Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
6 a.m di Surabaya - 1 a.m di Gaza

Saat bangun tidur badanku terasa lemas.
Masih terlalu pagi aku masih ingin berbaring di kasur.
Sambil kubuka akun X orang orang Gaza yang kukenal.
Tapi hanya akun Omar yang tampak aktif.
Memposting apapun yang sedang dia alami.

Omar mengeluh susah tidur.
Kedinginan berselimut kain tipis usang.
Banyak nyamuk masuk ke tendanya.
Sementara di luar suara zanana mengganggu.
Diselingi ledakan bombardir pesawat jet.

10 a.m di Surabaya - 05 a.m di Gaza

Aku bosan menunggu antrian bank yang ramai.
Sambil menunggu sepi kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh melihat banyak belatung.
Merubung sisa tepungnya yang hampir kadaluwarsa.
  Dia tak bisa lagi membuat roti.

11 a.m di Surabaya - 06 a.m di Gaza

Aku menunggu ojek online di tepi jalan.
Sambil merokok kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh kehabisan sabun dan shampo.
Sementara air untuk mandi dan mencuci.
Hanya tersisa setengah ember.

01 p.m di Surabaya - 08 a.m di Gaza

Aku sedang makan siang di Peneleh.
Makan pecel sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh saat mengantri di toko.
Menghabiskan waktu dan tenaga.
Berdesak desakan hanya untuk sekantung roti.

04 p.m di Surabaya - 11 a.m di Gaza

Saat sore aku nongkrong di Wonokromo.
Minum kopi sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah belanja di pasar.
Bawang , tomat , terong , kentang dan cabai.
Harganya semakin naik tak terjangkau.

06 p.m di Surabaya - 01 p.m di Gaza

Aku sedang duduk di beranda masjid.
Menunggu isya sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah berjalan jauh.
Merasakan kepanasan dan kelelahan.
Hanya untuk mengecas ponselnya di solar panel dekat pantai.

08 p.m di Surabaya - 03 p.m di Gaza

Aku masih makan malam di Tunjungan.
Makan rawon sambil kubuka lagi akun Omar.
Ternyata di Gaza sedang hujan deras.
Omar mengeluh setelah tendanya kebanjiran.
Barang barangnya basah terkena air hujan.

09. p.m di Surabaya - 04 p.m di Gaza

Temanku mengajak minum kopi di kafe.
Minum cappucino sambil kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh sudah lama tidak makan ayam.
Yang bisa dia lakukan hanyalah menggambar ayam.
Lalu menaruhnya di atas piring kosong.

10 p.m di Surabaya - 5 p.m di Gaza

Aku sedang menonton sepakbola.
Saat jeda kubuka lagi akun Omar.
Dia mengeluh setelah memeriksa Gofundme.
Hampir seminggu tak mendapat donasi.
Sementara uangnya hanya tersisa puluhan shekel.

01 a.m di Surabaya - 08 p.m di Gaza

Tengah malam aku bersiap tidur.
Sambil berbaring di kasur kubuka lagi akun Omar.
Ternyata pemukiman dekat tendanya baru saja dibombardir.
Omar mengeluh setelah kelelahan membantu evakuasi.
Dia hampir muntah melihat serpihan tubuh berlumuran darah.

03. a.m di Surabaya - 10 p.m di Gaza

Aku merasa kesulitan tidur.
Sambil mendengarkan musik kubuka lagi akun Omar.
Ternyata dia masih tetap mengeluh.
Merasa lelah terus menerus mengeluh.
Terlalu banyak keluhan hingga kelelahan mengeluh.

Aku juga lelah melihat Omar terus mengeluh.
Tapi orang yang menderita memang harus mengeluh.
Hanya mayat yang tak bisa lagi mengeluh.
Mayat tak merasakan penderitaan untuk dikeluhkan.
Daripada menjadi mayat lebih baik Omar tetap hidup walaupun terus mengeluh.


November 2024

By Alvian Eleven
So Dreamy Jan 2017
Di ujung jalan Merbabu III, ada sebuah bangunan tua berwarna cokelat muda berlantai satu dengan sebuah taman yang dipenuhi semak bunga Gardenia dan sebuah pohon pinus. Itu adalah rumah kami. Sebuah gunung berdiri tegak di depan kami. Teh beraroma melati yang disajikan dalam cangkir putih membiarkan asapnya mengepul memenuhi udara dan menghangatkan atmosfer di sekitar kami hanya untuk sepersekian detik. Ditemani sepiring pisang goreng atau roti bakar berisi selai cokelat yang meleleh, bersama ibuku, kami berbincang tentang banyak hal di atas kursi kayu di teras rumah berlatar gunung.

Kami banyak membicarakan tentang masalah pendidikkan dalam negeri, masalah keluarga, hobi masing-masing, masa depan, pelajaran di sekolah, pekerjaan lainnya, dan mengeluh bagaimana hal-hal tidak berjalan sesuai dengan ekspektasi kami. Ibuku adalah sahabat terbaikku. Bisa dibilang dia merupakan orang terfavoritku walaupun aku lebih mengidolakan band-band asal Inggris yang jaya di pertengahan era 90-an. Tapi, ibuku adalah pendengar terbaik selain secarik kertas HVS putih yang biasa kutulisi dengan rangkaian kata menggunakan pulpen biru Faster. Dia mendengar, benar-benar mendengar. Dia mengerti apa maksud dari seluruh ucapanku, bukan hanya sekedar menyimak cerita-ceritaku.

Setiap kali aku mengeluh tentang suatu hal, Ibu menghujaniku dengan nasihat-nasihat dan pepatah-pepatah hebat. Ia selalu mengingatkanku untuk selalu bersyukur.

“Bu,” panggilku pada suatu siang di tengah bulan Juni yang sangat panas.

Kami sedang membersihkan sayur kangkung dan ikan Gurame di dapur dengan jendela yang terbuka lebar di hadapan kami sehingga kami bisa melihat jelas isi dari taman belakang rumah sebelah.

“Aku heran mengapa bunga-bunga liar ini bisa tumbuh. Maksudku dari mana mereka berasal dan bagaimana bisa mereka tumbuh begitu saja?" tanyaku.

Ibuku tersenyum. “Penyebaran bibit itu bermacam-macam. Lewat serangga, bisa jadi?” jawabnya sambil terus membersihkan sisik ikan. “Lagi pula, bunga rumput itu sangat cantik. Setuju dengan Ibu?”

Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. “Cantik apanya? Mereka berantakan, ya, kan? Bagaimana bisa Bu Jum betah melihatnya tanpa merasa gatal untuk segera mencabutnya?”

“Mereka adalah bunga yang kuat,” katanya, “mereka tumbuh di mana saja, kapan saja. Mereka tidak peduli seperti apa rupa lingkungan sekitarnya dan bagaimana lingkungan sekitarnya bersikap pada mereka, menampar atau menerima. Mereka tetap tumbuh, bertahan, dan hidup. Bunga rumput adalah bunga liar yang sering diacuhkan banyak orang, tapi mereka adalah bunga yang kuat dan mereka terlihat cantik dengan cara mereka sendiri.”

Aku tertegun.

“Itu hanya pandangan Ibu saja. Semacam filosofi, kamu paham, kan?”

Sejak saat itu, aku percaya pada kecantikan di setiap kesederhanaan. Hal-hal yang biasa tidak diperhatikan atau dilupakan banyak orang sesungguhnya memiliki keindahannya sendiri. Meneguk secangkir kopi panas di malam hari ketika tiada satu pun suara dan bintang berkedip di langit tinggi, cahaya matahari yang mengintip dari balik dedaunan dan ranting pohon atau jendela kamar, mendengar dan melihat bagaimana tetes-tetes hujan turun dari genting ke permukaan tanah. Jalanan kelabu yang basah dan sepi, suara dan kilatan petir, kabut yang memenuhi ruang udara setiap Subuh. Suara deburan ombak yang berujung mencium garis pantai atau suara aliran sungai yang mengalir dengan tenang. Hal-hal seperti itu, selain mereka cantik dengan caranya masing-masing, mereka juga indah tanpa pernah sekalipun menyadari bahwa mereka indah. Dan, itu adalah kecantikan yang paling murni dari segala hal yang nyata.
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
medicine Feb 2016
Bagaimana jika sungai sudah tidak membutuhkan laut untuk

mengeluh,

memilih tempatnya sendiri untuk berteduh

atau merakit ulang dari titik hulu


Mereka akan ada di tempat yang sama

Atau akan sama rata?

Menyembah asa

dan tersenyum lara

23.02.16
annvelope Apr 2017
Ayah,
Ayah nampak penat, rehat Ayah.
Cukup lah bertahun Ayah membanting tulang,
Sakit penat tak pernah Ayah mengadu mengeluh.

Rehat Ayah, Ayah sudah penat.
Biar aku yang membantu Ayah.
Selamat Ulang Tahun Ayah.
Sarah Oct 2014
ia membuatku bahagia
harusnya aku usah mengeluh

ia pernah mencintaiku
bagai aku mawar tanpa duri
trying to write in bahasa indonesia again.. this one ***** though.
NURUL AMALIA Nov 2018
ada banyak cara untuk mengeluh
ada banyak cara untuk merajuk
ada banyak cara untuk jahat sekalipun
tapi ada banyak cara untuk melakukan hal baik
B'Artanto May 2022
Mana mungkin aku marah
Pada jalan-jalan yang memang telah kita lewati
Untuk gunung-gunung dingin yang ditawarkan
Sepatumu sudah sesuai, jaketmu sudah lengkap

Mana mungkin aku mengeluh
Pada jalan-jalan lain yang ada di hadapan
Untuk lalu lalang siapapun yang akan datang menjemputmu, atau aku
Tas mu sudah tersandang, bajumu sudah cantik

Kita berangkat, tapi kali ini stasiunnya berbeda
Sengaja, kataku
Penutup jendela bus yang kutumpangi dibiarkan menutup, kau juga sama
Kata penulisku untuk sesuatu,
Kabar-kabar baik katanya

Mana mungkin aku tak mengikutinya,
besok kita bangun, sepagi mungkin
Apakah kita berhenti di stasiun yg sama?

BA
31 Mei 2022
18:19 WIB
B'Artanto Jan 2020
Mestinya kita paham
dengan pergantian warna lampu di persimpangan jalan.
Sebagian tergesah-gesah ketika kuning menyala, sebagian lagi pasrah menunggu.
Ntah bagaimana caranya hidup tanpa tapi,
Ntah bagaimana cara bernafas tanpa eluh mengeluh.
Menjadi seperlima abad adalah keharusan katamu,
'aku akan bersyukur jika mendapat itu'
Hari ini kita dapat semua, lebih dari yang kau bataskan agar bersyukur
Kita telah ingkar, nafas bercampur ketidaksyukuran
Menjadi bertambah adalah kebingungan
Sebab apa yang menjadi musabab tak pernah kami sendiri tau.

Mestinya kita paham.



13 Januari 2019
Tengah malam di pinggiran kota Surabaya.
Aku duduk sendiri di teras kafe tua.
Kupandangi jalanan yang lengang.
Sambil kuhisap pelan pelan rokokku.
Dan kuteguk kopiku yang tak lagi panas.

Tapi pikiranku tidak berada di sini.
Pikiranku masih berada jauh di Gaza.
Dimana kekacauan panjang tak kunjung berakhir.
Hingga aku lelah melihatnya setiap hari.
Seperti pertunjukan horor harian tanpa akhir.

Kusambungkan ponselku dengan wifi.
Lalu kulihat layar ponselku yang kusam.
Dan kubuka akun sosial media orang orang Gaza.
Ahmed , Omar , Eman , Mariam , Abdallah , Mohammed dan lainnya.
Seperti biasa mereka selalu memposting.
I'm still alive... I'm still alive... I'm still alive...

Tapi ada akun Facebook yang telah lama membisu.
Akun ini tidak lagi memposting apapun selama berbulan bulan.
Tentu saja aku sangat mengkhawatirkannya.
Dan aku menerka nerka apa yang terjadi padanya.
Apakah dia masih hidup atau sudah mati ?!?...

Akun ini milik seorang gadis bernama Nour.
Dia mengungsi dari Al Rimal kota Gaza.
Aku mengenal dia sejak akhir tahun kemarin.
Lalu kami merasa saling dekat satu sama lain.
Terhubung pikiran dan perasaan.
Antara Gaza dan Surabaya.

Aku ingat setiap hari aku selalu memberinya kata kata penyemangat.
Agar dia sanggup melalui hari demi hari yang kacau , berat , melelahkan dan berbahaya.
Nour selalu menceritakan apapun yang dia alami.
Penderitaannya... ketakutannya... kegetirannya... kecemasannya... kelelahannya... kesedihannya....
Aku juga merasakannya.

Ada kalanya situasi tenang sesaat.
Cukup tenang bagi Nour untuk mengenang kehidupannya.
Dia mengunggah foto rumahnya , lingkungannya , kampusnya dan juga sudut sudut indah kota Gaza.
Saat semuanya masih ada sebelum 07 October.

Bagi Nour nostalgia adalah penghiburan sesaat.
Pelipur lara di tengah penderitaan panjang.
Aku selalu terlarut nostalgia apapun yang dia ceritakan padaku.
Bersama teman temannya dia suka nongkrong di kafe tepi pantai.
Menyusuri keramaian jalan Al Rashid lalu makan jagung dan es krim di tepi jalan.
Atau menghabiskan uang untuk belanja baju di Watan mall dan Capital mall.

Membaca buku adalah hobi utama Nour.
Dia sering membeli buku di toko Samir Mansour.
Lalu dia membaca buku buku itu di kamarnya.
Berdinding pink , meja yang tertata rapi.
Dan sebuah teddy bear besar di atas kasur.

Memasak adalah hobi Nour yang lain.
Setiap hari dia memasak apapun di tungku tanah liat depan tendanya.
Falafel , mulukhiya , shakshuka , maqluba.
Tampak begitu lezat hingga membuatku penasaran.
Seumur hidup aku tidak pernah memakan hidangan Arab.

Nour juga suka mendengarkan musik.
Dia menyuruhku mendengarkan lagu lagu Fairuz.
Penyanyi diva legendaris dari Lebanon yang dia idolakan.
Aku terpesona mendengarkan suara lembut Fairuz.
Menyanyikan lagu lagu Arab yang liriknya tak kumengerti.

Nour punya kucing berbulu putih tebal.
Kucing gemuk dan lucu yang bernama Kimba.
Setiap hari Kimba selalu dimanjakan Nour.
Tapi terkadang Nour mengeluh karena Kimba makan terlalu banyak.
Sementara makanan kucing susah dicari dan harganya naik tinggi.

Nour kuliah di Universitas Islamic Gaza.
Kampusnya telah hancur dan kuliahnya terhenti pada semester lima.
Tapi dia selalu bangga pernah menjadi muridnya Refaat.
Mewarisi ajarannya untuk melawan dengan tulisan.
Menulis apapun tentang Palestina dan kehidupan apa adanya di Gaza.
Dimana jiwa jiwa yang punya kehidupan tidak cuma dianggap sebagai angka.

Aku takut jika pada akhirnya Nour hanya menjadi angka.
Angka statistik para martir yang terus bertambah setiap hari.
Sementara dunia tidak mampu melakukan apapun selain hanya melihat pembantaian tanpa akhir.
Merampas kehidupan secara paksa dan menyakitkan.

Tak ada yang tidak menyakitkan di Gaza.
Tapi bagiku lebih menyakitkan tidak ada kabar apapun dari Nour.
Aku merasakan kehampaan kehilangan dia.
Aku merindukan percakapan dengan dia.
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah memandangi foto wajahnya yang cantik.

Don't leave me !.. please don't leave me alone !..
Nour selalu memohon seperti itu padaku.
Dia ingin aku selalu ada untuknya.
Tapi sekarang dia tidak ada untukku.
Dia telah meninggalkan aku tanpa kata.

Ketika kupandangi langit malam untuk sesaat.
Aku bertanya tanya tentang takdir Nour.
Apakah dia telah menjadi satu diantara bintang bintang di langit ?!
Ini tidak adil , aku mengenal Nour terlalu singkat pada waktu yang buruk ini.
Aku hanya ingin dia tetap berada di bumi , berada di kota Gaza yang dia cintai.
Aku sangat ingin menemuinya pada waktu yang baik seperti yang kami harapkan , waktu ketika tanah Palestina telah terbebaskan.


November 2024

By Alvian Eleven
Bulan tampak besar dan terang.
Aku memandangnya pada saat tengah malam.
Sambil berdiri di tepi sawah yang sepi.
Dekat rel kereta pinggiran Surabaya.

Kukeluarkan ponselku dari saku celana.
Lalu kupotret bulan yang kupandang.
Setelah itu langsung kuunggah fotonya.
Pada akun Instagramku.

Kulihat ada banyak postingan foto.
Dari akun Instagram orang orang Gaza.
Ternyata mereka juga sedang memandang bulan.
Bulan yang sama dengan yang kupandang.

Maha sedang duduk di atap rumah.
Dia memandang bulan sambil minum kopi.
Tanpa peduli bombardir pesawat jet.
Meledakkan pemukiman di Deir El Balah.

Omar sedang nongkrong dengan temannya.
Dia memandang bulan sambil merokok.
Melepas lelah setelah membantu relawan.
Membagikan makanan di Khan Yunis.

Mariam sedang termenung di depan tenda.
Dia memandang bulan sambil mengenang.
Kehidupannya yang hilang tak tersisa.
Terkubur puing puing rumahnya di Tel El Hawa.

Malak sedang menangis sedih.
Dia memandang bulan sambil mengingat.
Seorang teman akrabnya yang telah tiada.
Tewas terkena tembakan ******.

Dr Abraham sedang duduk di balkon.
Dia memandang bulan sambil mengeluh.
Kelelahan mengurusi orang orang terluka.
Memenuhi rumah sakit Al Nasser.

Begitulah bulan yang besar dan terang.
Menjadi penghias malam orang orang Gaza.
Yang masih terjebak kekacauan panjang.
Tanpa tahu kapan akan berakhir.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —