Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Sarah Nov 2013
mau sampai kapan kau begini?
terpenjara dalam sangkar
tersedu, merintih, menangis dalam hati

mau sampai kapan kau begini?
terkubur dalam tanah
sesak, megap, gerah, tapi tak berani berteriak

mau sampai kapan kau begini?
bertopeng ayu nan rupawan
padahal semuanya hanya polesan belaka

mau sampai kapan kau begini?
mulut ditutup kain, mata dibutakan langit
mana dirimu yang katanya menjunjung kebebasan?

mau sampai kapan?
hidup ini takkan sampai seribu tahun
Aridea P Oct 2011
Sejak lama ku memulainya
Mengotori kertas dengan sebercak tinta
Menciptakan puisi yang amat indah
Penuh makna akan liriknya

Dengan goyangan tangan
Jari-jari ku memegang tinta
Melukiskan suara hati ku
Yang menangis ditinggalkannya

Hati ku merintih kesakitan
Tergores luka dan tertusuk panah
Mengaku hati ku masih mencintanya
Meninggalkan puisi cinta hingga menutup mata

Created by Aridea Purple
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
Mata biru tersinggung
Ia berputar berkali-kali
Bibir berucap tidak nyaring namun pasti
Bergetar, konstan
Gerak geriknya menandakan ada sesuatu

"Hari ini selesai," katanya
Aku lega beranjak dari kursi
Menatap lukisan mata biru sendu aku merintih
Ia menyalang berpihak
Katanya ingin mengemongku

Nian tak enak hari ini
Tidak cukup panas untuk berjemur
Juga tak cukup dingin tuk tidur
Seakan ini waktu yang sempurna untuk bekerja
Enaknya membaca buku atau menyanyikan lagu

Namun
Tetap saja
Kemanapun aku pergi
Sejauh apa aku melangkah
lukisan mata birulah kian kutuju
nyatanya, sampai kini kau merasa aku sudah pulih,
namun tuanku sayang,
aku belum cukup kuat untuk melangkah,
ragaku masih tertatih meraba jalan pulang,
masih terasa sesak luka yang kau buat.

apa kau mengerti, anak cucu adampun akan merintih bila disakiti.
bukan, bukanku menyalahkanmu.
hanya saja aku yang terlalu terbuai.
menggantungkan seluruh hidup dan matiku padamu,
tanpa pernah terpikir olehku,
bahwa kaupun tidak mungkin menggantungkannya padaku seorang.

jika menurutmu aku baik-baik saja,
ya, kau benar, aku baik-baik saja.
setidaknya sampai aku besar nyali untuk mengutarakannya di depan wajah tak bersalahmu.

kau tak benar-benar tahu, sayang.
tapi, ah sudahlah!

semoga Tuhan menggenggam luka kita kuat-kuat.
Mungkin memang hanya diriku
Yang terlalu dalam jatuh dalam godaan asmara
Hingga membuatku terasa mati dibunuh diri sendiri
Sengaja menyayat hati
Menutupi bingar amarah ini
Sakit yang membuatku terenyum
Tersenyum dengan hati merintih pedih
Bunda, tak ada tempat bagiku untuk kembali
Siapakah diriku
Dimanakah hati ini terbuang
Hanya memandang kosong dalam angan tanpa buaian selayang pandang
Meratap pada langit
Berdusta pada tanah
Kini tinggallah aku berdua dengan-Mu
Masih adakah tempat bagiku di pangkuan-Mu?
Yulia Surya Dewi Mar 2018
✫  ·    + . ✵
   .
·    .•°•Trepidation•°•.
.      ˚  *     
     .  . ⋆ *   ˚
    .  ⊹

Bunga-bunga menjauh dari jalanku
Membiarkanku seakan kehilangan ragaku
Duri menghiasi setiap jalan
Sinar matahari memudar di sela-sela dedaunan
Burung-burung merintih dalam pedih

Biarlah ketakutan mengambil kesempatanku
Kesempatan untuk kembali ke jalanku
Jalan yang tak mungkin kutemui lagi
Di kegelapan aku mencoba menyisir cahaya
Menyisir cahaya dan kudapati rontokan bintang

Aku takut..
Aku takut pada malam
Malam yang semakin pekat
Kemana aku akan berlari?
Lututku berdarah menapaki jalan tanpa arah

Semua ini tampak seperti ilusi bagiku
Menemukan jalan yang benar adalah delusi
Tak ada rasa sakit, tak ada kesenangan
Namun kesenangan itu hanyalah angan-angan

Aku tak ingin menyerah
Walau kurasa hatiku berdarah
Bila dunia ini berhenti
Siapapun takkan bisa mengunciku lagi

Selamatkan aku...
Keluarkan aku dari sini
Seperti apa akhir dari jalan ini?
Aku takut...

Keluarkan aku dari sini
Ku mohon peganglah tanganku
Di dalam hatimu, di dalam mimpimu
Bangunkanlah kembali bintang-bintang

-Kediri, 17 Maret 2018
Atta Apr 2020
ini sudah malam
matahari sudah tidak nampak
jalanan sudah sepi
burung pun kembali ke sarangnya

ini sudah larut
aku sudah berada di kasurku
kamu pun juga di kasurmu
diantara kita, masih sama-sama diam

aku sudah lelah
setelah menunggumu semalaman
sampai hatiku merintih menyesal
tapi tak ada lagi sapaan darimu malam ini

aku terlelap
setelah semalaman menangis
menyesal, kenapa aku tidak memaafkanmu
menyesal, kenapa aku tidak memintamu kembali

kalau bulan bisa memberi tahu
harusnya aku yang memulai
-
namun malam ini aku diam
kamu pun, diam
dari aku yang waktu itu diam saja. yang hanya bisa mengharapkanmu memulai lagi.
Hidupku saksi akan gulita pedih
sangsi dari hidupku yang dulu kutabur
kini beranjak pulih, sambil merintih
dipecut dari dalam hati, kutuai dengan pandangan kabur.
Karma.

— The End —