Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Aridea P Oct 2011
Pernah ku tulis surat untuk mu
Yang indah berisikan tentang cinta
Ku ingin kau tahu akan isinya
Tapi, tak pernah sampai pada mu

Selalu tertahan di sini
Ku kumpulkan saja sendiri
Dan akan ku terbangkan ke angin
Agar membawa surat ku pada mu

Mungkin kan sampai
Tapi, apa kau terima semua?
Tersenyumkah kamu, saat membacanya?

Apa kau tak merasa
Surat ku penuh dengan cinta
Berapa kali ku tulis cinta
Mungkin penuh tak tersisa

Renungkan surat ku
Yang penuh cinta untuk mu

By. Aridea Purple
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Diska Kurniawan Apr 2016
Pukul satu, kakiku melangkah ke sudut warung kecil itu
Sunyi, lalu ku pilih tempat duduk di ujung sana
Setelah memesan kopi, pilot ku menggores kertas
Yang sama putihnya dengan kulitmu
Tak lupa kubakar ujung rokokku
Yang namanya sehangat pelukanmu
Lalu kuhembuskan kepulan asap tembakau
Menguar sama harumnya dengan tubuhmu
Sepekat nikotin di pembuluhku

Ku tulis kisah kita, dari awal mula hingga akhir bersua
Yang terdampar di sudut kenangan dan rindu,
dan kupaksakan masuk ke dalam loker kerjaku
Sehingga lupa ku adalah tabu, dan memoir adalah *****
Dirimu ku lukis dalam surat ini;


"Di hingar bingar kota, dimanakah kau berada?
Jika lelahmu beradu, dimakah kau berteduh?
Aku disini kasih, Surabaya tempatmu lari
Menolehlah jika kau ada di sudut persimpangan
Mungkin, aku disitu mencari dan mencari
Sisa-sisa cintamu jika itu memang terjatuh
Menadah air matamu, jika itu memang tercecer.
Temui aku, jika berkenan menjumpa nostalgia"


Kuhembuskan uap-uap tar yang menguning
Menerawang di bohlam remang-remang.
Ketika kabut itu pergi, begitu pula aku
Saat api ini padam, redup juga jiwaku

Pukul tiga aku beranjak,
Bayar dan pergi
Surat itu kutinggalkan di atas meja.
Credit to Burhan-san for title
Favian Wiratno Jul 2018
Sepucuk Surat Cinta kutuliskan untukmu
Isinya bukan tentang bagaimana cantiknya dirimu
Atau betapa indahnya tatapanmu

Sepucuk Surat Cinta kuwarnai untukmu
Isinya bukan tentang janji janji murahan
Atau pujian pujian manis tentang senyumanmu

Sepucuk Surat Cinta kuhias untukmu
Isinya kosong,
Tidak ada bualan omong kosong
Maupun pujian pujian palsu
Hanya kosong.
Bukan karena aku tidak bisa
Tapi memang aku sudah tidak merasakan Cinta

Sepucuk Surat Cinta kuberikan untukmu...
cinta indonesia patahhati
Aridea P Nov 2011
Palembang, 28 JULI 2011

Ya Allah,
Kamu tau nggak setiap hari aku selalu sakit?
Kamu tau nggak BESAR banget keinginan aku buat ketemu Westlife?
Kamu tau nggak setiap detik aku pengen punya BB?
Kamu tau nggak setiap hari aku nunggu pesanan yang aku minta sama Kamu?
Kamu tau nggak aku selalu ingin terusmenyembah-Mu?

Tapi mengapa Engkau masih musuhi aku?

Jawab pertanyaan aku ya Ya Allah :)
Maa ki mamta ko dekh maut v
aage se hat jati hai
gar  maa apmanit hoti
dharti ki chaati fat jaati hai
ghar ko pura jeevan dekar
bechari maa kya pati hai
rukha sukha kha leti hai
paani *** kar soo jati hai

Jo maa jaisi devi ghar ke
mandir me nahi rakh sakte hai
wo lakho punya bhale kar le
inshan nahi ban sakte hai
maa jisko v jal de-de
wo paudha sandal ban jata hai
maa ke charno ko chukar paani
Gangajal ban jata hai

Maa ke anchal ne yugo-yugo se
Bhagwano ko pala hai
maa ke charno me jannat hai
Girijaghar aur Shivala hai
Himgiri jaisi unchai hai
sagar jaisi gahrai hai
dunia me jitni khushboo hai
maa ke anchal se aaye hai

Maa kabira ki sakhi hai
maa tulsi ki chaupai hai
meerabai ki padawali
khusru ki amar rubai hai
maa angan ki tulsi jaisi
pawan bargad ki chaya hai
maa ved richao ki garima
maa mahakavya ki maya hai

Maa maansarovar mamta ka
maa gomukh ki unchai hai
maa parivaro ka sangam hai
maa rishto ki gahrai hai
maa hari dubh hai dharti ki
maa keshar wali kyari hai
maa ki upma kewal maa hai
maa har ghar ki phulwari hai

Saato sur nartan karte jab
koi maa lori gaati hai
maa jis roti ko chu leti hai
wo prasad ban jati hai
maa hasti hai to dharti ka
jarra-jarra muskata hai
dekho to dur kshtiz ambar
dharti ko sheesh jhukata hai

Mana mere ghar ki deewaro me
chanda si murat hai
par mere man ke mandir me
bas kewal maa ki murat hai
maa saraswati lakshmi durga
ansuya mariyam sita hai
maa pawanta me ramcharit
manas me bhagwat geeta hai

Amma teri har baat mujhe
vardaan se badhkar lagti hai
he Maa teri surat mujhko
bhagwan se badhkar lagti hai
saare teerath ke punya jaha
mai un charno me leta hu
jinke koi santan nahi
mai un maawo ka beta hu

Har ghar me Maa ki puja **
Aisa sankalp uthata hu
Mai dunia ki har maa ke
Charno me ye sheesh jhukata hu.....
Copyright© Shashank K Dwivedi
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
Imagine a warehouse of apples with their individual conciousness.
They are labelled and categorised.
They are segregated.
The apples are gathered and put into boxes marked
by what they want to be known by,
their commonality/mentality.
If a bushel of apples are a stigma, they are put into boxes marked by what the other apples tag them by.

In a self-marked box, by the name of “surat zayifa” an apple lays at the juncture of the pyramid of analogous red,
maggots eating away at it’s heart.
The apple turned crimson hued to an evangelist blood maroon. Smouldering; festering like an open wound.
A stinging aura besieged it,
suffocating the air like sharpnel stuck in the throat.
The apple, consumed by a dark resurgence and a devilish resolve,
spoke in tongues of the serpent and supplanted seeds of pestilence in the hearts of the apples who joined his brooding virtue.
A collective conciousness was supplanted among the fruit,
imprinted with the face of death.

The world of apples, thrive on each other and face the forebodings of life together in spite of their marked differences in a state of throbbing dependancy.
The apples feed on the apples.
Another self-marked box, by the name of “khalas” were set to consume the apples from “surat zayifa” to continue finity,
unwary of their poisoned souls.

The apples fed on the apples and almost every other apple rotted and perished.
The apples that survived were the ones who consumed the apples unblemished in spirit.
All the others apples from all the other boxes blamed “surat zayifa” as a whole.
Even the apples purest, were tainted by the sins of the other apples,
the ones to take the blame for the misdeed of their creed.
The box was now marked in disgrace, a vehemence, a scourge.

The last remaining poisoned apple that was set to perish from “khalas” did something morally unhinging before it’s spirit departed;
the apple smeared it’s tan blood with words on the cardboard and dropped dead.

The singular light bulb flickered, the pulse strained.
Everything fell silent.
The words read “ We are ourselves. We **** ourselves.”
This one goes out to those falsely persecuted in the name of religion and to those who give their religion a bad name and to the ones who suffer for the sins of their brothers.
estelle deamor Dec 2014
Karuyag ko pagsurusuntukon ini nga busag nga ****-****
Pero sigurado nga maul-ol
Salit, adi nga ulunan nala

Karuyag ko mamusdak hin mga pinggan nga nakatambak ha banggera
Pero magluluto pa ngay-an hira hin sura
Salit, niyan pagkatapos nala

Karuyag ko kumurahab hasta ako mapaas
Pero may bata nga nakaturog bangin makamata
Salit, tik-om nala

Karuyag ko manrabot hin tawo
Pero naguusahan la ako ngadi ha kwarto
Salit, it akon kalugaringon nala

Karuyag ko gusi-gusion an mga surat nga ginhatag mo ha akon
Pero aadto ha hunos, maupay an kahipos
Salit, sunod nala

Karuyag ko na bumul-iw ngan talikdan ini nga grasya
Pero waray ka bumaya
Salit, ayaw nala
Here is another Winaray poem or commonly known as Siday. It's title "Karuyag ko maghingit, pero" means "I want to whine, but" shows the writer's struggle from fighting the urge to break out but confronted by endless reasons or may I say, procrastination not to do it anyway. English version may follow shortly.
el Mar 2016
lagi, aku menulis untukmu. tidak pernah bosan jemari ini menari diatas kertas putih merangkai kata hanya untukmu, seseorang yang lebih berharga dari sebutir berlian termahal di duna ini.

teruntuk seseorang yang namanya masih belum mampu aku tulis diatas kertas ini,
selamat hari minggu. semoga minggu depan lebih baik dari minggu ini. tenang saja, aku sudah meminta kepada Tuhan untuk menukar seluruh kesedihanmu selama seminggu ke depan dengan kebahagiaanku. ah, tenang saja. aku bisa menahan rasa sedih sebanyak apapun itu.

apa kabar? bagaimana senjamu kemarin? apakah mengesankan? ah, sangat disayangkan. bagiku, setiap senja datang mengunjungi mengintip dari sela-sela jendela kamar, sinarnya selalu mengingatkanku kepadamu. aneh, bukan? hah, mengapa setiap hal yang aku lihat selalu mengingatkanku padamu? mau sampai kapan kamu tetap bersarang dibenakku? tapi aku berjanji, setelah kamu selesai membaca surat usang ini, aku sudah melupakanmu dan seluruh kenangan indah tentangmu.

tujuanku kali ini adalah untuk mengucapkan terima kasih. terima kasih telah mengajariku bagaimana rasanya dijaga dan diperhatikan. bagaimana rasanya jatuh hati. bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja. bagaimana rasanya mengukir rindu diatas batu. aku ingin berterima kasih kepadamu. dan aku berterimakasih kepadamu. karenamu, aku dapat paham bagaimana rasanya mencintai seseorang tanpa timbal balik.

aku hendak pergi. maka itu, aku menulis surat ini sebagai tanda perpisahan denganmu. aku akan pergi meninggalkanmu di belakang. aku akan melepasmu pergi, membiarkanmu mencari kebahaigaanmu sendiri. karena aku akan berkelana mencari kebahagiaanku.

aku akan mengikuti kemana angin akan membawaku. aku ingin bebas leluasa mencari penggantimu. tidak mungkin selamanya aku akan hidup di dalam bejanamu. sudah cukup banyak air mata yang tertahan karena diam mengagumi dari jauh. hal itu sudah cukup membuat hati tersayat sangat dalam. bahkan dengan kecupan macam apapun tidak akan memperbaikinya.

satu hal yang aku minta darimu.
berbahagialah dengan siapapun itu perempuan pilihanmu. hargai dia dan perlakukan dia seperti dia adalah perempuan terakhir yang akan kamu lihat. aku tidak akan pernah berhenti mendoakan kebahagiaanmu. dimanapun kamu berada, berbahagialah.

selamat tinggal. terima kasih untuk 1.700 hari ini. aku belajar sangat banyak. aku tidak akan melupakanmu seutuhnya. aku akan selalu mengingatmu sebagai senja favoritku.
berjanjilah, jangan pernah mencariku lagi.
Tom McCone Mar 2014
dunedin. friday, three, afternoon.
set from home under a blue sky
with full& prepared pack,
a somewhat empty stomach,
and a necessity to get away from the city.
hiking boots tread asphalt down to the depot,
where, in thirty-seven minutes punctuated
by plastic seats grafted to a wall
and a mildly disjunct group of small or
big-time travellers, the naked bus
pulled in, a hematite centipede
crawling into the lot. it was a bus,
no complaints. all others' bags
stowed, twenty seven bucks outta pocket
and swung into the front-right-window seat,
bid a farewell to the beat-down
pub across the road and onto the one-way
merging into a highway and outta
town the dark bug skittered, on
schedule or something resembling it.
behind the driver, the sun came through
around the beam in the window. warm patterns
laid on skin, the countryside's broad expanse:

cylindrical bales of hay scattered about
paddocks, dark late-autumn florets of flax
on roadsides, plumes of white smoke from
bonfires in townships as small as a thumbnail,
hedgelines of eucalyptus, pine; russet streaks
through bark of single gum trees stood
off-centre in fields. sticky-wooded hillsides
punctured by fire breaks roll almost forever
and back. the rushing sound of passing cars
through the 3/4-golden ratio of the driver's
ajar window; twenty-first century mansions
verging on out-of-place. saplings emerging,
bracketed, through verdant grass patches.
museum abbatoirs. toitoi like hen's plumage
lining drainage ditches. another Elizabeth st-
(how many could be counted out by now?) tidy
front yards and milton liquorland through this
small town. an everpresent tilting sun. fields
of flowered nettle. s-bends through pancake layers
of hills. a delapidated gravel quarry at stony
creek. deer farms, sheep farms, bovine farms, alpaca
farms (favourite); another bonfire seen down a
long gulley; a power substation, all organized
tangles. a two-four 300m before the bridge into


balclutha. 4.40pm.
across the road into the i-site
two friendly ladies circle locations
to make (got a car) or try to make (on foot),
offering a ride in half an hour,
leave it to chance.
across another road, drifter's emporium
(that's the name, no joke) got a knife
to open up cans- bought no cans, brought
no cans, still nice to have one anyway.
down the road, 200ml from unichem, waste
no time, turn ninety degrees, cross a
railway, then outta town in a sec. first
photo: half highway, half clutha river. fine
shot. sit down, watch the water couple mins,
head down the road. red-black ferns radiate
under willows down the riverbank. metal
bumper-bars keep legs on, the road rolls
gentle turns, diverges from the river. stick
to the former, faster that way. no intentions
of hitching. just wanna walk. and walk. and
walk. guy yells out a car window. envy,
likely. who cares. apple tree hangs over
a dry ditch. pick a small one, gone in
a minute. probably ain't sprayed. been
eating ice-cream dinners more often'n
not the last coupla weeks- isn't much
the stomach won't or can't handle anymore,
anyway.

odours of decay from the freezing works.
seagulls sound out nearby.
typical.

down the road, the reek of death fades
out. back to grass. sit in some of the
tall stuff, under a spindly tree. put down
some ink, a handful of asst. nuts. 'bout
thirteen fingers of daylight left. no idea
if the coast is further than that. little
care. down the road the land flattens out,
decent sign. the junction was a fair bit
past reckoned, though. flipped a chunk
of bark (too lazy to get a coin out) to
figure whether the coast was worth it. bark
said no, went out anyway. gotta see the sea,
keeps you sane. past a lush native
acre or two- some lucky ******'s front lawn-
changed mentality, slung out a thumb (first
time). beginner's luck, kid straight outta
seventh form pulls over in a mustard-yellow
*******' kinda beach-van. was headin' out
to the coast, funnily enough. had been up
in raglan (surf central, nz), back down with
the 'rents now, though. out kaka point, only
one of his age, he reckoned, no schoolhouse
there, just olds. was going to surf academy,
pretty apt. little envious.

the plains spread out and out, ocean just
rose up out of a field. there's nothing
more perfect. gentle waves stroke the sands,
houses stare intently out at the mingling of
blues. one cloud hovers so far away it doesn't
even exist. down the other end of kaka point,
back on solid ground, walking into a gorge, laments
about not choosing the coastal route. but owaka
is the new destination, bout 11ks, give or take
(5ks later, sign says another 15.. some give). nothing
coulda beat that sight anyway, stepping outta
a van onto that pristine beach.

entry: gorge route to owaka. seven.
late light painted the tops of hills absolute
gold. thought maybe this way ain't so bad. beside a
converging valley, phone got enough reception
for dad to get through. said in balclutha coulda
got a room with a colleague. too far out now. lost
him in the middle of a sentence about camera film.
surprised to have even got that far. road wound
troughlike through the bottom of the gorge, became
parallel to a cute little stream. climbed down chickenwire
holding the road in place, ****** in it (had to).
clambered back up, continued walking as the occasional
campervan rolled on by. took a photo of the sun perched
on a hilltop, sent it to mel. dunno why. anxieties
over the perfect sunrise picture came frequently,
a goal become turmoil. the gorge flattened out,
and soon in countryside my fears allayed. round
a corner in picturesque nowhere, found my shot.
sat in long grass. stole it. sighed. ate a handful
of nuts. moved on. {about eight}

dark consumed the surrounding gentle-rolling hills,
nowhere near owaka, which was probably the tiny bundle
of lights nestling a little below the foot of a
mountain in the distance (not too far off, in
reality). near the turnoff to surat bay (was heading
there, plans change) a ute honks. taken as friendly.
a right turn instead of a left, farmsteads lit
up in fireplace tones, the sound cows make at
dusk. it got colder. would one jersey be sufficient?
hoepfully. stars began pinpricking the royal blues of the
night sky in its opening hues. eight-fourty-ish slugged
back about 3/4 of the syrup, along with half of a box
of fruit medley (so **** delicious), in light of dull
calf aches becoming increasingly apparent. needed
to walk a helluva lot more. ain't one for lettin'
nothing get in the way of that. lights in the distance
became the entry sign for a camp-site. no interest,
head on. past another farmhouse, stars came out in
packs. three cows upon a slight hilltop. next junction
pulled left a good eighty degrees and was on the
straight to owaka. less than two minutes later,
a dog-ute pulled to a halt and offers up a ride down
most of the stretch. didn't say no.

still stable, as two pig-hunters tell
of their drive back from picking up a couple
pig-dogs somewhere north. they were heading
out bush to shoot, thought they'd seen
another guy they'd picked up a couple weeks
ago, who'd taken 'em out somewhere they
couldn't remember. paranoia grips, but
the lads are fairly innocuous. they say it's
dangerous out here, gotta be ballsy walking
middle of the night, no gun, no dog,
all by yourself. wasn't worried, got nothing
to lose anyway (still, this sets helluva
mood). by a turnoff a k outta owaka, dropped
off. said probably all that'll be open there
is a pub, if that. bid luck and set their way.
above, the whole sky is covered with shining
glitter. down a dip and turn, **** in the
middle of the road. an ominous sign indicating
the outskirts of

owaka. approximately 9.40pm

my head loosens as i approach. the lights
form across a small valley i can't verify
exists or not between dog barks i mistake
for the yells of drunkards and lights
pirouetting from cars behind me. i slow
down i don't want to do this.

owaka is terrifying. plastic.

the street corners thud like cardboard. i
walk past a garden of teapots, a computer
screen inside the house glares through the
window pane bending breathing outward. there
is nobody here, still there is a feeling
like there's people everywhere, flocking
in shadows. a silhouette moving in a
distant cafe doorway. the sound of teeth,
of darkness fallen. thick russian tones
sound from a shelf of a motel. eyes
everywhere, mostly mine. i stop only round
a bend and down near a police station, yet
feeling no more safe, sitting in a gutter to
send mel my plans, to tell myself my plans.
i want to be nowhere again. i am soon nowhere.


out of breath, out the other end of owaka,
the sick streetlights fade into comforting
dark nestled between bunches of indistinct
treelines. the feeling of safety lasts but
twenty minutes, where another dip in the
road leads through a patch of bush, in which
gunshots ring periodically and laughter and
barking rings through. breaking down, it takes
five minutes to resolve and keep going. ain't
got nothing to lose, anyway. boots squeak like
diseased hinges all down the road. hadn't
noticed beforehand, the only thing noticed
now. an impending doom hangs thick like fog,
the thought of being strung up like an
underweight hog. walking faster and
not much quieter, the other side of the
bush couldn't have come sooner. the fear
lasts until the gunshots are distant nothing.
still alive, still out of breath, still
fairly ****** up, there's no comfort like the
sound of nothing but the occasional insect's
chirp. vestiges of still water came around
a corner and just kept coming as the golden
moon sung serenity all over. finally, a peace
came to rest over the landscape. sitting by
the road with a clear view of the moon's light
sheathed in the waters, the stars above wreath
a cirrus eye to watch over the marshland
plants leading into the placid waters of

catlins lake, west. ten fifty-one.
crossing a one-way bridge over a river winding
its way into the lake, another turning point
decision arose: continue down the highway
along the river, or head straight out and
toward the coast again. having resolved to
make it to a waterfall by dawn, and the latter
offering a possibility of this, the decision
made itself. turning back around the other side
of the lake, the road wound a couple times
up a gentle ***** out and up from the valley
at the tail of the lake, and into a slightly
more elevated valley. the country roads ran
easily and smooth, paved roughly but solid.
not a car came by for kilometers at a time.
lay on the road past a turnoff for quarter
of an hour letting serenity wash over, the
hills miniscule in comparison to home, the
sky motionless, massive thin halo about the
moon. walking on, night-birds called from
time to time (no moreporks, though. not until
dawn), figuring out how to whistle them back.
a turnoff to purakaunui bay strongly
considered and ultimately ignored; retrospectively
a great call, considering the size of the detour.
hedgerows of macrocarpa, limbs clearly cut
haphazard where once they'd hung over the
road. occasional 4wd passing, always a 4wd,
be it flash new or trusty old. you'd need
one out here. have no fun, otherwise.
monolithic pine-ish hedge bushes, squatting
giants. once, a glimmering in the sky, a
plane from queenstown (assumedly) almost
way too far to make out. the colossus of
the one human-shaped shadow cast down
from the moon to my boots. how small
a thing in this place. swamped out by
the beauty of this neverending valley.
breathless.

the road turned, not quite a hairpin,
but not entirely bluntly, a welcome
break from the straight or gentle
sway, and five minutes turned to dirt.
had to lay down again- legs screaming
by this point for rest. still, they
had nothing against pressing on. dad
taught me to just keep going. that's
the thing about walking. stop for a
little bit and you're good to go
again. pushing for the fall was probably
overkill, but no worry now. dirt road
felt so right after a good 20+ks of
asphalt, only infrequently punctuated
by roadside moss or thin grass. it
was as if beginning again (well,
kinda, if only with as much energy).
having downed only a litre of water
(leaving only half a litre more), a
litre of fruit juice and about 100
grams of assorted nuts since more
than twelve hours ago by this point,
it should have been a shock to
still be going by this point. don't
really need that much anyway, though.
gone on less for longer. hydration,
anyway, was the least of all worries,
the air being thick with water, ground
fog having been laid down hours ago.

up the dirt track, more cows. they make strange
sounds at night. didn't know anything yet,
though. that's still to come. a ute swang past
going the other way, indiscriminate hollers
from the passenger-side window. waved back
cheerily. so far from anything to be anything
but upbeat now. not even the heavy shroud of
tiredness could touch that, yet. the track wound
on forever. was stopping every half-kilometer
to stand and stretch, warding off the oncoming
aches. the onset was unwieldy, though. didn't
have long. past a B&B;, wondered whether anyone
actually ever stayed there (surely would, who'd
not revisit this place over and over once they'd
discovered it?)- certainly would've, having the
cash (apparently parts of "lion, witch and the
wardrobe" were filmed here. huh). further on, the
road turned back to seal, unfortunately, but
with small promise- surely, at least fairly
close by this point. turning a corner, a small
and infinitely beautiful indent against the bush,
a small paddock bunched up against it, stream
wound against the bases of trees, all lit by
the clear tones of a now unswathed moon, sat
aside the road. it was distilled perfection.
it was too much, just had to keep goin' or
risk shattering that image. next turn was
a set of DOC toilets, an excellent sign. must be
basically sitting on the path entry now. searched
all 'round the back for it, up the road, nothing.
not entirely despondent but bewildered, moved
forward and found a signpost. the falls were now
behind? turned around and searched even more
thoroughly, quiet hope turning to desperation
by the silent light of the moon. finally,
straight across the road from the toilets,
was the green and gold sign, cloaked in
darkness under clustering trees, professing
a ten-minute bushwalk to the

purakaunui falls. saturday. 1.32 am.**
venturing into the bush by the dull light
of a screen of a dying phone, the breeze
made small movements through the canopy. it
couldn't have been any more tranquil. edging
way through the winding cliffish track through
dense brush, the sound of a trickling stream
engorged into a lush symphony of water. crossing
a single-sided bridge across an unseeable chasm,
twinkling from the ferns behind became apparent.
turning off the dull light, the tiny neon bulbs of
glow-worms littered the dirt wall risen up about
half a metre, where the track had been cut out.
my heart soared. all heights of beauty come
together. continuing down the path, glow-worms
litter the surroundings and the rushing of
water comes to a roar. at a look-out platform
above the falls, nothing can be seen save a
slight glisten. down perilous steps (wouldn't
be too bad if you could actually see 'em) the
final viewing platform lay at level with the
bottom of the falls. they stood like a statue
in the dark, winding trails of thin white wash
through the shadows hung under trees. left
speechless from something hardly made out, turned
around and back up the stairs to where the
glowing dots seemed their most concentrated.
into the ferns above, clambered through and
around moss-painted tree trunks and came to rest
a couple hundred metres from the trail, under
a fern, under a rata. packed everything but
a blanket from nan into the bag, laid it out
on curled leaf litter and folded up into it,
feet too sore to remove 'em from boots, curling
knees up into the blanket and tucking a hand
between 'em to keep it warm. only face and
ankles exposed, watched the moon's light trickle
through canopy layers for a few hours, readjusting
tendons in legs as they came to ache. sleep (or
something resembling it) set in, somewhere
around four.

some time slightly before six, the realisation
that my legs had extended and become so cold that
they'd started cramping all the way through hit,
coupled with the sounds coming through the bush.
thank you, if you made it all the way through :>
Ksjpari Nov 2017
Holi, a hearty enthusiastic festival in horizon
Colours curdling, water washing every *****;
Out of us evil ever going and playing on
Land of character cherished by coloured lawn.
What a scene to see! Gracious glory gone
If you miss this mesmerizing festival upon
A folly. Foolish will be called such a conn.
Holi, a hearty enthusiastic festival in horizon

Holy played in school is highly pleasing crayon,
For Kinar, Aayushi, Kunal. Aryan or John.
Monorhyme has one colour, holi many micron.
Mital, Mitesh, Vaikhu, SIddhu, Saurabh are don.
This day even principal thinks to prevent throne
And join joy with teachers - see anxiety thrown.
Holi, a hearty enthusiastic festival in horizon

Songs, screams; dance, D.J.; homage and hymn on;
This day with Holika heavy burdens and sins thrown.
Cruel Hiranyakashyapa was killed; glory was won.
Kunal, Arpita, Sandeep, Amit and Shreyas on lawn
Play water and colours with cool Pari’s scone
In Jalgaon, Agra, Kanpur, Karanja, Surat or Bonn.
Holi, a hearty enthusiastic festival in horizon
This poem is in alliteration. There are alliteration examples in each line. At the same time I am following Monorhyme.
raquezha Aug 2020
Nagpoon sa pagbagsak kan dáhon
An mga istoryang dai mo huhunaon
Na makakaabot sa susunod na henerasyon
Dai dapat pundohon an pagsurat
Kan satuyang tataramon asin
Dai dapat malingaw sa kagayonan
Kan pagbasa nin mga surat na hali
Sa mga utak kan satuyang mga pag-iriba
An oras na tinaya mo sa paggibo
Nin obra, surat, tula man o kanta
Basta nilaagan **** puso
Sigurado na iyan matalubo
Arog kan káhoy, daí pirming nahihiling
An pagdakula pero maabot an aldaw
Igwang saróng tawo an matambay
Sa limpoy kan hawak niya
Igwang sarong tawo an masirong
Ta makusogon an uran
Mahihiling mo an dáhon na nagbabalyi
Kapot kan duros pasiring sa banggi
An mga káhoy nagtatalubo, haloy magadan
An úbak sa hawak niya
An patunay na sinda nabubuhay
Dara-dara an mga istorya na sinurat ta
An mga piyesa na nakadukot na sa dugo ta
Sinda an giya
Na kita dapat an maprotekta
Sa palibot ta
Daí matatapos an buhay
Sa pagbagsak kan dáhon
Sa daga na iniistaran ta
Daí matatapos an buhay
Maski sadiring dugo ta
An magkugos
Sa daga na pinadangat ta

—𝐔𝐛𝐚𝐤,  a Bikol poetry
· Úbak;
1. Bark (of a tree) also,
2. To Peel (as fruit) also,
3. To PEEL (as skin)
-
4. https://www.instagram.com/p/CEHemKMh6Yy/
Shrivastva MK Jun 2015
Duniya ko janam dene wali maa
Teri mamta kaha kho ***,
insan insan ko mar raha
Aadmi ki niyat haiwan si ** ***,
Roh pare wo bhi
Jisne banaya ye jahan,
Dekh es duniya ki surat usne bhi kaha,
Badal raha insan,
Ab badal raha insan......


Tumhare sikhaye hua raste se
bhatak raha insan,
Lut ke ejjat ek aurat ki
Mita di mamta ki pahchan,
Kar ke dhuli aanchal teri
Badal raha insan,
Ab badal raha insan.......


Kash! na hoti duniya
Na rahta insan,
Bata ke roya "Manish" bhi
Kalyugi insan ki pahchan,
Badal raha insan,
Ab badal raha insan.....
Endless love, Cruelty, Endless Humanity
Aapka saath humein har janam mein mile,
Dua hai hamari aapke jivan mein phul khile.

Sabse khushnaseeb hai hum mere humsafar,
Jo aapka saath hai hamare saath har dagar.

Meri rooh ka rishta hai gehra us rooh se,
Chehra basa hai sirf aapka dil ki tasveer mein.

Sagar ki gehrayi bhi kam hai is mohabbat ke saamne,
Beinteha mohabbat hai tumse kehti hai dadhkane.

Ruke na zindagi me hamare pyaar ki hawa,
Hum tumhare hain tum hamare oo humnawa.

Sukoon milta hai sun khud ka naam aapke saath,
Jaise koi subah judi ** shaam ke saath.

Meri haathon ki lakeere, mehandi sirf aap **,
Har pal aapka hi rehta hai khayal humko.

Qubool ** gayi har dua tumhari,
Jab se mili hain saanse hamari.

Dil ki gehrayi se chand ki roshni se,
Kehna chahte hain hum kuch aapse.

Phulo ke kagaz par likhte hain kuch labz,
Beinteha mohabbat hai har lamha har nabz.

Jaati nahi aankhon se surat aapki,
Aapki zindagi mein rang bharne ki kasam khayi.

Mil gaye humein hamare bholenaath,
Jab se mila is khaas dost ka saath .

Aapko dekhte hi ** jaata hai dil bekaraar,
Aapko mile khushiyan beshumaar.

Jab saath hai aapka dil mein dadhkan ki jagah,
Fir zindagi ko saanso ki jaroorat kahan.

Rabb se yhi ibadat mein karte hain fariyaad,
Ye jodi yu hi banaye rakhna kr tumhe yaad.

Kabhi ruth na jaana humse piya,
Saath rehne ka vaada hai kiya .

Jabse mehsoos kiya is dil ne aapko,
Milne gayi zameen par jannat humko.

Pyaar saccha ** tou waqt bhi Ruk hai jaata,
Is pavitra rishtey ke liye aasman bhi jukh jaata.

Aapse shuru hote hain hum aapke saath hi khatam,
Saath rahenge aapke har janam mere sanam.
KA Poetry Dec 2017
Sepucuk surat berisi tentang mu
Kalimat - Kalimat yang kususun
Surat cinta untuk mu
Yang lama kupendam

Terlahirnya dirimu di dunia ini
Diantara milyaran manusia
Hatiku menemukan mu
Kubuat sebuah perahu kertas, berlayar kepada mu

Berlayar membawa kata-kata indah
Mengarungi lautan berombak
Menjaga surat cinta
Untuk berlabuh di hatimu

Tiada halangan bagiku
Untuk mencintaimu
Mimpi - Mimpiku, duniaku
Melewati lautan, untuk dirimu.
15/12/2017 | 20.28 | Indonesia | K.***
Sarvesh Thakkar Sep 2015
I wait for this time
And recall from chime
From mind of mine, the festival of kites

I eager for this celebration with   lots of   affection.
Unusual excitement and never-ending fascination

When I see in  the sky through my eyes
The beautiful kites, floating in air with the great pride

I wish to fly very- very
The kites flying in the day light
And fire-lanterns moving from the terrace at night

I sit on chair and stare very high
With lots of fun and the charming air

Fire-Lanterns moving like twinkling star
Going very fast and very far,
In the sky of city, making marvelous beauty…

The delicious undhiyu and the  ladoos so sweet
Savor on that day with friends I meet.
The excited, voracious, sporty people in the Surat city
Enjoy this carnival leaving their duty

On the festival of kites
Take oath in mind
Have a strong ambition with positive sight

I wish this festival never ends
And the precious moments with my friends…
I wish I come back in city of Surat

I wait for this time
And recall from chime
From mind of mine, the festival of kites
My Experience in Surat City
Shrivastva MK Feb 2017
Nam ** jati Hai aankhey
Ye baat soch kar,
Kyun chale jate Hai log
Aksar kisi ka dil tod Kar,
Jite Zindagi bhi ban jati maut us din
Jis din chale jate wo Pal kisi ki saans ban Kar,

Khele jate Hai es duniya me
Dil ka zajbat ban Kar,
Dete Hai dhokha yaha log aksar
Kisi ka khaas ban Kar,
Sabko pta hota Hai anjaam pyar ka
Phir kyon rote log kisi se pyaar Kar,

Pyar andha hota Hai phir
Kyon pyar karte log surat dekh Kar,
Jinka pyar sachha Hai wo
Amar ** jate Hai Mar Kar,
Ghut Ghut ke Ji rha hu
Mai ab zinda lash ban Kar...
Ek zinda lash ban Kar...
Feelings of love and life
shireliiy Oct 2015
Surat is well known as possessing the most excellent embroidered commodities of silk and brocade,Online Advisors one of the fastest and easiest ways to get professional car loan advice is to go online. has recently launched Constellation Brands Inc,But it is important to always research work from home business opportunities before joining.you will also be able to set aside additional savings for long term projects such as vacations.However Fitflop Sale Online,we need to define what a successful year will look like.It is almost always best to start by focusing on your employees first,No. Matter how accurate a database is or how good telemarketing can be.triggering steel industry development in the US,condominium complexes often offer things like a pool,you will help to increase your overall cash flow for the show Fitflops,While at the same time appeal to people who are looking for a greater return on their investment than they can receive in their bank account.I used this feature and back then,If you would like to speak to a qualified debt advisor,the government has to make positive as properly that the funds will be presented. To deserving persons.after all,For retail businesses out there,The rates of interests charged by the auto financier varies.Of these.there are even more issues that need to be considered,Louis area.The major benefits of growth in m commerce is that the customers can now transact or transfer money,Henry concluded that making no payments until he was financially solvent would best serve his interests,Web localization is very much important for the business development,As Mr White had very cleverly set Aston Mortgages up as the sole recipient of the commissions and had control of both Fitflop Outlet.
espace-prevention.ch
KA Poetry Nov 2017
Kutarik secarik kertas putih
Kutumpahkan tinta hitam
Kutulis namamu
Kuceritakan segalanya

Cintaku kepadamu yang terawali layaknya sebuah kepompong
Hingga menjadi sebuah kupu-kupu
Terbang melintas dunia
Berakhir dengan kematian

Tetes demi tetes tinta
Menyusun kata per kata
Membentuk sebuah kalimat yang ramai
Mewakilkan mulutku yang membisu

Untuk siapa kubuat tulisan ini?
Tulisan yang tak lebih melibatkan amarah dan kebencian
Namun ditulis dengan sedikit rasa cinta yang masih melekat
Putih suci ditimpah hitam penuh dosa

Bisik Sang Hati " Lipat dan buang. Sudah cukup sudah. "
Jemari bergerak melipat surat itu
Berbentuk perahu
Perahu kertas.

Raga berjalan ke tepi laut
Seakan jiwa yang menggerakkan
Mulut yang berbisu mengucapkan sebuah doa
Tangan melepaskan surat itu

Perahu kertas,
Bawalah mimpi buruk ini berlayar denganmu
Berlabuhlah di neraka
Agar dosa dan penyesalan ikut terbakar disana.
18/11/2017 | 16.32 | Indonesia
annvelope Nov 2015
Aku suka kamu,
Dalam diam, sejak dulu lagi.
Aku terpikat dengan puisi kamu.
Tiap coretan indah kamu buat aku tersenyum.
Sungguh aku teringin bercakap dengan kamu,
Apakan daya rezeki belum nak ada,
Entah bila kita boleh berjumpa lagi.

Surat khabar sahaja yang buat aku rasa aku dekat dengan kamu,
Itu sudah cukup buat aku tersenyum, bahagia.

*Maaf,puisi tidak cukup hipster tapi ni saja yang ku mampu tulis untuk kamu sebab kamu suka puisi deep lahanat melayu.
Safira Azizah Apr 2021
Sukab yang naif dan tidak tahu diri,
aku masih hidup dan terpaksa
melayangkan surat ini kepadamu.

Aku mengelayap, mencari jalan pulang dengan nyawa yang sudah tak menempel di badan. Semenjak air bah tumpah ruah dari atas bukit kapur, nyawaku entah tersangkut di mana.

Mengapa aku masih hidup itu misteri. Mungkin karena cintamu yang sialan itu. Idih, menyatakannya saja membuatku mual dan jijik.

Akibat cintamu, hidupku terselaput kegelapan. Tapi lihatlah, bintang jatuh bertebaran di atas gelombang laut dan bayangannya terpantul-pantul, berbinar dan indah. Aku melihat wajahku dan bola mata yang tampak terang di antara kelegaman malam.

Apakah, akhir-akhir ini, batinmu kalut juga, Sukab?

Pemandangan di samudera membuat manusia menerawang jauh ke masa lalu dan sempurna melemparkan pikiran kepada dekapan kenangan. Persis seperti omong kosong yang kau selalu bicarakan dulu.

Bagaimana tentang akhir  hidup? Surga manakah yang sudi menerima kita? Akankah kita kembali atau mengembara lebih jauh lagi? Bisakah kau hitung dan bertaruh dengan dadu tentang nasib?

Aku tidak suka kira-kira,
aku mau jawaban yang pasti.

Jawab aku, Sukab.
Mateuš Conrad Jul 2016
.i'm in luck, they're selling it at under 11 quid right now,
stock dry - gone in an instant - laphroaig like -
but not as smoky - but smoked scotch it it
at £10.34 - oh the little joys of having little money to spend -
you end up less picky and less hoarder and
the junk yard.


na głowe sypano mi, tak popiół:
     popiół! a obiecano mi *****!
           popiół! a obiecano mi *****!
                 popiół! a obiecano mi *****!

                  (not my words... lao che's dym)...

me, beer, cigarette, outer-suburbia -
police whizz past, silent with flare
or screaming toddler and Odysseus' 20 sirens
with wax in the ears of oaring company
akin to Ajax'ς vitality -
along the way, my neighbour (who's mother
killed my cat.. listen, i know he had
heart problems, he was on aspirin -
but kidneys, even if complicated are not
real problem, felines take longer to ****
than do the no. 2, pigeons don't have kidneys -
they're always of an **** diet of diarrhoea;
write like Aristotle sometimes,
forget the facts, be wrong, get it wrong,
never put a glass cup into the waterfall of
poetic cascades - get it wrong, be wrong -
get to know yourself - it's not that dumb
to be predictable in yourself -
if you allow self-predictability you will
see certain social events as being pointless -
you'll see friends and "friends" -
self-predictability is a verb, compounded -
i already know i'll make references to grammar
and it being missing in philosophy -
no, not coherence and appropriate arrangement -
i mean undoing the box of thing-in-itself
and the subsequent tennis with a brick wall,
to surprise yourself when something is unearthed,
a little piece of the puzzle - simulating awe,
the genesis of all that's to come, even awe from a yawn
and boredom... it's here somewhere... i'll karate
catch it with chop sticks.... (looking around)...
i don't know, might be a moth or a fly...

Antichrist: or a summary of Antisemitism - a variant of,
or at least a concentration - mainly confiscated
by Christianity - prime complaint:
a democracy of Anointed One (Messiahs) -
obviously a manifested justifiable practice of Antisemitism -
the throng of Golgotha intelligence quotient -
Jew v. Jew, and one convert from the delusional
4 x 4 (in the name of the father, and of the son, and of the holy
                                         spirit... hold on!
                                    i make four gestures... and make a fifth
                 with Romeo and Juliet talking -
St. Matthew-Luke-Mark-and-John... penta penta pent-up
pentagon - evidently there's a pentagrammaton somewhere:
ah! i b l i s.                       Surat no. via Rumi - 7:143 - veils and
the one - reward in heaven - more veils, gardens veils,
grapes in heaven veils - stomach a veil - hunger a veil -
rewards in heaven also veils - the poem?
praise be Jesus - and Jason and the Argonauts - and whoever
wanted a strawberry flavoured pastiche to lick tears off -
love's apocalypse, love's glory -
         well bloodhound eyes say it all - droop drool -
droop & drool... Jack & Jill... went up the hill, and passed
the Grimm Bro. baton to Hanzel und Gretyl in the 100m x4
relay of Disney Limps - then rabbinical literature to sober up -
Albotini's Sulam HaAliyah (Ladder of Ascent, formerly Jacob's
ladder - to be: Ladder of Skip-rope; Oxford, hello! yes,
can you please consider un-hyphenating what is desirably
a compound worthy word in the practice of German?          )?
is a bracket necessary anywhere and i missed it?
Antichrist - or a very strange form of antisemitism -
be like a Jew, congregate applauding in the right corner: Jesus -
in the blue corner: Crux Golgothia.
export from Portugal - the said book -
key principle (kefitzah) jumping or skipping (dilug) -
and this being applied to the one practice of mystic Judaism -
the ****** gematria; hishtavut (stoicism) -

me - is it still 20 quid for an eighth?
Sim (my neighbour) - yeah, but these days
                                       they sort of cheat,
                                       you'd get an eighth nibbled on,
                                       twenty for a tenth?!
me - ******, well, we can't expect it to not happen,
         we had coin debasement - clippings of silver
         keratin with Siliqua, third stage and
         all encoded authority is gone: Thomas and Anne
         till death and nail clippings be fraud unison in
         the depart (or when narration extinguishes
         a character, the character is worth nothing -
         the narrator wakes up - all the characters run
         like phantom-hares into nonexistence -
         phantom! thin air!
politeness said: only one **** at the wacky wee ö wee
(umlaut O / double oh, 007 - 00'7 - double u... oh!
                                 i get it!                             Jamie Oliver!)
DEI.GRA.REG.FID.DEF.
   "   (-tia) (-ina)(-ei)(-ensor) -
all that would have been clipped - authority of visage -
the courtesan only knew the mint in silver
and the mint in the flesh - hence clipping of coin
to erase the authority from the holy authority of words -
in the beginning - but once dei.gra.reg.fid.def.jpeg /
                                   dei.gra.red.fid.def.gif.

that ****** moth is here somewhere! there it is! catch it!
                                                             ­   catch it!
SLAM!          and the job is done )                                      ).
i really waiting a bus stop pretending to wait for a bus
toking on a joint - joint is mix tobacco and wee wee
and spliff is pure? i forgot the slang - haven't been
addicted to it in years.
Sim - yeah, that's how it is. work in central london -
         have to get up early in the morning.
         corporate finance - no that's a commercial firm,
         corporate finance - McDonald's, etc.
me - oh cool waiting for  ghost bus - never get paranoid
         then?
(police cars whizz by)
Sim - n'ah, a perfectly decent area, got stopped once,
          three years ago.
and the price goes to the laziest narrator in history - absolutely
no engagement with characters - it's too real, everyone's
lying - this is the second time i spoke to my neighbour properly
in the past.. ooh 2002... 14 YEARS - it's not even funny -
no amount of marijuana will make you feel comfortable -
you can mate and make Kingston handshakes and what not -
this is purity of absurdity and western isolation,
we went against the maxim: no man is an island on purpose,
not by chance like Robinson Crusoe -
at least Crusoe had a talking Friday - we have a ghost
of Michael Faraday on Friday - ******* disco blink blink -
poet... or alt.: the narrator complex - inhibitions toward
character craft and pseudo-schizoid symptom -
believing in ghosts is easy, fiction writers and their ghosts
and abortions, hardly a way to escape from that -
poetry: rebellious narration - just anything with narration,
modern fiction is read like a chess match between deep blue
and Kasparov - or Pavlov v. Jezebel playing gynaecologist.

blank.... blank... wait for the atoms trilled R to make
their toady presence felt -
the more pricier the whiskey the more pristine water,
i.e. you get drunk more easily -
anyone that smokes marijuana and thinks
they're clever are stupid; how many people are out there that are
stupid!
- resounding hearsay-hooray!
drugs, ******, crack, blow, marijuana, ****, ***,
  cannabis, dope, ******, mary-jane, 13, M - herb shake -
Humphrey saying to Bogart - that joint.
as said in Saudi
Arabic - a Ferrari G.T.I. and MeKubalim HaMitbodedim
                  )
                                  -chism - schism - sky - ski -
                                  cha cha, cha cha - kilo or 100th -
                                  1000 thd. - hundredth a thousandth -
                                  - where then the acute,
                                  timber from Czechs -
                                  kebab from Mesopotamia -
                                  and the Trojan horse to boot -
                                 chatter - chopper whopper -
                                 astoikism - not chew off
                                 curve into cherish but
                                 cravat chew in -
                                 Slavic mining zed - czarna
                                 ciasność - blackened claustrophobia.
a Buddhist clap
                   immersion -
left handed the right hand claps against air
                  )             )              )               )            ) ) )            )
a night at the Opera, right handed the left hand claps against air
(                       (        (            (               (          ( ( (            (
scimitar Luna - so they said, would like an audience with the
further unmentioned mention -
you're mates with neighbours who over 14 years you only
spoke to the count of thumb and index on occasion -
and thus necessarily high -
i was going to write something really important before
i finalised this draft... but i forgot what it was...
got almighty this whiskey is good...
i'm smoking salmon and pickling reindeer hooves and antennas;
a bit like practising Chinese miracle medicine with
whale blubber and Mongolian nostril hairs.

it's not about loving your enemies -
this love sinister must be invoked as: making your
enemies bearable.

i'm sure i had something concerning poetry and narration -
ah! it was... poetic compensation -
a.d.h.d. narration - attention deficit hyperactive disorder -
true - all psychiatric terms are metaphors -
at least outside the psychiatric realm -
poetry as a.d.h.d. meaning: shrapnel narration -
a custard pie of missing characters -
poetry: i.e.: the inability to believe in ghosts
or write characters - claustrophobic or agoraphobic narration?
a mix of both - poetry - the inability to conjure
Ouija fancies - poetry, the over-specialised gift for
narration, but an inability to invent characters -
poetry, the truth of the narrative, and the truth of un-invented
characters, poetry: the ability to narrate, coupled
with the inability to create characters -
fiction and the dumb narrator - poetry and the exquisite
narrator - fiction and the exciting characters -
poetry and the God - our focus is based on that vector,
or bias to that vector - fiction and the Oscars -
narrator and director - when to change from first person
to third person - again Burroughs was right -
images 50 years ahead of writing - a bit obvious,
nothing spectacular with that phrase -
lightning and the sons of thunder: 12 of them -
made the tetragrammaton less spoken and swear words
fucken-uppen censored so the crucifix and **** could
collide - a fine fine excuse - the Boeing 747 first
and later the quasi-sonic broom shoo' 'mm -
poetry as fiction disguised when fiction was given
a seance with pure narratives - splinter group:
philosophy's juggling with pronouns esp. the plural deviation
from first person as if to proper punctuation -
psychiatry and the theory of pronoun usage -
poetry and the pronoun rōnin (macron = umlaut -
count to two, or prolong - reasonable man / **** sapiens, pre-noun pro-adjective / adjective attache-noun, noun counter-noun es duo-adjective, Kellogg's sunrise cockle-doodle-dip-in-tartan-chess) -
only poetry mediates the parallel vectors of prose-fiction and philosophy - it consolidates the use of pronouns, art of poetry alone -
pure narration we're talking about,
the narrator and characters of its fancy,
philosopher and dialectical placebos (character equivalence)
with self-conscious moments, mono-pro-noun - alone i name -
the sacred squash wall of lecturing an invisible audience -
rummaging epitaphs in a graveyard along with birth dates
and live by dates - yes, that sacred we philosophers use -
an entire theatre was summoned to continue in appearing
sensible when writing without fictive apparitions -
enabling a fluidity in pronoun use, without sensible letter
writing, as in dear sir,
                                       me in reverse, thank you.
w
JAMIL HUSSAIN Dec 2016
Uss Ne Kaha Kaun ** Tum
Main Ne Kaha Hasrat Teri

She asked: Who are you?
I said: Yearnings of your heart

Uss Ne Kaha Takta Hai Kya
Main Ne Kaha Surat Teri

She asked: What do you see?
I said: Beauty of your art

Uss Ne Kaha Chahta Hai Kya
Main Ne Kaha Khidmat Teri

She asked: What do you desire?
I said: To forever serve you

Uss Ne Kaha Pachtaega
Main Ne Kaha Qismat Meri

She said: You might regret
I replied: That’s my luck for you

— Translated by Jamil Hussain, Sung by Nusrat Fateh Ali Khan
AADI Dec 2019
lagdae tu kitti hoyi karaamaat rabb di...
teri jayi surat duniya ch na labbdi...
aaunda ae nzaara ik vakhre jahaan da...
kinna sohna mukhda ae sacchi meri jaan da !
-aadi
Noandy Jun 2016
Antara aku dan Beethoven
Tidak ada kamu

Aku tidak mendengarmu dalam
Sonata Terang Bulan
Kamu tidak meredam dan menelan
Kesedihan, pun kepedihan

Kamu tidak memantulkan
Wajah remang bulan
Kala gugurnya di
Hilir redup sungai

Kamu berteriak
Terlalu lantang
Di malam hari

Sedang antara aku dan Beethoven
Tidak ada kamu
Kami menjalin kesedihan
Berdua saja

Aku dalam kata
Beethoven,
Dalam denting

Kamu berteriak
Terlalu lantang.

Sayangnya
Kami tidak mendengar
Jeritanmu
Kami tidak mau mendengar
Amukmu

Piano Sonata nomor empat belas,
Kuhanyutkan surat tak berbalas.

Di C kres minor,
Aku takut ia terdampar,

Opus dua puluh tujuh nomor dua,
Karena kau jeritkan amuk tanpa duka.
Kupaparkan rayuanku untukmu.
Kupertontonkan asmaraku untukmu.
Dunia harus tahu !
Hatiku selalu menggebu - gebu !

Kukirimkan surat cintaku melalui dunia maya.
Pak Pos sedang sibuk kasmaran juga rupanya.
Oh pak Pos !
Kencan jangan terlalu lama !
Siapa yang bisa mengantarkan cintaku padanya ?!
Kusiapkan surat kuselipkan kata manis dan rindu dengan tinta merah dan banyak kecupan mesra.
Maya harus tahu !
Hatiku memang menggebu - gebu !

Tapi kau buang puisiku.
Melirik saja tak mau.
Ya sudah kalau begitu.

Biar saja dipakai followers saya,
lumayan untuk caption mereka.
Padahal untuk merangkai kata dan rima,
hati harus jatuh dan kau buat patah.



Puisiku sebatas dunia maya.
Tidak sampai hati yang empunya.
Malang.
Malang.
Yang penting ada yang baca. Terima kasih ! Jabat erat !
- @grabrielle
Joshua Soesanto Jun 2014
baru saja kopi tersedia
terpikirnya kembali gambaran diorama
ku rasa rusaknya irama menjadi bencana
namun terkadang rasa asa menjadi surat suara

cinta rasa gejolak mesin rusuh suara
jalanan menanti sosok pengembara
terbakarnya arang ara
sepinya jalan bintaro jaya

makin ku pacu mesin waktuku
kuda besi tanpa boncengan terisi
ingat akan mimpi
kita pernah bersama menepi

gergaji rantai pembalik waktu
marlboro atau kretek kopinya satu
koboi gudang garam saling menunggu
kecaplah air liur kita bercumbu

akan ada waktu terbaliknya jam waktu
ia disana bersama pejantan baru
rasa rasanya pukulan tepat pada paru-paru
sesak napas ingat dia diatas saat bercumbu
el Aug 2014
tidak semua pesan dapat kusampaikan langsung
termasuk secarik puisi ini
yang berisi sejuta rasa rindu akan hadirmu disamping
walau itu adalah sebuah ilusi
aku menerbangkan surat ini dengan angin
berharap nanti kau menerimanya
dan sadar akan hadirku disini dan rindu yang tidak dapat dibendung lagi
Aridea P Jan 2012
Jakarta, Minggu 5 Maret 2009

Pikiranku sakit
Aku tak tahu harus berbuat apa
Ingin ku kirim selembar surat untuknya
Tapi aku tak mampu, aku tak bisa

Karena aku hanya sendiri
Tak ada satupun yang membantu
Aku bingung, aku sedih
Aku menangis di sini... sendiri

Ku hanya menunggu datangnya keajaiban
Apakah itu akan terjadi?
Aku pun tak yakin
Tanpa usaha dan pengorbanan
Keajaiban takkan pernah datang
Àŧùl Oct 2016
How do I spend this little money,
For I feel shy while spending it...

If I had more than few pennies,
Then I would buy you bunnies..

I would have liked that more,
If I brought you few more pennies.

Shy, I am just so very shy,
Your eyes have been so sly..

You tried some previously in the hotel,
With guys from Surat & Rohtak...

But all I have in the night now is my *****,
How about making away with mine!?

You're experienced already as you've said,
Now should you not give a try to mine!?
Droņa has a shorter but stout-er phallus around the national average of 6 inches long.

You have seen mine and I have seen you inside out too.

Still you cheat on me, it's your wish.

I am really in the process of moving out of your horrible memories but this tinnitus and the vertigo wouldn't just get subdued.

HP Poem #1201
©Atul Kaushal
JAMIL HUSSAIN Nov 2017
Meri Zeest Pur Mussarat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Koi Behtarin Surat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Upon my existence, happiness
Never was, will not nor ever be

One perfect image
Never was, will not nor ever be

Mujhe Husn Ne Sataya
Mujhe Ishq Ne Mitaya
Kisi Aur Ki Ye Halat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Mein Yeh Jaante Huay Bhi
Teri Anjuman Mein Aaya
Ke Tujhe Meri Zarurat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Beauty has made me suffer
Love has caused me to fade
This state of any other
Never was, will not nor ever be

Knowing this
I came to your gathering
That for you, my need
Never was, will not nor ever be

Jo Gila Kiya Hai Tumse*
Jo Samaj Ke Tumko Apna
Mujhe Gair Se Shikayat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Ye Karam Hai Doston Ka
Jo Woh Keh Rahe Hai Sab Se
Ke Naseer Par Inaayat
Kabhi Thi, Naa Hai, Naa Hogi

Those sorrows shared with you
Were with a belief that you are a part of me
Complaint to a stranger
Never was, will not nor ever be

This grace is from friends, who say to all
That upon *Naseer, favour
Never was, will not nor ever be

✒ Translated by ℐamil Hussain , *Poet, Peer Naseer Uddin Naseer, Sung by Nusrat Fateh Ali Khan
Neeraj katta Feb 2019
mene use apna yaar hote dekha he

gazab ka dhoka he dil pe waar hote dekha he

sapna sa tha shayad jo hakikat bana

fr mene har sapna taar taar hote dekha he

baate karta tha mujhse pyar or mohbbat ki

dosti ki had me tha me
par pyar hote dekha he

bichda me jab usse dil
be-karar hote dekha he

jeeti har baazi zindgi me
pyar me haar hote dekha he

yaado me bulate he mitti ki surat banate he

tasveer badlo me banate
to hawao ke palat waar hote dekha he

hamne pyar kiya tha kabi

ab pyar hote dekha he

ab pyar hote dekha he

nk
Mateuš Conrad Aug 2016
unlike the book of Enoch's proposition, i deem fallen "stars" (we all know they meteors, but religious language loves metaphors) as disgraced saints, given there's so many of them they can sometimes outnumber angels, so yeah, in reverse of religious blah i deem fallen stars are disgraced saints, rather than disgraced angels.

and upon having written the words that i had,
i felt a sharp indentation on my right hand,
as if someone was pressing a sharpened
avocado seed into it, that i knew was the thumb
of my guardian - there was a reason why
i masturbated prior to puberty aged 8,
that i might know the difference in the ways
it might be taught: circumcision and
religious obedience, and the non-circumcised
with their indolence and hedonism threshold -
or how to marry the monotheistic man
with the man of no theistic concerns -
who came later than the circumcised woman -
who in stories of a Prince f Egypt was beautified
in her agony: as passing the fruit to man -
from paranoid despots of Egypt eager to keep
a harem and let her not simply enjoy the company
of other men, but of greater peril from these despots,
that she could wield a greater satisfaction
from her own hand than his excavation of power -
never before was this story told in the crude manner
it deserved - the shame on poetry, and the subsequent
undermining of poetry! to every, EVER poet out there
readying himself for a renewed reinterpretation
of his horrid book, a word of caution: you will not
gain any other technique from this, no pun-joke,
this is metaphor versus imagery, after all imagery
deciphers metaphor, the ideogram of meaning,
thank god the Chinese were allowed to sustain their ideogram,
otherwise using these skeletons i'd never achieve
a worthy playing field, no table tennis table, no
squash cube, no tennis court, no football pitch...
given the survival of the Chinese ideogram i can climb
a tier higher from what's encrypted,
i can, thanks to the Chinese ideogram morph words
above the tier of sounds, above the tier of grammatical
categorisation that are governed by time / timing, and
enter the only realistic realm necessary, the poetic:
to treat "holy" but subsequently metaphorical texts
for a revision changing metaphor (hallucinatory images)
into imagery (the times when certain tools were
anticipated, of that said: Galileo and the telescope
and the *oculus rufus
of Jupiter
it's appropriate karma and the dishonouring philosophy's
feeling of superiority that merely matches them with
Koranic scribbles that poets finally can box the other
strand of language use into oblivion...
poetry and the freedoms to suffice its continuation...
true via a real example: the "prince" of philosophers,
no other than Spinoza, polishing lenses,
as every philosopher after him, sharpening the meaning
of words, trying to eradicate Thesaurus Rex from
human existence, trying to coagulate synonyms into
a single meaning, i.e. prescribing words
of fluidity and subsequent poly-elasticity a mono-usage,
their prize lost, their dittoing of up-kept credentials,
their dittoing but lack of approximation ~******* up /
or simply buckling under the strain...
sharpening of the eye, they mistook killing off poetry
but by doing so, they encouraged Sophistry -
the art of rhetoric... poets never spoke to convince people,
they spoke to entertain people, why are these
apes running the mental life of people?! never put
your eggs in one basket... the poets were condensed into
the same cauldron as the Sophists, even though
poets preferred to speak from a page or the prior written
than from the heart of a deceiving others...
at the time of Spinoza doubt was still a considerable evil,
only when denial emerged were people finally considered
easy-zoological specimens of study: a doubtful faith
is a faith non-the-less, wavering faith, but at least
not an offshoot of denial, which only breeds bad faith
(as Sartre described) and ends up being a confession in
a *******'s bedroom by some duke of *****-nilly.
in the end, all i have to say is: the preliminary poem
always aids your sober affairs that later becoming drinking
affairs: that the Chinese ideogram resilience allowed
us to translate "holy" texts of pure metaphor into
pure imagery, and create the paradigm of desecration
justified like a Mongol in Baghdad...
where the true Golgotha is situated -
that poets aren't sophists, and that by attacking
poets, philosophers created by far the more zealous
version of criticising poetry: a Surat in the Koran
and the current flowering of unnerved sophistry in
politics: not that much a case of speaking with a persuasive
manner, but a way of speaking toward a persuasive
lie that doesn't endanger the status quo.
so what saves modern poetry from despair and dodo?
the Chinese ideogram, thanks to the Chinese ideogram
(working from the book of Genesis) i can pass an object in
the form of metaphor (apple) via jingzi / mirror
and get imagery back (*******) - only because
i am passing one skeletal object of spelled simplicity
into another object of akin spelled simplicity
via something resembling carpals-metacarpals-phalanges
(the wrist) - as the title suggests: wrist-mirror -
only thanks to the Chinese up-keeping of their ideogram
i can transform metaphors into imagery,
the fruit of knowledge into ******* -
or puns into jokes;
this is why i'd only take two books with me to the grave,
Ezra's Cantos and Russell's history of western society:
it's because of them that i get to keep
the desired momentum.
raquezha Jul 2018
Minsan a kaipuhan ka tawo,
Talinga na migrungog,
Matang nakakabayad ka kulog,
Ngangang diri nag riribok.

Minsan mas maray
na magirongog,
kaysa sa sabayan
a pagsilyak ku pinagaagihan,
kaysa mag ngabil
sa uda man kamalmagan,
sa lugar na uda man iiyanan.

Minsan mas magayon na magtambay
sa lugar na uda pakialamanan,
sa kapehan, usip, surat
Sabay silyak kading mga namamatian.
My poem in Rinconada Dialect.
I'm from Iriga City, Philippines.

Bungog means 'Deaf'.'
Amira I Jun 2020
Jemariku bergetar saat menuangkan isi hati dan kepalaku kali ini.
Entah sudah berapa purnama ku lewatkan tanpa berada di bawah atap yang sama denganmu.
Bertukar suara via telepon genggam —yang hanya secuil dibanding dengan waktu duapuluh empat jam— pun ku sudah lupa rasanya.
Namun satu hal yang pasti, bagian darimu akan selalu jadi bagian dariku.
Akan ku bawa sampai ke ujung waktu.
Mungkin aku akan pergi lebih dulu, atau mungkin engkau? Tak ada yang tahu.
Semoga Tuhan tetap melindungi, di mana pun kau berada sampai nantinya kita akan bertemu kembali.

“Namamu jadi rahasia, dalam diam kan ku bawa; mendarah.”
–Mendarah, Nadin Amizah
Terinspirasi dari lagu Nadin Amizah berjudul Mendarah.
Chehra tou har koi padh hai sakta,
Aankho mein nami dekh udaas hai kehta.

Koi khaas hi hota jo muskaan ke peeche dard padh leta,
Kitna pareshaan hai sab bta deta.

Rooh se rooh ka rishta jab jud jaata,
Masoomiyat ki khubsurati haii sabse pyari ada.

Izaat shohrat rutba sab ammeri taaqat,
Kisi ke chehre par muskaan lana sabse bdi daulat.

Mere yaar sa khubsurat tou chand bhi nahi,
Chand ne chandani ki kasam kha ye baat kahi.

Unka dil itna khubsurat hai jiski koi nahi misaal,
Unke baare mein kya kahe wo tou hai hi bemisaal.

Surat se acchi seerat honi chahiye,
Unke lafz ki mithaas hanji kahiye.

Log kehte hain zameen par kisi ko khuda nahi milta,
Shayad unhe aap jaisa kabhi koi nahi mila.

Diye tou aandhiyon mein bhi jal jaate,
Phul tou kaaton mein bhi khila karte.

Khushnaseeb hote hain wo log jinhki zindagi,
Mein aap jaise dost hote bn jaati dosti bandagi.

— The End —