Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
D May 2019
Yang bermula dengan suara,
Berakhir juga dengan suara.
Disaat kita harus sepakat bahwa semuanya mesti disudahkan
Sedunia tak henti-hentinya mencekokkanku dengan bayangnya
Karena belum genap 24 jam sejak kesepakatan bahwa semuanya sudah,
Ku dengar suaranya dimana-mana,
Kali ini, lagi-lagi, tanpa rupa

Disaat dunia mendengarnya bercerita tentang gadis manis berduduk seorang diri,
Atau tentang bagaimana akal serta tubuhnya dikupas habis oleh hidup sehingga dia tak punya pilihan selain menerima bahwa ia dan mutlaknya semua manusia adalah tunggal; adalah sendiri; adalah harus menelan, memahami, lalu (jika beruntung) mencintai kesendirian itu sendiri
Atau sekiranya tentang bagaimana ia mengibaratkan air mata bagai tanda suatu yang kuat, yang tak malu, yang berteriak, yang patut diwadahkan jika bisa;
Lalu disimpan, bukan dilihat untuk sekedar menyenangkan diri bahwa kita ditangisi
Namun sebagai tanda bahwa pada dasarnya semua manusia akan berserah diri

Tak ada habisnya menganalisa karya—ataupun jiwa—yang memang dari lahir sudah pamungkas
Karena disaat bongkahan karyasuara itu berisi wejangannya untuk mereka yang mencari
Suara itu bercerita kepadaku tentang hal-hal yang agaknya butuh dua kali hidup dan dua kali mati untuk menemukan inti;
Seperti perempuan
Seperti keyakinan
Seperti kesendirian dalam kehidupan dan kematian
Seperti jarak dan waktu yang superfisial disaat kita sadar akan Tuhan

Dimalam itu,
Dimalam saat aku menyadari bahwa ada hal-hal yang jawabannya tak bisa kucari dalam prosa Sang Nabi atau puisi Jalalludin Rumi,
Ia berkata,
“Tak akan—sampai mati—ku mencampuri urusan akal perasaan dengan keyakinan yang sebetulnya sudah ada sebelum apapun.”
Disaat itu juga aku memutuskan untuk mundur sepuluh langkah,
Karena disaat kalimat itu kelar terlontar,
Adalah bukan suaranya yang kudengar,
Namun Ibunya.
Ibu, sama halnya dengan keyakinan, sudah ada sebelum apapun.

Malam ini aku pamit.
Megitta Ignacia Mar 2020
Bandung begitu kelabu,
dadaku kosong
rentang fokus kabur entah kemana
ada kacau yang meruang di tubuhku
tersisip kicau yang kian gaduh kepalaku

terus menerus menimbang
mempertanyakan perkara ranah juang
bolak balik singgah pada keraguan
lalu sebentar mampir pada keyakinan

ia, aku, terpicu keras sekali
kilas balik membeludak dalam benak
beririsan dengan manisnya kenyataan
yang juga selalu menjagaku erat

aku benci terpicu seperti ini,
guru geografi pernah ajarkan
ketika panas bertemu dingin, terjadilah puting beliung
ada puting beliung yang meruang di tubuhku

lalu hembusan nafas mengembalikan sadarku
cepat-cepat harus kukerdilkan imajinasi
ya Bapa di Sorga, bebaskan aku dari kekang gelisah
aku hanya ingin melepaskan apa yang perlu dilepaskan
aku lelah mengunci diri dalam kegelapan
030320 | 00:25 AM kamarku di bandung, ternyata kejadian 2 hari lalu masih secara berat nge-triggered sebagian besar porsi acara pulkamku. Rencana untuk rehat cukup berantakan, karena pikiran yang terus-menerus flashback ke masa indah, tapi juga terus menguatkan diri sendiri buat sadar what's done is done. Kaya baru sadar bahwa tuhan menopangku melalui A, without him idk if I could survive my broken heart back then. Found myself not really functioning, makan tp gaada rasanya, jalan tp pikiran masih aja kalut, nyetir atau ngapain aja tapi dalam dada seperti ada coretan hitam awut-awutan kaya di serial Bojack Horseman haha. This too shall pass, percaya tuhan ga pernah "salah" nulis, god's timing is perfect, never too ahead, never late & semua janjiNya akan digenapi, teringat Isaiah pasal 55:9 "As the heavens are higher than the earth, so are my ways higher than your ways and my thoughts than your thoughts." tuhan tau apa yg terbaik, karena dia ada di masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

— The End —