Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Erikyle Aguilar Mar 2018
Ang isinulat ko ay isang pagtatala mula sa bulag,
na matagal nang ninanais na makakita ng liwanag,
dahil kumpara sa atin, kahit ipikit ang mga mata,
kahit takpan pa 'yan, mayroon pa rin tayong nakikita,
mapa-asul, mapa-dilaw, mapa-pula,
hinding hindi ito aabot sa dilim,
dahil mayroon pa ring mga bituin.

Ito ang pagtatala ng bulag,
"'Nak, kagabi lang ako nakaramdam ng galit sa isang tao,
sa buong buhay kong nakatira sa tapat ng simbahan,
kagabi lang ako nakaranas ng kulo sa puso ko,
kagabi lang ako natulog nang galit,
sana patawarin ako ng Diyos.

Lumapit sa akin ang isang lalaki,
sabi niya, 'Lo, mahirap bang magmahal?',
'Oo, hijo. May asawa ka na ba?',
'Meron **. E lagi ** kaming nagaaway,
kaya umalis nalang ako ng bahay,
ayoko na siyang kausapin,
dahil baka husgahan nanaman ako, baka masaktan lang ulit ako,
baka sabihin nanaman niyang ang hina-hina ko,
sasabihin nanaman niyang hindi na ako natuto sa mga kasalanan ko,
ang dami ko raw nasaktang tao,
wala na silang nagawa kundi tumungo,
dahil sa lungkot, dahil sa insulto,
dahil sa mga salita kong galing sa puso.

Naalala ko sabi ng nanay ko,
na lahat ng sinasabi ko ay galing sa puso,
pero bakit kung kailan ko gustong mabuo,
napakahirap ibalik ang dating ako?'

Ito ang iyak ng isang nangangailangan ng pagmamahal,
isang lalaking may pusong bakal,
ito ang naging payo ko,
'Hijo, kausapin mo ang asawa mo.'

Biglang sigaw niya,
'E ayaw ko nga! Nagkasala rin naman siya,
pareho lang kami,
siya dapat ang lumapit sa akin.'

Parang tinamaan ako ng bala ng baril,
at ang puso ko'y biglang tumigil,
dahil hindi ko naman kayo pinalaki nang mayabang,
kaya hinawaan na ako ng galit,
'Ang yabang mo!
sarado ang utak mo
sarado ang tainga mo
sarado ang puso mo
mas bingi ka pa sa bingi
at mas bulag ka pa sa bulag

ayaw **** mahushagan kasi ayaw **** masaktan,
ayaw **** masaktan kasi ayaw **** matuto,
hindi ka natututo sa mga kasalanan mo,
kasi akala mo na lahat ng ginagawa mo ay ayos na,
hindi mo pinapansin ang kalagayan ng iba,
na naghihirap sa kakaisip kung sila ba ang dahilan,
kung bakit ka nagkaganyan.

Minahal ka nila,
pero hindi mo tinanggap,
minahal ka nila,
pero tinulak mo sila,
minahal ka nila...
hindi mo ba sila mamahalin?

Lalo silang napalayo sa'yo,
nung kinailangan mo ng tulong,
pamilya at pagmamahal'

Wala na akong narinig na boses,
umalis na siya,
sana lang kinausap niya ang asawa niya.

'Nak, tandaan niyo ang payo ko sa inyong magkakapatid,
na 'wag na 'wag kayong maghihiwalay,
dahil pag ako'y nawala,
sana manatili kayong nakadilat sa katotohanan,
na ang kayabangan ay nakakasira ng isang pamilya.".
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
041716

Naakit ako sa linyang pahalang at patayo,
Mga detalyeng pinira-piraso.
Sabi ko sa sarili: saulo ko na ang istilo Mo
Pero sa bawat pahina'y nabibighani pa rin ako.

Hindi ko alam kung kaya ko,
Magtiyaga man ako pero hanggang kailan kaya?
Kung maglalaan ako ng sentimo sa araw-araw,
Ako'y pulubi pa ring manlilimos Sayo
Sasahod at maghihintay.

Masisilayan ko ang pundasyon
Ang mga bakal na kinalawang
Sa bodegang inimbakan.
Pagkat malayo pa ang byahe,
Bagkus sinelyuhan ng langis
Ang may tagas ng pagbabago.

Ang halo ng semento, ni hindi naging pribado
Nasa hulog ang mga poste
Gaya ng minsang banging tinalunan ko.
Ako'y malaya sa pagsilip
Ng paglapat ng palitada sa tigang na kahong sementado.
Ramdam ko ang gaspang ng kahapon,
Ang kurba ng mga bakal na di patitibag
Sa kaibuturan ng pundasyong timplado.

Ilalatag ang sahig na papagpagan sa araw-araw
Ihahalik ang mga paa nang may pagpapakumbaba
Huhubarin ang saplot nang kalingain ang lupa
At ihihimlay ang mga paa't mamamahinga.

Pagmamasdan ko ang mga kahoy na malapad
Isang dipa, dalawang dipa at higit pa
Mapapatingin sa langit na hubad sa bituin at buwan.
Ang bubong na siyang sasaklolo sa umuubong baga
Mga kahoy at bakal na matibay
Sasalo sa bigat ng orasyon ng klima.

Bubuksan ko ang bintanang may iba't ibang pagkapinta
Ni hindi pumapalya ang eksena na bumubusina sa umaga
At sa gabing hamog ang yakap sa dilim,
Kagat ng niknik, siyang sining sa maalat kong balat.
Tanging kumot ng grasya,
Pantago't pantapal sa pagkataong nilalagnat.

Nakakaakit ang plano, maging itsura nito
Kaya nga magtiya-tiyaga ako,
Hanggang sa masilayan ang tunay na disenyo.
Hindi lang ako ang lalaban sa presyo,
Oo mahal nga, ganyan ang pagtingin Mo
Tataya ako, pagkat kliyente lang ako
At alam kong linya Mo yan,
Ikaw ang aking Arkitekto.
032116

Sumayad ang takong ng apat na kandidato
Hindi para mangalakal at maghain
ng kani-kaniyang plataporma.
Alay ang boses para sa nagkakalansingang masa,
Habang magbabanyera ng laway ng pananalita.
Tagisan, ika nga
Tahasang pagbubukambibig ng motibo sa bayang
May kinabukasan pa.

BINAYubay nga ba ang Pilipinas naming mahal?
Sa FOI na minsang itinapo'y ano ang tugon?
Hampas-lupa ba ang mga Pilipino
Para magbulag-bulagan
Sa binulsang kaban ng bayan?
Yang pambobola nyong haing 5Ps
Saan nga ba ang liderato ng ngiting may bungisngis?
At sa pagbaba ng tax, maibabalik nyo ba
Ang nasa bangko ninyong
May iba't ibang ngalan?
Sagot ba ang waivers at ilang kasulatan?
Kamusta naman ang assets nyo at liquidations?
Sana'y hindi maging makati ang mga kamay,
Gawin **** mala-Makati, wag lang ulitin ang pangangati.

Mala-Talk Back and You're Dead,
Yan ang peg ng kamandag ni Duterte.
Palabiro raw sya't matalas ang dila,
Bagkus ang masa'y panay ang tugon sa kamao niya.
Kamay na bakal, iyo bang ibabalik?
Sabik nga ba sa Death Penalty ang kinauukulan?
Sa posibleng anim na buwan ng iyong pag-upo,
Sana'y malinis ang minsang Tuwid raw na Daan.
Posible bang dahas ang kasagutan
Sa bayang talamak ang bayaran at tulakan?

Tila saulado mo ang bawat numero,
Ang galang mo Poe, nagmula nga ba sa pusong Pilipino?
Paano nga kung nagising kang
May alarma sa Bayan,
Babangon ka ba talaga't di kami tatalikuran?
Wag sanang gaya ng pagtapon mo
Sa Amerikang minsang naging bayan mo rin.
Paano mo babalansehin ang tulong
Ng malalaking korporasyon sayo?
Boto ba nila'y hindi mo binili?
Wala bang kapalit ang oo
Ng mga batikan at mayayamang negosyante?

MARami ka nang satsat sa Daang Matuwid na yan,
Talamak na rin ang paghuhugas-kamay
Para sa patapos nang administrasyon.
Ba't nga ba panay ang pag-eendorso mo
Sa sarili't tila baga sayo nanggaling ang pondo noong Yolanda.
Naroon ka nga't ika'y ligaw at wala raw tugon,
Ano itong alarma mo raw
Pag nandyan lamang ang kamera.
Wala bang tiwala sayo si PNoy?
At tinago pa sayo ang nauukol sa mamasapano?
Kamusta po ang pag-endorso ng Pangulo sayo?
Sana'y inasikaso niya na lang
Ang nahuhuling termino.

Marami na po kayong mga pangako,
Naawa nga kami sa Translator
Pagkat gulung-gulo rin siya
Sa pag-aagawan ng oras at mikropono.

Magandang ideya ang naganap na mga Debate,
Pagkat nauntog ang Bayan,
Nagigising aming diwa't magigisa ang tamang boto.
Ang boto ng bawat Juan,
Para yan sa Bayan.
Sana'y matiyak po nating
Wala nga tayong kinikilangan
Maliban sa malinis na eleksyon.

Tayo ang simula, kapwa ko mga Juan!
Maging wais tayo!
Makialam para sa Bayan!
Gising Pilipinas!

"Alab ng puso,
Sa dibdib ko'y buhay!"
- Lupang Hinirang
Argumentum Jul 2015
Paglisan

Pinangangambahan kong lubos na malaman
kung meron nga bang pangalawang buhay,
saan kaya ako tutungo?
gagala kaya ang aking diwa
o baka makukulong ito sa naaagnas at walang
buhay kong katawan habang buhay.
ang dinanas na sakit kaya ay lilisan na parang
alikabok na hinipan sa mesa?
, o magiging tanikalang bakal na nakagapos sa aking kaluluwa.

Sa pagkakahimlay ko, may dadalo kaya?,
kung may dumalo man,ano ang pakay nila?,
narito kaya sila upang pintasan ang aking kasuotan?,
o pintasan at hamakin ang halaga at disenyo ng aking kinahihigaan?
Narito kaya sila upang lumasap ng kape at
tinapay kasabay ng pagpitik ng baraha sa mesa?
o sadyang dadalo lang upang patagong magdiwang sa tuwa sa aking pagkawala?,
Natatakot akong malaman.

Nangangamba ako sa hindi pagiging handa sa pagdating ng araw na ito,
hindi sa panghihinayang sa aking mga maiiwang mahal
kundi ang pagsisisi na aking dadalhin
sa bigong pag-usal at pagpaparamdam
kung gaano sila kamahal at masabing ako ay lilisan na
sapagkat ang pinakamasakit na paglisan
ay ang mga pagpapaalam na hindi nasabi at
hindi naipaliwanag.
love life sad pain thoughts depression you hope hurt heartbreak
Benrich Apr 2018
Mga isip na nagtagpo sa delubyong nakatago
Isang ikot sa bilog na bakal, nagtugma ang kaisipan
Maraming bunggo'upang utak ay maalog
Naalog nga ba? para bumitaw o
dahil sa pag ulit ng pag bunggo
At Sadyang inalog para kumapit at umasa
Sa mga pangyayaring tugma sa puso ng mga mahal

Mga usap na wagas ang salita
Mga analisa na may pag dududa at pag sang ayon
Mga oras na ginugol upang makamit
ang usapang pag ibig ng mga mahal
Mga oras na ang pag uusap ay paulit ulit
Mas naging matatag dahil sa maga paulit ulit na
mga salita at haka haka na nag katotoo
Ngunit walang sawang nakinig, nagtipa
Upang ang dalisay na pag ibig ay magtagumpay

Mga pag tatagpo na kahit sa sandali ay naging
palagay ang loob at isipan
Mga taong makatotohanan at naniniwala sa
dalisay na pag mamahal ng taong mahal

Mga oras na ginagawang araw ang gabi
na sana ay tugma ang oras
Di man nagtugma ang oras nagagawa
pa ding mag bahagi ng oras
Dahil ang pag-mamahal na bukal
sa taong mga mahal walang kasinungalingan
walang pag dududa naniwala sa dalisay
Dahil sa mas malalim na pag kakaibigan
na puno ng lungkot at pighati
mga pag subok na kumanti sa pagmamahal
ngunit ganon pa man nag tagumpay sa mga hiling
sa gabi-gabi sa pagtulog.
sa Poong may Kapal,

Naway di magsawa sa mga karanasan
Sa kapaligaran may kasinungalingan
Naway maging aral upang matutong
Magbigay ng pag mamahal sa kapwang
Walang nakakaunawa at nagmamahal

Mga delubyong pinagtagpo ang mga taong
mas nag pakatoo at umasang sa huli ay
mag tatagumpay ang pag ibig na dalisay
ng taong umaapaw ang pagmamahal sa babaeng
sinisinta sa bawat minuto at bawat sandali
ng kanyang buhay.

Ano pa nga ba ang salitang dapat mamutawi
kundi mga katagang "Tagumpay ka DALISAY".
bilang isang fan na nag mahal at nag pakatoo sa nararamdaman
Dhaye Margaux Sep 2015
Tinukso mo ako ng iyong maskara
Ang pinto **** bakal ay nagmukhang pilak
Mga bintana mo'y tila walang sara
Ang bawat sulok mo'y humahalimuyak

Akong naghahanap ng lugar sa mundo
Namalik-mata nga't naakit mo agad
Sa mga pangako'y nadala't natukso
Naghintay ng dulot, magagarang gawad

Sa aking pagyakap sa pintong makinang
Ngiti ko'y sumilay, nag-isip, nangarap
Akala ko'y lungkot dito'y mapupunan
Saya ang papalit sa dusa at hirap

Subalit nagulat sa aking pagmulat
Ang pinto **** pilak ay puro kalawang
Mga bintana mo'y  nabuway ng lahat
Ang bawat sulok mo'y amoy basurahan

Paano pa ako ngingiti, sasaya
Kung ang pangarap ko ay biglang naglaho?
Mabubuhay ka bang kuntento't payapa
Sa lugar na itong ngayo'y gumuguho?

Nais kong tumakas, lumayo, tumakbo
Sa bilangguan kong kakila-kilabot
Subalit kadena ko'y mayroong kandado
Kasama ba akong mababaon sa limot?

Hindi! Ang sigaw ng matapang kong puso
Kadena sa paa'y aking wawakasan
Mabubuhay ako na hindi bilanggo
Ipaglalaban ko, aking kalayaan!

---Marguerite
9/18/2015
7:33 am
Will translate soon
112715 #10AM

Baka nalason na siya sa usok
Na binubuga ng mga nakababahing na mekanismo.
Siya'y nalulumbay kaya't ako'y nabihag niya,
Nabihag -- nabighani
Sa kanyang kumikinang na pustura,
Siyang bughaw na bistida at magbabagong-bihis pa.

Umiiyak siya, kaya't hindi ko na ininda,
Nagbakasakaling mapatahan siya --
Nang di bumugso ang galit
Patungo sa konkreto't pinira-pirasong bakal
Pagkat mga abang, ni hindi ninais na maugatan.

Bulong ko ang lihim na pagtingin,
"Anuman ang iyong kulay
Ang dilag mo'y kabigha-bighani
Kaya lubos kitang iniibig,
Aking panghabangbuhay na kaibigan,
O Langit na Irog."
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
ayu rinanda Apr 2012
Gua sama sekali gak maksudbuat ngejelekin, ngejatuhin cowo gua yang sekarang 

gua punya cerita yang mungkin lu semua pernah ngadapin dengan kejadia yang sama

gua punya cowo, asli gua sayang banget sama dia, gua pengen ngebahagia in dia kayak gua pengen ngebahagian keluarga gua. Tapi, ada banyak hal yang selalu buat gua ragu sama dia.
1. dia gak pernah sms ato nelponin gua duluan alesan tidur.
2. gak pernah bilang sayang sama gua, kecuali waktu nembak
3. kalo di ajakin alesan nya segudang, mungkin penuh kali tu gudang 
pasti lu semua punya pikiran kalo dia Cuma mainin gua, ato pun gak sayang sama gua?

tapi biarpun dia kayak gitu, gak tau kenapa gua tetep aja sayang. Gua ikut aturan dia, gua ikut apa maunuya dia. Pokoknya semua maunya dia gua jabanin deh 
karena ada satu hal di diri dia yang sulit banget gua lupain selama ini adalah KENYAMANAN kalo dideket dia.
Padahal yah, gua punya seseorang yang jelas.jelas sayang sa,ma gua, bias ngasih apa aja yang gua mau, yang bias ngebahagia in gua dengan semua hal yang dia punya, dia adalah mantan gua yang pacaran sama gua 2 tahun lebih.
gua udah banyak ngelewatin hari sama dia, susah maupun senang, dia mungkin satu.satu cowo yang paling ngerti siapa gua.
cowo yang paling care sama gua, pokok nya cowo yang paling sempurna deh dia 
meskipun kayak gitu tetep aja gua gak bisa boongin ati mgua sendiri, pacaran sama dia tapi inget orang lain buat apa coba?
lagian gua harus nurut apa kata orang tua gua gak boleh pacaran sama dia, toh gua gak bias ngelawan.

buat kamu cowo yang jadi pacar aku : please donk sayang, jangan cuek sama aku.
jangan suka banyak alesan, aku tuh sayang banget sama kamu.
coba deh kamu yang ngertiin aku sekali.kali jangan akunya terus donk 

buat kamu cowo yang aku sakitin : maapin aku udah nyakitin kaamu, semoga diluar sana kamu bakal ketemu cewe yang syang banget sama kamu.
maapin aku 

#sekarang gua Cuma pengen satu hal yaitu lepas dari kedua.duanya.
gua mau orang baaru, tapi gua takut tuk memulai itu semua 
sangat.sangat btakut
073115

Ang pagpara'y naging daan
Hindi alintana ang trapik
Kumukutitap ang asul
Patungong berde ng panimula.

Di naglao'y nagbadya ang motorsiklong itim
Medyo napasilip, kahit saglit
Biglang nautal ang pag-iisip
Baka sakaling ikaw ang kumakarera nito.

Pinagmamasdan ko ang mga kamay ko
Baka ang bukas ay maging ngayon,
Yan ang isip ko.

Panandalian akong napatingin
Medyo kumakapit sa bakal,
Ibababa ko ang mga kamay
Sabay paulit-ulit lang,
Pagkat nakakangalay.

Kaya pala ang bagal nang takbo mo
Lumagpas ka nang diretso pati ang paningin
Hindi ka man lang lumingon
Hindi ka man lang napatingin
Kahit distansya nati'y
Segundo lang ang milya
Ganoon tumibok ang oras.

Napapikit ako
Nagulat pagkat tama ang akala
Hindi nais na ganoon ang pagkikita
Akala ko kasi'y lumisan ka na
Akala ko kasi'y sa susunod pa ang balik
Pero haharurot sa kalsada,
Naghahari-harian sa eksena.

Hindi ako galit sa tadhana
Na naglalapit sa atin sa isa't isa
Hindi ko na nga hinihiling na ikaw na
Iniwan ko na ang alinlangan sa kalsada.

Napakapit ako sa bilis ng takbo
Ang pusong walang tibok,
Walang mintis kung sinusubok
Nangangalay ang pagtitiis
Ang hirap pala ng posisyon ko,
Tinatalikuran, dinaraanan lang
Nilalagpasan lang,
Nauusukan, nasasaktan
Ayoko na lang sa backride.

"Para na, Kuya."
Gat-Usig Oct 2013
Aniversari ng Mag-jowa
Mansari ng Mag-jowa,
Valentayns Dey
Sa loob ng bartolina.


May wan en onli,

Kahapon kaututan ko si Bebot,
Nakaposas ang mga kamay at 'di makakilos
Nakatali ang mga paa sa kadenang
May bolang bakal,
Si Bebot ay matitigok na.
Nagkaututan kami sa gawing madilim,
Tangan ang Gud Morning,
Pamunas ng luha.
Humahagulhol dahil kay Dok Puti,
Hinahanda na nito
Ang kanyang kahahantungan,
Said na said ang mga hikbi;
Pinid na pinid ang mga kagalakan,
Gustong pahintuin ang bawat saglit.
Di mapigil ang hatol,
Nasa dulo ng karayom
Nakasalalay ang lahat;
Unti-unting naniningkit si Bebot,
Ginagapos na siya ni Dok Puti sa katre;
Walang sinuman ang makakaampat
Sa naturang likido.
Kahapon, kaututan ni Dok Puti si Bebot.
"Lav, sapitin mo nawa ang iyong katahimikan."


Sa Valentayns Dey,
kahit sinong mag-jowa.
-  Juan Dela Cruz, M.D.


P.S.
Alay sa bawat magkasintahang pinagtagpo't
pinaglayo ng pagkakataon.
para sa Kidapawan*

Diktador ang makinarya.
Maringal ang langit. Walang ulan para
sa pasasalamat. Ang ating tanging pagkakakilanlan
ay pumapaimbulog sa bawat sugat na nagsara.
Muli nila itong bubulatlatin.
Hindi paham ang gatilyo.

Mabilis na matutuyo ang pangako
kung pawawalan ito sa katanghaliang tapat.
Tanaw ng nakabiting ulo ng araw
ang lahat ng nangamatay. Kasabay ng hangin
ang pagpapaluka. Hudyat ng ulan galing
sa ibaba – gigibain ang makapal na barikada
  ng katawan atsaka muling uuwi sa asawa’t anak
na may bahid ng pula ang kamay. Dulo ng kuko’y
kapiraso ng mundo. Itim. Hugis buwan. Ang pagputok
    ay isang rekoridang laging gumagapang patungo sa tugatog
     ng isang alala.

Dadalhin nila sa bingit ng pagpaparam
ang babasaging boses – ang mga bubog ay
isasaboy na lamang sa lansangan.
Lumalaon ay dumidiin ang bulahaw. Inutil
lamang ang pagtatalik ng kamay at bakal.
   Umusal na lamang ng dasal sa likod
ng kakahuyan at baka dinggin ng bathala
ang panayam. Walang iisang dilang tumatabas
  sa dahas.

kung saan sisimulang hanapin
ng mga mata ang isang lugar kung saan ang lahat
ay iwinawasto ng nakaraan ay lingid
lamang sa kaalaman.

bago mangapal ang dilim ay nilusong ng mga kalalakihan
ang nalalapit na katedral. Naghahabol ang papauwing liwanag
na masaksihan ang kabalintunaan.

wala silang nakita,
katawan lamang sa lansangan,
tinutubos ng kasaysayan.
kingjay Jan 2019
Handa na  ipagtanggol katumbas man itong sampung buhay
Ang halaga'y higit pa sa inipon na mga koral sa karagatan
Kung binastos kahit malinggit ay
kikibo ang nanahimik na balasik

Hinintay humulaw ang bagyo at si Dessa ay sumakay bago umuwi ng bahay
Lumusong sa baha sa baryo
at ginunam-gunam ang sandaling yaon

Kung may oras sa pag-aaral
gayun din sa paglilibang
Ngunit ang kunting kalayawan ay naging hadlang upang makatanggap
ng medalya ng karunungan

Hindi bakal at kawad ang pag-iisiip
para di matukso sa mga bisyo
Sa pagsusugal ay nalulong
Hindi mahilig sa anumang  pampalakasang laro
Napasama sa kapatiran

Dumating ang mga araw ang alingawngaw ay umabot sa ama
Nagpakalasing noong gabi bago naglabas ng mga hinaing
Mga salita niya'y matutulis, umuulos sa laman
Agust D Jul 2021
panahong kay init at samot-saring pangyayari
ilalabas ang kwaderno't magsusulat ng hirayang bahaghari
iba't ibang mukha, ngingiti't tatawa kunwari

sa galaw, pananalita, at sa pagsulat ng kamay
pagkaguho, pagkawasak, at araw-araw na pagsasablay
sa mga bagay-bagay na 'di maiakbay
salungat sa sinyales na aking hinihintay

biglaang pagkalito, gan'to na ba ang takbo ng mundo?
kamay na animo'y tinanggal
paang singbikat ng bakal
hininga'y laging nasasakal
makakawala pa ba sa kasulukuyang estado?

nais nang kumalas, sa hindi nakikitang rehas
walang depinisyon, wala ring direksyon
hikbing palihim, kalungkutan sa takipsilim
naliligaw, nababaliw, sa indak na hindi inaral ngunit nakabisa pa rin
Mga Tulang Sinulat sa Dilim
Ilang dekada na
Lumaban ka raw para sa amin
Hindi ko man lamang naabutan
Patungo raw iyon sa demokrasya.

Tingnan mo kami ngayon
Ang daang matuwid ay putikan
Ganito pala ang lasa ng imoralidad
Na kayo-kayo rin ang nagtimpla.

Marami nang nakatikim
Ng pait at kakunatan ng inyong hain
Ilan pa ba ang papalasapin?
Kaawa-awang mga dila
Mapapaso't kikirot
Dulot ng sarili ninyong mantika.

Katulad ng ibang baboy,
Ilalabas ka sa hawla
Nakalilihi ba doon?
Kaya nanlumo kayo sa taba
Tabang walang kainaman
Hindi magamit panggisa ng kamalian.

Sandamakmak pala kayo
Nagsanib-puwersa sa looban
Pinakakain nang tama, pinagsisilbihan
Bagkus tambay sa kurapsyon
Sa kulungang may posisyon.

Bakal ang tali nyo
Kaya't sumuko na't wag pumiglas
Pagkat sa putikan ang  ruta
Yang putikang kayo rin ang may gawa.
Napanood ko sa TV ang pagpa-check up ni Enrile.
Ang matinis na tinig ng isang libong nagkakalampagang bakal na maninipis ang tumili mula sa gilid ng 'yong ulunan,
Umaga na naman.
Mauuna ang pagbangon mo mula sa kama kaisa sa pagmulat ng iyong mga mata't pag-gising ng iyong diwang pagal sa 'di maalalang panaginip.
Ang hangin ay umihip--
Mula sa bintanang kumakaway gamit ang mga kurtinang bughaw sa paglisan ng gabi sa pagkamusta ng masalimuot na umaga.

Pumipihit na naman ang oras.

Pinanonood mo ang pagputok ng bawat bulang nabubuo mula sa pag-ugong ng kaldero buhat ng initsigan,
Bagay na 'yong kinaiinggitan.
Ang natatanging paraan para mapainit mo iyong umaga ay ang paglaklak ng kapeng 'sing pait ng pagiisa.
Tapos maliligo ka,
Pipihitin mo ang gripo para bumungad sa'yo ang nagyeyelong tubig na kumikitil sa 'yong kakayanan makaramdam.

Sana kumukulo rin yung tubig.

Pinanonood mo ang pagdating at paglaho ng mga pangitain ng isang 'di makatarungang siyudad ng maralita't dukha.
Paano pa nila nagagawang ngumiti?
Ika'y naririndi sa malalim na pag-ungol ng mga sasakyang minamaneho ng mga diwang humihiyaw sa pagkakakulong,
Sa pagkaubos ng oras.
Sinusulit mo ang ilang saglit na ang tanging suliraning iyong sinusumpa ay ang pagkahuli sa klase't mga responsibilidad.

Pagkakataon na naman ng buwan.

Huminga ka ng malalim bago mo nilapat ang 'yong palad na 'sing gaspang ng gasgas na pinto ng iyong bahay,
At dahan-dahan mo itong tinulak.
Nilanghap mo ang kulob na amoy ng hanging 'di magimbala sa segundong umapak ka sa loob ng yung 'di maturing na tahanan,
Isinara mo ang pintuan.
Kasabay nito ang pagsara mo ng iyong sarili sa buong mundong tanging inaalala lamang ang kanilang mga sarili.

Bumuhos ang iyong mga luha.

Ang iyong katawan ay nanginginig, ang isip ay nangingimbal at ika'y nangingimi sa kawalan ng katotohanan--
Ng 'yong pagkatao.
Maririnig **** umuugong ang iyong bulsa't napagtantong may nangangailangang marinig ang iyong boses,
Tumatawag si Mikoy.
Sa pag-sambit niya ng iyong pangalan ay napawi ang bumubagyong luha't naglaho ang unos ng 'di maintindihang lungkot.

Sa pagkakataong iyon, saka mo lang sinabing nakauwi ka na.
Check out more of my works on: brixartanart.tumblr.com
Wala nang piglas sa bakal na gapos
Gigil na pangil ‘di pigil pagyapos
Poot ay lubusan kong natatalos

Kahit patuloy paring minumulto
Ng anino ng pumariwarang pagkatao
Huwag pong ikukubli mahabaging puso

Kahit ako’y salat na sa lakas
Dahil sa mga sugat ng nakalipas
Huwag po tutulutan na tuluyang malagas

Ako’y nakikinig sa pagbasa ng sentensiya
Mga tenga’y bukas, piniringan man mga mata
Dustain man sa yamot, sa away Mo’y tiwala

Talim ng ‘yong dila sa puso tusok
Mga aral nito’y pinapapasok
Sa bulwagan ng diwang ‘di pa bulok.

-11/26/2011
(Dumarao)
*sentimental mood
My Poem No. 59
120515

Sinuot ko ang mata, nang manlabo sayo
Mapagbalat-kayo na naman,
Pati ba maskara'y susuotin sa harap mo?

Sa pag-istambay mo'y may daplis ng mata,
Ni hindi nga nasilayan iyong angkas.
Pagkat umaanod ang puso,
Takot sa bakal na lambat.

Ngalan ko'y sambit ng di kilalang tinig,
Kaya't ako'y napalingon,
Hindi sa puso mo't baka mapasabit.
Siyang angkas mo'y siya palang kadugo rin,
Napabuntong-hininga, pagkat walang iba.

Makitid sa utak kung pagbubulay-bulayan pa,
Hindi makatakbo ang pusong napatid sayo,
Pilit na nagtatapon ng panandang may tanong,
Baka sakali, baka sakaling masaklolohan mo.

Iniiibig kita --
Iniibig lisanin.
Dhia Awanis Oct 2016
Romantis ya?

"Apa?"

Senja.

"Apanya yang romantis?"

Dia yang paling banyak berkorban daripada Siang dan Malam—Senja itu. Hadirnya sesaat, cuma sebagai peralihan dari Siang ke Malam. Dia sadar kalau dia luar biasa indah, tapi dia nggak egois.

"Nggak egois bagaimana?"

Iya, kalau dia egois, dia nggak akan mengalah pada Malam. Dia bakal minta waktu lebih lama sama Yang Punya Semesta untuk memamerkan keindahannya, tapi nyatanya enggak. Dia merelakan hadirnya cuma sesaat, dan memilih untuk mengalah atas keegoisan Malam yang ingin mencumbu Pagi.
Sho Victoria Apr 2018
Di ako umiiyak sa away o sigawan.
Umiiyak ako sa labis na katahimikan.
Sa mga panahong kailangan ko ng kasama
Sa mga panahong pati sarili'y ayaw ko na.

Mga kumukuliglig na huni at bulong.
Mga inipit na hikbi at paghingi ng tulong.
Lahat ‘yan ay naninirahan sa isipan.
Lahat ‘yan ay mahirap takbuhan, mahirap takasan.

Bumibilis na tibok ng puso,
Malalamig na pawis na sa leeg ay namumuo
Mga hiningang hinahabol ang takbo,
Magang mga matang nagmamakaawang ang luha'y huminto.

At unti-unti
Hihimasin ang isip
Mula labas palalim sa loob
Unti-unti
Pipigain ang puso
Makirot sa una ngunit nakakamanhid rin pala kapag nasanay na.

Hahalungkatin ang nakaraan,
Nang dumilim ang kasalukuyan.
Babasagin ang kasalukuyan,
Nang mabaling ang tingin sa iba maliban sa harapan.

"Huwag kang mag-isip."
Ang abiso nila.
Ngunit diba nila naisip
Na tila ka na ring sinabihan na:

"Huwag kang huminga kung ayaw mo na."

"Huwag kang tumingin kung nahihirapan ka."

"Huwag kang makaramdam kung nasasaktan ka."

Huwag ka nalang mabuhay kung di mo na kaya."

Oo, ayaw ko na.
Lahat kinatatamaran pati paghinga.
Bawat gabing inilaan sa iyak.
Tila ang isip, pinipilit na mabiyak.

Oo, nahihirapan na.
Di maiwasang tumingin sa mga mata
Ng iba't ibang taong may iba't ibang kwento.
Ng iba't ibang ngiti sa kabila ng malungkot na  mga anino.

Oo, nasasaktan na.
Mula sakit, gusto ko nang kumawala
Mula sa kadenang mas malambot pa sa bakal
Ngunit kung hawakan ka tila ka sinasakal.

Oo, di ko na kaya.
Sana nga tumigil na.
Na bawat umaga nagdarasal akong gabi na
At sa bawat gabi, nananalangin akong matapos na.

Ang sinimulang buhay na inilaan sa iyak.
Inilaan sa pag-iisip na sa bawat takbo tila ka winawasak.
Bukas sa lahat ng bagay mabuti man o masama.
Bukas rin sa posibilidad na ipagpatuloy pa o tapusin na.

Ito.

Ganito.

Ganito kahirap, ganito kasakit.

Ganito kasimple ang isang atake.
William Tubera Sep 2017
Kumalabit
dugo'y dumilig
kasama ang nangilid
na patak ng luha
at sa kabila
ay sa usok ng bakal
nakangiti

Mga Gintong
ihinagis sa mga buwaya at babuyan
Ngunit mga baboy at buwaya’y walang pakialam
Wala na ngang pagkaalam
Basta kain lang, lamon lang.

Umuusok sa dami ng nakisakay
Mga pekeng tagapalakpak
nakakabasag na halakhak
Mga nakakakita, nabubulag
sa tila Pyesta ng de-kalabit
Iyak di marinig
sa mga manhid
na nakamasid

Tago, takip, tagpi
itinuring na tama ang mga mali
Teka, karapatan mo’y imamali
panandali?
at ang mga baho ng kamalia’y pilit ikukubli?
Binalot ng tama kunwari

at sana huwag ka nang magtaka
Huwag n’yo kaming gawing tanga!

Sa ngayo'y mananahimik sandali
Hindi ba’t parang gulong lang ‘yan?
kaya matutong maghintay
sandali, madali . . .
Tinkerbel Feb 2019
Hindi lahat tayo, may dugong maharlika.
Hindi lahat tayo, iisa ang sinasamba.
Hindi lahat tayo, nais nang pantay na pag-asa.
Hindi lahat tayo, malinis at inosente tulad ng isang maya.

Batid kong alam mo, kung saan ka pupunta.
Batid kong alam mo, kung mayroon ka pang pag-asa.
Batid kong alam mo, kung sino ang nararapat sa kanila.
Si Juan, Si Pedro ba? O ang mapanlilang na si Luna?

Bagay na alam mo, pero nagbubulag-bulagan.
Mga maling turo, gawaing kinakalawang.
Kahit na may boses, nagdadalawang isip lumaban.
"Maririnig ba ako?", yan ang laging tanong mo kaibigan.

Mahirap nang sabihin, di pa kayang panindigan.
Mga bakal na kamay at piring na ginto sa karamihan.
Madalang na may tumayo, at isigaw ang prinsipyo ni Juan.
Hanggang dito na lang ba? Ang laban natin kaibigan.
Pilipinas anong nangyayari sa'yo?
Ang dating bayan ng matatalino.
Bakit, lahat ata ay nawala na sa huwistyo.
Ginagawang biro pandemyang ito.

Huwag po sana tayong ningas-kugon.
Noong una lamang magaling ang pagtugon.
Ngunit naging suwail at pabibo ng naglaon.
Sige lang, hanggang lahat na tayo nakabaon.

Hindi ninyo ba talaga alintana?
Ang sa ating lahat ay nagbabadya.
Kalabang di nakikita, sakunang nakadamba.
Walang malakas, walang mayaman lahat tayo ay biktima.

Hindi ba kayo naaawa sa mga bata at matatanda.
Idagdag nyo pa ang mga may sakit na madaling mahawa.
Maaaring ilan po sa kanila ay iyong kapamilya.
Tumahan ka po sa bahay para sa kanila.

Tulungan po natin ang ating lingkod bayan.
Mapa Sundalo, Doktor, nars o basurero pa yan.
Huwag nating dagdagan hirap na kanilang pinapasan.
Huwag na nating ilagay buhay nila sa kapahamakan.

Huwag na po nating antayin lumalim.
Hanggang masaksihan ang di kakayaning lagim.
Magdadala sa ating buhay at bansa sa takipsilim.
Pakiusap, tayong lahat ay magdasal ng taimtim.

Labanan po nating lahat ito, Kapwa ko Pilipino.
Iyan ang lahi ko at lahi mo.
Diba likas sa atin ang pagiging matatalino.
Ngayon natin patunayan ito.

Sumunod na po tayo sa Gobyerno.
Simpleng utos na kayang sundin ng kahit kanino.
Wag na pong lumabas ng bahay ninyo.
Kung di man lang importante ang rason nito.

Sumunod na po tayo, Please lang
Ang makukulit ay babarilin, BANG BANG
Para kang latang nasipa, TANG TANG
Andyan na ang sundo mo, **** ****

Siguro nga kailangan na ang Kamay na bakal.
Para ang mga suwail tuluyang masakal.
Ang rason ay masarap ang bawal.
Kaya pati buhay ng iba ay isusugal.

Huwag na nating pabayaan, Inang bayan.
Matatalo lamang itong kalaban.
Kung tayong lahat ay magtutulungan.
Bagkus na magturuan at magsisihan.
Levin Antukin May 2020
"MA, NASA'N Y'ONG MASK?".
nagmamadali na 'kong lumabas.
may bibilhin lang kasi ako sa 7-11.
ba't pa kailangan ng mask?
pati y'ong ano-
ano'ng tawag doon?
AH quarantine pass.

bago pa lumabas ng bahay,
nasermonan ang atat na mokong.
kapiranggot na mga salita ang nag-udyok
upang hindi na hawakan pa ang pinto.

"mag-ingat ka sa sakit pero
mas mag-ingat ka sa mga sundalo
na nakatanod sa checkpoint palabas."

isang taon na ang nakalipas.
'di na natapos ang pandemya.
para pagsabihan ako sa edad kong 'to,
tanggap ko na.
hindi na 'ko takot sa sakit.
ang hindi katanggap-tanggap ay ang maharas
at makulong sa kawalang katarungan.

kung amoy kalawang ang dugo
at 'di sila takot mabahiran,
kalawangin sana yaong mga kamay na bakal
solEmn oaSis Apr 2017
when " WORDS ACT LOUDER THAN SPEAK " ....
That is the time our voices are reverberating
just like what you said my co-Poet joining me here in commemorating ;) <3
at ngayon ko lang nalaman na ang alingawngaw
...... ay tila isang tahimik na bakal na kapag kinalembang...nagiging batingaw !
let us all celebrate poets and writers!
The LEGACY of our very own
Hello Poetry
leads us-followers or viewers into a such LITURGY!!
i am so happy for this new look changer.
CamiliaMhd Jun 2017
Aku sering di beritahu
bahawa apa yang kita buat
pada hari ini dan sebelumnya
bakal ada balasannya di kemudian hari
sama ada dalam bentuk baik atau tidak
dan aku sering berfikir bahawa
tidak kira berapa teruk kita di layan orang
dan berapa buruk perlakuan yang orang lakukan pada kita
akan di balas dengan kebaikan
pada masa hadapan.
Sabar itu indah,
tapi ter kadang aku hilang sabar,
menghadap manusia yang ignorant,
menghadap manusia yang bodoh,
manusia yang pentingkan ego,
dan manusia yang kurang ajar.
solEmn oaSis Apr 13
Kailangan ko pa ba talaga ipamukha sayo yung mga pagkakataon na pinababalikat mo sa akin yung mga sandaling di ka makatayo sa sarili **** mga paa.
Gayon pa man tiklop-tuhod akong tumatalima sayo kasi nga mulat ka sa pagiging bukas-palad ko.
Ako naman pikit-matang nilulunok yung mga pride na meron ako kahit pa Alam Kong mapapasubo ako doon sa mga kamay na bakal kung saan hawak tayo sa leeg.
eh Kasi nga kargo kita. Kahit ano pa mangyari hanggang sa Huli , ako pa din ang magsisilbing kinatawan mo !
mga binti at sandugo sa braso
pati nga saradong kamao
ang tinataya ko kahit wala yon sa aking plano
Para lang mapugto at mapanuto
ang bawat buntong hininga mo

pero bakit tila yata
Kulang pa rin aking panlabas na anatomiya
Daig ko pa ang nananahan sa turok ng anestisya...
Lamang-Loob ko ba ang siyang dapat na
maialay o konsensya?
Sabihin mo mang wala akong puso sa tuwinang pawis at luha ang aking batayan Kung bakit ang bigat sa aking pakiramdam na ikay nabibigo ng mga payo ko sayo na kinakasama ng yong kalooban marahil Kung minsan.

Tulak ng bibig
Kabig ng dibdib
Hanggang kailan mo ako paninindigan ng aking mga balahibo sa balat ?
Kapag huli na ba ang lahat ?
Sana naman dumating na sa atin
Yung mga araw at oras na ating aralin
Mga hiblang gabuhok para wala na tayong susuyurin..
Kasi nagkakatotoo rin ang pahiwatig ng pulso at mga maseL,,,
Di lang Anghel at kaluluwa ang pwedeng magmensahe ng mga dapat nating tulak-kabigin !

Ngayon sana Langhap mo na yung parirala kahit hindi buo ang diwa...
Kasi.....
may tainga ang Lupa
may pakpak ang balita
Bukas makalawa di ko na magagawa pang sa harapan mo na.. magsalubong ang mga kilay ko kasi... siguro tinik sa lalamunan mo ako kung ituring.
Pero ang lahat ng pangugusap Kong ito ay talata na ngayon ng bawat kabanata na minsan ko nang pinalipad sa hangin bilang isang Pasaring.

" sibuyas "
ni : © solEmn oaSis
The february 25
EDSA day commemoration

written- 02-21-2024
Magkaisa !
Ayan po ang malalim na diwa hatid at dulot ng Mga nangyari noong mil nueve syentos otchenta y sais.

9 na taon akuh po nun..
Tanging laro ang hilig
Wala pa pong alam sa pag-ibig
Pero po Dahil sa EDSA People power nun...

Minahal kuh po ang literatura
Sanhi ng mga kulumpon ng mga kulay dilaw at pula.
Di pa uso celfon kodak pa lang ang hawak ng mga Litratista...
Pero sabi kuh sa sarili kuh po balang araw magiging Letra-tista din ako sa tulong ng Demokrasya

Hanggang sa marinig kuh po sa tv na black n white pa nun ng kapitbahay namin sa malabon yung awiting
" magkaisa "
Duon naman po akuh napamahal sa musika at nag umpisang sumulat ng sa-ganang-AKIN nmn po ngunit walang himig kaya nmn nauwe n lamang akuh sa paggawa ng mga tula bilang aking diversion at paraan upang maging isang DIARY kuh po ng mga kaganapan sa mga buhay-pakikisalamuha sa kapwa at mga mahal sa buhay  kalakip ang kanilang kwento ng pakikipagsapalaran.
Ang Pag-asa sa gitna ng Kapayapaan nawa ay manatili magpa kailan man
fatin Oct 2021
Nak
Ibumu lahir saat gawat ekonomi seluruh semesta
Saat gawat sebumi memikirkan nilai
Saat dunia ditimpa wabah tak ternampak
Tapi dunia masih cantik

Nak
Ibumu saksi dunia sedang gusar
Saksi pemimpinan goyah
Rebutkan yg tak pasti
Matanya buta
Telinga nya tuli
Tak terdengar rintihan kasta bawahan
Tak terpeduli dan lari meninggalkan hakiki
Ibumu tegak ditengah
Saat mereka berkelahi
Bercemuhan
Hai, ibu saksi saat mereka tak waras

Nak,
Ibumu saksi peninggalan ramai org
Mata kepala ibu melihat org rebah tak bermaya
Ibumu saksi bapak menangisi anak
Bayi lahir tak bersusu ibu
Adik pergi tak berpeluk abang
Dan
Ibumu saksi org tak bisa menjamah nasi
Bukan kerna tak upaya
Tapi kerna rakus ahli prejudis
Dan anjing ditaktor
.
.
Nak
Ibumu saksi saat propaganda dilaungkan
"Demokrasi ini adalah kita semua
Suara kamu kami dengar"
.
.
Anakku
Dengarlah
Ibumu saksi saat dunia tak adil tapi dihias indah
Ibumu saksi saat negeri kita kacau tapi dirai aman
Ibumu saksi nak...
Ibumu saksi perit itu tak cuma kehilangan
Tapi rindu yg bakal tak terubatkan
Salam yg takkan tersampaikan

Dan sebelum kau hingga ke saat itu
Harus lah kau tau
Setiap sisi kita tertanam secebis sedikit hati
Maka harus kau cari yg baik baik sentiasa
.
Kerna mmg sifat dunia begitu
Rebut yg tak pasti
Bertelinga dan tuli
Bergeliga tapi rakus
Dan punyai mata tapi buta
Dan harus kau ingat yg merbahaya sekali
Punyai iman tapi tak berTuhan
fatin Jul 2020
apa khabar?
kembali ke kotamu, apakah kau bahagia?
apa kau temu, sesat yang dahulu?
habiskah meneroka? mencari yang kau bilang ingin di cari
--?

dan,
dunia takkan pernah habis..
indah - indahnya awan hari ini akan menenggelamkan
sunyi sepi mu semalam tadi

dan
aku harap kan kau temu bahagia
apa kau cari, akan kau berhenti mengejar
kerana dunia takkan pernah habis
kau bakal lelah.

seperti kita, mencari alasan
bila - bila kita tidak setuju
tapi lupakah kau
kita sudah tertulis dan..
semoga kita setuju kelak

dan dalam menuju ke saat itu,
akan aku sering doakan mu

256pm // 2/7/20
fatin Sep 2021
bagaimanalah aku bisa melupakan mu?
kamu yg mengajar aku untuk menulis
kata-kata ku tak punyai riak muka untuk menunjuk rasa
kamu yg mengajar aku untuk menulis...

saat dunia sedang sibuk berkelahi
bait kata-katamu datang seolah memujukku
memelukku erat

"dunia bakal aman nanti"
reyftamayo Jul 2020
mula pa noon ganyan ka na
katatag humarap sa mga
tipak nitong naglalakihang bato
na pilit ipinupukol sa iyo
itinatago niyang kulay mo
ang kasaysayan ng mundo
bahagi mo ako at ako ay sa iyo
kahit na bakal pa ang iyong puso
pilit na hahanap ng butas
ang dumadaloy kong dugo
upang tayo ay pag-isahin
hanggang lumambot ang iyong damdamin

— The End —