Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
ZZ Mar 2018
TANDUS

Ketika kamu sudah mulai terbiasa, apa yang bisa memaksa?
Segala bentuk, bahkan segala hal yang buruk rupa Yang kau benci pada mulanya
Sekarang kau menikmatinya, bukan?

Apa yang tumbuh di dalam sana?
Di tanah yang mati kelihatannya.
Yang tak pernah berharap ada biji yang tumbuh disana
Tak ada buah yang diinginkan Hanya tanah tandus tanpa harapan

Betapa hebatnya waktu, bermain diatas hati manusia.
Mencoret, daan sekenanya menghapus tanpa mengizinkanku untuk memilih.
Kenapa tanah itu tak terus tandus saja?
Entah dari mana datangnya biji emas itu.
Yang hanya menimbulkan keserakahan dan kedengkian hati manusia.

Cuma aku sekarang disini.
Diatas tanah subur yang dulunya tandus Ditengah bunga bunga yang sedang merekah.
Jadi gagak hitam yang mematuki biji emas.
Antara berusaha mengukir emas dengan paruh tuanya
Atau berpikir emaslah sisa hidupnya. Dua-duanya mustahil.

Tanah yang tandus itu sendiri, tak juga bergeming dari bubungan harapan.
Menanyakan ketulusan, dimanakah letaknya?
14 Dec 2014,
juga dipost di halaman www.tintaqabila.wordpress.com/poems
xGalih Aug 2020
/I/
Tik, tik, tik, angka-angka berdetak di tengah malam yang riuh dalam sunyi.
Aku melukis senyum pada langit pirau yang terjebak dalam ruang-ruang gelap.
Jendela mempersilahkan gagak masuk menyampaikan rekam tawa dari orang-orang yang melukis kesedihan di birai bibir.
Seolah parade, bergembiralah seisi ruangan yang hanya ada aku saja di dalamnya.

/II/
Kota mulai curiga kepada siapa saja yang mencoba menetap.
Berlari dan tergesa adalah cara bunuh diri dalam kota yang melaju cepat dan semakin cepat.
Aku memilih menjebak diriku dalam ruang tak berpintu, yang lantainya kususun dari debur gelombang bulan purnama.
Ranjangnya mencekik kerongkonganku di pagi hari yang tak pernah tiba.

/III/
Apakah terlambat untuk menjadi diriku sendiri?
Ataukah terlalu cepat untuk menemukan diriku dalam tubuh yang nirmakna?
Jika kesunyian berbunga makna, seharusnya aku menemui makna atas diriku pada suatu pagi di ujung simpul tali.
Aku melayang, engkau menerka udara.
Aku hidup, engkau perdebatkan prosesi pemakaman dalam daftar-daftar tak kasat mata.

/IV/
Seekor nyamuk menganggu kewarasaannya dalam menghitung berapa bintang yang tak pernah melempar cahaya.
Keningnya menjelma komidi putar, menjauh, mendekat, pergi dan kembali.
Suara-suara berbaris, mempersempit lorong waktu dan jembatan kota yang mulai menua.
Telapak tangannya bergetar seiring detak jantung yang terus mempercepat kembang-kempisnya.

/V/
Senang pernah bersua, tapi aku tak ingat.
Di antara aku dan lainnya, siapa yang memperkenalkan diri di awal pertemuan?
Begitu juga esok hari, wajah siapa yang tergores dalam cermin?
Siapa yang mengucap selamat tinggal dalam jumpa yang seharusnya tak pernah menjadi sebuah perpisahan?

— The End —