun rasanya kamu masih familiar. Kamu terasa seperti kota Jakarta yang terus berubah namun aku tau aku akan selalu pulang ke rumah.

Dirgahayu Thevin. Selamat datang di masa dewasa.

Dimana kamu akan tertawa lebih keras bersama teman-temanmu. Bercerita lebih banyak kepada ibumu. Berusaha lebih sabar menjaga kedua adikmu. Berbicara lebih dalam bersama ayahmu. Menangis lebih banyak karena masalah yang menimpa. Memaafkan diri lebih dari menyalahkan diri.

Semoga tahun ini seorang Thevin dapat lebih mengenal dirinya sendiri!

— The End —