Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Oct 2011
Jumat, 1 Oktober 2010

Terima Kasih Opa...
Kau luangkan sedikit waktumu
Untukku di sela waktu istirahatmu

Terima Kasih Opa...
Tak pernah engkau marah padaku
Meski ku pulang terlambat
Atau terlambat bangun di pagi hari

Terima Kasih telah menjaga ku
Selama ku di perantauan ini
Ku pikir hanya mengandalkan raga ini
Namun ku pasti tak mampu tanpa bantuan mu

Beribu-ribu Terima Kasih untuk mu... Opa

Created by. Aridea .P
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Aridea P Dec 2011
Palembang, 25 Desember 2011

For my beautiful Mom:

Mama, kamu cantik
Tanganmu melentik indah saat mencuci baju kami
Mama, kamu sungguh cantik
Badanmu bagus melenggok saat memasak untuk kami
Mama, kamu benar-banar cantik
Sekalipun kamu sedang terlelap di tidurmu

Mama, kamulah harta tak ternilai bagi kami
Harta wajib yang harus kami bawa kemanapun kami melangkah
Kamulah semangat pagi kami tuk menghadapi dunia
Kamulah alasan kami bertahan hidup sampai sekarang
Harapan kami adalah tuk membahagiakanmu selamanya
Pikir kami kata Terima Kasih takkan pernah cukup tuk membalas kasih mu

Mama, kamu cantik setiap hari
Di mata kami kamulah hal yang terindah yang kami punya
Di dunia ini tak ada pahlawan seikhlas dirimu
Kamu terus bertahan meskipun kadang air mata menyertaimu
Kamu terus menebarkan senyummu di waktu kami resah

Mama, kamu tegar setegar batu karang
Mama, kamu bersinar mengalahkan sinar Matahari
Mama, kamu sejuk sesejuk embun di pagi hari
Mama, kamu sehangat dekapanmu pada kami
Mama, kami mencintaimu

Mama, terima kasih atas cintamu selama ini
Terima kasih atas pengorbanan mu kepada kami
Maafkan kami yang pernah membuatmu menangis
Maaf atas tingkah kami yang menjengkelkan hatimu
Kami percaya dan tahu bahwa kamu tahu betapa kami mencintaimu,
Mama
Aridea P Sep 2012
dari awal memang aku hanya kertas kosong bagimu
tak bisa digambar, tak bisa ditulis
yang terlupakan, yang tertinggal
yang terbuang, tak berharga
meski ku coba tuk tulis sendiri
kau hapus begitu saja,
dan kau buang

nama ku tak pernah kau sebut
mungkin karena kau lupa
mungkin karena kau tak suka
aku Erikaa
kau bisa panggil ku apa saja
sesukamu
tapi jangan,
jangan kau tak menyapaku

ku baca statusmu
diam-diam,
dari akun temanku,
teman baikku

kau benar suka dia?
haha tentu saja!
kau kembali ke kampung halaman,
besoknya kau pergi lagi menjemputnya
oh betapa beruntungnya dia
dicintai malaikat sepertimu

jika kau menikah,
apa ada kau akan mengingatku?
mengingat kekonyolanku?
menertawai kebodohanku?

kini semuanya ku buang,
semua tentangmu
senyummu,
candamu,

tapi ku mohon,
izinkan aku menyimpan foto-foto mu
bukan foto dirimu,
tapi foto mu,
pohon, jalanan, Samudera Atlantik, yang kau foto

No!
Akan ku hapus semua!

Terima kasih tuk selama ini.
Kau tlah berikan 0.5% cinta mu padaku
Terima kasih telah 99.5% membenciku
sehingga aku sadar akan kedudukanku
Terima kasih sudah 100% mencintai dia
aku yakin kau takkan menyakitinya

""Selamat G----- F--------- F--------
Semoga kamu BAHAGIA""
adorating Jun 2019
Yogyakarta, 16 Juni 2019.


Temanku tersayang,

Mudahnya begini, aku tidak akan pernah berhenti mengucap syukur atas hadirnya kamu di hidupku. Dari perhatian kecil yang kamu berikan hingga tetes air matamu yang jatuh ketika aku terpuruk, ikut merasa sedih atas apa yang aku rasakan. Mungkin aku dan kamu tidak selalu menghabiskan waktu bersama, kemudian merasa tertinggal setelahnya ketika salah satu tengah sibuk dengan hal lain. Aku percaya kamu peduli denganku tanpa dibuat-buat juga tanpa paksaan. Ada banyak yang ingin aku sampaikan, namun guratan hitam di atas putih ini bukan tentang aku. Ini untuk kamu.

Kita memang tidak baru bertemu dan kenal kemarin sore, tetapi fakta tersebut juga tidak dapat memungkiri bahwa aku masih merasa belum mengenal kamu dengan baik. Entah aku yang selalu merasa kurang atau memang kamu kurang pandai dalam berbagi sedih. Aku paham sebaik-baiknya kamu sebagai seorang teman, sahabat, anak, kekasih, atau manusia secara umum. Ada banyak khawatir yang kamu pikirkan, sebab kamu tidak ingin orang lain menjadi khawatir akan kamu, maka disimpanlah semua sedih yang kamu rasa. Bukan menjadi masalah besar, sebab aku juga paham bahwa kamu berhak untuk menyimpan apa yang ingin kamu simpan dan membagi apa yang ingin kamu bagi. Aku juga tahu bahwa mungkin aku tidak akan selalu menjadi pilihan pertama kamu dalam berkeluh kesah. Juga tidak menjadikan ini masalah besar untukku, sebab seperti yang aku katakan, aku mengerti. Ingin aku tekankan pada bagian ini bahwa aku ingin kamu baik-baik saja.

Sepanjang kamu hidup ini, temanku, akan ada banyak asam dan garam yang harus kamu cicipi. Semoga kegemaran kamu dalam menyantap mie instan jadikan kamu tahan dalam hal ini, ya. Sejujurnya, yang barusan tidak lucu, tapi tetap aku tulis. Juga, yang barusan dirasa tidak penting, namun aku terlalu malas memperbaiki. Nantinya mungkin akan ada banyak lelah yang harus kamu rasakan, termasuk menitikkan air mata sebab tidak ada kalimat yang mampu menjelaskan semua. Tidak apa-apa, ya? Aku percaya, kamu lebih dari kuat dan mampu menjalani hidup kamu. Semakin kamu bertambah usia, semakin kamu dewasa, semakin kamu akan paham bahwa memang ada saatnya hidup menyuguhkan banyak pertanyaan. Tidak semuanya punya jawaban dan tidak semua jawaban dapat diterima oleh akal. Sebab hidup adalah berproses dan kamu akan terus tumbuh.

Terkadang kamu sudah melakukan semua yang kamu bisa, mengusahakan semua yang kamu mampu, atau memberi semua yang kamu punya, tetapi itu juga belum cukup. Bukan berarti kamu tidak cukup, kamu selalu cukup, kamu selalu lebih dari cukup. Sebagian tidak akan pernah merasa cukup meskipun ketika mereka memiliki segalanya. Hidup bisa jadi lucu seperti itu. Semoga dengan begitu, kamu akan tetap bisa tertawa meski sedang ada sulit yang harus kamu lalui. Terlepas dari sulit tersebut, aku harap kamu akan selalu diiringi dengan bahagia, kemanapun kamu pergi.

Aku tidak tahu kapan kamu akan membaca kata merangkai kalimat yang aku tulis ini. Aku bahkan tidak dapat memastikan apakah aku akan mengirimkannya pada kamu secara langsung. Tapi tepat saat aku memulai paragraf ini, waktu sudah menunjukan tepat pukul dua belas malam. Hari sudah berganti. Bersamaannya dengan ini, bertambah juga satu tahun usia kamu sekarang. Mungkin kamu sedang tertidur, atau tengah dalam panggilan dibanjiri dengan banyak ucapan selamat ulang tahun. Bertambahnya satu angka pada usiamu juga diharapkan kamu menjadi lebih kuat, sebab akan ada lebih banyak tanggung jawab yang harus kamu bawa. Ini tidak melulu soal bertambah tua, melainkan bertambah dewasanya kamu dalam hidup.

Selalu, temanku, doa terbaik aku panjatkan untuk kamu. Sekecil apapun hal yang kamu lakukan di dalam hidupku ini, kamu berarti besar. Selalu, aku ingin bahagia berada di pihakmu. Terima kasih sudah bertahan dan ada. Terima kasih untuk tahun-tahun kita berteman. Terima kasih untuk waktu dan kesediaanmu dalam mendengarkan. Terima kasih untuk kamu.

Selamat ulang tahun.


Salam sayang,
temanmu.
Afeksi cita May 2023
Katanya, tak baik untuk memendam
Tetapi, tak semua rasa mudah memadam
Katanya, janganlah selalu dipendam
Nyatanya, tak semua cakap bisa meredam

Mereka, bisa menuntut
Tetapi, haruskah hati selalu menurut?
Mereka,  bisa bertindak sebagai penuntut
Tetapi, rasanya.. jiwa tak perlu selalu berlutut

Ada masa.. untuk menarik diri
Untuk bersimpuh, dan memberi diri afeksi
Ada masa... untuk menangis, memendam semua emosi
Untuk menyadari semua hanya proses menjadi asri

Terima kasih, sudah selalu kuat
Berdiri dan menjalani semua walau terasa berat
Terima kasih, sudah selalu kuat
Untuk kamu, yang terhebat..
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Oct 2011
Jumat, 1 Oktober 2010

Alangkah gembiranya aku
Ingin ku tak henti tuk tersenyum
Tertawa, bahagia karena mereka

Terima Kasih Tuhan,,,
Kini banyak yang sayang pada ku
Mereka begitu berarti bagiku
Yang hiasi hari-hari di sekolahku

Terima Kasih Tuhan...
Mereka tidak kehilanganku
Mereka selalu memuat ku tersenyum
Dan selalu tersenyum untukku ku

Bersyukur aku atas yang ku dapat
Aku sayang kalian, Sahabat-Sahabat ku...


Created by. Aridea .P
Aridea P Mar 2013
Palembang, 16 Maret 2013


Serasa aku kembali ke masa lalu
Membaca pesanmu, dan menerka bentuk wajahmu
Kamu kembali lagi
Menyirami kebun senyumku yang mekar kini
Membuatku ingin terus terjaga
Tuk menunggu pesan darimu lagi

Kini aku di sini lagi
Mengagumimu, untuk alasan yang tak pasti
Membanggakanmu, betapa kau peduli padaku
Aku hanya bayangan bagimu
Kamu hanya bayangan bagiku
Interaksi yang membuat kita jadi nyata

Aku mencintaimu,
untuk alasan yang tak masuk akal
Aku sungguh mencintaimu,
melebihi rasa yang kau berikan padaku
Aku sangat mencintaimu,
namun ku tak berharap memilikimu
Aku mencintaimu,
seperti dia mencintaimu


Dulu aku masih lugu
Menyatakan cinta padamu
Dan kau menertawakanku
hahahaha
Aku pun juga begitu

Lantas aku merasa malu,
Aku memutuskan komunikasi denganmu
Mencoba tuk berhenti mencintaimu
Berhenti mengagumimu
Ya, meski hanya beberapa bulan
Aku tak sanggup lama-lama mengacuhkanmu

"Thanks, we're friends again."
Itu kata pertama yang kamu ucapkan padaku
Setelah aku memutuskan untuk kembali mengagumimu
Mencintaimu adalah hal yang selalu membuatku rindu

Aku selalu malu jika mendapatkan pesan darimu
Aku takut selalu salah jika membalas pesanmu
Tapi ku coba apa adanya dihadapanmu
Terima kasih kamu mau menjadi temanku

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aku ingin sekali saja mencintaimu, yaitu kali ini
Aku tak ingin berlama-lama mengagumimu
Itu hanya akan membawa dukaku di kemudian hari
Aku beruntung bisa mencintai orang sepertimu
Kamu tahu? Tak sedetikpun aku tidak memikirkan kamu

Andai aku bisa mengerti perasaan ini
Aridea P Oct 2011
Palembang, Selasa 21 Juni 2011


Aku punya mimpi mulia
Butuh seribu tahun tuk menggapainya
Ku tak serius, hanya mengira
Karena ku selalu tak sempurna tuk jalaninya
Hingga betisku biru
Lututku lecet
Bobot tubuhky berlipat
Sampai pikiran ku sangat terbebani
Hanya dapatkan phobia sesaat
Saat api kulihat di mata tepat
Mulutku kelu ludahku kering dan aku berkeringat
Dan tersadar tak satupun peduli aku di malam pekat
Ingat hanya aku tahu semampunya
Tak buktikan apa-apa yang telah ku buat
Orangpun merendahkan aku bagai tersiksa
Tak bisa ku membela sendiri karna tlah telat
Sadar-sadar di hari nan senja
Bahwa ku makan hanya sisa saja
Ku terima karena ku akui aku memang suka
Berharap perbaikan akan datang mangubah semua
Nama-Nya selalu ku sebut di setiap masa
Meski aku dan Dia tahu bahwa aku masih salah
Namun salahkah aku masih ingin dicinta?
Kepalaku berat bagai hampir tak bernyawa
Atta Feb 2018
buat apa bermimpi
pada akhirnya terperosok jauh

buat apa mengkhayal
pada akhirnya tersesat dalam ilusi

mungkin itu cara Tuhan
untuk mengajarkan kita
cara untuk berusaha

atau mungkin itu cara Tuhan
untuk menjauhkan kita
dari kesenangan yang fana
dan keterpurukan yang nyata

terima kasih Tuhan









tapi aku sudah larut dalam keterpurukan itu, Tuhan.
menyalahkan Tuhannya ketika dia jatuh dan membenarkan dirinya, egois.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Aridea P Oct 2011
Untukmu Cinta
Sejuta kata tercipta untukmu
Segenap jiwa ku serahkan padamu
Hingga akhir waktu ku sembahkan hanya untuk mu

Meski tak kau terima
Cinta dalam hati ku
Terhempas begitu saja
Bagai dari langit ku jatuh

Ingin ku berenang di lautan
Arungi samudera bersama ombak
Desir pasir melagukan alunan daun
Lambaian tangan untuk berselancar

Indah cinta mengikat raga
Satu aliran nadi di salam darah
Mulut mengucap selalu kata cinta
Hati pun akan selalu bahagia
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu 18 Mei 2008


Dulu diary ku indah
Sekarang telah ku ubah
Tapi, saat gagal bertemu kau
Ku satukan diary yang terpisah
Sebagai bukti dariku
Yang kan ku berikan untukmu
Agar kau tau
Seberapa besar  cintaku
Kasih ku t’lah tercurah
Berdetik-detik, berjam-jam
Bahkan berhari-hari lamanya
Semoga dapat kau terima
Meski terluka akhirnya
Biar ku pergi saja
Lupakan kenangan indah
Dan yang paling menyakitkan
Tapi, takkan ku biarkan
Diary ku berubah indahnya
Aridea P Nov 2011
Palembang, 3 November 2011

Aku bersabar . . .
Tetap berusaha dengan penuh harap
Supaya bisa melihat wajah mereka
Mendengar suara mereka
Menyaksikan kekompakan mereka yang sangat aku cinta

Aku tidak menangis . .
Hampir,
tetapi ku hapus air mata dan ku pasang senyum bahagia ku
tersenyum sesekali, tertawa bersama mereka

Aku tidak mengerti bahasa mereka
Tapi aku mengetahui yang mereka bicarakan
Aku tidak pernah bertemu mereka
Tapi aku bisa merasakan mereka sangat dekat
Aku tidak mengenal mereka
Tapi aku sangat mencintai mereka

Dari dulu hingga sekarang rasa ini tak akan berubah
Meskipun aku belum beruntung
Doa membantuku memberitahu-Nya
Bahwa aku sangat merindukan mereka

Sekarang,,,
Aku sedang memandang mereka
Merekam setiap kata, gerak, dan ekspresi mereka
Hal terindah yang pernah aku rasakan
Terima Kasih Tuhan, , ,
Hadiah ku datang


Created by. Aridea P
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Minggu, 13 Mei 2007


Dulu sebelum aku dan kawanku merasakan dunia
Ku lewati dulu masa-masaku yang suram dan kelam
Namun... setelah Tuhan menegurku
Ku tinggalkan semua kebiasaan burukku

Aku dan kawan-kawanku
Tersentak akan suara adzan itu
Kami pun mencoba menjadi orang yang beriman
Kami pun terus melewatinya

Sampai... kami telah menemukan rasa dunia
Kami telah menjadi orang yang berkarya dan beriman
Namun... kami pun tak pernah melupakan masa dulu
Yang penuh kesengsaraan

Semua... itu kami ungkapkan dalam sebuah lagu
Yang berisi tentang suka-duka yang kami lewati dulu
Semoga... cara kami ingin berbagi cerita
Akan sukses dan dapat di terima semua orang
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Kini aku menulis dari sudut kiri
Memalingkan mukaku dari hadapanmu
Tak ingin terlihat olehmu

Di sini, aku membaca sembunyi-sembunyi
Menahan kedip,
Tak ingin melewatkan membaca namamu

Di sini dingin,
hujan baru saja turun
Membasahi jalanan yang terlalu lama kering
Aku tak ingin pergi keluar
Hanya ingin di sini
Merasakan rasa ini lagi
Rasa seperti ini
Sekarang ini,
saat aku menulis ini

Rasa yang sulit tuk diungkapkan
Lebih sulit dari berjalan di atas bara
Lebih sulit dari mengingat namamu
Sangat sulit daripada menulis namamu
Sangat amat sulit daripada menyebut namamu

Rasa,
yang tak akan pernah berhenti membuatku menulis
Rasa,
yang tak mampu ku ucapkan sendiri
Rasa ini
Rasa yang sulit tuk dimengerti
Rasa yang tak akan pernah hilang
Rasa yang sulit tuk tak dibahas

Terima kasih tlah membuatku menulis dari kiri
Aridea P Oct 2011
Jumat, 13 Agustus 2010


Sekarang aku makin dewasa
Bapak... Mamak... Aku...
Anakmu kini 15 tahun
Ya Allah Terima Kasih atas Rahmat-Mu

Bapak, maaf bila esok ku tak berguna
Mamak, maaf bila esok ku gagal
Ya Allah, ampuni Hamba
Semakin dewasa, semakin ku berdosa

Tak sanggup aku melawan rasa itu
Aku telah bercinta...
Bercinta dengan nya
Ku tahu dia tak pernah di sini
Tuhan... Tuntunlah aku pada-Mu
Aku merasa hina di hadapan-Mu
Aku merasa hina di belakang orang tua ku
Ampuni Hamba Ya Allah...

Ku tahu t'lah berdosa
Oh Tuhan, Aku bercinta dengannya di dalam khayal


Creates by. Aridea .P
Aridea P Oct 2011
Saat cinta mempersatukan
Kau yang indah dengan dia
Aku pun terancam sendiri
Tak ada harapan lagi

Kau bahagia...
Aku akan sangt bahagia
Karena kau temukan
Dewi Cinta yang kau inginkan

Semoga bahagia
Dan setia dengan mu
Ku kan mendendam
Bila dia mengkhianati mu

Meski vonis yang kejam
Ku terima hidup di kandang
Yang panas dan pengap
Tak bisa hirup udara bebas

Ketika vonis ku berakhir
Kau akan ku cari
Tapi, melihat mu telah bahagia lagi
Ku kan mengenang itu untuk terakhir kali


By. Aridea Purple
Aridea P Oct 2011
Pernah ku tulis surat untuk mu
Yang indah berisikan tentang cinta
Ku ingin kau tahu akan isinya
Tapi, tak pernah sampai pada mu

Selalu tertahan di sini
Ku kumpulkan saja sendiri
Dan akan ku terbangkan ke angin
Agar membawa surat ku pada mu

Mungkin kan sampai
Tapi, apa kau terima semua?
Tersenyumkah kamu, saat membacanya?

Apa kau tak merasa
Surat ku penuh dengan cinta
Berapa kali ku tulis cinta
Mungkin penuh tak tersisa

Renungkan surat ku
Yang penuh cinta untuk mu

By. Aridea Purple
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai memberi nasihat, kau tak melakukan apa yang kuminta.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau mulai bilang aku tak perlu merasa begitu, kau menginjak-injak perasaanku.

Ketika kuminta kau mendengarkanku dan kau merasa harus berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalahku, kau telah mengecewakanku, memang aneh kelihatannya.

Dengar!

Yang kuminta hanya kau mendengarkan bukan bicara atau berbuat—hanya dengarkan aku.

Nasehat itu murah; 60 sen akan memberimu rubrik nasehat yang ada di koran. Dan itu bisa kulakukan sendiri. Aku bukan tak berdaya, mungkin kecil hati dan bimbang, tapi bukan tak berdaya.

Ketika kau lakukan sesuatu untukku yang bisa dan perlu kulakukan sendiri, kau menambah ketakutan dan kelemahanku.

Tapi saat kau terima kenyataan bahwa aku merasa apa yang kurasa betapapun tak masuk akal, aku bisa berhenti mencoba meyakinkanmu dan memahami apa di balik perasaan yang tak masuk akal.

Dan ketika semuanya jernih jawaban menjadi jelas dan aku tak butuh nasehat.

Perasaan-perasaan yang tak masuk akal menjadi sebaliknya saat kau memahami ada apa di balik semuanya.

Mungkin karena doa itu manjur, terkadang, untuk sebagian orang karena Tuhan tak bersuara, dan tak memberi nasehat atau mencoba memperbaiki sesuatu. Tuhan hanya mendengarkan dan membiarkanmu menyelesaikannya sendiri.

Jadi, tolong dengar dan hanya mendengarkanku. Dan bila kau mau bicara, tunggulah giliranmu, dan aku akan mendengarkanmu.
Daniel,

Waktu panorama nyata cerah merona
Aku termenung dungu
Malu, cemas tak pernah begini
Atau entah pernah namun kulupa

Kala aku berlari menuju hilang
Cerah itu muncul, kupikir selesai semua
Berpapasan sosokmu, membelai pipimu
Ku tak becus
Yang terasa dijiwa makin bermakna
yang ada dihati makin berarti

Tak harap lebih berjumpa denganmu
Dimimpiku
Dipelaminan
Atau dirumah kita nanti
Rasa cintamu sudah cukup
Sungguh,
Terima kasih

Buatmu, 2017.
Samuel itu bukan pacarku, dari dulu aku bermimpi ingin memiliki pacar bernama samuel wkwk
Creep Dec 2014
Thank you everyone for an amazing year, to all my followers, friends, and fellow poets/poetess! You guys are all real poets to the core, and just awesome overall. You have always made my day, and gave me something to look forward to after every tiring and shtty day. So this is my thank you so very much to all you fckin sympa, incredible, and marvelous colleagues! All you're words mean a lot and have helped me everyday.

Thank You!

Dankie!

Shukran!

Do je!

Hvala!

Dìkuji!

Tak!

Aitäh!

Vinaka!

Salamat!

Kiitos!

Merci!

Danke!

Efcharisto!

Mahalo!

Toda!

Shukriya!

Terima Kasih!

Grazie!

Domo, Arigató!

Kamsa hamnida!

Gratia!

Achiu!

Xie xie!

Takk!

Aguije!

Dziêkujê!

Obrigado!

Hvala!

Mulþumesc!

Gracias!

Asante!

Tack!

Khop Khun Krab!

Cam on!

Jerejef!

Diolch!

A (shaynem) dank!

Maita Henyu!

Dhanyabad!
those all mean thank you^^ sorry if they aren't exact translations. comment below for corrections ^^" but srsly, thank you, you guys. *hugs* you guys mean a lot to me :D MERRY F-ING CHRISTMAS!!
-creep ;)

we wish you a merry christmas
we wish you a merry christmas
we wish you a merry christmas!
and a happy new year! ;*
Ann P Jul 2019
Pahlawan
Terima kasih
sudah menyelamatkan aku
dari kesedihan ini
Pahlawan
Terima kasih
sudah membangkitkan aku
dari keterpurukan tiada henti
Pahlawan
Kau sungguh hebat
Hanya dengan suara dan karya mu
Berjuta orang sorak bergembira
Pahlawan
Kau sudah mati
Karena kau bukan malaikat
Sama seperti diriku
Manusia hina
Pahlawan
Kau sudah mati
Akan ku kubur jasad mu dalam jiwa ku
Akan ku peluk erat arwah mu
Jika orang bertanya tentang dirimu
Akan ku bisikan
Pahlawan ku sudah mati
Iblis memanggil nya
Bukan Tuhan
KA Poetry Dec 2017
Nama mu terukir sangat indah
Kebahagiaan yang tiada dua
Kisah kita memang baru sebentar
Namun hatimu ingin beranjak

Tanya hatimu,
Sebelum engkau pergi
Masihkah diriku menghuni didalamnya?
Terlalu rapuh untuk tersandar dan menerima

Diriku memang tidak mendekati sempurna
Aku... Gagal... Membahagiakan mu
Diriku tak pernah berhenti mencoba
Aku... Tidak... Layak

Sebelum kau memilih untuk pergi
Aku tak pernah lelah menanti
Nama mu yang selalu ada di setiap doa
Aku akan merindukanmu

Terima kasih untuk segalanya.
08/11/2017 | 17.44 | Indonesia
layla Apr 2016
Bersahut
Melontarkan kata
Bukan, ternyata kalimat
Bukan, tapi sajak
Kalau sajak,
Tak tercerminkan keindahan
Seperti nyanyian
Bukan, tak ada nada indah disana
Mempelai pria siap
Si Pitung bajakan muncul
Mempelai wania siap
Bapaknya datang

Hingga

'Aye terima pihak mempelai pria'
Amira I Jul 2019
Halo, hari ini hari Sabtu, tanggal 27 Juli.
Mungkin di atas bumi bulan sebentar lagi tak terlihat dan beberapa hari lagi akan muncul kembali, namun sepertinya di kehidupan Bumi; Bulan akan sirna sebentar lagi.
Bulan bingung, bagaimana cara Bulan tetap tinggal di sisi Bumi sementara Bumi tidak memberikan ruang untuk Bulan singgahi, sementara Bumi tidak memberikan kesempatan untuk Bulan mengasihi.
Apa yang pernah Bumi sampaikan pada Bulan terdengar seperti omong kosong belaka saat ini.
Terima kasih ya, untuk hal apa pun yang pernah kita bagi.
Maaf jika Bulan akan tetap menjadi Bulan untuk selamanya, bukan Matahari yang menjadi pusat perhatian dan gravitasimu, Bumi.
Bulan izin pamit ya, sampai jumpa jika alam semesta merestui.
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
ophelia Jan 2019
indahnya kota jogjakarta pada malam itu
tidak seberapa indah dengan
binar mata
dan senyum lekuk bibir mu
pada malam itu,
bising klakson mobil pada kemacatan malam itu bahkan bukanlah perihal yang menggangu. nyaman, bahkan bagiku semua tenang.
teringat jelas bagaimana kita menelusuri kota jogja sambil mendengarkan lagu saat kau menggengam tanganku erat, bagaikan takut kehilangannya.
untukmu Tuan,
sosok yang selalu memberikan ku kehangatan di malam hari disaat semua bergetar kedinginan.
tubuh dan ragamu yang amat ku kasihi,
terima kasih sudah memperlihatkan indahnya dunia yang pernah jahat ini.
padamu Tuan,
aku mengundangmu untuk sejenak meletakan kepala mu dibahuku dan menikmati malam yang indah, berdua.
Ann P May 2021
Pahlawan
Terima kasih
sudah menyelamatkan aku
dari kesedihan ini
Pahlawan
Terima kasih
sudah membangkitkan aku
dari keterpurukan tiada henti
Pahlawan
Kau sungguh hebat
Hanya dengan suara dan karya mu
Berjuta orang sorak bergembira
Pahlawan
Kau sudah mati
Karena kau bukan malaikat
Sama seperti diriku
Manusia hina
Pahlawan
Kau sudah mati
Akan ku kubur jasad mu dalam jiwa ku
Akan ku peluk erat arwah mu
Jika orang bertanya tentang dirimu
Akan ku bisikan
Pahlawan ku sudah mati
Iblis memanggil nya
Bukan Tuhan
Oka Nov 2019
Umur berpihak dengan raga
menahan gejolak membara jiwa
umur menggengam hati dan berdoa
"tuhan, jangan kau membuatnya buta
mengejar idealisme, terkekang fatamorgana.
kembalikanlah ia,
ke mana hidup menuruti realita."
umur makin takut melihatnya
mendobrak dinding bata
batasnya dengan dunia
"Tiada guna,
di luar sana
kau hanya akan binasa,
ku hanya memiliki cinta
dan ku tak ingin kau kecewa..."
"Bukan cinta bila tangisan
membanjiri mata,
bukan kasih jika wilayah ditempa
membatasi ruang bermuara
semua perilaku hina padaku tertimpa
ku terima dengan hati leluasa
tanpanya ku tak akan bermetamorfosa
jangan kau berlara-lara
melihat juangku yang remaja
kekacauan ini indah
membuatku merasakan untuk kali pertama
hidup tiada kesempatan kedua."
ga Jun 2018
Pertama kalinya kugenggam tanganmu
Satu kembang api dipantik dari ulu hatiku
Seribu lainnya menyusul saat jemari kita saling bertaut
Menghiasi langit malam dengan pendar menggoda
Hitam pekat dibasuh percik api warna-warni
Kusaksikan dengan jelas saat kutatap wajahmu lekat-lekat

Kala itu tak satupun kata berhasil kita ucapkan
Namum dalam hati, tiap detik kulayangkan ribuan doa
dan segala mantra :
"Tuhan sang empunya dunia ini, hendaklah hentikan waktu sejenak untuk hambamu ini. Atau panjangkanlah malam sebelum mentari terbit nanti. Terima kasih Engkau turunkan bidadari, tepat disebelah hambamu ini".

Rambutmu bagaikan ombak musim panas
Bergulung-gulung indah harum manis bergairah
Namun dadaku layaknya laut dikala badai
Gemuruh layaknya seribu ksatria berkuda
Inginku berteriak sekencang-kencangnya
Gemanya terdengar sampai kampung Ayah-Ibuku

Jikalau nun jauh di belahan dunia sana
Seseorang berhasil menginjakkan kakinya di bulan
Inginku umumkan pada dunia
Malam itu akulah manusia pertama yang berhasil menggenggam bulan
Akulah pungguk yang melawan seluruh hukum gravitasi
Akulah pungguk yang tak lagi merindukan bulan

Kalau saja bisa, saat itu juga
Ingin kutuliskan berlembar-lembar puisi cinta
Ingin kupetik gitar dan bersenandung mesra
Karena bisikan lembutmu melantunkan hasrat hidup
Tatapan sayumu membiaskan mimpi-mimpiku
Senyuman indahmu melukiskan harapan-harapanku
Mimpi dan harapan seorang lelaki biasa
Menghabiskan hidup dengannya, tuan putriku ratuku, malaikatku, wanitaku yang istimewa
22/05/2018
Pagi mulai menjelang, biar kuantar kau pulang
Coco Aug 2019
Bersama suara tawa
Terdengung hasrat hati sedikit kata
Dia yang berbaik hati
Dan saya yang bersakit sakit

Merangkak dibawah kebaikannya
Menggumam kala dia tertawa
Gapai senyumnya yang tak kasat hati
Bahkan, rela tenggelam dalam pasir khayalnya

Hm, apakah ini saatnya?
Pengakuan akan hasrat hati sebenarnya?
Mengenai rasa dan karsa

Di akhir petang ini,
Bersama riakan air dan sapaan ombak
Bahkan ditemani oleh anak kepiting lucu
Dan lembayung surya sebagai saksi
Saya, sang khalayak yang tengah berdiri
Memintanya untuk berhenti
Baik dalam melangkah, ataupun berlari
Karena saya akan mencari sisi ujung lembayung surya yang lain
Dan dia tak perlu tahu jika memang tak ingin
Terima kasih
Hope u enjoy it!
Gektya Pasis Oct 2016
what goes around comes back around

aku percaya dengan adanya karma. semakin banyak hitungan niat baik yang kau sia-siakan maka akan semakin banyak pula pengorbanan sia-siamu kelak.

sepele? iya mungkin sangat. tetapi berapa banyak malam yang sudah aku lewatkan untuk merenungi kesepelean itu?

suatu saat akan ada waktu dimana kamu akan menyesali semua yang kau lakukan, karma itu akan datang dan kau bahkan tidak tau karma siapa yang sudah kamu terima.

suatu saat akan ada penyesalan, tetapi kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa. iya, seperti yang sedang aku lakukan sekarang ini.

—G, 22/07.
YC Jun 2017
Aku telah buat kesalahan.
Kusebut itu kau.
Kau; kesalahanku,
yang dengan sengaja kulakukan hanya demi keegoisanku.
Setiap kata 'aku sayang kamu' yang kau terima, tak pernah ada dalam ketulusan.
Setiap peluk yang kau rasakan, tak pernah ada dalam kenyamanan.
Semua kulakukan hanya agar kau percaya bahwa rasaku itu nyata.
Brengsek! Aku mengutuk diriku sendiri.
Meski kau hidup dalam kebohongan, aku selalu berupaya.
Membuka hatiku sedikit demi sedikit, hanya agar kau tak terluka.
Namun Tuhan Maha Adil, dan aku hampir melupa.
Saat aku berupaya, kau menggores luka.
Kau bertindak suka-suka, dan aku diam saja.
Sesekali kuangkat bicara, dan kau tutup telinga.
"Terserah" kataku. Dan kuakhiri semuanya.
Kini, berulang kali kau memintaku tuk kembali, tetapi enggan untukku mengulangi.
Kita hanya akan sama-sama menyakiti,
Dan menyayangi diri sendiri.
Sundari Mahendra May 2017
Sejak kecil mereka aku kasihi dengan sangat
Tak boleh ada  masalah dan persoalan yang didapat
Aku memberi yang dibutuhkan
Walau kadang agak dipaksakan

Melalui hari-hari sekolah kalian ku bimbing
Melalui waktu-waktu susah kau ku bina
Mengarungi saat-saat penting kau kutemani
Tak ada saat dimana kau kutinggalkan

Masuk masa perkuliahan kau dapatkan
dimana kau ingin melanjutkan pendidikanmu
Walau seakan mustahil tapi Tuhan memberi
itulah yang aku ingatkan

Masa-masa perkuliahan kau jalani juga nak...
Ada rasa berontak yang tak terperi
Ingin mencoba dunia seni
Dimana banyak hidup berseri

Tepuk tangan dan kata-kata manis
Kau terima dengan senang hati
Untuk kebanggaan diri pribadi
Untuk kejayaan yang kau ingini
Mousamous Aug 2017
pasal III; tentang berpisah, memisahkan diri, dan sebuah perpisahan.

-sampailah rasa ini di titik paling akhir perjuangannya, dimana setelah semua usaha bermuara, dan nyatanya tak terbalas sesuai ekspektasi. akhirnya, aku (dan kamu) memilih untuk mundur dari pengharapan masingmasing, memilih memisahkan diri, untuk kemudian bersamasama mencari jalan hidup pribadi.

- mungkin saja di satu sisi, ada pihak yang merasa terberatkan, dan tentu saja yang memberatkan, mengingat perihal perpisahan adalah suatu fase, dimana 2 pribadi yang dulunya saling dan berusaha terikat mengikat, kini harus mulai merenggangkan ikatan masingmasing. dan pasti ada yang tak sanggup, dan ada yang terburuburu berpisah. tapi tak apa, aku terbiasa menopang perkara berat ini.

- namun ada kalanya, kau lah yang terberatkan dengan proses ini, jadi mulai sejak dinilah, kumohonmaaf untuk apa yang akan terjadi di kemudian hari, atau mungkin saja esok hari, ketika ku mulai merasa, bahwa perpisahan adalah cara terbaik untuk melanjutkan hubungan ini.

- plot twist; adalah ketika kita masih tetap berusaha saling menyatakan setia dan menjaga keberadaan masingmasing kita, tapi, kita tetap saja terpisahkan, karena sebab masa depan masih terlalu gelap untuk diterawang sekarang, mengingat kodrat yang bernyawa akan mati, yang dekat akan jauh, dan yang jauh, tak penah lagi kembali. maka nanti kemudian masa, jika saja kita memang terpisahkan oleh takdir, maka sekali lagi maafkanku, juga terima kasih, untuk mu, dan untuk hadirmu.

- karena berpisah, bukan sematamata hanya sekedar ego, melainkan sebuah komitmen. semoga kau mengerti, jika kelak kita berpisah, dirimu tetaplah dirimu, kau tetap saja begitu, dan jangan berubah, sebab kisah kita yang berakhir tragis, tak layak mengubah senyummu yang manis.

prdks.
ps: tetaplah mengagumkan, _____.

— The End —