Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
nisa May 2014
ketika berjalan di atas rumput
waktu seakan melambat
seakan aku melangkah terseok
seakan bumi berusaha menelan kakiku

kubiarkan tubuhku terjatuh
sementara mataku memanah langit
menunggu alam menjamahku
menggerogoti nadiku
tulang sumsumku
nyawaku

biarlah darahku menjadi nutrisi bagi tanah
mungkin dagingku bergizi bagi hewan liar
sementara tubuhku membusuk
bersatu dengan hara
tunas-tunas mungil muncul dari dalam
dan bunga-bungaan bermekaran
di antara tulang rusukku
Inspired by Edvard Munch's quote: "From my rotting body, flowers shall grow and I am in them and that is eternity."
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
“ Hari ini ku mati,
Perlahan...
Tubuhku ditutup tanah.
Perlahan...
Semua pergi meninggalkanku...

Masih terdengar jelas langkah² terakhir mereka,
Aku sendirian,
Di tempat gelap yang tak pernah terbayang,
Sendiri,
Menunggu pertanyaan malaikat...

Belahan hati,
Belahan jiwa pun pergi.
Apa lagi sekedar kawan dekat atau orang lain.
Aku bukan siapa-siapa lagi bagi mereka...

Sanak keluarga menangis,
Sangat pedih,
Aku pun demikian,
Tak kalah sedih...

Tetapi aku tetap sendiri,
Di sini, menunggu perhitungan.
Menyesal sudah tak mungkin.
Tobat tak lagi dianggap,
Dan maaf pun tak bakal didengar,
Aku benar-benar harus sendiri...

Ya Allah...
Jika Engkau beri aku 1 lagi kesempatan,
Jika Engkau pinjamkan lagi beberapa hari milik-MU,
Untuk aku perbaiki diriku,
Aku ingin memohon maaf pada mereka...

Yang selama ini telah merasakan dzalimku,
Yang selama ini sengsara karena aku,
Tersakiti karena aku...

Aku akan kembalikan jika ada harta kotor ini yang telah kukumpulkan,
Yang bahkan kumakan,
Ya Allah beri lagi aku beberapa hari milik-Mu,
Untuk berbakti kepada Ayah & Ibu tercinta...

Teringat kata-kata kasar & keras yang menyakitkan hati mereka,
Maafkan aku Ayah & Ibu, mengapa tak kusadari betapa besar kasih sayangmu,

Beri juga ya Allah aku waktu untuk berkumpul dengan keluargaku,
Menyenangkan saudara-saudaraku..
Untuk sungguh-sungguh beramal soleh.

Aku sungguh ingin bersujud dihadapan-Mu lebih lama lagi..
Begitu menyesal diri ini.
Kesenangan yang pernah kuraih dulu,
Tak ada artinya sama sekali...

Mengapa kusia-siakan waktu hidup yang hanya sekali itu...?
Andai aku bisa putar ulang waktu itu...

Aku dimakamkan hari ini,
Dan ketika semua menjadi tak termaafkan,
Dan ketika semua menjadi terlambat,
Dan ketika aku harus sendiri...
Untuk waktu yang tak terbayangkan sampai yaumul hisab & dikumpulkan di Padang Mashar...

Puisi Almarhum "Bang Remy Soetansyah,"
"ANDAI HARI INI AKU DIMAKAMKAN"

DariNya kita datang, kepadaNya kita kembali…

Assalamu’laikum sahabat..

Innalillahi wa innaa ilaihi raaji'uun telah kembali ke rahmatullah Olga Syahputra kemarin jum'at sore di Rumah sakit Singapura, Oki turut berduka sedalam2nya, dan do’akan bersama semoga Olga Syahputra di terima iman islamnya dilapangkan kuburnya, di tempatkan di tempat terindah di syurga, keluarga yg di tinggalkan di beri kesabaran..aamiin..al-fatihah..

Bagi kita yg di tinggalnya tentunya bisa jadi pelajaran bahwa maut datang kapan saja tidak bisa kita prediksi , bisa satu tahun lagi, sebulan lagi, satu hari lagi atau sedetik lagi..hidup di dunia ini hanyalah sementara..

Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya. (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah menyadarkan kepada kita selaku umatnya akan pendeknya waktu hidup di dunia itu, namun waktu yang sangat pendek itu sangat-sangat bermanfaat, sehingga harus diisi dengan hal-hal yang sangat bermanfaat…

Sahabat pesan Olga kepada adiknya, untuk selalu melaksakan ibadah sholat 5 waktu jangan pernah di tinggalkan...selalu berbuat baik....
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Rabu 23 Mei 2007


Malamku penuh kerinduan
Sat itu pun ku mulai ...
Menitikkan air mata ...
Sehingga membasahi pipi ku

Rinduku ini ...
Tak bisa tergantikan apapun
Karna yang ku mau hanyalah dirimu
Seseorang yang selalu menemaniku

Setiap malam setiap waktu
Aku rindu segala yang ada di dirimu
Termasuk belaian sayang di rambutku
Serta pelukan hangat di tubuhku
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau bagaikan embun di pagi hari
Menyegarkan tubuhku dengan sejukmu
Merasakan kamu di setiap ku hirup udaramu

Kau bagaikan sinar mentari di siang hari
Menyelimutiku dengan terikmu
Berada di atasku setiap waktu

Kau bagaikan udara di sore hari
Menyentuhku tak disengaja
Membelai rambutku dan aku bahagia

Kau bagaikan gelap di malam hari
Tak pernah melihat wajahmu
Tak pernah bermimpi kamu

Kau adalah nafasku untuk hidup
Yang selalu ku ingat setiap waktu untuk ku hirup
Aridea P Dec 2013
Palembang, 14 Desember 2013


siapakah aku? yang bercahaya dikala senja tiba
berlari mengepakkan kedua tangan, mencoba menggenggam udara
mengijinkan peluh muncul membasahi seluruh tubuhku
hingga mentari tepat di atas kepala aku berdoa, tuk menjadi cahaya bintang saat malam tiba


siapakah aku? yang terus berlari kencang menapaki kerikil tajam
tak peduli walau menembus hujan melawan badai
ketika mentari sudah malu menampakkan cahayanya
aku berdoa
meminta, jikalau cahaya bintangku redup, mentari senantiasa menggantikan di pagi berikutnya


siapakah aku? yang kehilangan cahaya senja
berjalan menunduk, kecewa
meski mentari bersinar seperti yang ku harapkan
aku masih kan meminta cahayaku dikembalikan
tak ingin membuka mata jika pagi berwajah gelap


siapakah aku? yang tak lagi bersinar di langit malam
tak lagi menjadi bintang
kehilangan sinar senja
tak lagi bebas berlari di bawah mentari
tak lagi bernyawa

siapakah aku?
Aridea P Oct 2011
Terbayang akan wajah mu
Saat pertama kau tersenyum kepada ku
Tubuhku terasa diam terpaku
Tak terucap sepatah kata dari mulutku


Di hadapanmu dulu
Ku sesali saat ku keluh
Keinginan untuk bersamamu
Kini hancur bagaikan debu


Betapa hancurnya hatiku
Berkeping-keping saat kau tinggalkan aku
Yang ku mau kini selalu
Jangan pernah lupakan aku
NURUL AMALIA Sep 2016
Aku terlalu kecil
Sekecil titik di atas kertas kusut
Aku hanyalah satu dari ribuan
bahkan tak terlihat
Terlindung dalam cangkang sempit dan tipis
Bersembunyi di balik daun yang mulai berubah warna
Rumah pertamaku
akhirnya aku terlahir
sebagai sesuatu yang aneh
Aku si buruk rupa
Tubuhku dipenuhi bulu
Merangkak lemah menyusuri ranting
Menggerogoti daun disekitar
membuatnya berlubang
melarikan diri dari burung
Bergulat dengan semut rangrang
Membuat saya jatuh ke tanah
Hingga buluku rontok berserakan
Hanya cacing yang menyapa
Mereka membenci saya sangat
Aku bisa terbunuh, tidak semuanya menerimaku
sampai aku terjebak dalam dimensi lain
Aku si  ulatbulu kesepian yang bersembunyi
Bertapa di dalam kantung usang yang kecil
Mencoba untuk membunuh waktu
Berjuang dalam kegelapan untuk mencapai keindahan
Sudah cukup persinggahanku
Mengarungi kerasnya penantian panjang yang membelenggu
Aku terlahir kembali
menjadi berbeda dan mereka menyukaiku
kebahagiaan berlimpah tiba
terbang tanpa batas dengan kedua sayap yang cantik
pergi ketempat yang indah yang kumau
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Tuesday 2 September 2008

Sudahkah akhir cerita ku
Namun mengapa kamu di sini
Semakin indah semakin ku sayang
Hingga, ku tak bisa pergi tanpa mu
Namun, diriku tidak mampu
Diri ku tak berdaya
Bila melihatmu lebih nahagia dengannya
Mengapa, bukan ku yang di sana
Mengapa, senyum ku tidak ada
Ku hanya senyum sendiri
Melihatmu bahagia
Tubuhku tak berdaya
Sambil terluka . . .
D May 2019
Baru saja tubuh beserta ruh ini menggelar ritual yang dianggap kekal
Ritual dimana aku bisa merasakan tubuhku merukuk, merunduk, menekuk-nekuk seikhlasnya tanpa meminta apapun kecuali untuk tubuh ini dibimbing Nya
Tak peduli jika doaku belum juga dijabah
Sesungguhnya Tuhan hanya ingin jiwa ini pasrah
Sebiadab-biadabnya laku ku sebagai manusia, terkadang haus juga akan ibadah

Disaat kedua tangan ini hendak selesai menggulung kain sajadah, Muncul pesan berisi alamat.
“Sampai ketemu.”
Seakan lupa terhadap perihal ritual kekal dunia akherat
Ujung kepala sampai ujung kaki ini sepakat untuk berangkat
Mengapa akal sulit digunakan jikala merindu?
Aku bersumpah, tak ada yang tahu.




Dalam sesingkatnya waktu aku menjadi saksi akan kehadiran tubuhku di ruang serba asing
Satu-satunya yang tak asing adalah rupanya.
Ditengah kegaduhan batin yang luar biasa,
Hati ini hanya bisa berkata;
“Akhirnya aku kembali melihat matanya.”
Setengah sayup setengah berbinar,
Sepasang bola mata itu menatap milikku,
Suara familiar yang sekarang terdengar serak parau dibabat dunia itu bercerita;
“Aku lelah.”
“Aku tahu.”

Tak sampai tiga puluh menit diriku kembali menjadi saksi akan ingkarnya sumpahku,
Karena aku bisa melihat tubuh ini kembali merukuk, merunduk, menekuk berliuk-liuk
Di momen itu, segala pengetahuan lucut bersama pakaian.
Saat pakaianku dilempar ke lantai,
Harga diri yang kupeluk erat ikut jatuh bersamanya.
Adegan pengingkaran sumpah itu berlangsung entah berapa lama

Buah sinar Matahari mulai mengintip untuk meberitahu bahwa hari baru sudah nampak
Aku bergegas mengambil seribu jejak,
Di jalan pulang aku menerima pesan;
“Terima kasih.”
“Kembali.”
Butuh seribu tahun untuk hancur ini diperbaiki.







Semua ini, sedangkan aku hanya ingin melihat matanya.
ga Aug 2017
Temukan aku, cari aku
Hancurkan aku, remukkan aku
Caci diriku hinakan jiwaku
Buat aku berlutut menangis di hadapanmu
Hempaskan tubuhku rebahkan kepalaku
Lakukanlah, hancurkan diriku.

Tapi ketika saatnya tiba
Ulurkan tanganmu, raihlah kepalaku
Berjongkoklah, sentuh pipiku
Elus rambutku hapus air mataku
Tundukkan kepalamu, dekatkan ke telingaku
Bisikkan padaku sebuah kata dari dalam hatimu
Hembuskan padaku sebuah harapan
Lantunkan lagu itu, lagu kehidupan

Tatap mataku, ajak aku berdiri
Pandang wajahku, yakinkan aku
Genggamlah tanganku sementara kau mulai melangkah
Peluk erat jariku dengan jemari lentikmu
Berikan hangat tubuhmu, genggam erat tanganku

Ayunkan kakimu, berlarilah
Bawa aku bersamamu, beri aku jalan
Menolehlah sesekali ke belakang
Aku akan tetap berada di sana
Memandangi jemarimu memeluk jemariku
02/04/16
Megitta Ignacia Apr 2019
Pasir memeluk kakiku, tak mau melepaskanku.
Licinnya pasir berkali-kali membuatku terhisap.
Sama seperti pelukanmu kala itu,
yang terus mengunciku,
berontak tiada artinya
sampai akhirnya jiwaku tunduk pula padamu.

Kita pernah bahagia,
Bagai burung-burung yang terbang rendah, bermain-main diantara air,
Mengintip manisnya pantulan diri air biru.

Yang lama terasa singkat.
Seperti langit merah muda yang lama lama termakan kabut pindah ke kegelapan malam yang menenangkan hanya dalam hitungan detik.

Bagai kapal yang mengapung terombang ambing kencangnya ombak,
Ia tetap teguh karena telah menjatuhkan jangkarnya.
Begitulah aku ketika pada akhirnya hanya kau dijiwaku.

Namun arus laut begitu kuat,
begitu sulit untuk berenang pada arah tujuan.
Semesta punya ceritanya,
berkali-kali kupaksakan tubuhku tak terbawa arus,
namun kakiku lemah, terus menerus terobek tajamnya batu karang yang tak kelihatan.
Mungkin itu cara semesta beritahu
bahwa disana bukan tempat yang aman bagiku.

Aku menyerah.
Seperti butiran pasir yang kugenggam erat dibawah air laut,
satu per satu rontok,
aku tergoda untuk membuka tanganku di bawah air
dan menyaksikan kemegahan pasir-pasir kecil yang jatuh menghilang terseret air.
Itulah kau.

Laut punya caranya.
Semuanya akan terjadi alami.
Semesta poros pengaturnya.
Biarlah laut hapuskan kau.

Tenang saja,
aku akan kembali baik-baik saja.
Seperti debur ombak yang menyapu kasarnya pasir, ia mampu mendatarkan lintasannya yang sebelumnya hancur teracak-acak angin.

Bagai tapak kaki di basahnya pasir,
berjejak namun akan segera hilang begitu terhanyut ombak ataupun angin yg berhembus.
060419 | 9:38 AM | Kost Warmadewa
ditulis sebelum berangkat kerja,setelah kukirimkan teks panjang padamu.

"are we done?"
"
Diska Kurniawan Nov 2016
Mata itu membiru duka lama yang menderu
Badai dan lindu mengantar jasad tubuhku
Terbilang sudah berapa kali kau dan aku berjanji
Diantara pagi haru dan sedikit isak tangis merdu

Aku suka kala kau menangisi canda tawa
terbawa pula hawa panas diantara kata berlalu
Rapat-rapat tak ada dalam bisik-bisik mayat
Sedepak dari liang lahat berpijak,
jemari kaki peti-peti mati digusur pergi

Lelah lelaki itu bertelingkah
Membuang gelas yang telah dituang
Meracau melampau dari batas kewarasan
Disana dia merumput maut, meraut ribut

**Pergi pulang membaur diantar lalu lalang kabut
Aku ingin membawa sosokmu pulang.
ophelia Jan 2019
rindu berarti merangas,
kehausan akan tubuh itu
mulut ku gersang lalu bisu,
tidak dapat mengucapkan bahwa tubuhku ini haus akan tubuhmu yang sudah berpaling berjalan jauh.
Lalu, harus diguyur air apa raga yang sudah kering ini?
Atau, biarkanlah saja rindu merangas menggerogoti raga hingga tubuh tak berdaya
Ya sudah, biarkanlah mati dan di kubur hingga kau bersedia kembali membasahi lagi di atas tanah saat semua sudah sia-sia.
Amira I Jun 2020
Rumah joglo di tengah sawah.
Dengan cahaya remang yang berasal dari pojok ruangan ini.
Pemutar piringan hitammu baru selesai kau perbaiki.
Ku memilih untuk mendengarkan album Chet Baker Sings dengan vokalnya, seingatku itu milik mendiang kakekmu.
Gelas-gelas tinggi sudah kau siapkan, sebotol anggur dari Bordeaux sudah ku buka.
Makan malam kita sudah tandas, dua piring penuh berisi daging sapi yang sore tadi ku panggang, hampir matang penuh, bersama hancuran kentang yang sedikit dibubuhi garam dan lada, dengan saus krim jamur.
Jasmu sudah kau tanggalkan dan sampirkan di sisi sofa coklat tua itu.
Gaun hitamku masih rapih melekat pada tubuhku, namun rambutku, yang hanya sepanjang bahu, sudah ku urai, agar kau bisa menghirup harum bunga sakuranya.
Kita menari, pelan, sembari menengguk asam dan manisnya anggur Bordeaux itu.
Ku kira Chet Baker telah letih bernyanyi dan bermain trumpet, suaranya perlahan hilang, digantikan oleh suara jangkrik dari luar sana.
Aku pun lelah, ku rebahkan tubuhku di sofa coklat itu, menyandarkan kepala di dekat sampiran jasmu, menghirup bau cendana yang hampir hilang.
Kau menghampiriku, memelukku erat, menghirup leherku, pipiku, dan mengecup bibirku.
Pelan-pelan, satu per satu pakaian kita tanggal, di bawah cahaya temaram, ditemani suara jangkrik, kita melebur, melebur jadi satu.
Tanah Ubud, tak pernah gagal membuatku jatuh cinta, sengaja maupun tidak.
terinspirasi dari lagu Sal Priadi berjudul sama.
Sipaa Adriani Jun 2019
Rasanya tubuhku seperti ditikam jutaan kali
Ragaku,perlahan mati
Rasaku hancur tak bertepi
Dan kau si bajingan,yang ku dambakan
Yang selalu ku beri pujian
Yang detik ini masih pertahankan
Tapi malah membunuh ku secara perlahan

Aku benci hadirmu yang selalu membayangi diri
Disaat ku mulai melangkah kan kaki
Sejauh mungkin, melupakan kau
Dan rasa kita yang perlahan mati

Tolong,untuk kali ini
Jadilah bajingan yang sedikit punya rasa baik hati
Bantu sedikit aku memulihkan raga ini
Bantu aku sedikit percaya diri
Bahwa kau memang sudah sepantasnya tak di sisi
Pergilah jauh dan tak perlu lagi kau kembali disini

Rasaku sudah mati
Sejak kau memilih berlalu pergi
Aku benci
Tapi aku mencintai
Sundari Mahendra Mar 2017
Hoam....sudah jam 4 pagi
Alarm sudah berbunyi
Memanggilku untuk segera berdiri
Keluar dari hangatnya selimut

Hoam....aku masih mengantuk sayang
Dan dengarlah suara rintik hujan
Dan riuhnya gemuruh diatas
Bertanda hujan belum akan usai

Hoam....berilah aku beberapa menit lagi
Untuk mengumpulkan kekuatan dan kemauan
Mengalahkan segala bisikan
Untuk tetap tinggal saja dirumah

Hoam....baiklah, baiklah
Alarm kembali berbunyi
Kenapa kau paksa aku pergi
Sedangkan tubuhku begitu pedih
Untuk mendapat sekucur air dingin
Membuka mata lebar-lebar
Menggerakkan tangan dan kaki
Untuk berkarya dan bekerja kembali
Aku butuh kau
Ingin ku merengkuhmu
Ingin ku membelai wajahmu
Ingin ku menggenggam jemarimu
Ingin ku mencium keningmu
Merasakan hangat tubuhmu
Nafasmu
Senyummu
Denyut nadimu
Kehadiranmu menjadi narkotika untukku
Ketergantunganku akan hadirnya dirimu
Membuat pikiran ini kacau balau
Sakau
Hangat tubuhku untukmu
Kupersembahkan nyanyian rindu untukmu
NURUL AMALIA Nov 2018
itukah yang dinamakan gagal?
hatiku berteriak keras mengguncang isi tubuhku
sudah.. tak guna semua ini bibirku mengoceh pelan
ingin rasanya berlari jauh pergi
kemana? tak tahu arah jika rasa syukur tak bertahta di diri ini
sudah.. bersabarlah!..sisi lainku mencuat..
pura- pura saja aku tegar..
didepan mereka..orang terkasih
harapan dan doa terpancar jelas menyiangi ketakutanku
iya aku takut..
membuat mereka lara
tapi sekali lagi..sudah
mereka hanya menyuruhku untuk bersyukur..
menjadikan itu elegi
tetapi hari esok haruslah berseri
KA Poetry Dec 2017
Mahluk Tuhan yang begitu murni
Menutup diri untuk tak terlihat
Melihat hanya dengan doa
Menggincu disisi akhlaknya

Dusta bahwa dia tiada lain dari sempurna
Dia lah arti kata sempurna
Dusta bahwa dia tidak berjalan dengan arahanNya
Dia lah jalan untuk diriku berpulang

Rajutan luka perih di jiwa
Penyembuh kesepian
Reinkarnasi seorang malaikat
Permata yang paling berharga

Kau adalah jantungku
Berdetak di setiap detik kematianku
Kau adalah darahku
Berjalar renang disekujur tubuhku

Membuatku merasa hidup.
04/12/2017 | 19.52 | Indonesia
Megitta Ignacia Mar 2020
Bandung begitu kelabu,
dadaku kosong
rentang fokus kabur entah kemana
ada kacau yang meruang di tubuhku
tersisip kicau yang kian gaduh kepalaku

terus menerus menimbang
mempertanyakan perkara ranah juang
bolak balik singgah pada keraguan
lalu sebentar mampir pada keyakinan

ia, aku, terpicu keras sekali
kilas balik membeludak dalam benak
beririsan dengan manisnya kenyataan
yang juga selalu menjagaku erat

aku benci terpicu seperti ini,
guru geografi pernah ajarkan
ketika panas bertemu dingin, terjadilah puting beliung
ada puting beliung yang meruang di tubuhku

lalu hembusan nafas mengembalikan sadarku
cepat-cepat harus kukerdilkan imajinasi
ya Bapa di Sorga, bebaskan aku dari kekang gelisah
aku hanya ingin melepaskan apa yang perlu dilepaskan
aku lelah mengunci diri dalam kegelapan
030320 | 00:25 AM kamarku di bandung, ternyata kejadian 2 hari lalu masih secara berat nge-triggered sebagian besar porsi acara pulkamku. Rencana untuk rehat cukup berantakan, karena pikiran yang terus-menerus flashback ke masa indah, tapi juga terus menguatkan diri sendiri buat sadar what's done is done. Kaya baru sadar bahwa tuhan menopangku melalui A, without him idk if I could survive my broken heart back then. Found myself not really functioning, makan tp gaada rasanya, jalan tp pikiran masih aja kalut, nyetir atau ngapain aja tapi dalam dada seperti ada coretan hitam awut-awutan kaya di serial Bojack Horseman haha. This too shall pass, percaya tuhan ga pernah "salah" nulis, god's timing is perfect, never too ahead, never late & semua janjiNya akan digenapi, teringat Isaiah pasal 55:9 "As the heavens are higher than the earth, so are my ways higher than your ways and my thoughts than your thoughts." tuhan tau apa yg terbaik, karena dia ada di masa lalu, masa sekarang dan masa depan.
Bella Ayu Apr 2019
Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa yang menjadi ketakutan terbesar kamu?
Saya sadar, kamu terlalu idealis.
Saya tidak berpikir kita akan menjadi hebat bersama karena kita sempurna tetapi karena kita cacat.
Anehnya kita masih saling mengerti satu sama lain.

Suatu hari saya akan bertanya kepada kamu, apa itu cinta?
Dan kata-katanya akan membuat tubuhku kaku, mengapa kamu begitu takut mencintaiku?

Suatu hari kita akan bertemu lalu saya akan bertanya kepada kamu, apakah kamu ingin tahu apa yang selama ini saya pikirkan?
Kamu ketakutan lalu mengacaukannya.

Suatu haru saya akan menemui kamu lalu saya akan bertanya, mengapa kamu meninggalkan saya?
Kamu tidak bisa menjawab lalu kembali bersembunyi.
Diadema L Amadea May 2018
Setelah kurasa lelahku butuh hiburan
Aku ingin meredakan linu-linu
Lancong ke kepalamu mungkin bisa jadi pilihan

Membawa kangen yang tertumpuk penuh akhir akhir ini
Merebahkan tubuhku disana
dan bicara tentang senja yang memar di punggungmu
kurasa kamu adalah salonpasku
Megitta Ignacia Mar 2020
Diamku itu
sebentuk kedewasaan
hasil tempaan semesta

Pura-pura rabunku itu
sebentuk kedewasaan
bisikan suruhan semesta

Jarak tubuhku yang sengaja kujauhkan itu
sebentuk kedewasaan
kesadaran yang ditumbuhkan semesta

Mungkin bumi terlalu banyak diputari bulan
mungkin juga ini jawaban doamu
sampai akhirnya membawaku padamu lagi
aku bisa saja menghampiri & menhakimimu
atau memuntahkan segala rasa & pikiran saat itu

Kedewasaanku itu
bukan hanya cerdiknya lidah bertutur manis
kau saksikan sendiri matangku

Memang masih sedikit perih
hantu kenangan buruk yang terpanggil dadakan

Kedewasaanku itu
adalah sebentuk ikhlas
adalah bentuk penepatan janjiku
bahwa tidak akan kuganggu dirimu
Kau tahu tidak?
290220 | 18:53 PM, JIEexpo Kemayoran Jakarta, panggung mld spot. God is strategic. Di tengah kesibukan di bali, tiba2 pgn pulang ke bandung & tp krn gaada flight yg cocok di kertajati dipaksa turun di jkt kebetulan keluarga memang mau ke javajazz dr bdg jadi bisa ikut pulang. Sm sekali at all ga pengen ikut kmn2 cm mau di hotel, atau mau berkelana sendiri main ke mblock & museum macan. Taunya akhirnya tetep ikut, trs di dalam gw & bokap kepisah sm nyokap & adik. Gw udah cape nyusurin booths, jadilah nonton faris rm padahal bokap males tp gw paksa tanpa ada ekspektasi apapun, toh udah bbrp x jg nonton faris di bali, tp namanya cukup familiar. Abis maksa bokap buat duduk sila di karpet, dia point out agak teriak gitu ke gw kalau ada muka familiar, trs gw memang sama sekali ga peduli, ga ngecek & anggep dia delusi krn lg gelap juga lightingnya. Pegangan gw adalah bener/ga bener pun, chapter buku yg memang udah selesaiya udah ditutup dan udh gw buang ke kolong pikiran, udh ikhlas ga berasa apa2 juga, masa pedihnya udah cukup berlalu hampir setaun yg ilang memang udah gw anggap mati sekalian. Abis nonton, keluar mau makan smbil menenangkan panic attack krn tetep ketriggered, sambil nelpon kesayangan di pulau sebelah, ada figur yg cukup familiar bulak balik dpn gw. Tapi yasud memang gw anggap dia hanya hantu seliweran. Ya gitu, semarah apapun, gw udah naik kelas, ga perlu ada yg dijelaskan kalau dari sisi gw, toh udah gw perjuangin sampai titik penghabisan pun malah dulu dilemparin kata-kata menusuk hati & minta dirinya ga diganggu. Mungkin dari sisi hatinya beliau yg belum damai mangkanya bulak balik mondar mandir kaya setrikaan. I saw you, I froze a little, tp memang kini sudah bukan pada tempatnya lagi, I'm happy & in love with A. You're a closed book E, I still care but what I'm capable is to pray & wishes you all the best from a far.  Sejujurnya, ga ngerti kenapa semesta bikjn ada plot twist kejutan ini, tp gw percaya rencana Tuhan ya yg terbaik.
Oka Aug 2019
Langitku penjajah
Menghalangi hangatnya mentari
tubuhku diinjak, teriakanku dibantah
Air mataku mengalir, ketawanya nyaring
Dimana langitku dijunjung
Disana diriku ditindas
Y’all heard of papua?
VM Jan 2021
Tiga musim berturut-turut aku berupaya keras menggila
Di saat kewarasanku sedang ambruk
Pada saat yang sama aku tidak tahu apakah kau sadar bahwa aku sedang merasa
Atau jangan-jangan kau memang tidak pernah memerdulikannya
Sedikit banyak aku berharap semoga kau tidak perlu membaca ini
Jika iya, artinya aku sudah tiada di sini

Meskipun aku harus melihatmu mengenakan kaus hitam dengan rambut sepanjang itu—tentunya aku tak tahu bahwa rambutmu bisa tumbuh sepanjang itu
Dengan bunga berwarna kuning di telinga
Kau nampak seperti orang asing di mataku dan itu membawa ketersengsaraan sendiri
Suara-suara teriakan temanmu yang membuatku tertunduk layu
Semoga kau sadar bahwa—ya, aku keliru, tapi bukan itu harapanku
Aku tak pernah berburu air mata
Cacatnya tindak-tanduk
Dambaan-dambaan fana
Janjimu menjadi cerminan bahwa semuanya tak semestinya terjadi
Jika ya, artinya kau sudah tiada di sini

Mengenai ibuku—kau tahu dia tak paham bahasa tubuhku
Tak paham raut lukaku
Untuk perundingan hening pada pagi buta lain nya
Sepertinya kita terbiasa mengemasi firasat
Untuk senyuman tanpa arti dan tangisan tanpa rupa yang masih saja dipertimbangkan
Akankah kau halang aku untuk menghembus telapak kaki nya?
Jika ya, artinya aku sudah tiada di sini

Si Manis, yang tutur kata nya lembut
Namun siap untuk memecahkan piring makan kesukaanmu
Ruam pada tubuhmu
Bukan salahmu
Masihkah kau berdiam mematung?
Untuk anjing-anjing yang terus kau rawat
Noda pada kamar mandi yang kau bersihkan
Dan kaki-kaki yang kau pijat
Jika ya, artinya kau sudah tiada di sini
a daydreamer Oct 2018
Tubuhku berisi daging dan darah yang mengalir; tapi yang kurasakan hanya kehampaan yang mendalam.

Aku tidak bisa merasakan sedih, walau kulit tergores dan darah mengucur cepat. Hanya kekosongan yang menggali dan membolongkan dadaku.

Aku tidak bisa merasakan manis, walau mulutku dipenuhi makanan penutup lezat. Hanya kepahitan yang menetap di lidahku seperti mengunyah obat tablet mentah.

Aku takut. Aku takut menjadi hantu.

Aku ingin menjadi manusia lagi. Aku ingin merasakan sesuatu.
Amira I Apr 2018
Waktu masih menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit siang itu.
Aku sedang berada dalam perjalanan singkat yang ku tak tahu mengapa terasa lama.
Entah dari mana kabut-kabut itu muncul, menyapa dedaunan, ranting, serta bunga-bunga mungil yang baru saja mekar.
Hujan tidak lebat kala itu, bahkan tidak tumpah barang setetes pun.
Kabut yang teduh namun diam-diam membutakan.
Yang tanpa ku sadari telah menculikku ke entah berantah, jauh dari realita yang ada, aku berlarian menembusnya tanpa takut tergelincir pun terjatuh.
Meski dinginnya udara sudah meresap ke dalam tubuhku, mengalir bersama aliran darahku, juga perlahan menusuk tulang belulangku, aku merasa aman.
Sebab ternyata, kabut adalah teman baikku, yang telah lama hilang; namun kini ku menemukannya kembali.
kekasih, sebelum takdir melenyapkan tubuhku
dan takbirku menjadi sesuatu yang senyap

ajari aku mencintaimu:

ajari lidahku menyebut namamu
ajari mataku melihat parasmu
ajari telingaku mendengar suaramu
ajari tanganku memegang tanganmu
ajari kakiku melangkah padamu

sekali lagi

agar aku, kekasih, yang cuma
hamba sahaya ini bisa merdeka

merdeka adalah berada di haribaan cintamu
sepanjang waktu
2017
EVewritesss Apr 2018
Jemari mulai gemulai
Dikala ia mulai melambai
Bahasa tubuhku tidak diragukan lagi
Lika likunya sudah tertebak dari haluan pertama bapak satpam
Dia mulai menyapa
Aku teriak keras
hatiku yang teriak
Hawa panas tubuh beriringan membara bersama
Peluh terbawa jatuh dipipi
bisa bayangkan, bagaimana wujudku waktu itu....
Kini, segala fana itu harus di nikmati, entah menarik, suram, dan basi
Aku pikir, kapan lagi akan bertemu dan beradu argument sedekat itu
Kapan lagi berdialog serius dengan elokan tubuh cukup dekat
Kapan lagi aku bisa pandangi wajahnya 4 cm lebih dekat dengannya....
Jadi kupikir, aku harus syukuri, jika nanti tak bisa lagi. Yasudah ku kenang saja....
Nanti senja jadi pelengkap saat mulai mengenang moment itu, sudah ku jadwalkan
Jangan sia-siakan waktu dan selebrasi saat berasama dia atau mereka. Coba nikmati, arungi bersama, cairkan bersama. Pasti indah rupanyaaa
ga Sep 2018
Nyatanya aku masih terjaga
Disaat kuucapkan selamat tidur untukmu
Setiap jengkal serat tubuhku tak ingin berpisah darimu
Sekalipun malam telah membelaimu dengan lembut, siap sedia menyanyikan lagu tidur untukmu
Aku tak rela

Nyatanya aku masih bermimpi, di pagi hari kau membangunkanku
Tak ingin kulepaskan genggaman tanganku
Tak ingin kusudahi wajah kita yang saling menatap
Takkan kubiarkan hangat tubuhmu menguap
Aku tak ingin terjaga

Nyatanya aku merindukan dirimu
Saat aku mengurungkan niat untuk berkabar
Saat amarah memberi mata pada cinta, hingga ia tak lagi buta
Ketika tawa tak lagi terdengar
Ketika kata tak mampu terucap
Aku tak ingin berpisah

Nyatanya kau tetap setia
Sekalipun cintamu berlayar dalam diam
Kala sumpah serapah yang membabi buta, mengawali malam kejam yang tak membiarkanmu terlelap
Meskipun air mata telah menggantikan suara
Dan dua surga yang tak bisa bersatu
Maafkan aku
01/09/2018
Maafkan aku, aku tak ingin berpisah, aku tak rela
ga Aug 2018
Tawa renyahmu di sela-sela bisikan lembut
Menghangatkan malam yang dingin
Ingin kumiliki sepasang sayap di belakang pundakku
Agar bisa kubawa tubuhku ke hadapanmu, kapanpun kau katakan rindu
Kupasrahkan seluruh ragaku atas senyummu yang menyihir
Kurelakan setiap jengkal kata yang kuucapkan,
setiap detik yang kulewatkan,
setiap nafas yang kuhembuskan,
setiap detak dari jantungku,
Untuk kau kuasai

Malam-malam yang membelaiku dengan lembut
Memberiku alasan untuk terlelap dengan nyaman
Namun kau datang meretas mimpiku
Suaramu selembut angin memetik dedaunan musim gugur,
menggema dalam kepalaku
Senyummu semanis madu mengaliri relung-relung hatiku
Sentuhanmu sedahsyat guntur menggelegar
Memaksaku terbangun seketika dan menyadari
Kaulah mimpi yang tak ingin kusudahi

Kau menumbuhkan taman bunga di tengah padang pasirku
Kau memaksa bulan muncul di saat pagi hariku
Kau memutar badai pada lautku yang tenang
Kau memancing senyum saat hari-hari kelam

Kau bara apiku yang terus meradang
Kau kicau merdu yang menyambut sejuknya pagi
Kau bintang-bintang yang menutup dinginnya malam
Kau cinta yang mengisi hatiku hingga memerah
12/08/2018
Mimpi yang tak ingin kusudahi,
Angan yang selalu ingin kuandaikan.
Megitta Ignacia Sep 2019
bara tubuhku
satu nafas, tikaman di perut
tapi bukan dari luar
bukan dari luar

cairan menjelma jadi belati
satu tegukan ramuan rempah sakti
rimpang agung warisan bumi pertiwi
jemari kuning si mbok hadir membukti
hangat jamu kuning pekat nan wangi
meresap, dinding terkikis
rasanya jantung diri digenggam keji

kini terlepas dari ragaku
sebegini ampuhnya
hingga ia menyerah luruh
sewaktu-waktu berdalih biasa saja
itu hanya gumpalan darah biasa
tidak ada yamg mengambil jiwa secara paksa
maklumkanlah
tubuhnya saja belum terbentuk sempurna
itu hanya gumpalan darah biasa
240919 | 00:09AM, kecemasan yang itu-itu lagi, perkara kesiapan, lamunan imaginasi tentang ada atau tiadanya makhluk kecil di tubuh manusia. Para wanita umumnya tahu persis kecemasan bisa diselesaikan dengan pelancar datang bulan.
tubuhku milikmu
jiwaku milikmu
mataku tidak bersinar lagi
aku benci
cinta ini asli
tetapi
1+1 tidak bisa menjadi 1
cinta ini dosa
aku kotor dibuat olehnya
tetapi aku cinta,
bukan dengannya
tetapi dengan perasaan palsu ini.
Semoga kamu masih ingat.

Seperti aku yang ingat betul suhu tubuhmu pada pukul 3 pagi saat hujan turun dan tubuhku sibuk mencari kehangatan yang kau tawar.

Semoga kamu masih ingat.

Caraku menciummu, dengan segala isi yang aku punya.

Tunggu,
Cukup dengan pembahasan “semoga kamu masih ingat” ini.
Apa nyatanya kau sudah lupa semua ?

Kalau begitu lebih baik ajari aku.
Bagaimana pilihan menjadi lupa begitu mudah untuk semua ?
Aku bermain dengan Raja Hutan
ophelia Sep 2019
tubuhku sudah terlalu enggan untuk semuanya,
jangan tanya pikiran,
aku bahkan berharap untuk menjadi orang gila saja,
Tuhan,
jika harus hidup seperti ini, biarkan lah aku mati saja.
Ingar bingar Nov 2021
Rasanya seperti ingin muntah,
perutku bergerumul,
dadaku bergemuruh,
hatiku penuh amarah,
tubuhku lemas tak bertenaga.
Aku lelah.

Air mata di ujung pelupuk mata,
mengalir deras sekali terpicu.
Sumbu kesabaran yang kian pendek,
terus menerus terbakar oleh amarah.
Aku lelah.

Hari-hari berlalu begitu saja seolah tak bermakna,
yang kutunggu hanya Sabtu Minggu saat tak perlu kutatap layar terang itu 12 jam sehari.
Detik-detik lewat tak memandang lara dan amarah yang terus membakar hati
Apa aku bisa bertahan, atau sebentar lagi hati ini mati?
Aku lelah.

Bakar. Bakar. Terbakar.
Bila hati ini kemudian mati dan dipenuhi kebencian dan kegusaran,
bila kemudian ia dikuasai oleh kegelapan,
bila hatiku mati...

Aku bagaimana?
Nita Sep 2020
Kemarin
Hari ini
Atau lusa
Tubuhku melayang di antara semesta
Bersama konstelasi bintang
Lalu terhempas di antara Sabana
Sekali lagi, aku merayakan kesedihan
-Kesedihan sesekali harus dirayakan.

— The End —