Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
JA Feb 2017
CINTA

Orang kata cinta itu buta

Yaa....

Memang buta...

Aku buta cinta kepada orang yang tak penah aku kenali tak penah aku impikan

Tapi....cinta itu datang dengan sendirinya...
aku sendiri celaru dan keliru mana datangnya cinta yang tak penah ku impikan ini........

Mana mungkin aku kenali dia?
Hanya penah mimpi walaupun sebentar
Walaupun hanya dengan melihatnya didalam alam maya

Buta apakah ini?
Cinta apakah ini?

Adakah ini datangnya sebentar atau berlarutan?

Andai sebentar aku syukur kerna tidak sakit utk rasa ini.......

Andainya berlarutan rasa ini? Bagaimana aku untuk hadapi.....oh Allah ku.. ku perlukan engkau

Sakit......

Sakit..........dada ini
Aku tak sanggup untuk rasa ini......

Aku tak sanggup untuk pedam rasa ini.....

Adakah engkau rasakan wahai orang yang ku cintai dalam diam?

Terlalu sakit untuk pedihnya jatuh cinta ini

Andai saja engkau tahu...mungkin kau akan cintai aku jua?

Pedam dan pedam

Hanya doa ku dari ilahi ku persembahkan rasa ini
Hanya ilahi ku sahaja tahu betapa pedihnya hati ini

Moga saja engkau akan jadi miliku seuatu hari nanti
Kekasih dalam diamku

- JA
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Aridea P Dec 2011
Palembang, 17 Desember 2011

Aku hidup dengan nafas mu Bapak, Ibu
Aku ada karena Dia Yang Maha Satu

Namun raga ini aku yang bawa
Jiwa ini aku yang menjaga
Hidup ini aku yang memilih
Cerita ini aku yang jalani

Aku tumbuh bersama nafas mereka
Aku termotivasi karena mereka juga

Nafas kita menyatu
Mereka menghela nafas kebahagianku
Aku menghela nafas kebahagian-Mu
Nafas kami juga nafas mu, Bapak.. Ibu..

Kau pelita kehidupan
Obor benderang di gelap ku
Bekal mengenyangkan di lapar ku
Oasis indah nan segar di dahaga ku

Tak akan ada aku tanpa-Nya
Tak akan hidup aku hingga sekarang tanpa Bapak dan Ibu
Tak akan aku bertahan tanpa diriku sendiri
Dan aku hidup tuk bersama mereka

Aku yang menentukan
Dia tinggal menyetujuinya
Bapak Ibu hanya bmendoakan
Dan sebentar lagi mereka ku gapai

(it’s because I Love Shane, Mark, Kian and Nicky)
el Aug 2014
ada kalanya dimana aku akan duduk tersungkur di pojok ruangan
memandangi selembar foto dirimu
tersenyum bahagia disebelahnya
kau sangat cocok bersamanya
bahkan, tangan yang dulu rasanya pas disela-sela tanganku itu
terlihat lebih cocok bersamanya dibandingkan denganku

sudah beberapa kali aku mencoba untuk merelakanmu tanpa pernah memilikimu
ikatan batinku terlalu kuat
tidak bisa begitu saja aku melepasnya
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, bukan?

aku sudah tidak menunggumu pulang lagi
karena aku tahu
kau tidak akan pernah pulang lagi kepadaku
dan aku harus belajar melepasmu
el Oct 2014
ketika kaki sudah tidak mampu menapak
rembulan sudah tidak dapat menyapa sang surya
tidak ada yang bisa bertahan selamanya seperti ini
semuanya berubah, tidak seperti sedia kala
dimana hanya ada aku dan kamu--dan juga kenangan

ini secarik puisi untukmu
sebuah kisah yang sebentar lagi akan menemukan jati dirinya
seutas tali yang sekarang tidak lagi menyambung
dan ini adalah perpisahan

selamat tinggal, kamu
selamat tinggal, aku
selamat tinggal, kita.
tidak ada yang bertahan abadi. sekeras apapun kau mempertahankannya. setiap pertemuan selalu berujung pada perpisahan. siapkan dirimu. karena perpisahan datang tanpa aba-aba.
Klo Sifa May 2016
Kau membuatku bingung Raja.

Sebentar bersikap sehangat matahari pagi, sebentar sedingin tiga perempat malam.

Kau membuatku bimbang Raja.

Aku tak tahu harus bersikap bagaimana.

Aku sudah bertanya pada jalan yang setia menyaksikan kau mengantarku pulang.

Mereka diam.

Aku semakin gelisah.

Karena bahkan jika jalan yang setia diam jika kutanya, bagaimana mungkin kau punya jawaban Raja?

Hatimu tak lebih teguh dari daun yang tertiup jatuh.

Lantas aku harus bagaimana?
Dean Al Fataa Jun 2013
Di malam bulan terpotong jadi tawa, angin membelahku jadi tiga bujursangkar. Satu untuk diriku sendiri, satu untuk bibir kemaraumu, dan yang lain, mungkin, untuk dua anjing lapar yang Tuhan pelihara dalam diriku dan dirimu.

Di situ, di rimbunan gelap yang padat dan waktu yang mengering, ingatan mempertemukan kita walau sebentar. Kau berlari membawa kotak yang di dalamnya mungkin adalah namaku, dan aku berlari di belakangmu menjauhi danau.

Sayap-sayap yang tidur, kepala yang dinaungi tali-temali, dan jejak-jejak bernafas rapat. Bagimu, dunia mungkin masih adalah tabir yang kaku.

Oh.

Burung-burung dalam kepala! Itu kekakuan yang liris membunuhku.


Malang, 3 April 2013
Elle Sang Apr 2016
Terkadang raga ini lelah melangkah
Berjalan tanpa tahu pasti kemana
Apakah akan singgah sebentar di sudut itu
Atau mungkin akan berhenti di pelabuhan timur
Malam itu aku tertatih
Menahan perih dan luka
Tanpa ada satupun yang sadar
Dalam hati mengumpat watak manusia yang acuh
Namun aku juga manusia
Aku.. manusia yang tak akan pernah berhenti belajar
Walau harus merajut asa dalam sakit
Ditemani oleh temaram lampu kota aku menari
Hingga raga ini tak sanggup
Dan jiwa ini hilang dibawa angin malam
Amira I Jul 2019
Halo, hari ini hari Sabtu, tanggal 27 Juli.
Mungkin di atas bumi bulan sebentar lagi tak terlihat dan beberapa hari lagi akan muncul kembali, namun sepertinya di kehidupan Bumi; Bulan akan sirna sebentar lagi.
Bulan bingung, bagaimana cara Bulan tetap tinggal di sisi Bumi sementara Bumi tidak memberikan ruang untuk Bulan singgahi, sementara Bumi tidak memberikan kesempatan untuk Bulan mengasihi.
Apa yang pernah Bumi sampaikan pada Bulan terdengar seperti omong kosong belaka saat ini.
Terima kasih ya, untuk hal apa pun yang pernah kita bagi.
Maaf jika Bulan akan tetap menjadi Bulan untuk selamanya, bukan Matahari yang menjadi pusat perhatian dan gravitasimu, Bumi.
Bulan izin pamit ya, sampai jumpa jika alam semesta merestui.
Diska Kurniawan Sep 2016
Tahukah kamu, di tepi jendela itulah
Cinta dan kasih kusimpan
Lalu kau terbang semilir dan mencuri
Setiap tak ku tutup jendelanya

Tahukah kamu, berembun juga kaca
Jika di tepi jendela kau tiup rasa
Menjadi buram, dan tak sejernih air pula
Pandangan matanya?

Jika nanti ku kunci engselnya
Engkau tak bisa meluncur seenaknya
Meniup gundah keluar kamar
Hingga sinar senja membayang pudar

Jika nanti kau masuk
Sebagai kupu-kupu lembayung
Yang terhuyung hinggap di tepi jendela
Temani aku, sebentar saja

Ditepi jendela aku kehilangan
Cinta kasihku, ketika
Kau bersemilir masuk
Dan mencuri keduanya
Lihatlah ke tepian jendela itu, yang tak bersudut.
NURUL AMALIA Nov 2018
lalu aku perlahan berjalan menjauh
mencoba menjarak pada sepotong hati yang membiru
luka tak pandang bulu, tak pandang rupa atau apapun
sempat aku titipkan sepenuh hatiku
kudapati sekarang tak berupa
aku tak cukup mau untuk berlari
sebentar..aku hanya ingin memastikan hatiku kembali baik
ku tahu kamu tak sengaja
membuat hatiku jatuh lalu memar
sakit memang.. tapi lebih sakit jika aku tidak mencinta lagi
karena aku percaya, hatimu baik..
30 November 2018 20.37
KA Poetry Dec 2017
Nama mu terukir sangat indah
Kebahagiaan yang tiada dua
Kisah kita memang baru sebentar
Namun hatimu ingin beranjak

Tanya hatimu,
Sebelum engkau pergi
Masihkah diriku menghuni didalamnya?
Terlalu rapuh untuk tersandar dan menerima

Diriku memang tidak mendekati sempurna
Aku... Gagal... Membahagiakan mu
Diriku tak pernah berhenti mencoba
Aku... Tidak... Layak

Sebelum kau memilih untuk pergi
Aku tak pernah lelah menanti
Nama mu yang selalu ada di setiap doa
Aku akan merindukanmu

Terima kasih untuk segalanya.
08/11/2017 | 17.44 | Indonesia
Megitta Ignacia Jul 2019
berhenti sebentar
amati tangga kehidupan
beberapa melesat kencang
beberapa berleha-leha
beberapa meronta terpenjara
bersandiwara mencengkram erat muslihat
beberapa berhenti berkoar
betah hanya memandang 1 arah
acuh membangun bata perbatasan
agar ujungnya jiwa tak lagi rapuh

kulihat semuanya budak
diantara kerumunan manusia
golongan batasnya
pendapatan pengeluaran
semua saling bertukar jerit
"memangnya kau siapa?"
220719 | 8:51 AM di kamarku, kamarku sendiri, masih di kota kesayangan Bandung, mau ke Majalengka airport. Tuhan jaga keluargaku amin.
malam telah beranjak menuju rahasia
sebuah pagi yang lembut datang menghampiri
ketika aku mengisi diri sendiri
dengan sebuah nama

sebentar lagi sungguh sebentar lagi
napasku akan pergi
meninggalkan segala yang fana
menuju muasal segala cinta
2017
Amira I Dec 2018
Tuan, sore ini akasa terlihat kelabu.
Semilir anila terasa membeku.
Aku berada di antara dua perasaan;
sukacita dan dukacita.
Sukacita? Ya, karena sebentar lagi graksa datang dengan gagahnya; mengejutkan semua makhluk di bumi.
Seperti kedatanganmu.
Lalu, dukacita? Ya, graksa yang gagah itu bisa hilang wujudnya dalam sekejap. Kemudian membawa hujan yang meninggalkan wresthi di permukaan bumi.
Seperti kepergianmu.
Sito Fossy Biosa May 2022
GABRIEL & JIBRIL
aku = saya
V, (x) akan hilang sebentar lagi.
Sito Fossy Biosa and lonely poetry
ga Apr 2018
Bukannya ingin melupakan
Tapi langitmu biru
Milikku selalu hijau abu-abu
Diwarnakan kecewa yang tak kusesali

Lama sudah roda waktu kuputar
Namun kudapati kau hanya sebentar
Kau dan waktu adalah ilusiku
Namun kertas dan tintaku takkan menipu

Matamu sepekat langit malam
Berkilat menantang walau tanpa bintang
Menggali semua amarah dan kecewa
Saat kau bertukar tatap denganku

Ambil semua bintang-bintangku
Rebahkan diriku ke jalan yang gersang
Retak merana, kering oleh sang waktu
Mata itu tak lagi sama di hadapanku

Bintang tidak jatuh setiap hari
Namun kali ini ia jatuh di antara kita
Maaf telah kusembunyikan darimu
Cepat atau lambat kau akan mulai berlari
Tanpa bisa kukejar kembali

Luapkan semua amarah dan kecewamu
Padaku, pada dunia, pada yang tak kau pahami
Karena kau yang paling tahu
Batas waktuku untuk bersama dirimu
28/03/2018
The burn marks on my epiano won't go away 10 hours loop
a daydreamer Oct 2018
Saat dunia menuntutmu, yuk duduk sebentar.

Mungkin kamu lelah dengan tuntutan orang tua mu yang bercita-cita supaya kamu mendapatkan nilai tinggi, atau beban tanggung jawab yang memberatkan pundakmu, atau tuntutan duniawi yang selalu membuatmu resah dengan masa depan, atau melihat kanan kiri ke mereka yang sudah berlari kencang di depan.

Mungkin kamu takut, apa yang akan terjadi di masa akan datang? Apa kamu akan lulus tepat waktu? Apa kamu akan mendapat kerjaan? Apa kamu akan mendapat pasangan?

Sudah, kamu sudah berusaha keras.

Yuk, duduk dulu. Sini bersinggah denganku sambil minum kopi hangat dan menikmati malam yang dekat.

Saat mentari tiba, ayok kita mencoba lagi bersama.
ga Jan 2018
Terlanjur kutitipkan hatiku
Jiwaku hangat dalam genggamanmu
Tolong jagakan sebentar lagi
Aku ingin kembali

Telah kubagi separuh anganku
Kau susupi setiap ingatanku
Tanpa sadar kulembutkan hatiku
Aku ingin kembali

Maafkan aku yang pergi
Tanpa selamat tinggal
Maukah kau ucapkan selamat datang
Karena aku akan kembali
25/12/2017
"Bahwa bukan kesedihan yang nyala
Di ruang mata, melainkan hakikat rela"

(Kisah Soe Harry, 2 - Astrajingga Asmasubrata)


aku datang padamu dengan surah yasin
dan rasa ingin
bertemu yang tak bisa dicukupkan oleh
simpuh sujud
seorang anak yang imannya sedang
runtuh. ayat

demi ayat menjelma percakapan kita
tentang hakikat
hidup dan mati: tentang hidup adalah
seluruhnya ibadah
dan mati adalah nikmat tertinggi. mad

dan waqaf menjelma tempatku berhenti:
tempat aku
meluruhkan air mata saat terbayang
wajahmu yang
tak bisa lagi kupandangi. aku bertanya
seberapa rindukah

tuhan padamu tetapi tak ada jawaban
meski telah aku
cari di setiap lembar yang sebentar lagi
menuju akhir.
aku bertanya akankah kau bangun untuk
sekadar menyapaku

tetapi tak ada jawaban meski aku telah
sampai di ayat

kun fayakun.
2017
Megitta Ignacia Jul 2019
Ah muncul lagi
Lelaki benalu kesayanganku
mengendap-endap masuk ke pikiran kosong

Di hitamnya langit
kutemukan selintas retrospeksi terselip diatara bintang
kau dadakan hilang
tak 1 pun kata kau anggap perlu kau beberkan
mulutmu rapat terkunci
mungkin penjelasan itu hanya bisa ditemukan di air luka hatimu yang dalam

Sini duduk sebentar
biar kupinjamkan sepatu heelsku
malah tak perlu kudandani kamu
tak perlu busana merah muda mencolok
kamu sendiri sadar kamu banci,
maksudku pengecut

Tak sudi kusebut kamu banci
banci saja lebih jantan darimu
mereka berani unjuk diri depan dunia
gagah gigih tampil beda mencolok
meniupkan asap rokok ke muka komentator

Ada udang dibalik batu
ada busuk dibalik hadirmu
kau pergi karena kau anggap tak ada lagi gunaku bagimu kan?

Dalam senyum sumingrah kuucap syukur pada Bapa di sorga
sebab benalu sepertimu tak pantas ada disini
jam pasir telah dibalik
segera akan habis waktu permatamu
biar gelapnya malam yang menghajar pancaran sinarmu yang menjijikan

Lelaki benalu kesayanganku habis digerogoti nafsu keserakahannya
040719 | 00:23 AM ditulis saat mau tidur, sehabis pulang nonton Spiderman Far From Home bersama kawan-kawan. Thanks to wejangan singkat tapi bermakna dari kaka pito, emosi tersulut parah "Itu artinya dia cuma butuh lo sampai sana." begitu bodohnya aku baru bisa liat segalanya secara jelas sekarang. Jauhkanlah benalu-benalu dari orbitku, ya Bapa di sorga. Syukur kepada Allah.
ga Nov 2017
Awan lara bersayapkan derita
Diselimuti kabut tersenyum manis
Tak perlu senyum itu kau balas
Sebentar lagi menuju terang
Kabut sirna melayang-layang

Apa kabar...
Tanyakan padaku

Berikan sedikit suaramu
Tak kuasa lagi mengharap cahaya
Namun aku ingin melangkah
Walau tanpa cahaya
Mungkin ada suara

Aku baik-baik saja...
Sampaikan padaku

Dari tepian jauh aku melihat
Jangan coba kau menggapai
Cukup doa yang mengantar
Tanpa perlu kembali lagi
Megitta Ignacia Mar 2020
Bandung begitu kelabu,
dadaku kosong
rentang fokus kabur entah kemana
ada kacau yang meruang di tubuhku
tersisip kicau yang kian gaduh kepalaku

terus menerus menimbang
mempertanyakan perkara ranah juang
bolak balik singgah pada keraguan
lalu sebentar mampir pada keyakinan

ia, aku, terpicu keras sekali
kilas balik membeludak dalam benak
beririsan dengan manisnya kenyataan
yang juga selalu menjagaku erat

aku benci terpicu seperti ini,
guru geografi pernah ajarkan
ketika panas bertemu dingin, terjadilah puting beliung
ada puting beliung yang meruang di tubuhku

lalu hembusan nafas mengembalikan sadarku
cepat-cepat harus kukerdilkan imajinasi
ya Bapa di Sorga, bebaskan aku dari kekang gelisah
aku hanya ingin melepaskan apa yang perlu dilepaskan
aku lelah mengunci diri dalam kegelapan
030320 | 00:25 AM kamarku di bandung, ternyata kejadian 2 hari lalu masih secara berat nge-triggered sebagian besar porsi acara pulkamku. Rencana untuk rehat cukup berantakan, karena pikiran yang terus-menerus flashback ke masa indah, tapi juga terus menguatkan diri sendiri buat sadar what's done is done. Kaya baru sadar bahwa tuhan menopangku melalui A, without him idk if I could survive my broken heart back then. Found myself not really functioning, makan tp gaada rasanya, jalan tp pikiran masih aja kalut, nyetir atau ngapain aja tapi dalam dada seperti ada coretan hitam awut-awutan kaya di serial Bojack Horseman haha. This too shall pass, percaya tuhan ga pernah "salah" nulis, god's timing is perfect, never too ahead, never late & semua janjiNya akan digenapi, teringat Isaiah pasal 55:9 "As the heavens are higher than the earth, so are my ways higher than your ways and my thoughts than your thoughts." tuhan tau apa yg terbaik, karena dia ada di masa lalu, masa sekarang dan masa depan.
Cicavilana Jul 2020
aku ingin tenggelam, karam
di pekatnya tatapmu
aku ingin meresap, terperangkap
di hangatnya dekapmu
aku hanya ingin hanyut
di antara denyut nadimu

aku hanya ingin hilang sebentar
menelusuri hatimu
lalu
bermuara
di ruang
sanubarimu.

"izinkan aku bersandar sejenak"
boleh tidak?
Sundari Mahendra Nov 2017
Selamat pagi bu....
Selamat pagi jawabku
Perjalananku segera dimulai
menembus fajar yang masih galau

Lewat mana bu....
Biasa saja pak jawabku
Jalan raya yang masih sepi
Tetapi aku sudah duduk sendiri

Macet bu....
Biasa pak jawabku
Tiada ada jalan yang lancar
Tiada hari yang tak sukar

Lampu merah bu....
Iya pak panjang pula jawabku
Berhentilah walau hanya sebentar
Melemaskan kaki dan mata yang nanar

Sudah sampai bu....
Terimakasih pak jawabku
Ku mulai pekerjaan hari ini
Dengan harapan dan asa yang baru
Favian Wiratno Dec 2020
pertanyaan sebentar untukmu; jika boleh, bisakah kau memlih?

bersamaku yang tulus mencintaimu?
atau dia yang jelas-jelas menyakitimu?

dia yang pergi meninggalkanmu?
atau aku yang selalu ada didekatmu?

pilihlah pilihanmu; walaupun sebenarnya aku sudah tau.
Ingar bingar Nov 2021
Rasanya seperti ingin muntah,
perutku bergerumul,
dadaku bergemuruh,
hatiku penuh amarah,
tubuhku lemas tak bertenaga.
Aku lelah.

Air mata di ujung pelupuk mata,
mengalir deras sekali terpicu.
Sumbu kesabaran yang kian pendek,
terus menerus terbakar oleh amarah.
Aku lelah.

Hari-hari berlalu begitu saja seolah tak bermakna,
yang kutunggu hanya Sabtu Minggu saat tak perlu kutatap layar terang itu 12 jam sehari.
Detik-detik lewat tak memandang lara dan amarah yang terus membakar hati
Apa aku bisa bertahan, atau sebentar lagi hati ini mati?
Aku lelah.

Bakar. Bakar. Terbakar.
Bila hati ini kemudian mati dan dipenuhi kebencian dan kegusaran,
bila kemudian ia dikuasai oleh kegelapan,
bila hatiku mati...

Aku bagaimana?
Sito Fossy Biosa May 2020
RONA, BELUM LAMA, RUNI, TERLALU SEBENTAR, MERA, BELUM ADA, dari keseluruhan diski yang pernah kusebut, ada satu yang tak pernah lagi kusuka,
00
00000
00000000
000000009
dia.
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙

— The End —