Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aisyah Adler Mar 2016
Kesendirian menyelimuti tubuh
Menarikku kembali menuju angan yang tak pernah usai
Sampai kapan harus ku tahan?
Gemuruh rasa rindu yang tak tertahan

Lelah aku
Sampai kapan ini akan berlangsung?
Bayang-bayang wajah di masa lalu
Tak pernah usai mengganggu
Menampakkan kembali sebuah kisah yang telah lalu

Kala ku titipkan rindu ini pada senja
Melepas segala gundah yang akan membuncah
Lisan tiada mampu berucap
Hanya kata merangkai hati
Moonity Jun 2018
Bahkan hembusan angin berbahana
Dua tiga pasang jiwa bercakap
Tertawa pun berteriak
Bila mata terpejam tenangnya
Alam tak lagi bisu

Kau dan aku
Mengunci tatapan dan suara
Kita adalah bisu
Diam dalam kesunyian yang kekal
Debaran jantung berdetak sepi
Jangankan seulas senyum
Mata saja enggan berbicara
Lantas satu di antara kita akan sadar
Diam juga bagian dari percakapan yang tidak berujung.
—kali ini aku akan menyerah dengan persoalan akhir tidaknya tali yang melingkar di tangan kita.
Aridea P Oct 2012
Palembang, 21 Oktober 2012

Aku berjalan,
menyusuri lorong gelap dan dingin
Menatap lurus pada satu tujuan
Pintu berukiran abstrak
Tanpa kunci aku bisa masuk dengan mudahnya
Tanpa kode aku lolos dari tes keamanan

Aku terus berjalan,
menapaki lantai yang lembap
Menuju suatu benda tinggi besar yang datar

Aku berhenti.

Berdiam diri cukup lama
Terpaku tanpa mampu berkata

Aku berdiri di depan cermin
Aku melihat diriku
Lihat Dia!
Dialah aku yang haus akan cinta
Dialah aku yang menadah kasih sayang
Aku berlutut dan meminta
Bawa dia ke sini Tuhan
Ke hatiku

Aku masih terdiam terpaku
Menyaksikan apa yang ada di hadapanku
Berpikir, betapa bodohnya aku
Aku berbalik tanpa berkata sepatah pun
Dan pergi meninggalkan aku yang masih terperangkap di cermin itu

Masih bisa kuubah, ucapku pada diriku
Takkan ku biarkan penderitaan menyentuh hidupku,
sedikitpun
Aku akan berbalik dan melupakan semua
Melanjutkan perjalanan hingga tugasku usai
Sundari Mahendra Mar 2017
Hoam....sudah jam 4 pagi
Alarm sudah berbunyi
Memanggilku untuk segera berdiri
Keluar dari hangatnya selimut

Hoam....aku masih mengantuk sayang
Dan dengarlah suara rintik hujan
Dan riuhnya gemuruh diatas
Bertanda hujan belum akan usai

Hoam....berilah aku beberapa menit lagi
Untuk mengumpulkan kekuatan dan kemauan
Mengalahkan segala bisikan
Untuk tetap tinggal saja dirumah

Hoam....baiklah, baiklah
Alarm kembali berbunyi
Kenapa kau paksa aku pergi
Sedangkan tubuhku begitu pedih
Untuk mendapat sekucur air dingin
Membuka mata lebar-lebar
Menggerakkan tangan dan kaki
Untuk berkarya dan bekerja kembali
Rossella Usai Jul 2017
Fare l'alba con te...
vivere la notte con te...
sfiorare ogni emozione con te...
ogni gioco e ogni follia...
assaporare la nostra capacità
di vivere la vita e il mondo appieno,
come pochi sanno fare,
è per me gioia profonda e felicità.
Quando siamo insieme per me non esiste altro,
non so come, ma solo così io non penso nulla...
ogni momento resta unico,
semplicemente momenti di vita
che insieme viviamo,
ma che conserverò sempre nella mia memoria e nel mio cuore.
Ripensando a te
Al mio nord
Rossella Usai - Agosto 2005 - Dedicata a Claudio, indimenticabile periodo di vita con lui.
Rossella Usai - Agosto 2005 - Dedicata a Claudio, indimenticabile periodo di vita con lui.
Gadis kecil berpipi bulat senang menari di taman.
Kadang sendiri, kadang bersama kawan.
Suatu hari gadis kecil berpipi bulat bertemu seekor singa.
"Jangan dekati dia! Dia sedang terluka!" Teriak seorang teman.

Gadis kecil berpipi bulat memperhatikan Raja Hutan.
Luka bekas sayatan menganga lebar di dada.
Ia bermandikan darah dan air mata.
Gadis kecil berpipi bulat terkesima.

"Tuan Singa, Tuan Singa! Siapa yang melukai anda?" Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran.
Seekor singa dengan bulu kecokelatan lebat sekilas mendongak, lalu kembali tergolek lemas.
Sekilas bola cokelat mengintip dibalik mata sipitnya.

"Tuan Singa, Tuan Singa ! Apa anda kesepian atau ingin mencari mangsa ?"
Tanya gadis kecil berpipi bulat penasaran. Ia terpesona dan ingin mengobati Raja Hutan.
Tapi bisa saja ia disantap sekali lahap.
Gadis kecil berpipi bulat tetap tidak beranjak.

                  Semoga gadis kecil berpipi bulat tidak dalam bahaya.

[Jakarta, 17 Juni 2019.]

__


Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Seekor betina pernah singgah dan mempermainkan luka.
Tuan Singa pandai bersandiwara!
Sesekali tertawa di selipan duka.
Gadis kecil berpipi bulat melihat.

Gadis kecil berpipi bulat menemani Tuan Singa bercerita.
Tuan Singa pernah kesepian dan ketakutan.
Takut menengok ke belakang dan diterkam dosa.
Seekor raja hutan meninggalkan banyak korban, pun selamatkan diri sendiri ia lupa.
Gadis kecil berpipi bulat terdiam.

"Semudah itu manusia mati dan semudah itu manusia hidup." Dongeng Tuan Singa.

Si Raja Hutan lelah, dan mulai menyanyikan lagu "Bangunkan Aku ketika September Usai" dari Hari Hijau.
Gadis kecil berpipi bulat menikmati senandung minor luka pengantar tidur.

"Tuan Singa, aku mengantuk. Tapi izinkan aku menemani tuan sampai tuan tidak butuh aku lagi, ya.
Selamat tidur dan bermimpi.
Semoga mimpi malam ini indah."
Ucap Gadis kecil berpipi bulat sebelum pulas.

[ Jakarta, 22 Juni 2019 ]

——

Gadis kecil berpipi bulat sudah terjebak.
Gawat.
Raja hutan mempermainkan teka-tekinya.
Gadis kecil berpipi bulat sibuk mengobati hingga lupa ia pun melukai diri sendiri.

“Tuan singa. Tuan singa.
Apa yang tuan inginkan?
Sebuah hati lagi, atau aku beranjak pergi?”

[5 Agustus 2019]

——

Raja Singa sedang terluka.
Ia gelisah.
Tapi gadis kecil berpipi bulat tidak bisa mengobati.
Atau,
bukan dia, yang sang raja cari ?

[19 September 2019]

_

Cukup.
Waktunya telah tiba.
Gadis kecil berpipi bulat harus pergi.
Semoga kamu bisa tidur.

[04 Oktober 2019]
Saya tulis untuk seorang Singa yang pernah saya kenal.
Comme une femme, hélas ! vous change !
Ainsi, moi... je fume toujours,
Je ris, je dors, je bois, et mange,
Mais tu m'as rendu bien étrange,
Et de tous les fils, le plus lourd.

Un fils qui foule au pied sa mère,
Ce que le dernier des troupiers
Au pas accéléré peut faire,
Qui s'oublie, ô folie amère,
Jusqu'à l'écraser sous ses pieds !

Eh ! oui, je foule aux pieds la Terre
Qu'à deux genoux a su baiser
Un Romain plein d'amour sévère,
Brutus, que j'appelle mon frère,
J'ai pu quelquefois l'écraser.

Écraser qui ? la Terre où l'homme ?
Les deux, n'en soyons pas surpris :
Le Temps est le grand agronome ;
Il peut aux poussières de Rome
Mêler les cendres de Paris.

Oui, la Terre en travail et soûle,
Notre Mère à tous, n'est-ce pas ?
Mère des fous et de la foule,
Et dont on mange, je la foule
Amoureusement sous mes pas.

Car cette Mère elle ne gronde
Jamais ses fils, et nous avons
Son sang qui circule à la ronde,
Le vin rose et la bière blonde
Dans les verres où nous buvons.

Quant à la vraie ou bien la fausse,
Nous dirons comme nous voudrons,
Elle est morte, elle est dans sa fosse,
Je n'en pleure ni ne m'en gausse
Dans la fosse où nous pourrirons.

C'était une enfant de Pourrières,
Village battu des grands vents,
Où toutes peuvent passer, fières,
De leurs magnifiques derrières
Aussi crânes que leurs devants.

Elle m'adorait pas des flottes !
C'est **** comme les fonds usés,
Les premiers fonds de mes culottes.
Elle m'a foutu deux... calottes
Elle qui comptait les baisers.

Et pourquoi ? Tenez, je m'essuie
Encore, en vous le racontant
(Je cesserai si ça t'ennuie),
C'est parce qu'un beau jour de pluie
J'étais revenu « tout coulant ».

Encor si c'était la férule !
Mais la main sur la joue, ah ! non !
Bon pour un homme, s'il recule.
L'autre au moins, c'est chaud, ça vous brûle
Pas bien **** du... petit couillon.

Elle s'appelait Augustine
Silvy, beau nom, grand et gaillard,
D'une source, on dirait, latine ;
Elle est morte de la poitrine
Malgré tous les secours de l'art.

Elle était charmante et divine,
Comme l'aveugle et le vieillard.
Je sais que sa jambe était fine,
Je trouve un jour ses bas, ma fine,
Je les mis... pour l'amour de l'art.

Elle me lisait quoi ? devine
Les vers du Petit Savoyard !
Autant mourir de la poitrine.
C'est dans ces vers que se dessine
Ma mère (oh ! c'est rempli d'art)

Qui dit, nom de Dieu de mâtine !
Va-t'en à son enfant qui part !
Autant mourir de la poitrine !
Ce qu'elle fit. J'usai sa mine
De bas noirs, pour l'amour de l'art.

Elle n'avait, ma Valentine,
Pas le quart de ton cœur... le quart !
Le cinquième, dans sa poitrine !
Si je mis ses bas, imagine
Que ce fut pour l'amour de l'art.

Tiens ! qu'entends-je ? mais, là, sans rire...
« Excusez-vous » ce n'est pas Toi,
N'est-il pas vrai, qui l'a pu dire ?
Serait-ce... son ton... plein d'empire ?
Eh ! bien : Madame... excusez-moi.
xGalih Aug 2020
Pada gersangnya bibir, kerongkongan merengek tersedu-sedu seperti laki-laki kecil sepulang sekolah.
Seiring dengan semakin mencekamnya kantung mata yang menghitam, dan kemarau yang tak kunjung usai bersemayam pada kelopak yang lelah, gadis kecil menyandarkan jiwanya pada ayunan yang rapuh di halaman belakang rumah tua.

Di seberang persimpangan jalan, laki-laki kecil menggerutu tentang udara yang mencekik seluruh tubuhnya.
Ia menyusuri jalanan tempat orang-orang kehilangan rasa.
Terus berjalan di belakang waktu.
Waktu yang menggerogoti jiwa orang-orang di sekitarnya.

Di atas rumah pohon, di awal musim penghujan, gadis kecil bersedih.
Ia menangisi bekas luka yang tak jua sembuh.
Luka yang menghidupkan kembali ketakutannya.
Dan ketakutan yang pada akhirnya akan memenggal kakinya di akhir musim.

Musim berlalu-lalang, orang-orang datang dan pergi dengan pasti.
Tapi apakah pergi selamanya tentang menghilang?
Musim baru selalu tiba, sesekali tepat waktu, seringkali sulit terprediksi.
Seperti kedatangan dan kepergian, kapanpun ia akan mengetuk pintu kewarasan.

— The End —