Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy Jan 2017
Aku tahu mengapa dari jutaan perempuan yang ada di dunia ini, matamu memilih hanya untuk memandangi satu perempuan berambut gelombang sedada dengan kaos polos berbahan nyaman berwarna abu-abu muda yang kamu sebut ia sebagai perempuan indie.

Dia perempuan yang kau beri label indie karena ia mendengarkan musik-musik aneh yang tidak masuk di telinga pendengar musik-musik mainstream yang biasa mendapatkan lagu kesukaannya diputarkan di radio mobil. Bukan jenis selera musik yang biasa ada di playlist tim pemandu sorak. Selera musiknya ialah tak lain sejenis musik rock yang ringan, lagu-lagu dari tahun 90-an, lagu-lagu dengan sentuhan retro beat tahun 80-an, dan musik elektro santai yang biasanya kamu dengar di toko baju. Selain selera musiknya, kau beri perempuan itu label indie karena ia bersifat eksentrik, tak terduga dan penuh kejutan, sedikit tertutup, dan bersemangat. Ia jenis seseorang yang bisa kamu dapatkan dirinya menatapi permukaan jendela yang basah dihinggapi bulir-bulir rintik hujan, sibuk memikirkan sesuatu. Ia juga jenis perempuan yang bisa kamu dapatkan kadang menarik diri dari keramaian, lebih suka membaca atau menulis seorang diri. Juga, ia seorang perempuan yang bisa kamu temukan sedang tertawa lepas bersama teman-temannya, mengobrol dengan terbuka dan hangat, menebar senyum sambil menyapa ramah, berteman baik dengan semua orang. Ia jenis perempuan yang tak akan kau sangka-sangka, apalagi dapat kau tebak tindak-tanduk akan ia perbuat selanjutnya. Kau pikir ia jenis perempuan yang kuat, sesungguhnya ia katakan bahwa dirinya cengeng. Setelah itu, kau pikir selanjutnya ia bukan tipikal perempuan mandiri yang mampu membawa dirinya sendiri ke mana pun, tapi nyatanya kau lihat kadang ia berjalan sendiri – ke kantin, ke mushola, bahkan kadang kau mendapati dirinya berjalan pulang seorang diri dengan kedua telinga ditancapi earphone putih. Ia perempuan berperawakan kecil dan seorang pemimpi besar, yang mimpi-mimpinya membuatnya bekerja keras demi menghilangkan ketakutannya akan pikiran ketidakmampuan mewujudkannya. Ia dianggap secerah mentari bagi orang-orang di sekitarnya, selalu tertawa dan melisankan kata-kata positif, tapi sesungguhnya, ia hanyalah mentari bagi dirinya sendiri. Setiap kali ia jatuh, ia yang membuat dirinya kembali bangun − hingga akhirnya, ia tanamkan pada benaknya bahwa begitulah proses dari kehidupan. Kehidupan adalah siklus yang adil. Kehidupan berbuat tidak adil pada semua orang dan itulah saat yang paling tepat di mana ia harus bangkit dan mekar, hanya untuk dirinya sendiri.

Aku tahu kemudian mengapa perempuan yang kamu sebut sebagai perempuan indie itu menarik perhatianmu, bahkan sampai membuatmu rela melakukan apapun untuknya. Ia benar-benar membuatmu seolah bangun dari tidur lama di ruang kedap cahaya, pandangan matamu seolah mengatakan bahwa perempuan itulah matahari baru dalam kehidupanmu. Tentang bagaimana tindak-tanduknya yang tak mampu kau reka dan kau prediksi, perempuan itu membuatmu seperti melihat sebuah misteri dan keajaiban yang melebur jadi satu.

Sebut saja, sederhananya,
kamu benar-benar (akan) mencintainya.
Kilatan cahaya di pupilmu
Membiaskan triliun makna
Yang tertunda dalam klandestin malam
Namun kabut di antara asap metropoitan

Rangkaian mana yang harus kukonversi?
Di antara jutaan spektrum tentang harapan
Dan ribuan gelombang elektromagnetk yang fana
Akan segala mimpi yang menetes, menyublim hilang ditelan lara

Kau lihatkah kilatan cahaya di pupilmu
Di sela-sela kinerja korteks mengasosiasikan kisah kita?
Bangkitkan segala asa
Yang terkubur dalam dinginnya angin malam
Dan tenggelamdalam segelas kopi hitam
Terpendar dalam lampu jalanan, di antara asap metropolitan
Surabaya, 15 November 2014
Kepada Pemuja Semantik
Yang Takut Pada Biasnya Definisi
Termasuk
Rindu
So Dreamy Jan 2017
Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melepas seikat rindu
Untuk seseorang berpandangan sayu
Yang telah lama diombang-ambing oleh gelombang kelabu
Seberat langit mendung yang sendu
Berpayung ia lama mencari lentera menuju ujung jalan
Sembari menanti hentinya rintik hujan
Tanah becek berlumpur tempat kakinya lama singgah
Di mana guntur tak ada lelahnya menumpah ruahkan gundah

Kata demi kata
Kuleburkan menjadi beberapa helai untaian kalimat
Demi melekatkan seikat harapan
Untuk seseorang yang tengah dihuyung geramnya badai topan
Yang tak hentinya berharap agar matanya dibutakan mentari pagi
Jiwanya lama berkelana mencari, entah ke mana cahaya itu pergi
Jauh dalam sudut yang gelap ia dibiarkan sendiri*

-------------------------------------------------------­------------------------------------

Telah kuleburkan kata demi kata menjadi beberapa helai untaian kalimat
Untuk kompas dalam hidupmu yang telah kehilangan arah
Dibutakan oleh gulungan-gulungan masalah

Juga dalam doa-doa malamku dan setiap sujudku di atas sajadah,
Kubisikkan sebuah pinta agar dirimu selalu dalam pentunjuk-Nya,
Agar kelak dapat kau baca helaian untaian kalimat penyamangatku,
Yang kusampirkan dalam saku jaketmu hari itu,
Dapat merontokkan seluruh perasaan kelabu dalam kalbumu,
Mendepakmu dari sudut gelap di ruang tergelap pikiranmu sendiri.
So Dreamy Jan 2017
voice over: Atlas*

Ketika langit mengubah rupanya menjadi senja sewarna matahari tenggelam, kuajak Venus duduk di kafe tak jauh dari stasiun. Perjalanan hari ini cukup lelah, meskipun pengamatan kami berjalan lancar. Tapi, aku selalu berharap anggota kelompok kami lainnya lebih sering ikut bergerak agar kami tidak selalu pergi berdua. Museum yang kami kunjungi kali ini adalah museum seni, yang kuduga salah satu hal yang amat Venus hargai. Ia penikmat karya seni. Matanya terus memandang takjub karya-karya yang kebanyakan orang tak pahimi apa maknanya, namun Venus menatapnya seolah barang yang dilihatnya ialah nyata. Kau tahu, memandangi seorang perempuan berambut gelombang sepunggung, yang bertinggi badan hanya sehidungmu, rahang tegas, alis yang tebal, memandangi karya-karya seni di hadapannya dengan tatapan antusiasmenya; bukankah ia definisi seni yang sesungguhnya? Yang paling nyata di depan mataku?

Dan, kemudian ia menoleh, tersenyum saat sadar aku memandanginya dari belakang. Ia mengatakan sesuatu, "Atlas, lihat sini! Lukisan yang satu ini benar-benar indah."

Dan, setelah 3 bulan meragukannya, sekarang aku yakin; aku menyukainya, sangat menyukainya, saat kurasakan Venus adalah seni yang lebih indah, terindah.
(daydreaming of 9th october 2016)
tria Mar 2017
3..2..1..
aku hitung tempat pijak cakrawala
tapi tidak pada tempu jejak awan
mereka pinta benah kala diri
diacung pangkal lusa berpayung tangguh

metronom berdecak habis sabar
bagai waktu berkecimpung ikut mengawasi
tanda memaafkan kabarnya

kamu boleh lihai bersembunyi,
tetapi gelombang muara mimpi tetap pilih rasa hujan
hujan rindu katanya
karena dinginnya menggigit menyebar
hentikan kata buat tercekat,
ke seluruh tubuh buat menggigil

aku sudah bangun dari terkejut
terimakasih terutama kamu,
ciptaan di penghujung hari
karen satu dan lain hal
Surya Kurniawan Oct 2017
Apa yang akan orang katakan
Kala melihat kasihku mendorong air?
Dimana kukira itu karang
Walaupun ternyata air tergenang
Dan batu tetap bergeming
Lalu kulihat dia mengambang
Di atas beling-beling berkilauan
Kusangka samudra atau genangan lainya
Namun tetap saja riak matanya berkeluk-keluk
Bagai gelombang yang ada di kakinya
Kulihat jemari kecilnya tak kuasa menahan buih dan deru
Jika tak pelak aku yang terhempas
Kalau saja kasihku menolak ombak

Kasihku mendorong air
Aku mencampak karang
Kasihku menolak ombak
Aku menghenyak batu

Bergeming, dan tergenang
Diantara citra atas gelombang
Megitta Ignacia Mar 2020
satu tangan menutup mata
satu tangan menutup telinga
belikatku bertahan kaku
tiap pijakan pelan, terseok
belum leluasa ku berlari

terpaan gelombang yang sudah-sudah
masih meninggalkan goresan dalam daging
dibantu merangkak, tapi dipaksa berlari
caramu mengenyahkan biru yang masih menyelubungiku

takut
pada lidah sangkalan beradu
bukankah lancang mencipta imaji semu
lalu menggantungnya pada tiang-tiang garam
berharap keras, tak begitu meleset pada manusia
sadar, tak se-Esa
namun jika Bapa memberi
siapa yang bisa menutupnya?

target apa, begitu mendesakkah?
soal pembendaharaan rasa
apalagi rancangan
telah kuserahkan padaNya
aku dungu & tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat Bapa. Tetapi aku tetap didekat Bapa; Ia memegang tangan kananku.
140320 || 18:48 PM  lantai dua kosan, hmm sepertinya banyak poems-ku yang dimotori sama obrolan tentang hidup sm coworker sebelah meja, si ipul, kemarin lg ngobrol ga jelas sambil kerja ttg hubungan masing-masing, dia abis lamaran, sementara gw masih di fase abu-abu belajar adaptasi sm pasangan kesayangan yang nemenin hampir setahun lamanya. As ditanya hubungan mau dibawa kmn, gw blg ikut arus aja toh yg lama kandas padahal udah direncanain,  jd buat apa manusia berencana, pasti Tuhan udah atur yg terbaik. "Idup lo, lo yang atur. Ga bisa ngikut arus aja, harus punya target, udah umur brp lo." Berulang-ulang sampe berbusa dia bilang "ada masa depannya ga?" lalu gw bete karena sesulit itu untuk healing & masih sulit untuk berani berencana/berekspektasi apapun tp malah dijejelin pertanyaan yg ngeinduksi anxiety tp di 1 sisi juga bener harus dipikirin. Kewalahan berperang sm pikiran sendiri, pagi tadi buka sermon  kata-kata ps. Phillip Mantofa " kalau tidak tahu apa langkah berikutnya, jangan gelisah hatimu, percayalah & berserah pada Allah." Berencana aja, trs serahin semua rencana ke yg punya sorga, God will lead the way. Ada bagian dari Mazmur 73:21-23 dalam puisi ini.
Surya Kurniawan Jun 2017
Dalam ke-tiga ratus empat puluh empat meter per detik kecepatan suara, ternyata tak ada bibirmu didalamnya. Sebab kabar tak lebih cepat dari suara, dan tak lebih lambat dari jatuh cinta.

Apakah mungkin, suara dapat merasuk lebih cepat jika dia merangkak di dalam air mata?

Mungkin juga sebaiknya kita perhatikan bagaimana suara merambat melalui  dua puluh satu derajat selsius suhu udara, menjadi sebuah rangkaian gelombang kata-kata yang melambat dan merangkai dengan sendirinya.

Apakah mungkin getaran suara dapat lebih cepat, jika kulitku tidak menjadi sehangat ini?

Jika kamu bukan getaran suara, lantas mengapa sepersekian detik nama mu bergaung dalam kenangan?
Safira Azizah Apr 2021
Sukab yang naif dan tidak tahu diri,
aku masih hidup dan terpaksa
melayangkan surat ini kepadamu.

Aku mengelayap, mencari jalan pulang dengan nyawa yang sudah tak menempel di badan. Semenjak air bah tumpah ruah dari atas bukit kapur, nyawaku entah tersangkut di mana.

Mengapa aku masih hidup itu misteri. Mungkin karena cintamu yang sialan itu. Idih, menyatakannya saja membuatku mual dan jijik.

Akibat cintamu, hidupku terselaput kegelapan. Tapi lihatlah, bintang jatuh bertebaran di atas gelombang laut dan bayangannya terpantul-pantul, berbinar dan indah. Aku melihat wajahku dan bola mata yang tampak terang di antara kelegaman malam.

Apakah, akhir-akhir ini, batinmu kalut juga, Sukab?

Pemandangan di samudera membuat manusia menerawang jauh ke masa lalu dan sempurna melemparkan pikiran kepada dekapan kenangan. Persis seperti omong kosong yang kau selalu bicarakan dulu.

Bagaimana tentang akhir  hidup? Surga manakah yang sudi menerima kita? Akankah kita kembali atau mengembara lebih jauh lagi? Bisakah kau hitung dan bertaruh dengan dadu tentang nasib?

Aku tidak suka kira-kira,
aku mau jawaban yang pasti.

Jawab aku, Sukab.
xGalih Aug 2020
/I/
Tik, tik, tik, angka-angka berdetak di tengah malam yang riuh dalam sunyi.
Aku melukis senyum pada langit pirau yang terjebak dalam ruang-ruang gelap.
Jendela mempersilahkan gagak masuk menyampaikan rekam tawa dari orang-orang yang melukis kesedihan di birai bibir.
Seolah parade, bergembiralah seisi ruangan yang hanya ada aku saja di dalamnya.

/II/
Kota mulai curiga kepada siapa saja yang mencoba menetap.
Berlari dan tergesa adalah cara bunuh diri dalam kota yang melaju cepat dan semakin cepat.
Aku memilih menjebak diriku dalam ruang tak berpintu, yang lantainya kususun dari debur gelombang bulan purnama.
Ranjangnya mencekik kerongkonganku di pagi hari yang tak pernah tiba.

/III/
Apakah terlambat untuk menjadi diriku sendiri?
Ataukah terlalu cepat untuk menemukan diriku dalam tubuh yang nirmakna?
Jika kesunyian berbunga makna, seharusnya aku menemui makna atas diriku pada suatu pagi di ujung simpul tali.
Aku melayang, engkau menerka udara.
Aku hidup, engkau perdebatkan prosesi pemakaman dalam daftar-daftar tak kasat mata.

/IV/
Seekor nyamuk menganggu kewarasaannya dalam menghitung berapa bintang yang tak pernah melempar cahaya.
Keningnya menjelma komidi putar, menjauh, mendekat, pergi dan kembali.
Suara-suara berbaris, mempersempit lorong waktu dan jembatan kota yang mulai menua.
Telapak tangannya bergetar seiring detak jantung yang terus mempercepat kembang-kempisnya.

/V/
Senang pernah bersua, tapi aku tak ingat.
Di antara aku dan lainnya, siapa yang memperkenalkan diri di awal pertemuan?
Begitu juga esok hari, wajah siapa yang tergores dalam cermin?
Siapa yang mengucap selamat tinggal dalam jumpa yang seharusnya tak pernah menjadi sebuah perpisahan?

— The End —