Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Hinanya Kematian Mustafa Kemal Attatürk yang Dikenal sebagai ‘Bapak Modernisasi Turki’ dari perspektif Barat, dia sebenarnya adalah tokoh yang meng’sekuler’kan dan ‘membunuh’ syiar Islam di Turki. Siapa lagi jika bukan Mustafa Kemal Attatürk yang diberi gelar Al-Ghazi (orang yang memerangi). "Attatürk" berarti "Bapak Orang Turki". Attatürk adalah orang yang bertanggung jawab meruntuhkan Khilafah Islam Turki pada tahun 1924. H.S. Armstrong, salah seorang pembantu Attatürk dalam bukunya yang berjudul Al-Zi’bu Al-Aghbar atau Al-Hayah Al-Khasah Li Taghiyyah telah menulis: "Sesungguhnya Attatürk adalah keturunan Yahudi, nenek moyangnya adalah Yahudi yang pindah dari Spanyol ke pelabuhan Salonika". Golongan Yahudi ini dinamakan dengan Yahudi "Daunamah" yang terdiri dari 600 keluarga. Mereka mengaku beragama Islam hanya sebagai identitas, tetapi masih menganut agama Yahudi secara diam-diam. Ini diakui sendiri oleh bekas Presiden Israel, Yitzak Zifi, dalam bukunya Daunamah terbitan tahun 1957. Attatürk mengubah ucapan Assalamualaikum menjadi Marhaban Bikum (Selamat Datang), melarang menggunakan busana Islam dan sebaliknya mewajibkan memakai pakaian ala Barat. Dalam tempo beberapa tahun saja, dia berhasil menghapuskan perayaan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha serta melarang kaum muslim menunaikan ibadah Haji, melarang poligami dan melegalkan perkawinan wanita muslim dengan non muslim. Dia membatalkan libur pada hari Jum'at, melarang adzan dalam bahasa Arab dan menggantinya dengan bahasa Turki. Tindakan yang dilakukan oleh Attatürk ini nyata sekali telah memisahkan budaya Turki dari akar agama Islam dan menghapuskan Islam sebagai agama resmi negara Turki. Attatürk berusaha keras untuk menghancurkan para penentangnya. Dia membakar majelis-majelis, menangkap para pimpinan majelis dan juga mengawasi para ulama. Attatürk pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”. Dia menggalakkan minum arak secara terbuka, mengubah Al-Quran yang kemudian dicetak dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi. Attatürk mengubah Masjid Besar Aya Sofia menjadi gereja dan setengahnya untuk musium, menutup masjid serta melarang shalat berjamaah, menghapuskan Kementerian Wakaf dan membiarkan anak-anak yatim dan fakir miskin. Dia membatalkan undang-undang waris, faraid secara Islam, menghapus penggunaan kalendar Islam dan mengganti huruf Arab ke dalam huruf Latin. Attatürk mengganggap dirinya tuhan sama seperti firaun. Ketika itu ada seorang prajurit ditanya “siapa tuhan dan di mana tuhan tinggal?” karena takut, prajurit tersebut menjawab "Kemal Attatürk adalah tuhan”, dia tersenyum dan bangga dengan jawaban yang diberikan. Saat-saat menjelang kematiannya, Allah mendatangkan kepadanya beberapa penyakit yang membuatnya tersiksa dan tak dapat menanggung azab yang Allah berikan di dunia, diantaranya penyakit kulit dimana dia merasakan gatal di sekujur tubuh. Dia juga menderita penyakit jantung dan darah tinggi. Kemudian rasa panas sepanjang hari, tidak pernah merasa sejuk sehingga pompa air dikerahkan untuk menyirami rumahnya selama 24 jam. Attatürk juga menyuruh para pembantunya untuk meletakkan kantong-kantong es di dalam selimut untuk membuatnya sejuk. Maha Suci Allah, walau telah berusaha keras, tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk mengusir rasa panas itu. Oleh karena tidak tahan dengan panas yang dirasakan, dia menjerit sangat keras hingga seluruh istana mendengarnya. Karena tidak tahan mendengar jeritan, para pembantunya membawa Attatürk ke tengah lautan dan diletakkan dalam kapal dengan harapan beliau akan merasa sejuk. Maha Besar Allah, panasnya tak juga hilang!! Pada 26 September 1938, dia pingsan selama 48 jam disebabkan panas yang dirasakannya dan kemudian sadar tetapi dia hilang ingatan. Pada 9 November 1938, dia pingsan sekali lagi selama 36 jam dan akhirnya meninggal dunia. Ketika itu tidak ada yang mau mengurus jenazahnya sesuai syariat. Mayatnya diawetkan selama 9 hari 9 malam, sehingga adik perempuannya datang meminta ulama-ulama Turki untuk memandikan, mengkafankan dan menshalatkannya. Tidak cukup sampai disitu, Allah tunjukkan lagi azab ketika mayatnya akan dimakamkan. Sewaktu mayatnya hendak ditanam, tanah tidak menerimanya (tak dapat dibayangkan bagaimana jika tanah tidak menerimanya). Karena tidak diterima tanah, mayatnya diawetkan sekali lagi dan dimasukkan ke dalam musium yang diberi nama EtnaGrafi selama 15 tahun hingga tahun 1953. Setelah 15 tahun mayatnya hendak dikuburkan kembali, tapi Allah Maha Agung, bumi sekali lagi tak menerimanya. Sampai akhirnya mayat Attaturk dibawa ke satu bukit dan disimpan dalam celah-celah marmer seberat 44 ton. Lebih menyedihkan lagi, ulama-ulama yang sezaman dengan Attatürk mengatakan bahwa jangankan bumi Turki, seluruh bumi Allah ini tidak akan menerimanya. Naudzubillah.
Elle Sang Dec 2015
Gadis itu pulang dengan kepingan jiwanya
Berusaha untuk menahan segala rasa sakit
Semua ia simpan rapat-rapat walau tersirat dari matanya
Ia menghempaskan badan diatas tempat tidur
Sambil sesekali memijat keningnya, berharap rasa sakit tak akan hinggap kesana.

Lalu ia berusaha tak mengingat-ingat semuanya
Berharap entah bagaimana caranya agar ia mematikan perasaannya
Dalam hati ia bertanya "kapan terakhir kali kau bahagia?"
Tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan itu
Ia hanya menatap langit-langit kamar  sambil tersenyum pahit.

"Yah, begitulah realita hidupmu. Tersiksa karena jatuh berkali-kali untuk orang yang salah"
Otaknya berbicara pada hati yang masih kukuh membela perasaan yang ia punya
Ia tak bisa lagi menampik bahwa kepala dan hatinya setelah ini tak akan pernah ada di kubu yang sama
Karena kelalaian hatinya lah ia berada disini sehingga logika menghukum hati itu, menutup pintunya rapat-rapat dan menenggelamkan kuncinya kedalam samudera pemikirannya.

Suara hujan mengiringi gadis itu
Tak terasa satu demi satu tetes air mata mengalir
Ia hanya bisa memejamkan mata dan berkata
"Aku sudah tak punya hati lagi"
Aridea P Nov 2011
Ini aku
Gadis remaja yang sedang jatuh cinta
Yang jatuh cinta kepada mu
Yang bermimpi bisa memiliki mu

Aku yang mengenal mu tak sengaja
Yang mengagumi mu dengan seribu alasan
Yang mengklaim mu sebagai makhluk istimewa
Ciptaan Tuhan yang ku harap adalah jawaban

Aku yang merasa bodoh di hadapan mu
Yang salah tingkah ketika berbicara dengan mu
Yang tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan mu
Yang selalu gugup bertemu dengan mu

Aku di sini..
yang berharap bisa lebih mengenal mu
Yang berharap bisa membuat mu jatuh cinta kepada ku
Aridea P Jan 2012
Dari manakah cinta itu?
Tak ada yang bisa menjawab
Untuk apa ada cinta?
Semua telah terjawab

Bagaimana kalu tak ada cinta?
Akankah aku lahir?
Akankah kamu lahir?

Jadi, telah jelas
Semua hal,mengandung cinta
T'lah kumiliki nurani bopok dan renta
Warisan ibu ayah
Membungkus kasih, dengki, segan,
damai, resah, amarah
Begitu bancuh dan arau

Sang aku berbagi pada kekasihnya
Sosok gagah terpercaya
Aku dan gagah melanglang
Beriringan menggandeng nurani
Nurani amat bahagia
Demikian puas ceria

Hingga sosok gagah itu mulai muak
Jemu, bosan katanya
Menghempas jemari aku
Dan mencampakkan nurani serupa buangan
Cakapnya aku bersalah
Tak jago mengenyangkan

Tak tega setilik pun menengok nurani
Menepis muka, aku bertanya
"Apa nurani tak apa-apa?"
Dengan terisak, nurani menyinyir menjawab
"Terlihat nestapa dan pilu dari matamu
Aku tak seberapa
Pikirkan saja dirimu"
Terinspirasi dari C.S Lewis: "To love at all is to be vulnerable"
Pada suatu hari yang kejam.
Budi mau ke sekolah.
Ganti baju, minum susu, tidak lupa gosok gigi.
“Buk, Budi berangkat dulu ya.”

Ibu pertiwi tidak menjawab.
Budi melongok ke dapur lalu melihat ibu pertiwi.
Tampangnya kusut, pakaiannya berantakan dan matanya sembab.
Budi marah.
Sosok bangsat macam mana yang telah membuat ibu pertiwi sedih !
Di mana bapak pertiwi? Ibu pertiwi sudah jadi janda dan masih dicabuli. Memang anjing !

Jadi siapa yang telah membuat ibu pertiwi sedih?
Apakah si bangsat itu adalah mereka?
Yang menanam beton raksasa dan mengambil semua dengan paksa?

Atau apakah si bangsat itu adalah kalian?
Yang menumpang dan mengotori air udara tanah, menggusur alam atas nama pembangunan?

Atau apakah si bangsat itu adalah dia ?
Yang berjalan angkuh dan tamak. Sesekali mencari peluang, sumber daya mana lagi yang bisa di sikat ?
Babat terus tambang, sekalian laut, hutan, juga hewan!

Atau apakah si bangsat itu adalah saya ?
Bersembunyi di balik hati nurani yang katanya peduli, katanya cinta bumi, saya adalah omong kosong!
Saya tidak benar-benar cinta. Jijik betul merasa ibu pertiwi sungguh berarti, ikut menjerit ketika ia ternodai, mana yang lebih munafik apakah diri saya atau aksi ?

Pada suatu hari yang kejam,
Budi tidak berangkat ke sekolah.
Akal sehat budi meronta ingin lari selamatkan diri bersama ibu pertiwi.
Anak cicit Adam dan Hawa terlalu goblok dan jahat.
Manusia terlalu serakah dan merasa berkuasa.
Lihat itu,
Asap hitam pekat bergerak mendekat.
Mampus kau! Ibu pertiwi sudah sekarat!

Pada suatu hari yang kejam,
malam datang dan manusia mulai buta.
Ibu pertiwi gelap gulita, budi merangkak tanpa arah.
Apa perlu listrik untuk buka mata?
Atau cukup hanya sepercik bara?
Budi bingung. Ibu pertiwi sedih. Bapak pertiwi bodo amat.
untuk pertama kali saya bacakan tanggal 22 Juni 2019 dalam acara “Diskusi Panel: Dimulai dari Kita kepada Lingkungan” oleh Light Up Indonesia, Weston Energy.
Bella Ayu Apr 2019
Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa yang menjadi ketakutan terbesar kamu?
Saya sadar, kamu terlalu idealis.
Saya tidak berpikir kita akan menjadi hebat bersama karena kita sempurna tetapi karena kita cacat.
Anehnya kita masih saling mengerti satu sama lain.

Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa itu cinta?
Dan kata-katanya akan membuat tubuhku kaku, mengapa kamu begitu takut mencintaiku?

Suatu hari kita akan bertemu lalu saya akan bertanya kepada kamu, apakah kamu ingin tahu apa yang selama ini saya pikirkan?
Kamu ketakutan lalu mengacaukannya.

Suatu haru saya akan menemui kamu lalu saya akan bertanya, mengapa kamu meninggalkan saya?
Kamu tidak bisa menjawab lalu kembali bersembunyi.
oshooney Apr 2021
Keretanya melaju sangat kencang.
sampai-sampai, ia lupa cara untuk bernafas.
Matanya tertuju pada kesunyian yang tampak di luar jendela.
Otaknya terus menerus melontarkan tanya,
Apakah ia bisa beratahan dilajunya kereta ini?
Apa ia bisa untuk berdiri dan berjalan kemanapun yang ia mau?
Apa bisa?
kalau hatinnya mati, ia takkan kesepian lagi?
Tetap saja, ia tak tahu bagaimana cara menjawab pertanyannya sendiri.
Dan,
keretanya takkan pernah berhenti.
/ rembulan /
Mousamous Apr 2018
pasal VI: tentang aku dan kau; sebuah rasa dalam diam.

- yang aku percaya, skenario tuhan selalu indah walau tak kelihatan di awal, sebab tentu saja, pemandangan akan lebih nampak anggunnya dari ketinggian. dan ini perkara melihat sesuatu dari direksi yang berbeda, atau bahkan berlawanan. rasa dalam diam.

- perihal rasa yang terus saja terpendam, anggap saja aku hanyalah secuil makhluk yang kagum kepadamu, terlepas dari senyummu yang menawan, atau paasmu yang santun, dan hal "wah" yang mereka utarakan lainnya. rasaku apa adanya, tanpa menuntut apapun darimu.

- mengingat kau dan aku tak pernah bersua dengan sengaja, kurasa, rasarasa yang kumiliki hanya akan bertepuk sebelah rasa, sekedar sapa, dan berujung tanpa kata. toh nyatanya entah aku yang sanggup bertahan ataukah memang aku yang terlalu bodoh karena masih saja bertahan, hitungan tahun tanpa jawaban terus saja membuatku beradaptasi dengan keadaan.

- dan jika dilihat, mungkin hanya usahakulah yang terus membuatku bertahan, melihat segalanya hanya jarak dan jarak yang membuat kita dekat, walau kau masih saja entah purapura tak peduli, atau mungkin memang tak peduli. tapi kuharap kau tak bosan menjadi tempat rasaku bermuara.

- menuntut kejelasan? oh, tentu bukan caraku bermain dengan memaksa kehendak. karena dimataku, rasa bukan hanya sekedar hasrat, melainkan suatu hal yang sensitif, terlepas dari rasionalnya akal. takutku kemudian hari, salah rasaku menetap, kemudian menjadikanku lupa arah pulang sebenarnya.

- sampai nanti di akhir cerita, kau menjawab segala tanya yang tak kuharap terjawab. rasa mu sedikitbanyak memiliki kesamaan denganku, sama2 dalam diam, memilih berdiam diri dalam kediamannya. hanya saja kau lebih mahir, sedangkan aku memilih nyaman dalam zona amatir.

- bahagia? kupikir begitu, mengingat rasa kita sudah samasama berirama, terlepas dari tujuanku yang enggan menjalin hubungan (entah apa alasannya). kukira jawab yang membuatku senang, namun haluan berubah arah. justru jenuh yang kurasa, lelah, dan memilih berpaling di kemudian hari.

prdks.
ps: hanya rasaku yang membuatku tertawan dalam usaha, bukan rasamu, apalagi ikatan aneh nan lemah namun menyakitkan. terima kasih telah sejenak menjadi muara untuk riak kecil ini. bagiku, kau sebatas cerita dalam senyapku.
Diksimerindu Jul 2019
Mulai mengelilingi lautan pagi ini
Berusaha menjernihkan pikiran
Mencoba mengumpulkan akal sehat
Sembari menemani nelayan berlayar

Membayangkan beberapa hal menarik
Bersamamu
Berlayar bersama
Hingga petang lalu menikmati beberapa lauk pauk disamping lautan

Berulang kali mengurungkan impian
Demi kenyataan
Yang membungkam ekspetasi

Hanya perjalanan waktu yang dapat menjawab semua
Sembari merenungkan cara agar kau dapat disampingku kembali
EVewritesss Mar 2018
Ketika jenuhku mulai bergemuruh di sisi bahuku
Seakan ingin terangkat dan melepaskan diri..
Tau
Aku sadar
Aku mencobanya berulang kali tapi lepas itu semua
Aku sadar lagi,
- memangnya kenapa jika memang begini, ini aku thats I've to be me, adult not mean we stop to feel stupid like in teenegers but just to count how wise we are-
Jika nanti ada angin yang bertanya lagi
Mungkin aku akan menjawab
" ya tanya saja pada cuaca ini kenapa ia menyuruhmu kemari, saat aku sedang hampa dan ketika pula kau datang, bukankah kau tau itu dan kenapa kau bertanya berulang lagi?" (:
#lovewriteve
ZZ Mar 2018
Kau dan dirinya pasti melihatku menangis malam itu
dan mungkin dibalik punggungku,
Kau dan dia bertanya-tanya, sambil menangis juga

“kenapa?”
karena dibawah peluhnya,
matanya membuatku teringat dirinya
melambai dan memanggil “sayang” kekasihnya

“kenapa?”
karena tak banyak waktu yang bisa kusewa
dan ku tau, setelah waktu bayaran itu,
dia akan kembali mengasingkanku

“kenapa?”
Kau tau yang paling mendera?
karena malam itu,
Kau menjawab doa-doaku
tapi saat itu juga, aku kembali mengkhianatiMu.
4 Juli 2017.

dapat dibaca juga di https://tintaqabila.wordpress.com/2017/07/04/tangis/

— The End —