Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Aug 2016
Sebuah renungan untuk kesukaan yang aneh.

Prang

Ia suka mendengarkan suara kaca pecah. Kadang-kadang, suara beling atau cermin. Itulah sebabnya ia sering kehabisan gelas di rumah. Saat sedang gusar hatinya, ia sengaja mengambil satu atau dua gelas untuk dijatuhkan. Suaranya renyah dan cantik. Ia membayangkan berbagai masalah yang ia hadapi berubah menjadi sebuah gumpalan besar yang akhirnya mendobrak tempat ia dikurung bebas dan selanjutnya merasuki orang lain. Ia tak akan memikirkan kegundah-gulanaannya lagi. Apabila sudah terdengar *prang
, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Ia sadar kalau itu kebiasaan yang buruk. Orang-orang disekitarnya mencercanya. Berisik, kata mereka. Ia tidak melakukannya karena ia suka memecahkan barang. Ia lakukan hal itu karena ia suka mendengar suara kaca pecah yang berhamburan kemana-mana. Ia juga tak sering-sering amat melakukannya, hanya sesekali. Terkadang malah tidak sama sekali.Tentu saja, ia tak ada maksud mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Kata-kata pedas itu membuatnya ingin mendengarkan suara kaca pecah lagi. Tapi ia tak dapat melakukannya. Ia tahu melakukan itu hanya akan membuatnya dihujat lebih parah.

Ketika terbangun di subuh yang dingin, ia mendapati suara kaca pecah berkali-kali terdengar. Prang prang benar-benar membuatnya tenang. Sepertinya otaknya sudah merekam suara menggeletar itu dan memutarnya begitu saja tiap hatinya gonjang-ganjing.

Sayangnya bebunyian itu tidak berhenti. Ia terus mendengar prang prang bahkan ketika matahari tepat berada diatas kepala dan prang prang prang lagi ketika maghrib tiba. Prang prang prang prang. Prang prang prang. Prang prang prang prang prang prang prang, prang prang, prang prang prang.

Prang prang yang ia nikmati mendadak menjadi sebuah suara yang membuat keringat nya, prang, mengucur deras.
Prang prang prang prang tetap tidak berhenti meski hari silih berganti. Ia terheran, apakah orang lain juga dapat mendengar prang prang prang atau hanya ia saja?

Sudah hampir dua hari prapraprang terus berlanjut. Ia mencoba keluar rumah, mungkin suara itu ada di dalam rumahnya saja. Dan benar, saat ia keluar rumah, tidak ada satupun pranggggggg terdengar.

Tak ada tetangga yang menunggu di depan rumahnya dan memprotesnya.

Yang ada hanya  jejeran rumah-rumah tetangganya yang hampir semua kacanya  hancur lebur karena di lempari batu, dan saat ia melongok ke dalam, para penghuninya telah telungkup dengan kepala bocor.

Ia lari tunggang langgang kembali ke rumahnya, dan prang.

Prang lalu berubah menjadi gedebuk dan suara yang dahulu menenangkannya kini menghabisinya.

Wanita bertubuh gemuk yang tinggal beberapa langkah dari rumahnya itu benjol kepalanya. Ia membawa sebuah vas porselen yang kini hanya berupa pecahan-pecahan saja setelah digunakan untuk menghantam kepala si pecinta prang.

“Dasar ngelamak, diingatkan malah menjadi-jadi. Setan kamu ya, semua orang kau lempari rumahnya prang prang prang hanya karena protes berisik.”

Ia tak tahu apa yang terjadi. Bunyi yang terakhir di dengarnya hanyalah prang. Cercaan si gemuk tak dapat lagi ia dengarkan. Darah dari kepalanya yang pecah—bocor—menggenang di teras rumahnya. Semua orang pasti senang atas kematiannya. Mereka tak akan mendengar prang prang prang prang lagi. Sedangkan ia, tak tahu apa yang terjadi dan mengapa kepalanya dihantam begitu saja.

Yang ia tahu,
Ia suka mendengarkan suara kaca pecah,
Lalu orang-orang mencibirnya, ia tak dapat lagi melipur penatnya.
Dan karena itu,
Aku jadi suka memecahkan kaca untuknya.

Prang,
Sayang.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
APA KAU TAK DENGAR ??

Sebuah nyanyian gerakan melingking lurus tajam
ke arah penguasa yang menusuk hati rakyat.

Para pemuda dan mahasiswa yang berada
dalam pusaran arus kerusakan
Maka tiada lagi, kita harus melawan !

Disaat buku hanya berada dikantong saku berdebu
Disaat pena tak lagi mengeluarkan goresan tajamnya
Disaat megaphonemu tak lagi bersuara karena usang
Disaat tongsismu membunuh sikap kritis !

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Mana raunganmu wahai Pemuda ?
Keluarlah dari barak kos dan sekretariatanmu Mahasiswa !

Apa kau tak dengar ??

Sungguh ibumu tak kan rela melihat dapur rumahnya
yang tak lagi mengepul

Apa kau tak dengar ??

Sungguh bapakmu tak kan rela melihat kau
menderita karena miskin tenaga

Apa kau tak dengar ??

Sungguh jalan raya merindukan berbagai aksi aksimu
disetiap hentakan langkah kakimu

Apa kau tak dengar ??

Sungguh engkau adalah Generasi yang diharapkan
ummat Muhammad !

Wahai Mahasiswa.. Kau pembebas dunia
Wahai Mahasiswa.. Kau penerus negeri

Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !
Wahai Mahasiswa.. Dikepalmu Khilafah !

‪#‎RinduPergolakan‬
Aridea P May 2017
Dia yang memberikan irama obrolan begitu hangat di penghujung fajar,
Aku terlarut di dalamnya
Aku meminta lagi irama itu di fajar selanjutnya

Aku adalah oasis yang membantu melepaskan dahaganya,
kala ia berkelana di gurun nan tandus
Namun setelah segar kembali ia menyumbat mata air dengan pasir
Lalu ia berkelana kembali
Tuk mencari oasis selanjutnya, tuk menyumbat yang lain-lainnya

Dia lalu kembali ke jalan berkerikil menuju rumahnya
Dikala ia harus memilih di antara menyimpan kucing yang ia temukan di dalam sebuah peti emas di pinggir jalan
Atau dia akan pergi dengan peti emas dan meninggalkan kucing itu tak bertuan
GEIGA VIA TANARO Oct 2017
Kemana semalam kalau siangmu penuh peluh?
Peraduan mana yang kau singgah kala menunggu Tuhan membalas?
Sang racun dunia
Sang peracau jiwa
Sang penggoyah iman mereka bilang
Kendara motor dini hari
Pergi dengan siapa ia mau
Karena akan terlalu bodoh memikirkan rangkanya
Diamlah kalau kau belum tahu rumahnya
Diamlah kalau tak tahu mana zakar mana akar
Urusanmu selalu tak kalah sepele dari pada urusan Si Jalang
So Dreamy Aug 2019
Setetes, dua tetes, tiga tetes, empat tetes
Air hujan akhirnya kembali pulang ke kampung halamannya
Ke tanah kering,
Berisi hamparan debu dan keluhan para penghuni kota yang melebur jadi satu
Melagu, menyelimuti atmosfer kota yang dihinggapi kebosanan dan ketergesaan
Kemajemukan dan kesamaan-kesamaan
Kebebasan dan keterbatasan
Kesempatan dan hambatan-hambatan

Jalan panjang menuju rumah
Dihuni sepi, tetesan hujan di jendela bus, dan pikiran-pikiran tak lumrah
Trotoar basah dan langit gelap
Berhenti di satu halte,
Seorang laki-laki berkemeja kotak-kotak datang menghampiri

Tanyanya,
“Hai, di sini kosong?”

Perempuan itu diam, mengangguk.
“Kosong.”

Laki-laki itu duduk di sebelahnya, memangku tas ransel hitam, dan bertanya lagi,
“Tahu kenapa langit tiba-tiba menangis?”

Perempuan itu menggeleng.
“Kenapa?”

Laki-laki itu bicara lagi, mendekatkan kepalanya,
“Karena langit sedang mencari rumahnya yang lama hilang.”

Tepat saat itu,
Si perempuan tersadar,
Terlalu lama ia tenggelam,
Dalam percakapan yang hanya hidup di ruang imajinasinya.

— The End —