Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Alphabet Soup Jan 2012
Baja California
Tequila drawings on the wall
A big fat policeman against the door
The drunken band plays on and on

Baja California
Cheap motel bugs on the wall
Pimps and ****** out in the hall
The neon light goes on and on

Baja California
Mescal tequila throat on fire
Burnt rubber takeoff screeching tyres
The dirt toll road goes on and on

Baja California
Mother ******* on the front lawn
Daddy waiting for the doctor in the dawn
And the pain goes on and on

Baja California
Shanty houses complete with TV
Pumping in the American dream
While the children scream on and on
Aaron LaLux Sep 2018
"Can we make love,
at least a couple more times,
before we never see each other again?”,

Her voice is soft,
sweet,
almost innocent,
and adds an aphro-ambiance,
to the incessant crash of the ocean waves in the background,

her pleading eyes,
intercept my retreating lies,
it can be so hard to argue with the truth.

I am all out of excuses,
as we lay naked as the day we were born,
in this bed at this beachside bungalow in Baja,
clouds gathering outside for the coming post sunshine storm,

two tainted souls,
in a rare moment of purity,
as we lay there I can not lie here,
I can not tell her I will see her again,
I can not tell her everything will be okay,
I can not tell her I love her,
at least not in the same way,
as she loves me,
which of course is unconditionally,

we’ve just made love,
and as she’s mentioned,
possibly for the last time,
and though she wants to make love again and again,
until we both grow old,
wants and realities can compete in this existence,
and in this moment is where they both meet,

“Can we make love,
at least a couple more times,
before we never see each other again?”,

she asks me again,
shaking me from the depths of my thoughts,
she pulls my submarine from the dark depths,
and shakes me out to dry in the sunlight of her attention,
her question,
comes with a hint of offense,
honestly no offense was meant,
at least not from me,
it’s not that I was ignoring her in that moment,
at least not completely,

it’s just that it’s difficult for me to stay in the moment,
when the past keeps dragging me back,
and the future keeps pushing me forward,
and there’s a needy media monster that doesn’t want to be ignored,

where were,
we,
where have we gone,
and what has become,
of the innocence in which we were born?

We lay,
naked as the day we were born,
in this bed at this beachside bungalow in Baja,
clouds gathering outside for the coming post sunshine storm,

nothing covering our skin,
except a thin layer of post *** perspiration,
for even though the sun has already set,
the humid heat still sits there,
like the soon to be cloud covered moon,
that hangs lazily in the sky,
seeming neither amused nor moved by our human drama.

Her question,
is reasonable enough,
and she is,
beautiful enough,
so why,
when she asks,
“Can we make love,
at least a couple more times,
before we never see each other again?”,
can I not say yes?

Well,
for one,
I respect her too much to lie to her,
plus lying to such an honest question,
would seem so taboo,

reason number two,

they say,
we do not choose love,
they say,
love chooses us,
and I do not love her,
even though I may want to,
I do not love her,
because she is not the one Love had decided to choose,

I do not love her,
as amazing as she is,
even if I should love her,
for she is everything a mortal man could ask for,
she is,
a gorgeous and successful model,
with a sharp and receptive mind,
a big heart,
and maybe most importantly,
an undying devotional love for me,
so logically,
I should love her,

but love is not logical,
love is as passionate and irrational,
as the weather here in Baja,
one moment shining bright with clear skies,
the next moment dark and ominous with gathering clouds,

so when she asks me,
“Can we make love,
at least a couple more times,
before we never see each other again?”,

I simply say nothing,
for what can I say,
how can I explain the irrational,
how can I say the one word,
that will break her heart open,
then watch that heart break right in front of me,
how can I say “No”,
to the one question,
that the girl that has said “Yes”,
to my every question,
asks me?

So I say nothing,
I simply open this writing book,
as these skies open above us,
and write down these thoughts upon these pages,
as the desert rains fall down upon us,

I write this poem,
as we lay naked as the day we were born,
in this bed at this beachside bungalow in Baja,
as the incessant crash of the ocean waves in the background,
adds to the aphro-ambiance,
of this bittersweet moment in time,
so that even when I am gone,
and she is gone,
and we are gone,
these words,
from these thoughts,
will live forever,
immortalized in this verse,
forever resting,
somewhere in the collective psyche,
of our unified broken hearts,

as we lay there,
as we mutually mourn,
all that has been loved,
and all that has been lost,
in this impermanent moment called Life,

and she asks,
"Can we make love,
at least a couple more times,
before we never see each other again?”,

∆ Aaron LaLux ∆
My new book (Was a best seller) is now available FREE here: www.scribd.com/document/388173677/The-Holy-Trilogy-Volume-2-Mandalas
Peeka Jul 2014
These people
Mucho beautiful.
You can see them smile
Miles and miles
Riding in a van awhile
Brothers, sisters, mothers,
Daughters, fathers, sons
Hammering until stability comes.
Family and friends under brimmed hats
Gazing through glass at a land void of grass
But full of passion
Leaving behind permanent tracks
They reflected on how they had made lives brighter,
Seen children beg for water,
Woke up yearning to play soccer-
If they won against the locals it'd be a wonder.
A military women, an Illinois baby,
A president, an el Pancho puppet
Pharmacy pros, a summer camp enthusiast, and an old teacher-
He's the coolest.
Some want to be preachers, psychologist, and to just live past round one.
To run around rainbow tires daring to risk
A dusty trip, a graceful fall.
Keep calm.
It's tacos for dessert, van rides, and mafia till the end.
Spoons for life and jokes all day.
The wind picked up but hope remains.
Braids, charades, dancing, picture frames.
Hole in the sand.
Bouncing in the back of the van.
Almost, but no luck at riding in the back of a pick up truck.
Soaring free down streets.
Towns, the same images on repeat.
A woven rose, question marks leading to unknowns, a circle of bonds forever.
Will we be there soon?
A carnival under the midnight moon.
Coconuts by homes. Respect for third tier bunk beds.
Rushing to the dorm room, downstairs for food.
Todo esta bien y tu?
Braid hair all the time please!
Don't let the paint bleed.
Let's go ride the ATV
Reflect on who we want to be
From here on till eternity
A rower, a reader, and eighth grade dreamer.
If the nail bends, stop to see
It could be saved!
Our Baja family
A poem I wrote after a recent trip to Baja this summer.
LDuler Dec 2012
You tell me that I am young
That life has merely licked me, not stung
That I do not understand, that I have not yet lived
Enough to grasp the substance

I have known disease
Slow tears, muted pleas
Pain that nothing could appease
I have known the smell of hospitals for summers
The beeping and slurping of machine in massive numbers

I have spoken to voiceless loved ones,
Loved ones with teethless mouths and twisted tongues
Distorted jaws and wheezing lungs.
We have spoken with little green charts
And broken hearts
From the inability to connect the mouth to the thoughts in the head
And I left without understanding,
What they had said
Because I eventually had to let it go
(I still don't know)

I have spent countless summer nights
In nature’s garb, floating silently in a river
So warm that my limbs, skimming the surface, didn't shiver
Under a clear sky, the stars like paradisiac lights
Without anyone ever finding out
About these wild and primal escapades

I've drank, I've smoked
I have burned my throat
With coarse lemon gin
Until I could no longer feel my skin.

I have been frightened
Yes I have felt fear, like a noose around my throat being tightened
Like a gruesome black crow, perched on my shoulder
I have often awoken affright at night,
Longing, praying, for the morning light
I have felt fear, wild, fierce and turbulent fear
More than anyone will everyone will ever know
By men, by life, by myself
Desolate under the sheets, like a forsaken toy
All by myself

I have seen Paris in the rain
Traveled the French countryside by train
I've woken up to New York window views
And seen New Orleans afternoons, filled with heat and blues.
I've swam the Mexican Baja waters, turquoise and clear
With snakes as sharp as spears

I have known humiliation
Causing my cheeks to turn carnation
A spoon, emptying my insides out
Like a gourd

I have loved
I have known the aching pain of a swelled heart
And the way it can tear you apart
I have gushed torrents upon my pillows and sleeves
Tears running down my chin like guilty thieves
From a lit-up house

I have known death, and grief
The meaning of "never"
Whimpering in the school bathroom
And cold, lonely nights

I have seen the works of Van Gogh, Mondrian, and Miro,
Modigliani, Cezanne, and Frida Kahlo
Of Monet, Gauguin, Matisse, Magritte, and Picasso
I have wandered through hallways of masterpieces
Holding tight to my grandmother's hand
And I have wept shamelessly for joy
Before Degas's La classe de danse

I have been diagnosed
I have undergone computer programs designed to shift my brain, to better it
To get me to be normal, to submit
I have had brain-altering medicine shoved down my throat,
Like stuffing a goose,
To make my brain run a little less loose
And I have submitted and gotten use to my brain being altered.

I have had kisses that were mere trifles
Frivolous, yet fierce and acute like shots from a rifle
Lips of mere flesh, not sweet godly nectar
And gazes that meant everything
That seemed to connect with an invisible yet indestructible string
Iris like distant galaxies and pupils twinkling like black jewels
Eyes that seemed enkindled by some ethereal fuel
Speaking of emotions far too secluded, cryptic and cluttered
To be worded and uttered

I know the way in which violence resides
Not in commotion, brusqueness, nor physical harm
But in silence
In the time that covers pain and secrets
In the slow impossibility of trust
In the way that some secrets become inconceivable to tell, time has so covered them in rust
In that dull, dismal ache
In all that is doomed to remain forever opaque.

I have read, for pleasure,
The works of Balzac, Fitzgerald, Steinbeck, and Voltaire
Of Bobin, Gaude, and Baudelaire
Of Flaubert, Hemingway
and good old Bradbury, Ray
Émile Zola,  Primo Levi
Moliere, Rousseau, and Bukowski
I have read, and loved, and understood

I have known insomnia
The way a beach knows the tides
Sleepless nights of convulsive, feverish panic, of clutching my sides,
Of silent hysteria and salty terror.
I know what happens at night, when sweet slumber seems so far away
The worries and woes seem to multiply and swell in hopeless disarray
My lips grow pale, my eye grow sunken
As a time ticks by, tomorrow darkens




I have witnessed horror
In the form of a blue body bag
Being rolled out with a squeaking drag
By two yellow-vested men
With apologetic eyes
That seemed to say "Oh god
We're so sorry you had to see that
Please, please
Go home
And try to forget
"

But you are right
I am still just a child
Naive, innocent, and pure
I have known nothing dark or obscure
I have not yet lived.
A la luz de la tarde moribunda
Recorro el olvidado cementerio,
Y una dulce piedad mi pecho inunda
Al pensar de la muerte en el misterio.

Del occidente a las postreras luces
Mi errabunda mirada sólo advierte
Los toscos leños de torcidas cruces,
Despojos en la playa de la Muerte.

De madreselvas que el Abril enflora,
Cercado humilde en torno se levanta,
Donde vierte sus lágrimas la aurora,
Y donde el ave, por las tardes, canta.

Corre cerca un arroyo en hondo cauce
Que a trechos lama verdinegra viste,
Y de la orilla se levanta un sauce,
Cual de la Muerte centinela triste.

Y al oír el rumor en la maleza,
Mi mente inquiere, de la sombra esclava,
Si es rumor de la vida que ya empieza,
O rumor de la vida que se acaba.

«¿Muere todo?» me digo. En el instante
Alzarse veo de las verdes lomas,
Para perderse en el azul radiante,
Una blanca bandada de palomas.

Y del bardo sajón el hondo verso,
Verso consolador, mi oído hiere:
No hay muerte porque es vida el universo;
Los muertos no están muertos...  ¡Nada muere!
¡No hay muerte! ¡todo es vida!...
                                                     
El sol que ahora,
Por entre nubes de encendida grana
Va llegando al ocaso, ya es aurora
Para otros mundos, en región lejana.

Peregrina en la sombra, el alma yerra
Cuando un perdido bien llora en su duelo.
Los dones de los cielos a la tierra
No mueren... ¡Tornan de la tierra al cielo!
Si ya llegaron a la eterna vida
Los que a la sima del sepulcro ruedan,
Con júbilo cantemos su partida,
¡Y lloremos más bien por los que quedan!

Sus ojos vieron, en la tierra, cardos,
Y sangraron sus pies en los abrojos...
¡Ya los abrojos son fragantes nardos,
Y todo es fiesta y luz para sus ojos!

Su pan fue duro, y largo su camino,
Su dicha terrenal fue transitoria...
Si ya la muerte a libertarlos vino,
¿Porqué no alzarnos himnos de victoria?
La dulce faz en el hogar querida,
Que fue en las sombras cual polar estrella:
La dulce faz, ausente de la vida,
¡Ya sonríe más fúlgida y más bella!

La mano que posada en nuestra frente,
En horas de dolor fue blanda pluma,
Transfigurada, diáfana, fulgente,
Ya como rosa de Sarón perfuma.

Y los ojos queridos, siempre amados,
Que alegraron los páramos desiertos,
Aunque entre sombras los miréis cerrados,
¡Sabed que están para la luz abiertos!

Y el corazón que nos amó, santuario
De todos nuestros sueños terrenales,
Al surgir de la noche del osario,
Es ya vaso de aromas edenales.

Para la nave errante ya hay remanso;
Para la mente humana, un mundo abierto;
Para los pies heridos... ya hay descanso,
Y para el pobre náufrago... ya hay puerto.
No hay muerte, aunque se apague a nuestros ojos
Lo que dio a nuestra vida luz y encanto;
¡Todo es vida, aunque en míseros despojos
Caiga en raudal copioso nuestro llanto!

No hay muerte, aunque a la tumba a los que amamos
(La frente baja y de dolor cubiertos),
Llevemos a dormir... y aunque creamos
Que los muertos queridos están muertos.

Ni fue su adiós eterna despedida...
Como buscando un sol de primavera
Dejaron las tinieblas de la vida
Por nueva vida, en luminosa esfera.

Padre, madre y hermanos, de fatigas
En el mundo sufridos compañeros,
Grermen fuisteis ayer... ¡hoy sois espigas,
Espigas del Señor en los graneros!

Dejaron su terrena vestidura
Y ya lauro inmortal radia en sus frentes;
Y aunque partieron para excelsa altura,
Con nosotros están... no están ausentes!
Son luz para el humano pensamiento,
Rayo en la estrella y música en la brisa.
¿Canta el aura en las frondas?...  ¡Es su acento!
¿Una estrella miráis?...  ¡Es su sonrisa!

Por eso cuando en horas de amargura
El horizonte ennegrecido vemos,
Oímos como voces de dulzura
Pero de dónde vienen... ¡no sabemos!

¡Son ellos... cerca están!  Y aunque circuya
Luz eterna a sus almas donde moran
En el placer nuestra alegría es suya,
Y en el dolor, con nuestro llanto lloran.

A nuestro lado van.  Son luz y egida
De nuestros pasos débiles e inciertos
No hay muerte...  ¡Todo alienta, todo es vida!
¡Y los muertos queridos no están muertos!

Porque al caer el corazón inerte
Un mundo se abre de infinitas galas,
¡Y como eterno galardón, la Muerte
Cambia el sudario del sepulcro, en alas!
¡Ay canamas camandonga!
¿qué tiene mi cocotín?
mi neguito chiquitín,
acuricuricandonga...
Epéese a que le ponga
su chupón y su sonaja.
Meme meme, buenalhaja,
pepita de tamarindo.
Duéimase mi nego lindo:
¡meme meme, há-ha há-ha...!
Su mare no vino ayé,
su mama se fue antianoche;
dicen que subió enun coche...
¡pero tiene que volvé!
Su maire é buena mujé,
-a veces medio marraja-.
Yo no sé si nos ultraja
¡pero si resutta cieito...!
(Mejó tú no etés despieito)
¡meme meme, há-ha há-ha...!
¡Mi cocotín, mi coquito!
si hay frío ¿po qué tu quemas?
Con tu ojo abieito no duemas,
¿Po qué tá quieto, neguito?
¡Míame, nego bonito!
¿Po qué tu cabeza baja...?
¿Quele su leche con miaja?
¿Quele jugá con lo michi?
¿Qué le pasa? ¿quele pichi?
¿meme meme? ¿há-ha há-ha...?
¡Ay canamas camandonga!
¿qué tiene mi cocotín?
Mi neguito chiquitín,
acuricuricandonga...
Epéese que le ponga...
que le ponga su motaja.
Meme meme ahí en su caja
Pepita de tamarindo.
Duéimase mi nego lindo:
¡Meme meme, há-ha... há ... ha...
un sauce de cristal, un chopo de agua,
un alto surtidor que el viento arquea,
un árbol bien plantado mas danzante,
un caminar de río que se curva,
avanza, retrocede, da un rodeo
y llega siempre:
                          un caminar tranquilo
de estrella o primavera sin premura,
agua que con los párpados cerrados
mana toda la noche profecías,
unánime presencia en oleaje,
ola tras ola hasta cubrirlo todo,
verde soberanía sin ocaso
como el deslumbramiento de las alas
cuando se abren en mitad del cielo,

un caminar entre las espesuras
de los días futuros y el aciago
fulgor de la desdicha como un ave
petrificando el bosque con su canto
y las felicidades inminentes
entre las ramas que se desvanecen,
horas de luz que pican ya los pájaros,
presagios que se escapan de la mano,

una presencia como un canto súbito,
como el viento cantando en el incendio,
una mirada que sostiene en vilo
al mundo con sus mares y sus montes,
cuerpo de luz filtrada por un ágata,
piernas de luz, vientre de luz, bahías,
roca solar, cuerpo color de nube,
color de día rápido que salta,
la hora centellea y tiene cuerpo,
el mundo ya es visible por tu cuerpo,
es transparente por tu transparencia,

voy entre galerías de sonidos,
fluyo entre las presencias resonantes,
voy por las transparencias como un ciego,
un reflejo me borra, nazco en otro,
oh bosque de pilares encantados,
bajo los arcos de la luz penetro
los corredores de un otoño diáfano,

voy por tu cuerpo como por el mundo,
tu vientre es una plaza soleada,
tus pechos dos iglesias donde oficia
la sangre sus misterios paralelos,
mis miradas te cubren como yedra,
eres una ciudad que el mar asedia,
una muralla que la luz divide
en dos mitades de color durazno,
un paraje de sal, rocas y pájaros
bajo la ley del mediodía absorto,

vestida del color de mis deseos
como mi pensamiento vas desnuda,
voy por tus ojos como por el agua,
los tigres beben sueño en esos ojos,
el colibrí se quema en esas llamas,
voy por tu frente como por la luna,
como la nube por tu pensamiento,
voy por tu vientre como por tus sueños,

tu falda de maíz ondula y canta,
tu falda de cristal, tu falda de agua,
tus labios, tus cabellos, tus miradas,
toda la noche llueves, todo el día
abres mi pecho con tus dedos de agua,
cierras mis ojos con tu boca de agua,
sobre mis huesos llueves, en mi pecho
hunde raíces de agua un árbol líquido,

voy por tu talle como por un río,
voy por tu cuerpo como por un bosque,
como por un sendero en la montaña
que en un abismo brusco se termina,
voy por tus pensamientos afilados
y a la salida de tu blanca frente
mi sombra despeñada se destroza,
recojo mis fragmentos uno a uno
y prosigo sin cuerpo, busco a tientas,

corredores sin fin de la memoria,
puertas abiertas a un salón vacío
donde se pudren todos los veranos,
las joyas de la sed arden al fondo,
rostro desvanecido al recordarlo,
mano que se deshace si la toco,
cabelleras de arañas en tumulto
sobre sonrisas de hace muchos años,

a la salida de mi frente busco,
busco sin encontrar, busco un instante,
un rostro de relámpago y tormenta
corriendo entre los árboles nocturnos,
rostro de lluvia en un jardín a oscuras,
agua tenaz que fluye a mi costado,
busco sin encontrar, escribo a solas,
no hay nadie, cae el día, cae el año,
caigo con el instante, caigo a fondo,
invisible camino sobre espejos
que repiten mi imagen destrozada,
piso días, instantes caminados,
piso los pensamientos de mi sombra.
piso mi sombra en busca de un instante,

busco una fecha viva como un pájaro,
busco el sol de las cinco de la tarde
templado por los muros de tezontle:
la hora maduraba sus racimos
y al abrirse salían las muchachas
de su entraña rosada y se esparcían
por los patios de piedra del colegio,
alta como el otoño caminaba
envuelta por la luz bajo la arcada
y el espacio al ceñirla la vestía
de una piel más dorada y transparente,

tigre color de luz, pardo venado
por los alrededores de la noche,
entrevista muchacha reclinada
en los balcones verdes de la lluvia,
adolescente rostro innumerable,
he olvidado tu nombre, Melusina,
Laura, Isabel, Perséfona, María,
tienes todos los rostros y ninguno,
eres todas las horas y ninguna,
te pareces al árbol y a la nube,
eres todos los pájaros y un astro,
te pareces al filo de la espada
y a la copa de sangre del verdugo,
yedra que avanza, envuelve y desarraiga
al alma y la divide de sí misma,

escritura del fuego sobre el jade,
grieta en la roca, reina de serpientes,
columna de vapor, fuente en la peña,
circo lunar, peñasco de las águilas,
grano de anís, espina diminuta
y mortal que da penas inmortales,
pastora de los valles submarinos
y guardiana del valle de los muertos,
liana que cuelga del cantil del vértigo,
enredadera, planta venenosa,
flor de resurrección, uva de vida,
señora de la flauta y del relámpago,
terraza del jazmín, sal en la herida,
ramo de rosas para el fusilado,
nieve en agosto, luna del patíbulo,
escritura del mar sobre el basalto,
escritura del viento en el desierto,
testamento del sol, granada, espiga,

rostro de llamas, rostro devorado,
adolescente rostro perseguido
años fantasmas, días circulares
que dan al mismo patio, al mismo muro,
arde el instante y son un solo rostro
los sucesivos rostros de la llama,
todos los nombres son un solo nombre,
todos los rostros son un solo rostro,
todos los siglos son un solo instante
y por todos los siglos de los siglos
cierra el paso al futuro un par de ojos,

no hay nada frente a mí, sólo un instante
rescatado esta noche, contra un sueño
de ayuntadas imágenes soñado,
duramente esculpido contra el sueño,
arrancado a la nada de esta noche,
a pulso levantado letra a letra,
mientras afuera el tiempo se desboca
y golpea las puertas de mi alma
el mundo con su horario carnicero,

sólo un instante mientras las ciudades,
los nombres, los sabores, lo vivido,
se desmoronan en mi frente ciega,
mientras la pesadumbre de la noche
mi pensamiento humilla y mi esqueleto,
y mi sangre camina más despacio
y mis dientes se aflojan y mis ojos
se nublan y los días y los años
sus horrores vacíos acumulan,

mientras el tiempo cierra su abanico
y no hay nada detrás de sus imágenes
el instante se abisma y sobrenada
rodeado de muerte, amenazado
por la noche y su lúgubre bostezo,
amenazado por la algarabía
de la muerte vivaz y enmascarada
el instante se abisma y penetra,
como un puño se cierra, como un fruto
que madura hacia dentro, echa raíces,
crece dentro de mí, me ocupa todo,
me expulsa el follaje delirante,
mis pensamientos sólo son sus pájaros
su mercurio circula por mis venas,
árbol mental, frutos sabor de tiempo,

oh vida por vivir y ya vivida,
tiempo que vuelve en una marejada
y se retira sin volver el rostro,
lo que pasó no fue pero está siendo
y silenciosamente desemboca
en otro instante que se desvanece:

frente a la tarde de salitre y piedra
armada de navajas invisibles
una roja escritura indescifrable
escribes en mi piel y esas heridas
como un traje de llamas me recubren,
ardo sin consumirme, busco el agua
y en tus ojos no hay agua, son de piedra,
y tus pechos, tu vientre, tus caderas
son de piedra, tu boca sabe a polvo,
tu boca sabe a tiempo emponzoñado,
tu cuerpo sabe a pozo sin salida,
pasadizo de espejos que repiten
los ojos del sediento, pasadizo
que vuelve siempre al punto de partida,
y tú me llevas ciego de la mano
por esas galerías obstinadas
hacia el centro del círculo y te yergues
como un fulgor que se congela en hacha,
como luz que desuella, fascinante
como el cadalso para el condenado,
flexible como el látigo y esbelta
como un arma gemela de la luna,
y tus palabras afiladas cavan
mi pecho y me despueblan y vacían,
uno a uno me arrancas los recuerdos,
he olvidado mi nombre, mis amigos
gruñen entre los cerdos o se pudren
comidos por el sol en un barranco,

no hay nada en mí sino una larga herida,
una oquedad que ya nadie recorre,
presente sin ventanas, pensamiento
que vuelve, se repite, se refleja
y se pierde en su misma transparencia,
conciencia traspasada por un ojo
que se mira mirarse hasta anegarse
de claridad:
                  yo vi tu atroz escama,
melusina, brillar verdosa al alba,
dormías enroscada entre las sábanas
y al despertar gritaste como un pájaro
y caíste sin fin, quebrada y blanca,
nada quedó de ti sino tu grito,
y la cabo de los siglos me descubro
con tos y mala vista, barajando
viejas fotos:
                    no hay nadie, no eres nadie,
un montón de ceniza y una escoba,
un cuchillo mellado y un plumero,
un pellejo colgado de unos huesos,
un racimo ya seco, un hoyo *****
y en el fondo del hoy los dos ojos
de una niña ahogada hace mil años,

miradas enterradas en un pozo,
miradas que nos ven desde el principio,
mirada niña de la madre vieja
que ve en el hijo grande su padre joven,
mirada madre de la niña sola
que ve en el padre grande un hijo niño,
miradas que nos miran desde el fondo
de la vida y son trampas de la muerte
-¿o es al revés: caer en esos ojos
es volver a la vida verdadera?,

¡caer, volver, soñarme y que me sueñen
otros ojos futuros, otra vida,
otras nubes, morirme de otra muerte!
-esta noche me basta, y este instante
que no acaba de abrirse y revelarme
dónde estuve, quién fui, cómo te llamas,
cómo me llamo yo:
                              ¿hacía planes
para el verano -y todos los veranos-
en Christopher Street, hace diez años,
con Filis que tenía dos hoyuelos
donde veían luz los gorriones?,
¿por la Reforma Carmen me decía
"no pesa el aire, aquí siempre es octubre",
o se lo dijo a otro que he perdido
o yo lo invento y nadie me lo ha dicho?,
¿caminé por la noche de Oaxaca,
inmensa y verdinegra como un árbol,
hablando solo como el viento loco
y al llegar a mi cuarto -siempre un cuarto-
no me reconocieron los espejos?,
¿desde el hotel Vernet vimos al alba
bailar con los castaños - "ya es muy tarde"
decías al peinarte y yo veía
manchas en la pared, sin decir nada?,
¿subimos juntos a la torre, vimos
caer la tarde desde el arrecife?,
¿comimos uvas en Bidart?, ¿compramos
gardenias en Perote?,
                                  nombres, sitios,
calles y calles, rostros, plazas, calles,
estaciones, un parque, cuartos solos,
manchas en la pared, alguien se peina,
alguien canta a mi lado, alguien se viste,
cuartos, lugares, calles, nombres, cuartos,

Madrid, 1937,
en la Plaza del Ángel las mujeres
cosían y cantaban con sus hijos,
después sonó la alarma y hubo gritos,
casas arrodilladas en el polvo,
torres hendidas, frentes escupidas
y el huracán de los motores, fijo:
los dos se desnudaron y se amaron
por defender nuestra porción eterna,
nuestra ración de tiempo y paraíso,
tocar nuestra raíz y recobrarnos,
recobrar nuestra herencia arrebatada
por ladrones de vida hace mil siglos,
los dos se desnudaron y besaron
porque las desnudeces enlazadas
saltan el tiempo y son invulnerables,
nada las toca, vuelven al principio,
no hay tú ni yo, mañana, ayer ni nombres,
verdad de dos en sólo un cuerpo y alma,
oh ser total...
                      cuartos a la deriva
entre ciudades que se van a pique,
cuartos y calles, nombres como heridas,
el cuarto con ventanas a otros cuartos
con el mismo papel descolorido
donde un hombre en camisa lee el periódico
o plancha una mujer; el cuarto claro
que visitan las ramas del durazno;
el otro cuarto: afuera siempre llueve
y hay un patio y tres niños oxidados;
cuartos que son navíos que se mecen
en un golfo de luz; o submarinos:
el silencio se esparce en olas verdes,
todo lo que tocamos fosforece;
mausoleos del lujo, ya roídos
los retratos, raídos los tapetes;
trampas, celdas, cavernas encantadas,
pajareras y cuartos numerados,
todos se transfiguran, todos vuelan,
cada moldura es nube, cada puerta
da al mar, al campo, al aire, cada mesa
es un festín; cerrados como conchas
el tiempo inútilmente los asedia,
no hay tiempo ya, ni muro: ¡espacio, espacio,
abre la mano, coge esta riqueza,
corta los frutos, come de la vida,
tiéndete al pie del árbol, bebe el agua!,

todo se transfigura y es sagrado,
es el centro del mundo cada cuarto,
es la primera noche, el primer día,
el mundo nace cuando dos se besan,
gota de luz de entrañas transparentes
el cuarto como un fruto se entreabre
o estalla como un astro taciturno
y las leyes comidas de ratones,
las rejas de papel, las alambradas,
los timbres y las púas y los pinchos,
el sermón monocorde de las armas,
el escorpión meloso y con bonete,
el tigre con chistera, presidente
del Club Vegetariano y la Cruz Roja,
el burro pedagogo, el cocodrilo
metido a redentor, padre de pueblos,
el Jefe, el tiburón, el arquitecto
del porvenir, el cerdo uniformado,
el hijo predilecto de la Iglesia
que se lava la negra dentadura
con el agua bendita y toma clases
de inglés y democracia, las paredes
invisible, las máscaras podridas
que dividen al hombre de los hombres,
al hombre de sí mismo,
                                      se derrumban
por un instante inmenso y vislumbramos
nuestra unidad perdida, el desamparo
que es ser hombres, la gloria que es ser hombres
y compartir el pan, el sol, la muerte,
el olvidado asombro de estar vivos;

amar es combatir, si dos se besan
el mundo cambia, encarnan los deseos,
el pensamiento encarna, brotan alas
en las espaldas del esclavo, el mundo
es real y tangible, el vino es vino,
el pan vuelve a saber, el agua es agua,
amar es combatir, es abrir puertas,
dejar de ser fantasma con un número
a perpetua cadena condenado
por un amo sin rostro;
                                    el mundo cambia
si dos se miran y se reconocen,
amar es desnudarse de los nombres:
"déjame ser tu puta", son palabras
de Eloísa, mas él cedió a las leyes,
la tomó por esposa y como premio
lo castraron después;
                                    mejor el crimen,
los amantes suicidas, el incesto
de los hermanos como dos espejos
enamorados de su semejanza,
mejor comer el pan envenenado,
el adulterio en lechos de ceniza,
los amores feroces, el delirio,
su yedra ponzoñosa, el sodomita
que lleva por clavel en la solapa
un gargajo, mejor ser lapidado
en las plazas que dar vuelta a la noria
que exprime la sustancia de la vida,
cambia la eternidad en horas huecas,
los minutos en cárceles, el tiempo
en monedas de cobre y mierda abstracta;

mejor la castidad, flor invisible
que se mece en los tallos del silencio,
el difícil diamante de los santos
que filtra los deseos, sacia al tiempo,
nupcias de la quietud y el movimiento,
canta la soledad en su corola,
pétalo de cristal es cada hora,
el mundo se despoja de sus máscaras
y en su centro, vibrante transparencia,
lo que llamamos Dios, el ser sin nombre,
se contempla en la nada, el ser sin rostro
emerge de sí mismo, sol de soles,
plenitud de presencias y de nombres;

sigo mi desvarío, cuartos, calles,
camino a tientas por los corredores
del tiempo y subo y bajo sus peldaños
y sus paredes palpo y no me muevo,
vuelvo adonde empecé, busco tu rostro,
camino por las calles de mí mismo
bajo un sol sin edad, y tú a mi lado
caminas como un árbol, como un río,
creces como una espiga entre mis manos,
lates como una ardilla entre mis manos,
vuelas como mil pájaros, tu risa
me ha cubierto de espumas, tu cabeza
es un astro pequeño entre mis manos,
el mundo reverdece si sonríes
comiendo una naranja,
                                    el mundo cambia
si dos, vertiginosos y enlazados,
caen sobre la yerba: el cielo baja,
los árboles ascienden, el espacio
sólo es luz y silencio, sólo espacio
abierto para el águila del ojo,
pasa la blanca tribu de las nubes,
rompe amarras el cuerpo, zarpa el alma,
perdemos nuestros nombres y flotamos
a la deriva entre el azul y el verde,
tiempo total donde no pasa nada
sino su propio transcurrir dichoso,

no pasa nada, callas, parpadeas
(silencio: cruzó un ángel este instante
grande como la vida de cien soles),
¿no pasa nada, sólo un parpadeo?
-y el festín, el destierro, el primer crimen,
la quijada del asno, el ruido opaco
y la mirada incrédula del muerto
al caer en el llano ceniciento,
Agamenón y su mugido inmenso
y el repetido grito de Casandra
más fuerte que los gritos de las olas,
Sócrates en cadenas (el sol nace,
morir es despertar: "Critón, un gallo
a Esculapio, ya sano de la vida"),
el chacal que diserta entre las ruinas
de Nínive, la sombra que vio Bruto
antes de la batalla, Moctezuma
en el lecho de espinas de su insomnio,
el viaje en la carreta hacia la muerte
-el viaje interminable mas contado
por Robespierre minuto tras minuto,
la mandíbula rota entre las manos-,
Churruca en su barrica como un trono
es
Ken Pepiton Aug 2021
Heal the earth… kinda crazy, but it makes good sense
the message on the label in tiny type,
and the smell is heaven on earth,
peppermint after rain

A nod to Dr. Bonner, shouting in the distance
with the thunder over Laguna {no name}
high above long valley mountain
south of the valley we occupy,
we thunder resonaters, making me think you

know how we think
we mortal messengers are doers of evil
deservant
of natural resourceful sources wrath,
and bitter life worth attacks, dis-easing the peace
--acts of God the English insurers of ships said.
-- Real life.

Ida known, seen on the weather channel,
I asked for some of her water,
as a twist in the spin of the eye
of the storm,
in the per-ifery
of rich and learned influencers
twisters of eddies
in thought named
nought or ought points,
in the long game
of spirits riding winds, with heirs
of the times
when answers changed from wind to words

Ghost Riders in the Sky, I swear
the song made something of me, when I danced
this dance - this after the rain
smell and feel
in love
of the slightest touch
of Ida thunder resonating, ring of re
cognition, ignition, be ware heir
of wind, re allowed tall tales,
Pecos Bill, if y'will, re
son-ate, wait, set arope ona tornado,
with a gentle, look-up,cauughtcha houlihan.
{ hey hedgehog, were you looking for a horse?}
Gentle, think the stupid metaphor holds more hints…

and let goodness and truth tame y' tongue.
Ida reached out and kissed me.
phugginay-ee ha
say see
cloud dancers come to make me believe
I asked for this.

Thunder, echoes, no lie, as I imagine
you laughing, felt it too, just
then high up,

see, the thunderbird
from my story,
I told you, wait and see, many things that seem
good are,
always far better than the lack - after
grip loss on con science use
of their wisdom--
ouch,
imagine that
would become, as a festering sore,
should we not resonate the joy
of rain in
thunder peace, no anger-making-fear
declaration sound,

crack of
thunder is the world working
right, on time,
like attention, pay now, play later.

Hey wind talker, can you send some to Dakota?
We could
think so.
I think
it takes time,
but soon we shall agree we know the way
of riders on the storm,

the ice will finally melt, the waters shall rise,
wetter us better, deserts agree,

Rain and wind in Baja in August,
cold truth laughing back at me, think
what you wish were true were true then

do what you do.
Laugh with the singing pines.
Laugh with the whistling pine's cones sailing
trailing soggy webbing with cargoes
of peace from my valley, washing
over me, as I laugh at the madness,
this appears to be,
were any mortal
to see.
It flows, this river of no return==It took an artist to set the type on the label
of Dr. Bonner's Castile hemp peppermint soap,
prior to Adobe's Venus on a halfshell Postscript patent
allowed the letters to be kerned and set as code,
vector lines to frame each symbol of sense

-- trippy hard to read teeny tiny type, but

with these tools, hypertext linkt:
https://www.sloww.co/dr-bronner-soap-label/
- expand your horizon read a blogger
Victor D López Feb 2019
Naciste siete años antes del comienzo de la guerra civil española,
Y viviste en una casita de dos pisos en la Calle de Abajo de Fontan,
Frente al mar que les regalo su riqueza y belleza,
Y les robo a tu hermano mayor, y el más noble, Juan, a los 19 años.

De chiquita eras muy llorona. Los vecinos te hacían rabiar con solo decirte,
“Chora, Litiña, chora” lo cual producía un largo llanto al instante.
A los siete u ocho años quedaste ciega por una infección en los ojos. Te salvó la vista
El medico del pueblo, pero no antes de pasar más de un año sin poder ir a la escuela.

Nunca recuperaste ese tiempo perdido. Tu impaciencia y la vergüenza de sentirte atrasada, Impidieron tus estudios. Tu profundo amor propio y la vergüenza de no saber lo que sabían tus
Amigas de tu edad, tu inquietud y tu inhabilidad de aguantar la lengua cuando te corregían,
Crearon una perfecta tormenta que desvió tu diminutiva nave hacia las rocas.

Cuando aún una niña, viste a Franco con su escolta salir de su yate en Fontan.
Con la inocencia de una niña que nunca supo aguantar la lengua, preguntaste a
Una vecina que también estaba presente “Quien es ese señor?”
“El Generalísimo Francisco Franco” te contestó en voz baja. Dile “Viva Franco” cuando pase.

Con la inocencia de una niña y con la arrogancia de una viejita incorregible gritaste señalándolo
“Ese es el Generalísimo?” Y con una carcajada seguiste en voz alta “Parece Pulgarcito!”
Un miembro de su escolta se acercó alzando su ametralladora con la aparente Intención de Golpearte con la culata. “Dejadla!” Exclamo Franco. “Es una niña—la culpa no es suya.”

Contaste ese cuento muchas veces en mi presencia, siempre con una sonrisa o riéndote.
Creo que nunca apreciaste el importe de esa “hazaña” de desprecio a la autoridad. Pudiera ser En parte por ese hecho de tu niñez que vinieron eventualmente por tu padre  
Que lo Llevaron preso. Que lo torturaron por muchos meses y condenaron a muerte?

El escapó su condena como ya he contado antes—con la ayuda de un oficial fascista.
Tan fuerte era su reputación y el poder de sus ideas hasta con sus muchos amigos contrarios.
Tal tu inocencia, o tu ceguera psíquica, en no comprender nunca una potencial causa de su Destrucción. A Dios gracias que nunca pudiste apreciar la posible consecuencia de tus palabras.

Tu padre, quien quisiste toda la vida entrañablemente con una pasión de la cual fue muy Merecedor, murió poco después del término de la guerra civil. Una madre con diez
Bocas para alimentar necesitaba ayuda. Tú fuiste una de las que más acudió a ese
Pedido silencioso. A los 11 años dejaste la escuela por última vez y comenzaste a trabajar.

Los niños no podían trabajar en la España de Franco. No obstante, un primo tomó piedad
De la situación y te permitió trabajar en su fábrica de embutidos de pescado en Sada.
Ganabas igual que todas tus compañeras mayores. Y trabajabas mejor que la mayoría de ellas,
Con la rapidez y destreza que te sirvieron bien toda tu vida en todos tus trabajos.

En tu tiempo libre, llevabas agua de la fuente comunal a vecinos por unos céntimos.
De chiquita también llevabas una sella en la cabeza para casa y dos baldes en las manos antes y Después de tu trabajo en la fábrica de Cheche para el agua de muchos pescadores en el puerto
Antes del amanecer esperando la partida a alta mar con tu agua fresca en sus recipientes.

Todo ese dinero era entregado tu madre con el orgullo de una niña que proveía
Más que el sueldo de una mujer grande—solo a cambio de tu niñez y de la escuela.
También lavabas ropa para algunos vecinos. Y siempre gratuitamente los pañales cuando había
Niños recién nacidos solo por el placer de verlos y poder estar con ellos.

Cuando eras un poco más grande, ya de edad de ir al baile y al cine, seguías la misma rutina,
Pero también lavabas y planchabas la ropa de los marineros jóvenes que querían ir muy limpios
Y bien planchados al baile los domingos. Ese era el único dinero que era solo tuyo—para
Pagar la peluquería todas las semanas y el baile y cine. El resto siempre para tu madre.


A los dieciséis años quisiste emigrar a Argentina a la casa de una tía en Buenos Aires.
Tu madre te lo permitió, pero solo si llevabas también a tu hermana menor, Remedios, contigo.
Lo hiciste. En Buenos Aires no podías trabajar tampoco por ser menor. Mentiste en las Aplicaciones y pudiste conseguir trabajo en una clínica como ayudanta de enfermera.

Lavaste bacinillas, cambiaste camas, y limpiaste pisos con otros trabajos similares.
Todo por ganar suficiente dinero para poder reclamar a tu madre y hermanos menores,
Sito (José) y Paco (Francisco). Luego conseguiste un trabajo de mucama en un hotel
En Mar del Plata. Los dueños apreciaron tu pasión por cuidar a sus niños pequeños.

Te mantuvieron como niñera y mucama—sin doble sueldo. Entre tu (pobre) sueldo y
Propinas de mucama, en un tiempo pudiste guardar suficiente dinero para comprar
Los pasajes para tu madre y hermanos. También pudiste volver a Buenos Aires y
Conseguiste alquilar un doble cuarto en una antigua casa cerca del Consulado español.

De aquellas, aun menor de edad, ya trabajabas en el laboratorio Ponds—al cargo de una
Máquina de empacado de productos de belleza. Ganabas buen dinero, y vivieron en el
Centro de Buenos aires en esa casa hasta que te casaste con papa muchos años después.
Aun te perseguía la mala costumbre de decir lo que penabas y de no dar el brazo a torcer.

El sindicato de la Ponds trató de obligarte a registrarte como Peronista.
A gato escaldado hasta el agua fría le hace daño, y reusaste registrarte al partido.
Le dijiste al sindicato que no le habías escapado a un dictador para aliarte a otro.
Te amenazaron con perder el trabajo. Y con repatriarte a ti y a tu madre y hermanos.

Tu respuesta no la puedo escribir aquí. Te llevaron frente al gerente general demandando
Que te despidiera de inmediato. Contestaste que te demostraran razones para hacerlo.
El gerente—indudablemente a propio riesgo—contestó que no había mejor trabajadora
En la fábrica y que no tenía el sindicato razones para pedir que te despidiera.

Después de un noviazgo de varios años, se casaron tú y papa. Tenían el mundo en sus
Manos. Buen trabajo con buenos ahorros que les permitirían vivir muy bien en el futuro.
No podías tener hijos—los cuales siempre anhelaste tener. Tres años de tratamientos
Lograron que me dieras vida. Vivimos por años en un hermoso apartamento en la ciudad.

Tengo uso de razón y recuerdos gratos desde antes de los dos años. Recuerdo muy bien ese Apartamento. Pero las cosas cambiaron cuando decidieron emprender un negocio
Que no fue sostenible en el caos de la Argentina en los años 60. Recuerdo demasiado bien el Sacrificio tuyo y el de papa—es eso un tema para otro día, pero no para hoy.

Fuiste la persona más trabajadora que conocí en mi vida. No le temías a ningún trabajo
Honesto por fuerte que fuese y tu inquietud y espíritu competitivo siempre te hicieron
Una empleada estelar en todos tus trabajos, la mayoría de ellos sumamente esclavos.
Hasta en casa no sabias parar a no ser que tuvieras con quien charlar un rato largo.

Eras una gran cocinera gracias en parte al chef del hotel en cual trabajaste en Argentina
Que era también un compatriota español (vasco) y te enseno a cocinar muchos de sus
Platos españoles e italianos favoritos. Fuiste siempre muy mal comedora. Pero te
Encantaba cocinar para amigos, familia y—cuantos mas mejor—y para las fiestas.

Papá también era buen cocinero aunque con un repertorio mas limitado. Y yo aprendí
De los dos con mucho afán también a cocinar desde joven. Ni en la cocina ni en ninguna
Fase de mi vida me puedo comparar contigo ni con papa, pero también me encanta
Cocinar y en especial para compartir con seres queridos.

Te daba gran placer introducir a mis amigos a tus platos favoritos como la cazuela de mariscos,
Paella, caldo gallego, tus incomparables canelones, ñoquis, orejas, filloas, buñuelos, flan,
Y todo el resto de tu largo repertorio de música culinaria. Papa me iba a buscar al colegio
Cuando en la escuela secundaria (JHS #10) todos los días antes del trabajo.

Los dos trabajaban el segundo turno y no partían hasta después de las 2:00 p.m.
Muchos días traía el coche lleno de mis compañeros. Recuerdo igual que si fuera ayer
Las caras de mis amigos judíos, chinos, japoneses, italianos, ingleses e irlandeses
Cuando primero probaron el pulpo, caldo gallego, la tortilla, las orejas o el flan.

Mediante el bachiller, la universidad y los estudios de derecho fue igual. A veces parecía
Una reunión de Las Naciones Unidas, pero siempre con comida. Siempre trataste a mis
Amigos íntimos como si fueran hijos tuyos también. Y algunos aun hoy día te quieren
Como una segunda madre y sienten tu ausencia aunque no te vieran por muchos años.

Tuviste una pasión por ser madre (una gran pena que solo tuvieras un hijo).
Que te hizo ser demasiado protectora de tu hijo.  Me vestías con ropa exclusiva de
Les Bebes—Fui un muñeco para quien no los tuvo de niña. No me dejabas fuera de tu vista.
El mantenerme en un ambiente libre de gérmenes produjeron algunos problemas de salud.

Mi pediatra te decía “Quiero verlo con las rodillas raspadas y las uñas sucias.”
Tú lo tomabas como un chiste. Me llevabas a menudo a un parque y a la calesita.
Lo recuerdo como si fuera ayer. Pero no recuerdo tener ningún amigo hasta los siete u ocho
Años. Y solo uno entonces. No recuerdo tener una pandilla de amigos hasta los 13 años. Triste.

Cuando comencé a hablar como una cotorra con un año, y a caminar al mismo tiempo,
Me llevaste al médico. El medico pensó que era solo idea tuya. Me mostro unas llaves y me
Pregunto “Sabes lo que es esto, Danielito?” “Si. Son las llaves de tu tutú,” le contesté.
Después de unas pruebas, le recomendaron a mi madre que alimentara mi curiosidad.

Según ella era yo insoportable (algunas cosas nunca cambian). Si le preguntaba a
Papá por que el sol quema, a que distancia esta, que son las estrellas, por qué una
Linterna enfocada al cielo en una noche oscura no se ve, por qué los aviones no tienen
Ruedas debajo de pontones para poder aterrizar y despegar en el agua? Etc., etc., etc.

Me contestaba con paciencia. Recuerdo viajes en tren o autobús sentado en las piernas de mi Padre haciéndole mil preguntas. Desafortunadamente, si le preguntaba algo a mama que No supiera contestar, inventaba cualquier respuesta con tal de hacerme callar en vez de decirme “No se” o “pregúntaselo a papá” o “vete al infierno de una ver por todas y dejame en paz.”

Cuando me contaba algún cuento y no me gustaba como terminaba, “Caperucita Roja” por Ejemplo, mi madre tenía que inventar un fin que me gustara mejor o aguantar un llanto
Interminable. Pobre madre. Inventar lo que a Danielito no le gustaba podía ser peligroso.
Recuerdo un día en el teatro viendo dibujos animados que me encantaban (y aun encantan).

El Pato Donald salió en una escena comiéndose un tremendo sándwich. Le dije a mamá que
Quería un sándwich igual. En vez de contestarme que no era un sándwich de verdad, o que me Llevarían a comer después del teatro (como de costumbre) se le ocurrió decirme que me
Lo iba a traer el Pato Donald al asiento. Cambio la escena y el Pato Donald salió sin el sándwich.


Se acabo el mundo. Empecé a chillar y llorar que el Pato Donald se comió mi sándwich.
Me había mentido y no me trajo el prometido sándwich. Eso era algo insoportable.
No hubo forma de consolarme o hacerme entender—ya tarde—que el Pato Donald también
Tenía hambre, que el sándwich era suyo y no mío, o que lo de la pantalla no era realidad.

Ardió Cristo. Se había comido el sándwich del nene el Pato Donald quien era (y es) mi favorito.
La traición de un ser querido así era inconcebible e insoportable. Me tuvieron que quitar del
Cine a grito pelado. No se me fue la pataleta por largo rato. Pero todo paso cuando mi querida Tía Nieves (una prima) me dio unas galletas marineras con mermelada más tarde en su casa.

Cuánta agua debajo del puente. Tus recuerdos como el humo en una placentera brisa ya se han Esparcido, son moléculas insubstanciales como estrellas en el cielo, que no pintan cuadros Coherentes. Una vida de conversaciones vitales vueltas a susurros de niños en una tormenta Tropical, impermisibles, insustanciales, solo un sueño que interrumpe una pesadilla eterna.

Así es tu vida hoy. Tu memoria fue siempre prodigiosa. Recordabas el nombre de todas las Personas que conociste en toda tu vida—y conversaciones enteras palabra por palabra.
Con solo tres años de escuela, te fuiste por el mundo rompiendo paso y aprendiste a leer y
Escribir ya después de os 16 años en una ciudad adoptiva. Te fue más que suficiente tu estudio.

Siempre dije que eras mucho mejor escritora que yo. Cuantas excelentes novelas u obras de Teatro y poesía hubieras escribido tú con la mitad de mi educación y el triple de trabajo?  
No ay justicia en este mundo. Por qué le da Dios pan a quien no tiene dientes? Tú prodigiosa Memoria no te permite ya que me reconozcas. Fui la última persona que olvidaste.

Pero aun ahora que ya no puedes tener una conversación normal en ningún idioma,
Alguna vez te brillan los ojos y me llamas “neniño” y sé que por un instante no estás ya sola.
Pero pronto se apaga esa luz y vuelve la oscuridad. Solo te puedo ver unas horas un día a la Semana. Las circunstancias de mi vida no me dejan otra mejor opción.

Algún día no tendré ni siquiera la oportunidad de compartir unas horas contigo. No tendrás
Monumento alguno salvo en mis recuerdos mientras me quede uso de razón. Toda una
Vida de incalculable sacrificio de la cual solo dejarás el más pobre rasgo viviente del amor
De tu único hijo quien no tiene palabras para honrarte adecuadamente ni nunca las tendrá.


*          *          *

Ya llegó ese día, demasiado pronto. Octubre 11, 2018. Llegó la llamada a las 03:30 horas,
Una o dos horas después de haber quedado yo dormido. Te trataron de resucitar en vano.
No habría ya mas oportunidades de decirte te quiero, de acariciar tus manos y cara,
De cantarte al oído, de poner crema en tus manos, de anhelar que esta semana me recordaras.

De contarte acontecimientos de seres queridos, a quien vi, que me dijeron, quien pregunto
Por ti, ni de rezar por ti o de pedirte si me dabas un besito poniendo mi mejilla cerca de tus Labios y del placer cuando respondías dándome muchos besitos. Cuando no me respondías,
Lo mas probable estos últimos muchos meses, te decía, “Bueno la próxima vez.”

Siempre al despedirme te daba un besito por Alice y un abrazo que siempre te mandaba,
Y tres besitos en tu frente de parte de papa (siempre te daba tres juntos), y uno mío. Te
Dejaba la tele prendida en un canal sin volumen que mostrara movimiento. Y en lo posible
Esperaba que quedaras con los ojos cerrados antes de marchar.

Se acabó el tiempo. No hay mas prorroga. Mis oraciones cambian de pedir que Dios te proteja
Y que por Su Gracia puedas sanar un poquito día a día a que Dios guarde tu alma y la de papá y
Permita que descansen en paz en Su reino. Te hecho mucho de menos ya, como a papá, y lo
Haré mientras viva y Dios me permita uso de razón. No sabia lo que es estar solo. Ahora si lo se.

Cuatro años viendo tu deslumbrante luz reducirse a una vela temblando en a oscuridad.
Cuatro años temiendo que te dieras cuenta de tu situación.
Cuatro años rogando que no tuvieras dolor, tristeza o soledad.
Cuatro años y sin aprender como decirte adiós. El resto de mi vida esperando verte otra vez.

Te quiero con todo mi corazón siempre y para siempre, mamá. Descansa en Paz.
You can hear all six of my Unsung Heroes poems read by me in my podcasts at https://open.spotify.com/show/1zgnkuAIVJaQ0Gb6pOfQOH. (plus much more of my fiction, non-fiction and poetry in English and Spanish)
Victor D López Dec 2019
The Wise Speak Softly

The wise speak softly,
Fools yell out their every thought,
That all may know them.

___

Los Sabios Hablan en Voz Baja

Los sabios hablan en voz baja,
Los tontos gritan cada pensamiento,
Para que todos puedan conocerlos.

https://allpoetry.com/Victor
D._L%C3%B3pez
Oídos con el alma,
pasos mentales más que sombras,
sombras del pensamiento más que pasos,
por el camino de ecos
que la memoria inventa y borra:
sin caminar caminan
sobre este ahora, puente
tendido entre una letra y otra.
Como llovizna sobre brasas
dentro de mí los pasos pasan
hacia lugares que se vuelven aire.
Nombres: en una pausa
desaparecen, entre dos palabras.
El sol camina sobre los escombros
de lo que digo, el sol arrasa los parajes
confusamente apenas
amaneciendo en esta página,
el sol abre mi frente,
                                        balcón al voladero
dentro de mí.

                            Me alejo de mí mismo,
sigo los titubeos de esta frase,
senda de piedras y de cabras.
Relumbran las palabras en la sombra.
Y la negra marea de las sílabas
cubre el papel y entierra
sus raíces de tinta
en el subsuelo del lenguaje.
Desde mi frente salgo a un mediodía
del tamaño del tiempo.
El asalto de siglos del baniano
contra la vertical paciencia de la tapia
es menos largo que esta momentánea
bifurcación del pesamiento
entre lo presentido y lo sentido.
Ni allá ni aquí: por esa linde
de duda, transitada
sólo por espejeos y vislumbres,
donde el lenguaje se desdice,
voy al encuentro de mí mismo.
La hora es bola de cristal.
Entro en un patio abandonado:
aparición de un fresno.
Verdes exclamaciones
del viento entre las ramas.
Del otro lado está el vacío.
Patio inconcluso, amenazado
por la escritura y sus incertidumbres.
Ando entre las imágenes de un ojo
desmemoriado. Soy una de sus imágenes.
El fresno, sinuosa llama líquida,
es un rumor que se levanta
hasta volverse torre hablante.
Jardín ya matorral: su fiebre inventa bichos
que luego copian las mitologías.
Adobes, cal y tiempo:
entre ser y no ser los pardos muros.
Infinitesimales prodigios en sus grietas:
el hongo duende, vegetal Mitrídates,
la lagartija y sus exhalaciones.
Estoy dentro del ojo: el pozo
donde desde el principio un niño
está cayendo, el pozo donde cuento
lo que tardo en caer desde el principio,
el pozo de la cuenta de mi cuento
por donde sube el agua y baja
mi sombra.

                        El patio, el muro, el fresno, el pozo
en una claridad en forma de laguna
se desvanecen. Crece en sus orillas
una vegetación de transparencias.
Rima feliz de montes y edificios,
se desdobla el paisaje en el abstracto
espejo de la arquitectura.
Apenas dibujada,
suerte de coma horizontal (-)
entre el cielo y la tierra,
una piragua solitaria.
Las olas hablan nahua.
Cruza un signo volante las alturas.
Tal vez es una fecha, conjunción de destinos:
el haz de cañas, prefiguración del brasero.
El pedernal, la cruz, esas llaves de sangre
¿alguna vez abrieron las puertas de la muerte?
La luz poniente se demora,
alza sobre la alfombra simétricos incendios,
vuelve llama quimérica
este volumen lacre que hojeo
(estampas: los volcanes, los cúes y, tendido,
manto de plumas sobre el agua,
Tenochtitlán todo empapado en sangre).
Los libros del estante son ya brasas
que el sol atiza con sus manos rojas.
Se rebela el lápiz a seguir el dictado.
En la escritura que la nombra
se eclipsa la laguna.
Doblo la hoja. Cuchicheos:
me espían entre los follajes
de las letras.

                          Un charco es mi memoria.
Lodoso espejo: ¿dónde estuve?
Sin piedad y sin cólera mis ojos
me miran a los ojos
desde las aguas turbias de ese charco
que convocan ahora mis palabras.
No veo con los ojos: las palabras
son mis ojos. vivimos entre nombres;
lo que no tiene nombre todavía
no existe: Adán de lodo,
No un muñeco de barro, una metáfora.
Ver al mundo es deletrearlo.
Espejo de palabras: ¿dónde estuve?
Mis palabras me miran desde el charco
de mi memoria. Brillan,
entre enramadas de reflejos,
nubes varadas y burbujas,
sobre un fondo del ocre al brasilado,
las sílabas de agua.
Ondulación de sombras, visos, ecos,
no escritura de signos: de rumores.
Mis ojos tienen sed. El charco es senequista:
el agua, aunque potable, no se bebe: se lee.
Al sol del altiplano se evaporan los charcos.
Queda un polvo desleal
y unos cuantos vestigios intestados.
¿Dónde estuve?

                                  Yo estoy en donde estuve:
entre los muros indecisos
del mismo patio de palabras.
Abderramán, Pompeyo, Xicoténcatl,
batallas en el Oxus o en la barda
con Ernesto y Guillermo. La mil hojas,
verdinegra escultura del murmullo,
jaula del sol y la centella
breve del chupamirto: la higuera primordial,
capilla vegetal de rituales
polimorfos, diversos y perversos.
Revelaciones y abominaciones:
el cuerpo y sus lenguajes
entretejidos, nudo de fantasmas
palpados por el pensamiento
y por el tacto disipados,
argolla de la sangre, idea fija
en mi frente clavada.
El deseo es señor de espectros,
somos enredaderas de aire
en árboles de viento,
manto de llamas inventado
y devorado por la llama.
La hendedura del tronco:
****, sello, pasaje serpentino
cerrado al sol y a mis miradas,
abierto a las hormigas.

La hendedura fue pórtico
del más allá de lo mirado y lo pensado:
allá dentro son verdes las mareas,
la sangre es verde, el fuego verde,
entre las yerbas negras arden estrellas verdes:
es la música verde de los élitros
en la prístina noche de la higuera;
-allá dentro son ojos las yemas de los dedos,
el tacto mira, palpan las miradas,
los ojos oyen los olores;
-allá dentro es afuera,
es todas partes y ninguna parte,
las cosas son las mismas y son otras,
encarcelado en un icosaedro
hay un insecto tejedor de música
y hay otro insecto que desteje
los silogismos que la araña teje
colgada de los hilos de la luna;
-allá dentro el espacio
en una mano abierta y una frente
que no piensa ideas sino formas
que respiran, caminan, hablan, cambian
y silenciosamente se evaporan;
-allá dentro, país de entretejidos ecos,
se despeña la luz, lenta cascada,
entre los labios de las grietas:
la luz es agua, el agua tiempo diáfano
donde los ojos lavan sus imágenes;
-allá dentro los cables del deseo
fingen eternidades de un segundo
que la mental corriente eléctrica
enciende, apaga, enciende,
resurrecciones llameantes
del alfabeto calcinado;
-no hay escuela allá dentro,
siempre es el mismo día, la misma noche siempre,
no han inventado el tiempo todavía,
no ha envejecido el sol,
esta nieve es idéntica a la yerba,
siempre y nunca es lo mismo,
nunca ha llovido y llueve siempre,
todo está siendo y nunca ha sido,
pueblo sin nombre de las sensaciones,
nombres que buscan cuerpo,
impías transparencias,
jaulas de claridad donde se anulan
la identidad entre sus semejanzas,
la diferencia en sus contradicciones.
La higuera, sus falacias y su sabiduría:
prodigios de la tierra
-fidedignos, puntuales, redundantes-
y la conversación con los espectros.
Aprendizajes con la higuera:
hablar con vivos y con muertos.
También conmigo mismo.

                                                    La procesión del
año:
cambios que son repeticiones.
El paso de las horas y su peso.
La madrugada: más que luz, un vaho
de claridad cambiada en gotas grávidas
sobre los vidrios y las hojas:
el mundo se atenúa
en esas oscilantes geometrías
hasta volverse el filo de un reflejo.
Brota el día, prorrumpe entre las hojas
gira sobre sí mismo
y de la vacuidad en que se precipita
surge, otra vez corpóreo.
El tiempo es luz filtrada.
Revienta el fruto *****
en encarnada florescencia,
la rota rama escurre savia lechosa y acre.
Metamorfosis de la higuera:
si el otoño la quema, su luz la transfigura.
Por los espacios diáfanos
se eleva descarnada virgen negra.
El cielo es giratorio
lapizlázuli:          
viran au ralenti, sus
continentes,
insubstanciales geografías.
Llamas entre las nieves de las nubes.
La tarde más y más es miel quemada.
Derrumbe silencioso de horizontes:
la luz se precipita de las cumbres,
la sombra se derrama por el llano.

A la luz de la lámpara -la noche
ya dueña de la casa y el fantasma
de mi abuelo ya dueño de la noche-
yo penetraba en el silencio,
cuerpo sin cuerpo, tiempo
sin horas. Cada noche,
máquinas transparentes del delirio,
dentro de mí los libros levantaban
arquitecturas sobre una sima edificadas.
Las alza un soplo del espíritu,
un parpadeo las deshace.
Yo junté leña con los otros
y lloré con el humo de la pira
del domador de potros;
vagué por la arboleda navegante
que arrastra el Tajo turbiamente verde:
la líquida espesura se encrespaba
tras de la fugitiva Galatea;
vi en racimos las sombras agolpadas
para beber la sangre de la zanja:
mejor quebrar terrones
por la ración de perro del
labrador avaro
que regir las naciones pálidas
de los muertos;
tuve sed, vi demonios en el Gobi;
en la gruta nadé con la sirena
(y después, en el sueño purgativo,
fendendo i drappi, e mostravami'l
ventre,
quel mí svegliò col
puzzo che n'nuscia);
grabé sobre mi tumba imaginaria:
no muevas esta lápida,
soy rico sólo en huesos;
aquellas memorables
pecosas peras encontradas
en la cesta verbal de Villaurrutia;
Carlos Garrote, eterno medio hermano,
Dios te salve, me dijo al
derribarme
y era, por los espejos del insomnio
repetido, yo mismo el que me hería;
Isis y el asno Lucio; el pulpo y Nemo;
y los libros marcados por las armas de Príapo,
leídos en las tardes diluviales
el cuerpo tenso, la mirada intensa.
Nombres anclados en el golfo
de mi frente: yo escribo porque el druida,
bajo el rumor de sílabas del himno,
encina bien plantada en una página,
me dio el gajo de muérdago, el conjuro
que hace brotar palabras de la peña.
Los nombres acumulan sus imágenes.
Las imágenes acumulan sus gaseosas,
conjeturales confederaciones.
Nubes y nubes, fantasmal galope
de las nubes sobre las crestas
de mi memoria. Adolescencia,
país de nubes.

                            Casa grande,
encallada en un tiempo
azolvado. La plaza, los árboles enormes
donde anidaba el sol, la iglesia enana
-su torre les llegaba a las rodillas
pero su doble lengua de metal
a los difuntos despertaba.
Bajo la arcada, en garbas militares,
las cañas, lanzas verdes,
carabinas de azúcar;
en el portal, el tendejón magenta:
frescor de agua en penumbra,
ancestrales petates, luz trenzada,
y sobre el zinc del mostrador,
diminutos planetas desprendidos
del árbol meridiano,
los tejocotes y las mandarinas,
amarillos montones de dulzura.
Giran los años en la plaza,
rueda de Santa Catalina,
y no se mueven.

                                Mis palabras,
al hablar de la casa, se agrietan.
Cuartos y cuartos, habitados
sólo por sus fantasmas,
sólo por el rencor de los mayores
habitados. Familias,
criaderos de alacranes:
como a los perros dan con la pitanza
vidrio molido, nos alimentan con sus odios
y la ambición dudosa de ser alguien.
También me dieron pan, me dieron tiempo,
claros en los recodos de los días,
remansos para estar solo conmigo.
Niño entre adultos taciturnos
y sus terribles niñerías,
niño por los pasillos de altas puertas,
habitaciones con retratos,
crepusculares cofradías de los ausentes,
niño sobreviviente
de los espejos sin memoria
y su pueblo de viento:
el tiempo y sus encarnaciones
resuelto en simulacros de reflejos.
En mi casa los muertos eran más que los vivos.
Mi madre, niña de mil años,
madre del mundo, huérfana de mí,
abnegada, feroz, obtusa, providente,
jilguera, perra, hormiga, jabalina,
carta de amor con faltas de lenguaje,
mi madre: pan que yo cortaba
con su propio cuchillo cada día.
Los fresnos me enseñaron,
bajo la lluvia, la paciencia,
a cantar cara al viento vehemente.
Virgen somnílocua, una tía
me enseñó a ver con los ojos cerrados,
ver hacia dentro y a través del muro.
Mi abuelo a sonreír en la caída
y a repetir en los desastres: al
hecho, pecho.
(Esto que digo es tierra
sobre tu nombre derramada: blanda te
sea.)
Del vómito a la sed,
atado al potro del alcohol,
mi padre iba y venía entre las llamas.
Por los durmientes y los rieles
de una estación de moscas y de polvo
una tarde juntamos sus pedazos.
Yo nunca pude hablar con él.
Lo encuentro ahora en sueños,
esa borrosa patria de los muertos.
Hablamos siempre de otras cosas.
Mientras la casa se desmoronaba
yo crecía. Fui (soy) yerba, maleza
entre escombros anónimos.

                                                Días
como una frente libre, un libro abierto.
No me multiplicaron los espejos
codiciosos que vuelven
cosas los hombres, número las cosas:
ni mando ni ganancia. La santidad tampoco:
el cielo para mí pronto fue un cielo
deshabitado, una hermosura hueca
y adorable. Presencia suficiente,
cambiante: el tiempo y sus epifanías.
No me habló dios entre las nubes:
entre las hojas de la higuera
me habló el cuerpo, los cuerpos de mi cuerpo.
Encarnaciones instantáneas:
tarde lavada por la lluvia,
luz recién salida del agua,
el vaho femenino de las plantas
piel a mi piel pegada: ¡súcubo!
-como si al fin el tiempo coincidiese
consigo mismo y yo con él,
como si el tiempo y sus dos tiempos
fuesen un solo tiempo
que ya no fuese tiempo, un tiempo
donde siempre es ahora y a
todas horas siempre,
como si yo y mi doble fuesen uno
y yo no fuese ya.
Granada de la hora: bebí sol, comí tiempo.
Dedos de luz abrían los follajes.
Zumbar de abejas en mi sangre:
el blanco advenimiento.
Me arrojó la descarga
a la orilla más sola. Fui un extraño
entre las vastas ruinas de la tarde.
Vértigo abstracto: hablé conmigo,
fui doble, el tiempo se rompió.

Atónita en lo alto del minuto
la carne se hace verbo -y el verbo se despeña.
Saberse desterrado en la tierra, siendo tierra,
es saberse mortal. Secreto a voces
y también secreto vacío, sin nada adentro:
no hay muertos, sólo hay muerte, madre nuestra.
Lo sabía el azteca, lo adivinaba el griego:
el agua es fuego y en su tránsito
nosotros somos sólo llamaradas.
La muerte es madre de las formas…
El sonido, bastón de ciego del sentido:
escribo muerte y vivo en ella
por un instante. Habito su sonido:
es un cubo neumático de vidrio,
vibra sobre esta página,
desaparece entre sus ecos.
Paisajes de palabras:
los despueblan mis ojos al leerlos.
No importa: los propagan mis oídos.
Brotan allá, en las zonas indecisas
del lenguaje, palustres poblaciones.
Son criaturas anfibias, con palabras.
Pasan de un elemento a otro,
se bañan en el fuego, reposan en el aire.
Están del otro lado. No las oigo, ¿qué dicen?
No dicen: hablan, hablan.

                                Salto de un cuento a otro
por un puente colgante de once sílabas.
Un cuerpo vivo aunque intangible el aire,
en todas partes siempre y en ninguna.
Duerme con los ojos abiertos,
se acuesta entre las yerbas y amanece rocío,
se persigue a sí mismo y habla solo en los túneles,
es un tornillo que perfora montes,
nadador en la mar brava del fuego
es invisible surtidor de ayes
levanta a pulso dos océanos,
anda perdido por las calles
palabra en pena en busca de sentido,
aire que se disipa en aire.
¿Y para qué digo todo esto?
Para decir que en pleno mediodía
el aire se poblaba de fantasmas,
sol acuñado en alas,
ingrávidas monedas, mariposas.
Anochecer. En la terraza
oficiaba la luna silenciaria.
La cabeza de muerto, mensajera
de las ánimas, la fascinante fascinada
por las camelias y la luz eléctrica,
sobre nuestras cabezas era un revoloteo
de conjuros opacos. ¡Mátala!
gritaban las mujeres
y la quemaban como bruja.
Después, con un suspiro feroz, se santiguaban.
Luz esparcida, Psiquis…

                                 
¿Hay mensajeros? Sí,
cuerpo tatuado de señales
es el espacio, el aire es invisible
tejido de llamadas y respuestas.
Animales y cosas se hacen lenguas,
a través de nosotros habla consigo mismo
el universo. Somos un fragmento
-pero cabal en su inacabamiento-
de su discurso. Solipsismo
coherente y vacío:
desde el principio del principio
¿qué dice? Dice que nos dice.
Se lo dice a sí mismo. Oh
madness of discourse,
that cause sets up with and against
itself!

Desde lo alto del minuto
despeñado en la tarde plantas fanerógamas
me descubrió la muerte.
Y yo en la muerte descubrí al lenguaje.
El universo habla solo
pero los hombres hablan con los hombres:
hay historia. Guillermo, Alfonso, Emilio:
el corral de los juegos era historia
y era historia jugar a morir juntos.
La polvareda, el grito, la caída:
algarabía, no discurso.
En el vaivén errante de las cosas,
por las revoluciones de las formas
y de los tiempos arrastradas,
cada una pelea con las otras,
cada una se alza, ciega, contra sí misma.
Así, según la hora cae desen-
lazada, su injusticia pagan. (Anaximandro.)
La injusticia de ser: las cosas sufren
unas con otras y consigo mismas
por ser un querer más, siempre ser más que más.
Ser tiempo es la condena, nuestra pena es la historia.
Pero también es el lug
Vuelve otra vez tu día,
oh patria amada, el día de tu gloria.

Vuelve de nuevo a resonar triunfales
los himnos que eternizan tu memoria,
y el espléndido cielo de tu historia,
vuelve el sol de tus días inmortales.

Y otra vez a tu ara sacrosanta
llevan tus hijos fieles
flores que fecundaron tus vergeles;
y músicas marciales
al aire asordan, y doquier se oye,
en valles, montañas y llanuras,
en la extensión del suelo colombiano,
el canto jubiloso de los libres
que sube a las alturas,
de la gloria al alcázar soberano.

Y de nuevo flamea,
no como en días trágicos de horrores,
entre el ronco fragor de la pelea,
sino bajo arcos de laurel y flores,
el pendón de la patria,
la santa enseñanza de los tres colores...
la bandera inmortal que oyó las dianas
de los heroicos triunfos legendarios.

La que fue a despertar  los cóndores
a la cumbre más alta de los Andes
y fue más tarde a despertar la gloria;
la bandera inmortal, la santa egida,
que el camino marcó de la Victoria.

Besada por ondas de tus mares,
bajo el palio infinito de tu cielo,
tachonado de ardientes luminares;
lleno de flores tu fecundo suelo.
Y adormida el rumor de tus palmares,
lloras en silencio, Patria mía,
cansada de esperar luz en tu noche,
en la callada noche de tus penas;
cansada de esperar en tu agonía
el hierro que limara tus cadenas.

No, ya los hijos tuyos,
de las selvas antiguos moradores,
vagan libres, bajo el sol fulgente
que vio la gloria de tus días grandes,
ya desde la cima de los Andes
alumbraba ruinas solamente;
ni llevaban vencidos y humillados
por la invasora gente,
el cintillo de oro en la garganta
y el penacho de plumas en la frente,
ni ya el aire cortaba
las voladoras flechas,
ni en las noches de luna sollozaban
de la indígena raza los endechas.

Donde el templo del sol brilla espléndido
y sus láminas de oro refulgían,
ya los dolientes ojos no veían
sino campo infecundo y desolado.
Y el áureo trono de los reyes indios
en el polvo yacía destrozado.
Todo lo derribó cual hacha impía
del duro vencedor el brazo fuerte,
y al fin, de esa grandeza en los escombros
parecía vivir sólo la muerte...
eres, patria, la esclava envilecida;
eres, patria, el girón abandonado;
eres cual hado de baldón tu hado,
y cual vida de baldón tu vida
mas del mal el reinado no es eterno...
no su imperio perdura;
ni es eterna la noche pavorosa,
ni es eterna la humana desventura.

Que en las grandes catástrofes sombrías,
en las horas de angustia y desconsuelo,
cuando a las almas el dolor avanza,
siempre se ve la escala milagrosa
por donde sube la plegaría al cielo,
baja de los cielos la esperanza...
y llega por fin el día.

En que estallan, rugiendo los dolores
en los esclavos pechos comprimidos,
cuando alzan la cerviz los oprimidos
y bajo la cerviz los opresores,
y que tiemblen entonces los verdugos,
porque de sus dolores y sus lágrimas
pedirán los esclavos cuenta un día;
porque el llanto de un pueblo entre cadenas,
de su agonía en el mortal desmayo,
¡se alzan a los cielos, se condensa en nube,
y baja al suelo convertido en rayo!...

Y de lauro inmortal la sien ornada,
no retando a los duros opresores,
no al escape de caballos voladores,
sino en doliente precisión callada,
finge la mente que a la tierra vuelven
de las altas mansiones siderales,
al oír las alabanzas de los libres,
los que valientes en lid cayeron
y hogar y patria libertad nos dieron.

Y al fin llegó a la libertad la hora;
rompió en brillante aurora
la noche de tus penas,
y trocaste por cánticos de triunfo
los rumores de tus ayes y cadenas,
bajó a ti la victoria,
y sonaron las músicas marciales,
y empezaste el camino de la gloria,
el que lleva a las cumbres inmortales.

Y el combate se traba,
pero combate desigual, los unos
son los heroicos en sangrientas lides,
los que en el brazo llevan
empuje de Pelayos y de Cides;
Los que el paso cerraron
al corso altivo, forjadores de cetros,
y altas hazañas de una nueva aliada,
en Lepanto y Pavía renovaron...
Y los otros... Los parias infelices,
los que aun llevan en la espalda impresas
del tormento cruel las cicatrices
y del esclavo la ominosa marca,
más tenían la fe que salva montes,
la sacra fe que lo imposible abarca;
y busca de los amplios horizontes,
donde el sol de los libres centellea,
a la lid se lanzaron.

De esperanza inmortal henchido el pecho,
porque sabían que jamás sucumbe
quien lucha por una patria y su derecho.
Rota por la metralla
su bandera se vio, tintos en sangre
corrieron a la mar los patrios ríos,
y en la atónita tierra no se oía,
cual ronca marejada,
más que en el estruendo de la lid bravía,
fueron los días de la amarga prueba;
fueron los días de orfandad y  llanto
y de muerte y de horrores,
pero nada importaba los reversos
ni de la adversa suerte los rigores.

Y de inmortal la sien ornada,
no retando a los duros opresores,
no al escape de caballos voladores,
sino en doliente procesión callada,
finge la mente que a la tierra vuelven
de las altas misiones siderales,
al oír las alabanzas de los libres,
los que valientes en la lid cayeron
y  hogar y patria y libertad nos dieron.

Sonríen al ver que siempre grande
Por glorioso camino
la patria sigue a su inmortal destino;
y sonríen al ver que limpio brilla
el pendón colombiano
bajo el brillante cielo americano;
Que con amor guardamos su memoria,
Que somos dignos de sus altos hechos
Y dignos herederos de su gloria.
Y también surgen como blancos lirios,
como estrellas en diáfanas neblinas,
alta la sien, con nimbo esplendoroso,
de la patria las bellas heroínas.

También al resonar de las cadenas
indignas sus almas palpitaron;
también las cumbres del dolor hallaron...

También ellas, heroicas y serenas,
de la patria en las aras se inmolaron.
También los hechos brillan
como los hechos de los grandes hombres;
y también tienen la fama
corona de laureles para sus sienes.
Himnos de admiración tienen sus nombres;
que el corazón de la mujer, santuarios
de los puros y nobles idealismos,
también sube a la cima de la Gloria
y es capaz de los grandes heroísmos
para el amor y la virtud nacida
Ella es cordial de toda desventura;
doquiera su piedad enjuga lágrimas
y en toda sombra de dolor fulgura.
Por eso nunca desoyó el lamento
ni vio imposible el horrido quebranto
de la patria llorosa y desvalida.
¡Cuando llanto pidió, le dio su llanto;
cuando vidas pidió, le dio su vida!
¡Vuelve, oh patria, de nuevo
el día de tu gloria inmarcesible!
y otra vez a tu ara sacrosanto,
sube el himno de un pueblo redimido
de la grandeza de tus héroes canta.

Palpite eternamente en nuestros labios
y en nuestras almas su inmortal recuerdo,
porque ensalzando tus radiantes glorias,
oh patria, oh sol que sin ocaso brillas,
estaremos en pie para la tierra,
más para el cielo estamos de rodillas.
Natalia Rivera Jan 2015
Una luz tenue me levanto, ¿qué hora será? Miro el rejo y son las 4:50 de la madrugada de algún martes. Me volteo para verlo plasmado, la obra de arte más bella del mundo; el. Esta dormido profundamente, debido a su insomnio es cosa de celebrar así que lo dejo dormir y tomo el abrigo que hay en el suelo. El bonito abrigo color azul de rayas que tanto me encanta, el mismo abrigo que horas antes me quito con la ternura y pasión de dos amantes. Una pequeña sonrisa brota de mis labios y continúo para la sala, atravieso el pasillo forrado de fotos. Fotos de él, fotos mías, fotos familiares, sus pinturas, llego a la cocina y miro por la ventana, ya casi amanece. Me sirvo un poco de agua en mi taza con forma de gato, en la mesa de la sala están las copas y el vino de anoche.
El estaba sentado en el sofá, con su camisa color negra y sus mahonés grises. Con la mitad de la copa vacía me miraba indescifrablemente. Yo estaba sentada en el suelo cerca de la chimenea, usaba mi lindo vestido de flores junto a su abrigo color azul de rayas y el pelo alborotado (como siempre).
-¿Qué te trae bailando en el cinturón de Orión? dice dándole el último sorbo a su copa.
- En lo bien que se te ven esos mahonés le contesto; seguido de unas miradas disfrazadas y unas cuantas risas  me anime a contarle lo que me pasaba realmente.
-Hay días que el miedo me invade, mi vida era bastante simple antes de tu aparición. Nada me quitaba el sueño, vivía viajando en mis libros y mis prioridades era mantener con vida a mi pez y conseguir dinero al final de día para poder sustentarme. Pero apareciste, de la nada, porque si y mi mundo fue un caos. Cartas, besos, caricias, charlas, malos hábitos, terrible humor, un artista, un genio, un sádico, un romántico, egocéntrico y niño. De eso se componían mis pensamientos, pase de depender de cómo terminaba el final de un libro a como terminaba cada una de sus palabras. Estaba enamorada como nunca antes y eso me asustaba. Estoy enamorada de ti y todas tus mañas, pero quiero que te quedes para siempre.

Podía verlo, la luz del fuego enfocaba su rostro a la perfección, el silencio era agobiante. Permanecía sentada de alguna forma extraña hasta que al fin lo vi caminar hacia mí; se sentó junto y me miraba con ojos perdidos, tomo mi rostro en sus deliciosas manos y me besó. Me besó despacio, permitiéndome respirar su aroma y saborear su alma. Entre caricias, besos y suspiros terminamos en la cama, aún vestidos, aún con ganas. Lentamente baja la cremallera del abrigo y me lo quita con esa sonrisa de picardía, como un niño comenzando una travesura. Una vez que el abrigo cae al suelo me mira y me dice “Te amo, mi pequeña niña y mi inmensa mujer”
El resplandor del sol hizo que retornara a la realidad, eran las 5:20 de la mañana y el seguía durmiendo. Abrí la puerta del balcón para saludar a mi madre, danzaba en las olas y en los rayos del sol, radiante como siempre. La playa estaba desierta, estaba desnuda así como me gusta; decidí entrarme en ella así camine hasta la orilla del agua y me senté.  Me sentía viva pero me di cuenta que algo me cubría de pies a cabeza; la melancolía. Lo quería, si lo miraba sabia que ese era el hombre al que amaría por el resto de mis días y tenía miedo. Miedo a que el no sintiera lo mismo, que no me viera como yo lo veo. Mi desfile de pensamientos fue interrumpido por un cálido beso en la cabeza, mi artista de había levantado. Traía una manta y un bulto,  la extendió y cubriéndome me pregunto ¿Qué haces medio desnuda con este frió sentada ahí? Necesitaba brisa con sabor a playa, le dije. Se quedo junto a mi callado durante un rato. Vimos como del océano brotaban las nubes y danzaban hasta llegar a lo más alto del cielo, también, a lo lejos en el muelle vimos a una pareja sacar su pequeño bote para pasar lo que parecía ser un excelente día.
Inesperadamente el toma mi mano y la besa, me acerca a él y al oído casi susurrando me dice
- Jamás encuentro las palabras correctas para expresarte cuán importante eres, y cuando las encuentro se me pierde el coraje para decirlas. La otra noche vi tu alma desnuda, te vi a ti con todos tus miedos y con todo el amor que tienes, entonces supe nuevamente porque te escogí para pasar el resto de mis días contigo. Has estado en cada paso que doy, aun sabiendo que alguno de esos pasos me alejaba de ti. Fuiste mi brújula cuando me encontraba extraviado, mi amiga cuando deseo hablar de cosas que no te interesan y has sido toda una diosa para mí en aspectos que ambos sabemos.  No soy muy bueno en esto, y sé que estas no son las palabras que deseas oír solo sé que te amo y lo haré hasta que mis ganas de plasmar tu sonrisa en un canva se vayan, hasta que me haya cansado de hacerte el amor, hasta el día en que me muera. Te amo, y no dejare que te marches de mi vida nunca.
El sonido de las olas cubría mis sollozos, las lagrimas bajaban por mis mejillas y las palabras no me salían. Lo mire y el tenia una inmensa sonrisa y sus ojos me miraban con ternura. Me quito ambas mantas y del bulto saco su abrigo azul de rayas, me lo puso y me dijo:
-Quédate conmigo para siempre.
Y le dije:
-Me quedare contigo hasta en las ocasiones que quieras estar solo.
Lo beso y le digo:
-Te amo, renacuajo
Me besa y me dice:
-Te amo, mi niña.
Segunda historia.
Perig3e Feb 2012
We were cavorting Orca
in a warm Baja sea,
while you dove,
then rose to breath,
I met you at the surface
in a tangle of sweaty sheets.
It's sunshine and beaches, dolphins and sea shells
That keep me a long way from home
Its tequila and breezes blow'n cross this ol tarp
that keeps me from feeling alone

It's women, bad traffic and fresh broken hearts
That keep pushing me further away
But the Baja Cali playas
With 5 peso fish tacos
Quietly beg me to stay
(c) 2010 CJG
Arriba canta el pájaro
y abajo canta el agua.
(Arriba y abajo,
se me abre el alma).
¡Entre dos melodías,
la columna de plata!
Hoja, pájaro, estrella;
baja flor, raíz, agua.
¡Entre dos conmociones,
la columna de plata!
(¡Y tú, tronco ideal,
entre mi alma y mi alma!)
Mece a la estrella el trino,
la onda a la flor baja.
(Abajo y arriba,
me tiembla el alma).
El azul estaba inmovilizado entre el rojo y el *****.
El viento iba y venía por la página del llano,
encendía pequeñas fogatas, se revolcaba en la ceniza,
salía con la cara tiznada gritando por las esquinas,
el viento iba y venía abriendo y cerrando puertas y ventanas,
iba y venía por los crepusculares corredores del cráneo,
el viento con mala letra y las manos manchadas de tinta
escribía y borraba lo que había escrito sobre la pared del día.
El sol no era sino el presentimiento del color amarillo,
una insinuación de plumas, el grito futuro del gallo.
La nieve se había extraviado, el mar había perdido el habla,
era un rumor errante, unas vocales en busca de una palabra.

El azul estaba inmovilizado, nadie lo miraba, nadie lo oía:
el rojo era un ciego, el ***** un sordomudo.
El viento iba y venía preguntando ¿por dónde anda Joan Miró?
Estaba ahí desde el principio pero el viento no lo veía:
inmovilizado entre el azul y el rojo, el ***** y el amarillo,
Miró era una mirada transparente, una mirada de siete manos.
Siete manos en forma de orjeas para oír a los siete colores,
siete manos en forma de pies para subir los siete escalones del arco iris,
siete manos en forma de raíces para estar en todas partes y a la vez en Barcelona.

Miró era una mirada de siete manos.
Con la primera mano golpeaba el tambor de la luna,
con la segunda sembraba pájaros en el jardín del viento,
con la tercera agitaba el cubilete de las constelaciones,
con la cuarta escribía la leyenda de los siglos de los caracoles,
con la quinta plantaba islas en el pecho del verde,
con la sexta hacía una mujer mezclando noche y agua, música y electricidad,
con la séptima borraba todo lo que había hecho y comenzaba de nuevo.

El rojo abrió los ojos, el ***** dijo algo incomprensible y el azul se levantó.
Ninguno de los tres podía creer lo que veía:
¿eran ocho gavilanes o eran ocho paraguas?
Los ocho abrieron las alas, se echaron a volar y desaparecieron por un vidrio roto.

Miró empezó a quemar sus telas.
Ardían los leones y las arañas, las mujeres y las estrellas,
el cielo se pobló de triángulos, esferas, discos, hexaedros en llamas,
el fuego consumió enteramente a la granjera planetaria plantada en el centro del espacio,
del montón de cenizas brotaron mariposas, peces voladores, roncos fonógrafos,
pero entre los agujeros de los cuadros chamuscados
volvían el espacio azul y la raya de la golondrina, el follaje de nubes y el bastón florido:
era la primavera que insistía, insistía con ademanes verdes.
Ante tanta obstinación luminosa Miró se rascó la cabeza con su quinta mano,
murmurando para sí mismo: Trabajo como un jardinero.

¿Jardín de piedras o de barcas? ¿Jardín de poleas o de bailarinas?
El azul, el ***** y el rojo corrían por los prados,
las estrellas andaban desnudas pero las friolentas colinas se habían metido debajo de las sábanas,
había volcanes portátiles y fuegos de artificio a domicilio.
Las dos señoritas que guardan la entrada a la puerta de las percepciones, Geometría y Perspectiva,
se habían ido a tomar el fresco del brazo de Miró, cantando Une étoile caresse le sein d'une négresse.

El viento dio la vuelta a la página del llano, alzó la cara y dijo, ¿Pero dónde anda Joan Miró?
Estaba ahí desde el principio y el viento no lo veía:
Miró era una mirada transparente por donde entraban y salían atareados abecedarios.

No eran letras las que entraban y salían por los túneles del ojo:
eran cosas vivas que se juntaban y se dividían, se abrazaban y se mordían y se dispersaban,
corrían por toda la página en hileras animadas y multicolores, tenían cuernos y rabos,
unas estaban cubiertas de escamas, otras de plumas, otras andaban en cueros,
y las palabras que formaban eran palpables, audibles y comestibles  pero impronunciables:
no eran letras sino sensaciones, no eran sensaciones sino Transfiguraciones.

¿Y todo esto para qué? Para trazar una línea en la celda de un solitario,
para iluminar con un girasol la cabeza de luna del campesino,
para recibir a la noche que viene con personajes azules y pájaros de fiesta,
para saludar a la muerte con una salva de geranios,
para decirle buenos días al día que llega sin jamás preguntarle de dónde viene y adónde va,
para recordar que la cascada es una muchacha que baja las escaleras muerta de risa,
para ver al sol y a sus planetas meciéndose en el trapecio del horizontes,
para aprender a mirar y para que las cosas nos miren y entren y salgan por nuestras miradas,
abecedarios vivientes que echan raíces, suben, florecen, estallan, vuelan, se disipan, caen.

Las miradas son semillas, mirar es sembrar, Miró trabaja como un jardinero
y con sus siete manos traza incansable -círculo y rabo, ¡oh! y ¡ah!-
la gran exclamación con que todos los días comienza el mundo.
«¿Hacia dónde?» dicen todos,
«Otra vez a España?»
                                -«Al centro,
A conquistar nuevas tierras,
Listo el brazo y firme el pecho.
Río arriba, que hay un río
Que vendrá desde muy lejos.
Habrá en sus orillas oro;
Riquezas habrá en su extremo.
Ese río es el camino,
Ante nosotros abierto,
Para la fortuna. ¡Vamos,
Los que no sepáis de miedo!»

«¿Miedo? Nadie lo conoce».
Todos a una dijeron.

Y en ir y venir constante
Es grande alborozo el puerto
De Santa Marta ese día
De Abril de mil y quinientos
Treinta y seis de nuestra Era.
El Licenciado en Derecho
Don Gonzalo de Jiménez
De Quesada, airoso, erecto,
En el casco blancas plumas
Que agita el marino viento;
Con la luciente coraza
Guarnecido el noble pecho,
Y el pendón de Carlos Quinto
En la diestra mano irguiendo,
Ve ante él desfilar su tropa:
Sus hombres son ochocientos;
Y ochenta y cinco jinetes,
Y aborígenes flecheros.

Fray Domingo de Las Casas,
En el aire mañanero
Alza la mano y bendice,
Pidiendo el favor del Cielo.

Todos inclinan la frente,
Y en fila siguen al puerto.
Las lonas y cabrestantes
Aprestan los marineros,
Y cabecean los barcos
En el mar, diáfano espejo.

En carabelas van unos
Y en bergantines ligeros;
Otros partirán por tierra:
Todos de ánimo resuelto.

-«¡Adiós!» -
«¡Adiós!»...
                                    Tras fatigas
Unos, contra el mar violento
Luchando, y sus bergantines
Por ciclones, rotos viendo;
Y los otros, que en el bosque
Van despejando sendero,
En Malambo, sobre el río,
Se unen al fin. Desaliento
Profundo embarga sus almas,
Y en airada voz dijeron:

-«¿Avanzar? ¡Es imposible!
Para el mar nos volveremos».

Don Gonzalo pensativo,
Ante ese gran desconsuelo,
Le dice al Padre Las Casas,
Ante el peligro, sereno:
«Como voz terrena falla,
Habladles con voz de cielo».

En el arenal del río
Que desciende amarillento
Sobre tabla que se apoya
En recién cortados leños,
Un crucifijo se yergue,
Un cáliz y un Evangelio;
Y terminada la misa
Entre alboroto del viento
Y entre el rumor de la selva,
Dice el fraile:

                      «Llegó el tiempo
De que a los reinos de Cristo
Unamos un nuevo reino»

Y se vio trocado en gozo
Entonces el desaliento


¡Río arriba!... Unos por agua,
Otros por tierra. Al estrépito
De las voces de «¡¡Adelante!!»
Se unió el rimbombo del trueno.
Fúlgidos rayos cruzaron
El espacio ceniciento.
Borrose el sol. De las fieras,
Por entre el follaje espeso,
Llegaban roncos rugidos;
Y torrencial aguacero
Cayó de pronto. La oril la
Fue entonces pantano inmenso.
Unos subían el río;
Otros, bajo árboles, quietos;
Y la tormenta seguía
Los árboles sacudiendo.
Eran torrentes los caños,
Y entre ese fragor siniestro
Sobre las carnes de todos
Caían nubes de insectos,
Arañas, negras avispas,
Jején y tábanos fieros,
Que en encendidas ampollas
Les convertían el cuerpo.

Amarrados a los troncos
Se columbraban muy lejos
Los barcos. Y los infantes
De los raudales huyendo,
Sobre horcones cavilaban,
Mirando inundado el suelo,
Cómo esa noche podrían
El cuerpo entregar al sueño.
Charco enorme era la tierra;
Seguía el río creciendo
Y en los gajos de los árboles
Eran los aventureros
De ese día -y que muy pronto
De un mundo serían dueños-
Pájaros que disputaban
A los pájaros sus lechos.

De vez en cuando caía,
Con rudo golpe, uno al suelo:
De los audaces «chimilas»
Bajo el venablo certero.

«¿Hacia donde?» -preguntaban,
Y Quesada, duro el ceño,
A caballo respondía:
«Río arriba, que esto es nuéstro»

Y el pendón de Carlos Quinto
Erguía entre el aguacero.

Cerca un tigre. De otro tigre
El rugir se oía lejos.

Un alto al fin. En «Barranca
Bermeja»... Entre el desaliento
Estalla el tumulto, y todos
Piden hacia el mar regreso.
-«¿Para qué bellos pasajes
En desamparo y enfermos?»
Así decían. Quesada
Sin vacilar en su empeño.

Por el Opón, dos canoas
Envía Quesada. El cielo
Es viva paleta. El ánimo
Volver parece a sus pechos.
Se alza la luna. Vihuelas
Y voces forman concento:
La primera serenata
Bajo centenarios cedros
A la orilla del gran río
Que desciende soñoliento,
Llevando en sus aguas, troncos
Vivos: los saurios; y muertos
Troncos, que arrancó en la playa
La corriente con estrépito.

En tanto, Quesada sueña;
Soñando está, mas despierto.
Piensa en rejas andaluzas
Y en algunos ojos negros;
Y como es poeta, entonces
Fulge en su memoria un verso,
-¿Quién un verso no recuerda
En sus noches de desvelo,
Un verso que muchas veces
Es lágrima de otro tiempo?-
Y evocando a Santillana
Ya su «Vaqueira», un ensueño
Radioso se alza en su mente,
Visión de gloria: otro reino
Para España, que en el mundo
Habrá de extender su imperio.
«España y amor», murmura,
Y a sus ojos baja el sueño.

Y regresan las canoas:
Traen sal y  traen lienzos;
Y todos alborazados,
Delante de un mundo nuevo
Surcan del Opón las aguas,
De la gloria aventureros;
Y a las serranías suben:
Sementeras, chozas, huertos,
Cielo distinto, otros campos,
Vegas  y valles y cerros,
En donde sopla en el día
Y en las noches aire fresco
Y después, la gran llanura
Que se abre a sus ojos, lejos:
Nuevo día. Bella aurora;
Azul y radiante el cielo,
Y entre silbido de flechas,
Al frente los macheteros.
Troncos iban derribando
Que tendían en deshechos
Raudales, cual recios puentes
De infantes y caballeros,
Mientras serpientes enormes
Entre el matorral espeso
Deslizábanse, y arteras
Dejaban mortal veneno
En las carnes de esos bravos
Postrados por hambre y sueño.
Unos caían. Los otros
Marchaban, camino abriendo
Entre trabas de bejucos
Y árboles corpulentos.

Para comida, raices,
Y hojas y barro, por lecho.
Saltaba un tigre de pronto
Entre la noche, uno menos.

Otro día. Azul y gualda
Y rojo. Horizonte espléndido.
Cada rama era una libre
Jaula a las aves del cielo.
Brilla la esperanza. Entonces
Temblando de fiebre, regios
Palacios, veían, oro
Y más oro entre sus sueños
De sobresalto en la selva;
Pero de repente el trueno
Retumbaba en el espacio
Y y volvía el desaliento...
Y luego... a buscar raíces,
Entre tupidos helechos ,
Donde arañas y serpientes
Acechaban en silencio

Tarde radiante del trópico...
Rojos celajes. En vuelo
Perezoso van las garzas
Por los dormidos esteros;
En la orilla esperan otras
A los peces, vivo argento
Las escamas, que en los picos
Un instante brillan luego,
En tanto que albas corolas
Mueve el aura sobre el cieno.
En la playa, centenares
De saurios se mueven lentos
Grandes bandadas de pájaros,
Azules, verdes y negros
Pasan ¡La tarde del trópico!
El sol es un rojo incendio...
«El valle de los alcázares»,
Como en un deslumbramiento.

Tan sólo ciento sesenta
Han llegado. Setecientos
Marcaron con sus cadáveres
El recorrido sendero.

Y aquellos desconocidos,
Terrones de gleba; aquellos
Que de humildes heredades
A heroica aventura fueron,
No pensaron quizá entonces,
De sólo harapos cubiertos,
Pordioseros de la gloria,
Mientras Quesada su acero
Alzaba en tierras del Zipa,
Que el suelo hollado por ellos
Iba, cual florón de España,
A ensanchar el universo.
Aaron LaLux Jun 2016
The slap stings more than it probably should,
scratch that like a cat’s scratch on the back of a mattress,
the slap stings more than I thought it would,
because it was a surprise that was deserved but not expected,

and as she tries to explain herself,
with tears streaming down her cheeks and loving anger in her eyes,
I begin to think what every abused person forever thinks,
maybe I deserved it…

She’s small,
petite,
physically unthreatening,
but emotionally a serious liability,
like a stealth bomber,
aeronautically beautiful,
but destructively deadly,
a suicidal **** savage,
a carcinogenic princess,

she is,
small,
petite,
as cute as she is hard headed,
stubborn trouble that’s hard to argue with,

so I don’t argue,
instead of engage I ignore,
silence can be more of an insult,
than even the worst words ever are,
when words are replaced,
with the silence of space,
all kinds of assumptions and truths can occur,

so I don’t argue,
I don’t debate or retaliate,
I just politely remove myself,
from this situation when it escalates.

See,
I’ve been in abusive relationships in the past,
and the bones of the skeletons in my closet,
barely rest buried just below the surface,

and that slap,

that fckn slap,
almost awoke the demons,
so loud it almost disturbed the devil,
it almost brought about a most unholy resurrection,

that slap,

was like a shovel digging into the dirt in a graveyard,
almost uncovering the sinful skeleton bones buried just below the surface…

But I refuse,
to let this hysterically temperamental gorgeous Gravedigger,
unearth a past that's sentimentally painful and totally traumatic,
and even though I’m unnerved by the slap because that slap hurt,
I refuse to give in to her drama and become all melodramatically dramatic.

See,

she’s sweet as Halloween treats,
at the same time still bitingly bitter and distasteful,
so instead of engaging in here arguments,
I remove myself and my emotions from her Self that’s so ungrateful,
she calls me a player and a **** but I find that her labels are mislabeled,
so no I don’t give in to her taunts I refuse to engage in something so shameful,

instead of engaging,
I leave her alone with her tears,
I exit out the balcony,
and make my way down the stairs,
I take myself to the ocean,
walking barefooted along the path,
I am not responsible for her heart,
so I refuse to endure her wrath,

see,

domestic abuse hurst both,
the abuser and the abused,
especially when the two are in love,
and they are all out of options to choose,

there’s a very thin line between love and hate,
and those dividing lines can sometimes fade,
mistakes can be made good intentions misplaced,
a kiss on the check and a held hand can turn into a slap in the face!

The slap stings more than it probably should,
scratch that like a cat’s scratch on the back of a mattress,
the slap stings more than I thought it would,
because it was a surprise that was deserved but not expected,

feeling rejected,
and disconnected,
feeling both affected,
and disaffected,

I exit,

I exit the bungalow,
and ascend down the winding staircase,
I get outside and get away from there,
staring out into star lit space,

I breathe,
and think,
fresh air is so underrated,
I see my favorite star,
thanking me because I made it,
twinkling vibrantly she has me sedated,
not the girl,
but the star,
she is such a seductress,
shining in such radiant hues of electric light,
she twinkles vibrantly and violently,
she does not go gently into that good night,
she is the good in a good night,
twinkling vibrantly as other stars shoot across the Night's sky,

she rages against the dying light,
and I give thanks that I am still alive.

I walk,

barefoot and bare chested,
down to the beach,
where the dry desert sands of southern Baja,
meet the wet ocean waters of the Pacific,

bottle of wine in one hand,
book and pen in the other,

I marvel at the stars,
and remember that I am never really alone,
for as long as I can see the sky,
I’ll always see the way to get back home.

The constellations are stellar interpretations,
maps to guide us home to our final destination.


I arrive,
at the beach,
several shooting stars later,
and wash away the ache on my face and in my heart,
with waves on my feet and wine in my throat,
I record some more emotions on this paper,
because poetry is my form of emotional art,

and by the light of the full moon,
I write for as long as I can write,
my pains won’t be in vain,
and everything will be worth it even what happened tonight,

I will take all of our collective abuses,
and place them on these papers,
transforming them from form to thought,
then from thought to words on these papers,

I will take all of our collective abuses,
process and translate them into messages to be read,
I will take all of our collective abuses,
and process them through the headaches in my head,
so hopefully these messages,
will help others who have been or are being abused stand strong,
and hopefully these messages,
will help others who abuse or have abused realize that they are wrong,
because at the end of the day what we can say to relate,
is it’s all about love and hate it’s not all about right and wrong.

And just as I lose hope,
and ethereal angel appears,
wearing a white linen robe,
looking like a ghost holding laughter and tears,

she sits next to me,
here on the sands,
and takes the warm bottle of wine,
from my cold still writing hands,

she observes as I finish,
writing these last few lines,
she watches me with interest,
as if she can read my mind,

and she smiles even though it’s a painful world,
because she knows we’re both survivors so we will survive,
and she knows we’re both riders so we’re always ready to ride,
and we both shine way too bright to ever be able to hide,

and then we make love,
our passions rising along with the tide,
and maybe that’s why the girl back at the bungalow slapped me,
because she was mixed up with hurt feelings and hurt pride,
she was frustrated that she loved me but that here love was not enough,
but what am I to do I can not control how my heart feels or even control myself.

I hurt her,
so she slapped me,
and I guess that’s fair,
though maybe not exactly,
either way I care too much to care,
and either way that **** slap kinda stings,

even when I know it’s deserved…

The slap stings more than it probably should,
scratch that like a cat’s scratch on the back of a mattress,
the slap stings more than I thought it would,
because it was a surprise that was deserved but not expected…

– ∆  Aaron La Lux ∆ –

'The City of Fallen Angels'; available worldwide 7/7/16


ouch! I probably deserved it...
Lentamente venía la vaca bermeja,
por el campo verde, todo lleno de agua;
lentamente venía, los ojos muy tristes,
la cabeza baja,
y colgando del morro brillante
un hilo de baba.
Enferma venía la buena, la única" de la pobre chacra.
-¡Hazla correr, hombre!-
La mujer gritaba
al viejo marido.
-¡Se viene empastada!
Y el viejo marido
los brazos subía y bajaba,
y la vaca corrió como pudo,
los ojos más tristes, la cabeza baja...
Junto a un alambrado,
salpicando el agua,
cayó muerta la vaca bermeja;
¡El viejo y la vieja lloraban!
Y vino un vecino
con una cuchilla afinada,
y en el vientre, redondo y sonoro
de una puñalada.
Un poco de espuma,
de un verde muy claro de alfalfa,
surgió por la herida; y el docto vecino,
después de profunda mirada,
acabó sentencioso: la carne está buena,
hay que aprovecharla.
Los cielos estaban color de ceniza,
el viejo y la vieja lloraban.
Los Oidores han citado,
En muy respetuosa carta,
Al Virrey Solís. La hora
De la cita es ya pasada
Y no llega. Desacato
Consideran la tardanza,
Y por el nuevo desaire
Han convenido en voz baja
En remitir otra enérgica
Queja a la Corte de España,
En que además de esta burla
Se haga mención detallada
De su vida censurable
Según es pública fama.

Y uno dice: «Es bien sabido
Que usando postiza barba,
De noche, por puerta oculta
Se sale, donde lo aguardan
Compañeros de jolgorio,
Y con ellos se va a casas
Que durante todo el día
Tienen la puerta cerrada,
A visitar a mujeres
De quienes todos mal hablan;
Y en Santa Fe muchos dicen
Que un día al rayar el alba
Por haber dejado en una
Casa mal vista, olvidada
La llave, se vio en el trance
De que lo vieran los guardias
Disfrazado entrar. ¡Vergüenza
Para esta ciudad cristiana,
Para quien debe enseñanza
Ser de honor y de virtudes
Pues representa al Monarca.
Y oyéronse en las iglesias
De esta cuaresma en las pláticas
Contra su libertinaje
Admoniciones muy claras,
Sin que él se cuidara de ellas…
Esa María Lugarda!...
Esa Lugarda de Ospina
De quien cuentan y no acaban,
Que se fugó de un convento
De noche, saltando tapias;
Esa Marichuela, escándalo
De toda la gente honrada,
Que al Virrey sorbiole el seso,
Que es perdición de su alma
Y con ella ¡Dios me ampare!
(Y el Oidor se santiguaba)
Olvidado de su rango,
Y pecando, a Dios le falta!...»

Los Oidores asentían
A lo que el decano hablaba,
Mientras que hacíanse cruces,
En la puerta la mirada.
El Virrey en ese instante
Entró muy grave a la sala.
Saludó con aire serio
A los señores garnachas,
Los que en pie, gran reverencia
Le hicieron, la frente baja;
Y quedó la puerta al punto
Con fuerte llave cerrada.

El Oidor decano entonces
Dijo con voz lenta y clara
(El Virrey se sonreía;
Grave el Oidor lo miraba):

-«Señor Virrey: por mandato
De nuestro augusto Monarca,
A quien vos, como nosotros,
Por la fe de nuestras almas
Acatamiento debemos
Por obediencia jurada,
Os hemos pedidos humildes,
En nombre de quien nos manda
Nuestro Rey Fernando Sexto,
Honor y gloria de España
(Y al decir esto, los ojos
Los tres Oidores bajaban
Como si allí, de rodillas,
Y rezando comulgaran),
Que vengáis, dejando a un lado
Por un momento la carga
Del gobierno, a que lectura
Oigáis, de una reservada

Cédula (el Virrey entonces
Se sonreía, y miraba
El cielo raso, adornado
Con farol de hoja de lata).

-«Señor Escribano», dijo
El Oidor, con voz pausada:
«Lectura dadle a la Cédula
En que del Virrey nos habla
Nuestro Rey Fernando Sexto»…

(El Virrey los ojos clava
Burlones de los Oidores
En las rollizas papadas).

«Al recibir esta Cédula»
-Tal decía el Rey de España-,
«Llamaréis ante vosotros
A mi Virrey, en privada
Sesión, y habréis de advertirle
Que todas sus graves faltas,
De que me habéis dado cuenta;
Sus nocturnas escapadas,
Sus disfraces y sus fiestas
Con hembras de vida mala,
Hanme causado amargura,
Y a esa oveja que mal anda,
De perdición por caminos
Que de Dios los pies le apartan,
Pedidle arrepentimiento
Para salvación de su alma.
Yo el Rey».
El Virrey entonces
Desabrochó su casaca,
Sacó un pliego, dio unos pasos,
Y alargándole la carta
Al Escribano, le dijo:

«De nuestro amado Monarca
Ya oí la Cédula. Ahora
Servíos, como posdata,
Leer lo que el Rey, mi amigo,
Me dice en carta privada:

»Querido primo: Que el cielo
Te colme de venturanza.
Yo, sin ti, muy aburrido.
¡Cómo mi vida alegrabas!
Mas siempre pienso que en ese
Nuevo Reino de Granada
Por los indios y las indias
Velas, como por España,
Para acrecentar la gloria
De mi cetro y nuestra raza.
Y de otra cosa he de hablarte,
Primo, y ríete a tus anchas.
De mi Audiencia he recibido
Una relación de faltas
De que te hace responsable,
Como si la edad y canas
De mis Oidores, acaso
Deslices no exageraran
De quien por su ardiente sangre
Necesita amor y holganza;
No hagas caso de chocheces;
Muéstrales risueña cara.
Ellos la vida gozaron;
Que para el cielo sus almas
Preparen, a Dios pidiéndole
Perdón por culpas pasadas,
Y en tanto, tú y yo gocemos
De lo que pronto se acaba».
El Escribano muy serio
Bajó al papel la mirada,
Mas se mordía los labios
Porque en ellos retozaba
La risa. Los tres Oidores
Con las manos en las calvas,
Tal vez entre sí decían:
«¡Cosas que en la vida pasan!
Trasquilados hemos vuelto
Y todos fuimos por lana;
Quien anda siempre con chismes
Lo que hemos sacado, saca;
Y todo esto por meternos
En camisa de once varas».

La carta del Rey Fernando
Otra vez puso doblada
En el bolsillo. Inclinose,
Y grave dejó la sala.
Era su vestido blanco,
Llevaba abierta la capa,
Y hacía la luz cambiantes
En su cruz de Calatrava.
Natalia Rivera Mar 2015
7:15, viernes.
Era un viernes usual, llegue a su casa a eso de las 7:15; el cielo tenia pinceladas grises acompañado de una que otra estrella extraviada. Mientras observaba detenidamente, él se asoma por el balcón haciéndome un gesto de “entra” así que eso hice. Al entrar vi que en la sala no había nadie:
- ¿Dónde están tus padres? Le pregunte confundida
- Salieron a visitar a mi abuela.
Entre en su cuarto, el cual es demasiado espacioso para una sola persona. En las paredes cuelgan sus pinturas o algunas fotos de nosotros, en la esquina esta su computadora con los papeles compulsivamente organizados. Esta su cama con algunos cojines y un viejo y horrible sofá color amarillo. Como de costumbre deje mis zapatos al lado de la puerta, las ventanas estaban todas cerradas, lo único que le daba ventilación al cuarto era un viejo abanico en el piso así que encendí el aire acondicionado. Fui de camino hacia la puerta y me detuve justo frente al espejo, parecía una demente. Tenía unos pantalones cortos color crema con una camiseta negra la cual tenía un pequeño bordado de flores. Me encontraba frente a mi doble tratando de ver si me veía gorda cuando siento su mirada, penetrando en mi piel así que sonrió al instante.
-¿Qué se supone que haces?
- Tratando de no verme gorda
Él se queda callado y al cabo de varios minutos se va y cierra la puerta. Y ahí me encontraba yo, en el cuarto de mi novio, el que fue bendecido con tanta paciencia que podía llenar una tapa de botella. Molesta, fui a apagar la luz y me tire en su cama, pensando en que sucedería después cuando sonido de la ducha me trajo de vuelta a la realidad así que decidí arroparme y tratar de dormirme.
  
8:20, viernes.

El sonido de la puerta me despierta, busco mi teléfono y son las 8:20. Sigo dormida y algo confundida así que no logro ver dónde está el así que permanezco acostada intentando sin conseguirlo despertar. La cama se baja y sé que él se sentó así que me levanto y encuentro su cara.
-¿Por qué no me dijiste que te ibas a bañar?
- Estabas ocupada pensando en babosadas, en cambio, yo necesitaba un tiempo para pensarte detenidamente. – comenzó a acariciarme el rostro y continuo- ¿Acaso no entiendes que no tienes que ser flaca para que te desee? No te das cuenta, pero te deseo cada momento que te veo, cada vez que te tengo quisiera poder hacer estas cosas. Intente preguntar qué cosas pero su boca me lo impidió. Comenzó a besarme lento, como si hubiésemos tenido toda la noche para besarnos, como si sus padres jamás fueran a llegar. Seguido de un vals de  caricias buscando más allá de mi ropa, comenzó a quitármela despacio, como si estuviera escribiendo una historia. Lo tenía desnudo frente a mí, era mío y por ese lapso de tiempo podía hacer lo que quisiera con él. Podía besar cada centímetro de su cuerpo, acariciarlo en las partes que quisiera con la velocidad que quisiera, sentía como se hundía en mi cuerpo, como su respiración se iba cortando, como íbamos perdiendo la cordura hasta estallar.
11:54, casi sábado.

Yacíamos uno encima del otro, sin movernos, despeinados, sudados, saboreando el fulgor que brotaban nuestros cuerpos. Podía sentir su corazón latir, entrelazaba su pelo entre mis dedos preguntándome que sería de mis noches grises sin él. No podía parar de mirarlo, porque sabía que era el con quien quería pasar el resto de mis días, quería dejarle saber que lo iba a amar hasta que el cielo deje de dar espectáculos en las tardes, hasta que cada rincón del océano sea explorado, hasta que mi corazón este seco. Y aun así, lo amaría desenfrenadamente.
Jr Aug 2017
Entre palabras disonantes, río.

Un trago baja por mi garganta irritada de tanto gritar,
mi cuerpo la pasa bien mientras yo me esfuerzo en distraer a mi mente y un concierto de pensamientos oscuros se ve opacado por el volumen de la música y de los aullidos apabullantes de una juventud que cree tener todo bajo control mientras están juntos, pero en el próximo momento de verdadera soledad, sus espaldas se quebrarán sobre sus seres y se verán desplomados sobre un suelo de incertidumbre absoluta.

Entre pensamientos distantes, me pierdo.

Humo de un cigarro barato innunda mis pulmones mientras la nicotina afecta mi sistema nervioso en un abrazo reconfortante que no es otra cosa que una mentira más, la promesa de una prostituta que cobra con tu vida, pero sigo besándola hasta que mis dedos se queman.

Entre gritos innentendibles, lloro.

No exteriorizo, pero las lágrimas están ahí, en la mente perturbada por fantasmas de quienes yo mismo maté, siluetas del pasado que no terminan de tomar forma porque no se los permito, pero a pesar de mis esfuerzos aún son reconocibles, aunque a duras penas.
Geovanni Alfaro May 2014
The Sixteen Sacred Palm-Nuts of Yoruba
all enclosed in my fists,
ready to spread holiness in Uganda and Baja California.

I slept last night at the beach
after a long hike down the Sierra Madres.
(The Blackhawks were facing the kings of the western region tribe of Tongva,
and if I were to be a spectator
the privileged white male would win:
so I didn't want to sin).

No more.

I went to Rent-A-*****,
that sunny afternoon.
To my surprise
it was stationed at the shore.

Those were my goon days when I followed the guru
     Long hair, beaded necklaces, and silk indigenous shirts from Nayarit.
Just to **** Hunab Ku
For you.
Dos carreteros en sus lentos carros,
En alta noche, solitarios velan;
y al son de cascabeles y guijarros,
En canto alterno su dolor consuelan.

Baja la luna y tiñe de amarillo
Los campos y el azul del hondo espacio;
y en una casa de cristal, el brillo
lejos se ve de un fúlgido topacio.

Baja la luna, y duerme el amor mío,
y velo y rondo el sueño de mi amada;
y de cansancio trémulo y de frío
Beso en vano el umbral de su morada.

Un pie de rosa floreció en su huerto
En risueña mañana del estío.
Tal vez conmigo soñará, cubierto
De gotas temblorosas de rocío.

En vano rondo, y mi esperanza es vana,
Que mía no será su padre jura.
y alta la frente miro a su ventana,
Con el cuchillo pronto en la cintura.

Yo quiero trasplantar el pie de rosa
y que florezca en medio de mi estancia,
y que corra mi vida silenciosa
A solas aspirando su fragancia.

Filo tiene el cuchillo y grita: «¡Mata!»
y sonríe al amago de la muerte.
En vano velo el sueño de la ingrata
Que con otro tal vez burla mi suerte.

Mas, ¿qué miro? ¿No ves? Baja del cielo
una nube de lirios luminosa
que envuelven a una rosa en blanco velo;
y el corazón me dice: «¡Esa es tu esposa!»

Más que la vida en la prisión, sonroja
La vida entre la lluvia y el sereno.
Un blanco seno luce cinta roja...
Sangre habrá de correr de un blanco seno.

Esposa, voy a ti; cansado llego...
¡Que mi ensueño en tus ojos se extasíe!
Yate miro rendida ante mi ruego:
Abre tus brazos y a mi amor sonríe.

Di: ¿cuántas veces a traición me heriste?
¿Cuántas veces burlaste mi esperanza?
Ya en la existencia tu misión cumpliste...
La sangre corre... ¡Mira! ¡Es mi venganza!

«¡Durmamos!... Olvidemos las canciones,
Cuchillo, sangre, rosas, y falsía...
Durmamos olvidados de traiciones
Hasta que venga y nos despierte el día».

Callaron, y los carros prosiguieron,
y hasta que el cielo se tiñó en fulgores
Sueño profundo, sin soñar, durmieron...
Cantaron por cantar, cual ruiseñores.
Hal Loyd Denton Apr 2012
A Pavilion


Under the star spangled tented infinity of heaven where gazing is the exercise of tremendous affection
Earthly exhibition can be absorbing under conditions of a park bound roof the mechanics of time

Effectual when relations are viewed in a time line that shows past, present all keyed by voice detection
Classic automobiles wine matured in perfect conditions friend ship needs no diligence or care just heart

The garden left mostly forgotten in daily routine other matters press receives attention life proceeds
Those old land marks standing with names and ties that in the undercurrent of the soul treasure lie

Neglected it seems but a seed softly waits in a dormant state over grown by time left now just weeds
The calling shows a lot of change years produce problems of identity from tender words all our needs

The days long that brought a shroud of mystery and question to remembrance in their eyes all is told
Though the body has changes the soul and heart has changed but only grown and added deep quality

A settling is felt this stirring occurs as time is taken to recall visually and verbally as you polish the gold
Memories are the holding place of youth’s riches now among close companions you spend them wisely


To distant the past not so when it can and is abiding as living history it has become who you are thus far
Yes the outer world changes as to costly to maintain life seeks new invigoration while preserving its core

All this testifies through the excellence of others wait a minute this journey has worth nothing can bar
All is needed is to touch one another let your humanness glow put it on display in a pavilion just once

This piece needs an amendment it is about old friends reuniting after a loss of twenty years at a pavilion
In a park but there was a special knowing that arose prompted by the love of one of the couples this

Letter will touch and show what was seen and felt by me as an observer and participant in this recovery
Of friendship that had been set aside this couple deserves honor if I could give more I would maybe I will
Write them a piece just for them so I dedicate this to Roberta and John Merrifield Herrick Ill

Roberta

Forgive me but I must share this with you I feel the a bit squeamish you remember the piece pavilion
I wrote about our meeting at the park well I didn’t tell you but believe me I appreciated it greatly so

Because you and john were the main feeling that I tried to capture but the beauty of love and peace
That moves you deeply is a different story when you try to grab something that is an intangible I guess

You measure it you fall back to how it can be captured the park is the park we all have been to exotic
Places Hawaiian sunsets are unbelievable but through you guys that was the climate that was my reality

I could have floated you saw why I didn’t but in my spirit I was enthralled I think I said some think like
This but you put me in a great ship held up by love and the wind that filled the sails was romance it was

Fun watching the dolphins run with our dinner boat out from Oahu but I stood in ordinary circumstances
Replace the dolphins with killer whales their more beautiful and they pass by our coat out home on their

Winter migration to Baja that’s what I felt looking at you and your shared love I said all that to say I
Earned a feature from that piece on my writing site the reason I didn’t share I probably had a little over

A thousand reads at that time on my first writing site whop pi but now I have 27000 and every nine
To eleven days a thousand more are added by the end of the year I will have close to seventy thousand
The recent white dove was really about Morgan bland standing over in the semi dark sanctuary with her

Hands held high worshiping God I had to create the right presentation and all so she looked like a
Beautiful Indian maiden well I just got done posting that and within five minutes I got a response

From a guy in Glasgow Scotland saying thank you his call letter or what handle he uses on the web
Is rebuild this refers to his new life of recovering from dope and alcohol by good choices he had adapted

And the fact he is a new father Morgan will meet a Scot in heaven one day and he will tell her your story
Was the next needed stepping stone I needed a spiritual one thank you as his son stands beside him so

You and Johns story a love story will circle the globe far from you idyllic life in the country this is your
Medicine today for whatever hurts you my dear be well. Hal
Era su nombre Betsy y era de Ohio.
                                                       
Un día,
En que al azar vagaba por mi ruta sombría,
Los dos nos encontramos.  Y la quise por bella;
Después amé su alma, porque mi alma en ella
Vio una luz casta y blanca, vio piedad y ternura.

Jirón azul de cielo rompió mi noche oscura,
Y la luz de una estrella de fulgores risueños,
Hizo abrir la dormida floración de mis sueños.

¿Qué fuerza misteriosa la puso en mi camino?...
¿Fue una intuición secreta quizá de mi destino
La que a la senda suya llevó mi errante paso?
¿Fue casual ese encuentro?... ¿Fue presentido
acaso?
No lo sé... ni me importa.

                                                 
De raza puritana,
De aquella raza austera que a la costa britana,
Buscando hogar y patria, dijo adiós sin tristeza;
De los lagos del Norte rubia flor de belleza;
Los libros y la música su amada compañía,
Y esquiva a los arranques de ruidosa alegría;
Su flor dilecta, el lirio; mística en sus anhelos,
 -Palomas que sus alas tendían a los cielos;-
En contraste sus hábitos y su elación divina
Con todos los impulsos de mi raza latina;
De regiones distantes dos solitarias palmas,
¿Qué fuerza misteriosa juntó nuestras dos almas?
De su idioma, al principio, pocas frases sabía,
Mas mezclando palabras de su lengua y la mía,
Con versos que copiaba de antiguo Florilegio,
Y dísticos de Byron que aprendí en el Colegio,
Le dije muchas cosas... muchas, en el balneario
Donde por vez primera la vi.
                                              (Del solitario
Poeta fue la Musa desde entonces).

                                      Su gracia
Y atractiva belleza; su aire de aristocracia;
Su cabellera blonda, de un rubio veneciano,
Y su perfil de antiguo camafeo romano;
Sus ojos pensativos y de mirar risueño
Donde flotaba a veces el azul de un ensueño;
Sus mejillas rosadas como un durazno; el breve;
Esbelto busto, en donde tuvo vida la nieve;
Sus veinte años... ¡Qué hermosa primavera florida!
¡Todo en ella era un himno que cantaba la vida!
En bailes, en paseos, en la playa...  doquiera
De todos los galanes la preferida era.

Con su traje de lino, con su blanca sombrilla,
Con sus zapatos grises de reluciente hebilla,
Y el sombrero de paja con una cinta angosta,
Nunca se vio más bella mujer en esa costa.

Quiso aprender mi lengua: cambiábamos lecciones,
Y así fueron frecuentes nuestras conversaciones;
Hasta que al fin un día-mi alma de ella esclava,
-Le dije que era bella... muy bella y que la amaba.

Pasado ya el verano, adiós al mar dijimos,
Y en tren, expreso, todos a la ciudad volvimos.
Rodaban... y rodaban las hojas, desprendidas
En raudos torbellinos, por parques y avenidas;
Del ábrego se oían los resoplidos roncos,
Y entre brumas se alzaban casi escuetos  los troncos;
En las calles formaba la lluvia barrizales
Y eran soplos de invierno las brisas otoñales.
Rodaban... y rodaban las hojas. De ceniza
Parecía el crepúsculo con su niebla plomiza,
Y alzábase doliente la luna, en la gris y ancha
Lámina de los cielos, como amarilla mancha.

Con sombrero de plumas, sobretodo entallado,
Y traje azul oscuro, su rostro sonrosado
Era una nota viva y alegre, era un celaje
En la helada y sombría tristeza del paisaje.

«¡Qué triste es el otoño... qué triste!» me decía;
«Todo se está muriendo... todo está en la agonía,
Mas nuestro amor...»:

                                             
(De pronto cayó. Vivos sonrojos
La hicieron al instante bajar los castos ojos).
«También!» dije riendo, «cual todo lo que vuela».
Y reía... reía como alegre chicuela,
Porque su claro instinto de mujer le decía
Que la amaba y que nunca mi pasión moriría.

En bailes, en conciertos, en salones... doquiera

De todos los galanes la preferida era,
Y aunque su amor, a veces, riendo me negaba,
También reía, porque... sabía que me amaba.
Una tarde de invierno, cuando como un sudario
La nieve en albos copos, el parque solitario
Y las calles desiertas cubría; cuando el cielo
Era blanca mortaja; cuando espectros en duelo
Parecían los árboles quemados por el frío,
En un diván sentados, en el salón sombrío,
Junto a la chimenea que con su alegre y clara
Luz daba un vago tinte sonrosado a su cara,
Enjugando una lágrima silenciosa y furtiva,
«Me siento enferma y triste», me dijo pensativa.

Los aullidos del viento vibraban en la sombra...
Y se alejó. Y el roce de su traje en la alfombra
Me arrancó de mis sueños. Incliné la cabeza,
Y solo, y en silencio, quedé con mi tristeza.
Pasó el invierno.
                                     
El cielo fue todo resplandores;
El bosque, lira inmensa, y el campo, todo flores.
Y una tarde, su alcoba, después de muchos días,
Dejó por vez primera la enferma.
                                               
¡Oh, las sombrías
Noches en vela, noches de indecible martirio,
Noches interminables de fiebre y de delirio,
Cuando todos, henchidos de lágrimas los ojos,
Su vida amada al cielo pedíamos de hinojos,
Mientras que en el silencio de esa calma profunda
Se oía, delirando, su voz de moribunda!

Abierta la ventana que daba al parque, en ondas
De fragancia entró el aura susurrando.  Las frondas
De las viejas encinas sus más gratos rumores
Dieron en el crepúsculo.  Fue el triunfo de las flores
Sobre el verde sombrío de los boscajes.  Era
Una tarde rosada, tarde de primavera.

Envuelta en amplia bata de rojo terciopelo,
Suelta la cabellera, como un dorado velo,
Y en la pálida boca, pálida flor sin vida,
Una sonrisa casta, como estrella dormida,
Tendiéndome la mano, pero baja la frente,
Y esquivando los ojos, avanzó lentamente.

Unidas nuestras manos, a mi lado sentada,
Y un instante en mi hombro su frente reclinada,
Quedamos en silencio...

                                                   
¡Cuántas veces, de noche,
Lloroso, y en los labios el blasfemo reproche,
Desde ese mismo sitio sus quejidos oía,
Los ahogados quejidos de su larga agonía!
¡Cuántas veces a solas, cerca de esa ventana,
Me sorprendió sin sueño la luz de la mañana,
Mientras que de la Muerte, furtiva y en acecho,
Oíanse los pasos en torno de su lecho!...
De pronto alzó los ojos, llenos de honda dulzura,
Donde brillaba siempre su alma blanca y pura,
Y con su voz de arrullo, voz de celeste encanto,
-«Sé que lloraste... Gracias», me dijo, y rompió en llanto.

Por la abierta ventana soplos primaverales
La fragancia traían de los verdes rosales.

Luego al parque salimos.
                                                     
Su palidez de cera;
Sus pasos vacilantes al bajar la escalera,
Al andar, su cansancio; los círculos violados
En torno de las claras pupilas; los holgados
Pliegues de su vestido; la enfermiza blancura
De las manos; los dedos, en donde con holgura
Los anillos giraban; la tos, triste presagio
De que estaba marcada para el final naufragio
En la roca sombría de la Muerte; la lenta,
Triste voz; la dulzura de la faz macilenta,
Sus ahogados suspiros, plegarias de su anhelo,
-Plegarias sin palabras para un remoto cielo,-
Su laxitud... ¡Cuán pura, cuán ideal belleza,
Allí mis ojos vieron con su halo de tristeza!...
Y como presintiendo su eterna despedida
En ese dulce instante reconcentré mi vida
Y fue mi amor más grande, fue más intenso y fuerte
Al pensar que muy pronto sería de la Muerte!

Era música el vago rumor de la arboleda,
Y seguimos callados por la oscura alameda.

Al verla se agitaron en sus tallos las rosas;
Más aromas regaron las auras bulliciosas;
Entre arbustos tupidos y fragantes macetas
Asomaron sus ojos azules las violetas;
Todas las campanillas en el verde boscaje
Como que repicaron al ver su rojo traje;
Los pájaros miraban a la convaleciente,
Del parque solitario tantos días ausente;
Se oyeron en las frondas cual vagos cuchicheos,
Y al fin la alada orquesta preludió sus gorjeos
Los cisnes, como góndolas de alba plata bruñida
Enarcaron sus cuellos en el agua dormida
Y del sol a los tibios fulgures vesperales;
Destellaron las colas de los pavos reales.

«La vida es la tristeza», me dijo. «¡Todo anhelo
Del presente, mañana será amargura y duelo;
La vida es desencanto. Feliz creíme un día,
Y ya ves, cuan traidora la suerte y cuan impía!
Como flor, en mi pecho, se abría la Esperanza,
Y ya la desventura por mi camino avanza.
Lentamente mi vida se extingue. Triste, enferma,
¿A qué traer tus sueños a la sombría y yerma
Soledad de mi alma? ¿Para qué tu alegría
Trocar en amargura con mi lenta agonía?
Del árbol de la Vida fui pálido retoño,
Y me iré con las hojas marchitas del otoño;
Para toda esperanza ya soy despojo inerte...
Tú vas para la Vida... ¡yo voy hacia la Muerte!»

«Tus temores», le dije, «son de niña mimada;
Tú todo lo exageras...»

                                                   
En mi brazo apoyada
El parque abandonamos, y al subir la escalera
Parecía un crepúsculo su rubia cabellera.

Un día, para Ohio, tomó el tren.,.., ¡triste día!
Y alzando la vidriera, cuando el tren ya partía
De la Estación, me dijo:
                                             
«Te escribiré primero,
Pero escribe. Hasta pronto...  No olvides que te espero».
Y después.... en sus cartas decía:
                                                         
«Si vinieras,
¡Qué sorpresa la tuya! ¡Qué cambio...! ¡Si me vieras!
Las brisas de mi lago fueron auras de vida.
Razón tuviste. Ha vuelto la esperanza perdida.
Recuerdas? Tú decías: todo eso pronto pasa,
Y es verdad.  La alegría de nuevo está en mi casa.
Soy otra.... y soy la misma: tú entiendes.  Frescas rosas
Se abren en mis mejillas, que eran dos tuberosas.
(Bien sé que de esta frase burla harás con tu flema,
Mas no importa.  No es mía: la copié de un poema).
Hoy río, canto y juego como chiquilla. El piano,
Cerrado tanto tiempo, ya al roce de mi mano
Es música perenne.  Las viejas Melodías
¡Cómo evocan recuerdos de venturosos días!
Soy otra.... habrás de verlo.  Pasaron mis congojas,
¡Y creí que me iría con las marchitas hojas!».
Sueños de un alma casta... ¡Visión desvanecida!
Creyó en la Vida ... ¡Y pronto la traicionó la Vida!

Para siempre descansa del rigor de la suerte,
Con su velo de novia tejido por la Muerte,
Con todas sus quimeras, con todos sus anhelos,
Junto al nativo lago... bajo brumosos cielos.
Rosal, menos presunción
donde están las clavellinas,
pues serán mañana espinas
las que agora rosas son.
¿De qué sirve presumir,
rosal, de buen parecer,
si aun no acabas de nacer
cuando empiezas a morir?
Hace llorar y reír
vivo y muerto tu arrebol
en un dia o en un sol:
desde el Oriente al ocaso
va tu hermosura en un paso,
y en menos tu perfección.
Rosal, menos presunción
donde están las clavellinas,
pues serán mañana espinas
las que agora rosas son.
No es muy grande la ventaja
que tu calidad mejora:
si es tus mantillas la aurora,
es la noche tu mortaja.
No hay florecilla tan baja
que no te alcance de días,
y de tus caballerías,
por descendiente de la alba,
se está rïendo la malva,
cabellera de un terrón.
Rosal, menos presunción
donde están las clavellinas,
pues serán mañana espinas
las que agora rosas son.
Adrián Poveda Nov 2018
Bus de las 8:00, 8:04. Sol en la ventana, camino de adoquín, irregular, vías trizadas de cotidianidad; luz roja, luz verde, la amarilla no funciona, acelera, quema el neumático, 10, 20, 40, 50 y frena de golpe.

Vista a la ciudad, azul, sin nubes y seca; te incorporas al bajar, la montaña se humedece, también la ciudad. Av. Amazonas, CCI, Av. La Prensa. Abordas das vueltas te sientas, "tome sin compromiso, $1" sino me devuelve, 10, 20, 40, 50 y frena nunca en la parada. "Soy de Ibarra mi hijo en el hospital Baca Ortiz", frena bajas, viejas pisadas.

Haces fila, pagas, otra fila; firme aquí, no puede sonreír. "Espere 20 minutos", te sientas, turno WT64, WT65, WT66. "la niña no puede comer aquí" WT77, WT 78, WT79.  Juan Arboleda, Gustavo Betancourt, José Efrén, Adrián Poveda; revise si está todo bien, firme aquí, sello, sello, queda registrado. Escalera eléctrica, salida, aire no fresco, "le emplástico", "le limpio", caminas, te detienes, ojeas, sueñas. Esperas, Chillogallo - Estadio, Camal - Hipódromo, ¿y el Batán - Colmena? ni modo al Cía. Nacional.

El bus va lento a penas atraviesa la brisa, el sol rebota en el parabrisas, Av. 10 de Agosto, acelera, acelera, frena, en la Av. Versalles el bus es un huracán, y frena, te bajas, tu decencia se queda y en la calle colonial vuelves a soñar, fotografía militar, vuelves a filtrar, 11:23, relojería, confitería parada de bus, fanático religioso, sonidos afro, plaza, museo, buenos días, árbol con hojas de otro árbol. "Pide un deseo y escribelo en un pedazo de papel".

Amor valiente, amor invisible, beso beso, no puedo aterrizar, sala 5, hombre en llamas, síndrome de resignación, refugiados, reflexión, cerveza, amor, amor, $13.60. Carne salteada, ají, limonada, besos, botella extraviada, agua.

Pequeño adiós, Marín, intento de robo,   25 ctvs, gente casas coloridas, montaña, subes, subes, das vueltas, valle azul y verde, baja, frena. Cash, salta se sacude, un torbellino de pelos, en la luz, en mi ropa, un torbellino de amor, pelota, pelota, rock n roll, cable, cable, pedal, camisa blanca, botas negras, peinado a lo morrisey, guitarra, vingala, Blues, Blues, saxo, taxi, maestro, bajo, guitarra, mente extraviada, extraviada, extraviada.
Mi 16 de Agosto 2018 en Quito - Ecuador
Pienso en un tigre. La penumbra exalta
La vasta Biblioteca laboriosa
Y parece alejar los anaqueles;
Fuerte, inocente, ensangrentado y nuevo,
él irá por su selva y su mañana
Y marcará su rastro en la limosa
Margen de un río cuyo nombre ignora
(En su mundo no hay nombres ni pasado
Ni porvenir, sólo un instante cierto.)
Y salvará las bárbaras distancias
Y husmeará en el trenzado laberinto
De los olores el olor del alba
Y el olor deleitable del venado;
Entre las rayas del bambú descifro,
Sus rayas y presiento la osatura
Baja la piel espléndida que vibra.
En vano se interponen los convexos
Mares y los desiertos del planeta;
Desde esta casa de un remoto puerto
De América del Sur, te sigo y sueño,
Oh tigre de las márgenes del Ganges.

Cunde la tarde en mi alma y reflexiono
Que el tigre vocativo de mi verso
Es un tigre de símbolos y sombras,
Una serie de tropos literarios
Y de memorias de la enciclopedia
Y no el tigre fatal, la aciaga joya
Que, bajo el sol o la diversa luna,
Va cumpliendo en Sumatra o en Bengala
Su rutina de amor, de ocio y de muerte.
Al tigre de los simbolos he opuesto
El verdadero, el de caliente sangre,
El que diezma la tribu de los búfalos
Y hoy, 3 de agosto del 59,
Alarga en la pradera una pausada
Sombra, pero ya el hecho de nombrarlo
Y de conjeturar su circunstancia
Lo hace ficción del arte y no criatura
Viviente de las que andan por la tierra.


Un tercer tigre buscaremos. Éste
Será como los otros una forma
De mi sueño, un sistema de palabras
Humanas y no el tigre vertebrado
Que, más allá de las mitologías,
Pisa la tierra. Bien lo sé, pero algo
Me impone esta aventura indefinida,
Insensata y antigua, y persevero
En buscar por el tiempo de la tarde
El otro tigre, el que no está en el verso.
Yo que sólo canté de la exquisita
partitura del íntimo decoro,
alzo hoy la voz a la mitad del foro
a la manera del tenor que imita
la gutural modulación del bajo
para cortar a la epopeya un gajo.
Navegaré por las olas civiles
con remos que no pesan, porque van
como los brazos del correo chuan
que remaba la Mancha con fusiles.
Diré con una épica sordina:
la Patria es impecable y diamantina.
Suave Patria: permite que te envuelva
en la más honda música de selva
con que me modelaste por entero
al golpe cadencioso de las hachas,
entre risas y gritos de muchachas
y pájaros de oficio carpintero.Patria: tu superficie es el maíz,
tus minas el palacio del Rey de Oros,
y tu cielo, las garzas en desliz
y el relámpago verde de los loros.
El Niño Dios te escrituró un establo
y los veneros del petróleo el diablo.
Sobre tu Capital, cada hora vuela
ojerosa y pintada, en carretela;
y en tu provincia, del reloj en vela
que rondan los palomos colipavos,
las campanadas caen como centavos.
Patria: tu mutilado territorio
se viste de percal y de abalorio.
Suave Patria: tu casa todavía
es tan grande, que el tren va por la vía
como aguinaldo de juguetería.
Y en el barullo de las estaciones,
con tu mirada de mestiza, pones
la inmensidad sobre los corazones.
¿Quién, en la noche que asusta a la rana,
no miró, antes de saber del vicio,
del brazo de su novia, la galana
pólvora de los juegos de artificio?
Suave Patria: en tu tórrido festín
luces policromías de delfín,
y con tu pelo rubio se desposa
el alma, equilibrista chuparrosa,
y a tus dos trenzas de tabaco sabe
ofrendar aguamiel toda mi briosa
raza de bailadores de jarabe.
Tu barro suena a plata, y en tu puño
su sonora miseria es alcancía;
y por las madrugadas del terruño,
en calles como espejos se vacía
el santo olor de la panadería.
Cuando nacemos, nos regalas notas,
después, un paraíso de compotas,
y luego te regalas toda entera
suave Patria, alacena y pajarera.
Al triste y al feliz dices que sí,
que en tu lengua de amor prueben de ti
la picadura del ajonjolí.
¡Y tu cielo nupcial, que cuando truena
de deleites frenéticos nos llena!
Trueno de nuestras nubes, que nos baña
de locura, enloquece a la montaña,
requiebra a la mujer, sana al lunático,
incorpora a los muertos, pide el Viático,
y al fin derrumba las madererías
de Dios, sobre las tierras labrantías.
Trueno del temporal: oigo en tus quejas
crujir los esqueletos en parejas,
oigo lo que se fue, lo que aún no toco
y la hora actual con su vientre de coco.
Y oigo en el brinco de tu ida y venida,
oh trueno, la ruleta de mi vida.                (Cuauhtémoc)Joven abuelo: escúchame loarte,
único héroe a la altura del arte.
Anacrónicamente, absurdamente,
a tu nopal inclínase el rosal;
al idioma del blanco, tú lo imantas
y es surtidor de católica fuente
que de responsos llena el victorial
zócalo de cenizas de tus plantas.
No como a César el rubor patricio
te cubre el rostro en medio del suplicio;
tu cabeza desnuda se nos queda,
hemisféricamente de moneda.
Moneda espiritual en que se fragua
todo lo que sufriste: la piragua
prisionera , al azoro de tus crías,
el sollozar de tus mitologías,
la Malinche, los ídolos a nado,
y por encima, haberte desatado
del pecho curvo de la emperatriz
como del pecho de una codorniz.Suave Patria: tú vales por el río
de las virtudes de tu mujerío.
Tus hijas atraviesan como hadas,
o destilando un invisible alcohol,
vestidas con las redes de tu sol,
cruzan como botellas alambradas.
Suave Patria: te amo no cual mito,
sino por tu verdad de pan bendito;
como a niña que asoma por la reja
con la blusa corrida hasta la oreja
y la falda bajada hasta el huesito.
Inaccesible al deshonor, floreces;
creeré en ti, mientras una mejicana
en su tápalo lleve los dobleces
de la tienda, a las seis de la mañana,
y al estrenar su lujo, quede lleno
el país, del aroma del estreno.
Como la sota moza, Patria mía,
en piso de metal, vives al día,
de milagros, como la lotería.
Tu imagen, el Palacio Nacional,
con tu misma grandeza y con tu igual
estatura de niño y de dedal.
Te dará, frente al hambre y al obús,
un higo San Felipe de Jesús.
Suave Patria, vendedora de chía:
quiero raptarte en la cuaresma opaca,
sobre un garañón, y con matraca,
y entre los tiros de la policía.
Tus entrañas no niegan un asilo
para el ave que el párvulo sepulta
en una caja de carretes de hilo,
y nuestra juventud, llorando, oculta
dentro de ti el cadáver hecho poma
de aves que hablan nuestro mismo idioma.
Si me ahogo en tus julios, a mí baja
desde el vergel de tu peinado denso
frescura de rebozo y de tinaja,
y si tirito, dejas que me arrope
en tu respiración azul de incienso
y en tus carnosos labios de rompope.
Por tu balcón de palmas bendecidas
el Domingo de Ramos, yo desfilo
lleno de sombra, porque tú trepidas.
Quieren morir tu ánima y tu estilo,
cual muriéndose van las cantadoras
que en las ferias, con el bravío pecho
empitonando la camisa, han hecho
la lujuria y el ritmo de las horas.
Patria, te doy de tu dicha la clave:
sé siempre igual, fiel a tu espejo diario;
cincuenta veces es igual el AVE
taladrada en el hilo del rosario,
y es más feliz que tú, Patria suave.
Sé igual y fiel; pupilas de abandono;
sedienta voz, la trigarante faja
en tus pechugas al vapor; y un trono
a la intemperie, cual una sonaja:
la carretera alegórica de paja.
Natalia Rivera Jun 2015
Quisiera guardar la aurora boreal  en una pequeña caja de cristal, y colocarla en mi tina.
Para que cuando me bañe, sea la luz tenue que me ilumine mi cuerpo.
Tomar las corrientes del río y echarles burbujas, que los cuatro vientos me las ponga a volar.
Pintar el cielo de verde y el suelo de turquesa.
Por mis venas corre el tequila y en mis oídos  tus cuadros me cantan la brisa de las praderas.
Miro el collar de estrellas que me hiciste, y el traje que siempre me quitaste.
La luna baja a besarme la ausencia de tus manos y me ahogo en el pensamiento de que te amo.
Dulce niño de ojitos morenos,me tienes en un embrujo.
Me revuelcas el alma con besos, y tus manos me hacen vivir el cielo.
Habla deja caer una palabra
Buenos días he dormido todo el invierno y ahora despierto
Habla
            Una piragua enfila hacia la luz
Una palabra ligera avanza a toda vela
El día tiene forma de río
En sus riberas brillan las plumas de tus cantos
Dulzura del agua en la hierba dormida
Agua clara vocales para beber
vocales para adornar una frente unos tobillos
Habla
            Toca la cima de una pausa dichosa
Y luego abre las alas y habla sin parar
Pasa un rostro olvidado
Pasas tú misma con tu andar de viento en un campo de maíz
La infancia con sus flechas y su ídolo y su higuera
Rompe amarras y pasa con la torre y el jardín
Pasan futuro y pasado
Horas ya vividas y horas por matar
Pasan relámpagos que llevan en el pico pedazos de tiempo todavía vivos
Bandadas de cometas que se pierden en mi frente
¡Y escriben tu nombre en la espalda desnuda del espejo!
Habla
            Moja los labios en la piedra
partida que mana inagotable
Hunde tus brazos blancos en el agua grávida de profecías inminentes


    Un día se pierde
    En el cielo hecho de prisa
    La luz no deja huellas en la nieve
    Un día se pierde
    Abrir y cerrar de puertas
    La semilla del sol se abre sin ruido
    Un día comienza
    La niebla asciende la colina
    Un hombre baja por el río
    Los dos se encuentran en tus ojos
    Y tú te pierdes en el día
    Cantando en el follaje de la luz
    Tañen campanas allá lejos
    Cada llamada es una ola
    Cada ola sepulta para siempre
    Un gesto una palabra la luz contra la nube
    Tú ríes y te peinas distraída
    Un día comienza a tus pies
    Pelo mano blancura no son nombres
    Para este pelo esta mano esta blancura
    Lo visible y palpable que está afuera
    Lo que está adentro y sin nombre
    A tientas se buscan en nosotros
    Siguen la marcha del lenguaje
    Cruzan el puente que les tiende esta imagen
    Como la luz entre los dedos se deslizan
    Como tú misma entre mis manos
    Como tu mano entre mis manos se entrelazan
    Un día comienza en mis palabras
    Luz que madura hasta ser cuerpo
    Hasta ser sombra de tu cuerpo luz de tu sombra
    Malla de calor piel de tu luz
    Un día comienza en tu boca
    El día que se pierde en nuestros ojos
    El día que se abre en nuestra noche

Espacioso cielo de verano
Lunas veloces de frente obstinada
Astros desnudos como el oro y la plata
Animales de luz corriendo en pleno cielo
Nubes de toda condición
Alto espacio
                        Noche derramada
Como el vino en la piedra sagrada
Como un mar ya vencido que inclina sus banderas
Como un sabor desmoronado

Hay jardines en donde el viento mismo se demora
Por oírse correr entre las hojas
Hablan con voz tan clara las acequias
Que se ve al través de sus palabras
Alza el jazmín su torre inmaculada
He aquí que llega la palabra almendra
Mis pensamientos se deslizan como agua
Inmóvil yo los veo alejarse entre los chopos
Frente a la noche idéntica otro que no conozco
También los piensa y los mira perderse


Como la enredadera de mil manos
Como el incendio y su voraz plumaje
Como la primavera al asalto del año
Los dedos de la música
Las garras de la música
La yedra de fuego de la música
Cubre los cuerpos cubre las almas
Cuerpos tatuados por sonidos ardientes
Como el cuerpo del dios constelado de signos
Como el cuerpo del cielo tatuado por astros coléricos
Cuerpos quemados almas quemadas
Llegó la música y nos arrancó los ojos
(No vimos sino el relámpago
No oímos sino el chocar de espadas de la luz)
Llegó la música y nos arrancó la lengua
La gran boca de la música devoró los cuerpos
Se quemó el mundo
Ardió su nombre y los nombres que eran su atavío
No queda nada sino un alto sonido
Torre de vidrio donde anidan pájaros de vidrio
Pájaros invisibles
hechos de la misma sustancia de la luz
¿Cuentos quieres, niña bella?
Tengo muchos que contar:
de una sirena de mar,
de un ruiseñor y una estrella,
de una cándida doncella
que robó un encantador,
de un gallardo trovador
y de una odalisca mora,
con sus perlas de Bassora
y sus chales de Lahor.Cuentos dulces, cuentos bravos,
de damas y caballeros,
de cantores y guerreros,
de señores y de esclavos;
de bosques escandinavos
y alcázares de cristal;
cuentos de dicha inmortal,
divinos cuentos de amores
que reviste de colores
la fantasía oriental.Dime tú: ¿de cuáles quieres?
Dicen gentes muy formales
que los cuentos orientales
les gustan a las mujeres;
así, pues, si eso prefieres
verás colmado tu afán,
pues sé un cuento musulmán
que sobre un amante versa,
y me lo ha contado un persa
que ha venido de Hispahán.Enfermo del corazón
un gran monarca de Oriente,
congregó inmediatamente
los sabios de su nación;
cada cual dio su opinión,
y sin hallar la verdad
en medio de su ansiedad,
acordaron en consejo
llamar con presura a un viejo
astrólogo de Bagdad.Emprendió viaje el anciano;
llegó, miró las estrellas;
supo conocer en ellas
las cuitas del soberano;
y adivinando el arcano
como viejo sabidor,
entre el inmenso estupor
de la cortesana grey,
le dijo al monarca: -!Oh Rey!
Te estás muriendo de amor.Luego, el altivo monarca,
con órdenes imperiosas
llama a todas las hermosas
mujeres de la comarca
que su poderío abarca;
y ante el viejo de Bagdad,
escoge su voluntad
de tanta hermosura en medio,
la que deba ser remedio
que cure su enfermedad.Allí ojos negros y vivos;
bocas de morir al verlas,
con unos hilos de perlas
en rojo coral cautivos;
allí rostros expresivos;
allí como una áurea lluvia,
una cabellera rubia;
allí el ardor y la gracia,
y las siervas de Circasia
con las esclavas de Nubia.Unas bellas, adornadas
con diademas en las frentes,
con riquísimos pendientes
y valiosas arracadas;
otras con telas preciadas
cubriendo su morbidez;
y otras, de marmórea tez,
bajas las frentes y mudas,
completamente desnudas
en toda su esplendidez.En tan preciada revista,
ve el Rey una linda persa
de ojos bellos y piel tersa,
que al verle baja la vista;
el alma del Rey conquista
con su semblante la hermosa,
y agitada y ruborosa
tiembla llena de temor
cuando el altivo Señor
le dice: -Serás mi esposa.Así fue. La joven bella
de tez blanca y negros ojos,
colmó los reales antojos
y el Rey se casó con ella.
¿Feliz, dirás, tal estrella,
Emelina? No fue así:
no es feliz la Reina allí
la linda persa agraciada,
porque ella está enamorada
de Balzarad el rawí.Balzarad tiene en verdad
una guzla en la garganta,
guzla dúlcida que encanta
cuando canta Balzarad.
Vióle un día la beldad
y oyó cantar al rawí;
de sus labios de rubí
brotó un suspiro temblante...
Y Balzarad fue el amante
de la celestial hurí.Por eso es que triste se halla
siendo del monarca esposa,
y el tiempo pasa quejosa
en una interior batalla.
Del Rey la cólera estalla,
y así le dice una vez:
-Mujer llena de doblez:
di si amas a otro, falaz.-
Y entonces de ella en la faz
surgió vaga palidez.-Sí -le dijo-, es la verdad;
de mi destino es la ley:
yo no puedo amarte, ¡Oh Rey!
porque adoro a Balzarad.-
El Rey, en la intensidad,
de su ira, entonces, calló;
mudo, la espalda volvió;
mas se vía en su mirada
del odio la llamarada,
la venganza en que pensó.Al otro día la hermosa
de parte de él recibió
una caja que la envió
de filigrana preciosa;
abrióla presto curiosa
y lanzó, fuera de sí,
un grito; que estaba allí
entre la caja, guardada,
lívida y ensangrentada
la cabeza del rawí.En medio de su locura
y en lo horrible de su suerte,
avariciosa de muerte
ponzoñoso filtro apura.
Fue el Rey donde la hermosura,
y estaba allí la beldad
fría y siniestra, en verdad,
medio desnuda y ya muerta,
besando la horrible y yerta
cabeza de Balzarad.El Rey se puso a pensar
en lo que la pasión es,
y poco tiempo después
el Rey se volvió a enfermar.

— The End —