kupandangi tetes-tetes air yang perlahan hinggap di atas permukaan kaca jendela secangkir teh dalam genggaman, berbalut tabahnya menahan rindu. kutunggu kabar namun tak juga kunjung datang
duduk di atas kursi teras, menanti suaramu hadir di ujung pesawat. teleponku lagi-lagi kau abaikan, seperti tak pernah sekalipun terlintas minat untuk kau angkat. terlalu sibuk atau apa? biar kunanti lagi bersama rintik hujan.
semenit lima menit sepuluh menit dua puluh menit lima puluh menit
kutunggu telepon balasanmu namun belum juga kau izinkan aku mendengar suaramu
aku diam bersama alunan musik yang dimainkan hujan, air mataku turun biarkan! aku letih berpura-pura merasa tidak sakit hati
bersama lantunan rintik hujan, serta guntur yang belum pula lelah bersahutan, pada dunia mereka seolah mengatakan; alam pun bisa menyuarakan air matanya, dan memiliki jeda jujur yang panjang, berhenti berusaha ceria.
kemudian aku sadar; seperti alam yang sedang menangis, aku benar-benar letih berpura-pura.