Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Jan 2014
Palembang, Senin 4 Oktober 2010

Oh, Shane...
How beautiful voice you have!
I always want to hear it one more time
I admire you from the start

When you sing a love song
I feel you touch my heart inside
When you say word by word
You makes me adore you too much

I want to take a rest
I can't close my eyes
Cause I always thinking of you

What a lovely smile you have!
You're beautiful everytime I see
You are great the way you are
Don't know, will I forget you?
I hope not.
Cause I can't live without your voice.



(edited Thursday, January 2nd 2014)
Sözleriyle dokunmaya çalışır elleriyle dokunamayanlar
Ondandır sana şiir yazma çabalarım
Belki yazdıklarım kalbini sarıp sarmalar
Birlikte geçirdiğimiz o güzel günleri hatırlatırlar

Sözleriyle dokunmaya çalışır elleriyle dokunamayanlar
Ondandır her gece mektuplarda senin sıcaklığını arayışlarım
Belki seni bana getirmezler
Ama beni senin rüyalarınla baş başa bırakırlar

Sözleriyle dokunmaya çalışır elleriyle dokunamayanlar
Ondandır senin her bir sözüne muhtaç oluşum
Belki şimdi bana ulaşamayacak kadar çok uzaktalar
Ama hâlâ kalbimi senin aşkınla kaplarlar
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
cimen altinda gecen 225 gunden sonra benden daha *** sey biliyor olmalisin.
kanini emip bitireli epey oldu, artik bir sepetteki kuru bir cubuksun.
bu isler boyle mi oluyor?
bu odada hala ask saatlerinin golgeleri var.
birakip gittiginde asagi yukari herseyi alip gittin.
geceleri beni ben olmaya koymayan kaplanlarin onunde diz cokuyorum.
senin sen olman asla bir daha olmayacak.
kaplanlar beni buldular ama artik umurumda bile degil.
translated by somebody
Aridea P Oct 2011
Senin, 28 April 2008

Aku sendiri di sini
Teman ku menjauh
Lagu kakak ku tak tergetar
Lirik indahnya menghilang

Lidah ku sakit
Tak bisa berkata
Angin pun menjauh
Peluh dingin terasa

Duduk sendiri ku di sini
Menulis kata bahwa ku sepi
Ingin ku ucap di hadapan dunia
Tapi tak sampai ku ke sana

Kenang lagu kakak ku tersayang
Hatiku sejuk tangis datang
Melihat semua menjauh
Tpi lagu kakak selalu menghibur
Aridea P Oct 2011
Jakarta
Senin 7 Mei 2007


Suatu ketika tak sengaja
Aku terbayang seseorang
Yang indah dengan senyuman

Sejak itu pun
Aku mulai menulis kata-kata
Dan aku rangkai
Sehingga menjadi kalimat-kalimat yang indah

Itulah puisi yang akan kupersembahkan
Hanya untuk dirinya
Di suatu tempat terindah di langit sana

Betapa senangnya hati ku
T’lah ku sampaikan isi hati ku
Lewat puisi yang  indah
Yang tak pernah ku lupakan sepanjang waktu
Aridea P Nov 2011
Palembang, Senin 7 November 2011

Bagaikan berharganya air mataku
Hanya terjatuh bagi para berlian hatiku
Yang sangat berarti bagiku
Yang sangat dekat dengan ku

Bagaikan rapuhnya hati ini
Terasa sesak setiap mengingat dia
Serasa ingin mati saja
Tak mau lagi hidup jika ada dia

Doaku tak sering ku panjatkan
Hanya bisikan hati yang sering terngiang
Rasaku sudah cukup tak perlu diberitahu
Toh orang pun tak mau tahu

Selalu minta yang terbaik
Sungguh aku menginginkannya
Agar tak lagi aku menangis sepi
Supaya tak perlu aku berpura-pura
Bagaikan tak terjadi apa-apa
Padahal hati ini penuh luka
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Senin 14 Mei 2007


Seorang pria diciptaka hanya untuk seorang wanita
Seorang wanita diciptakan hanya untuk pria
Ketika mereka bertemu satu sama lain
Akan tumbuh benih-benih cinta

Mereka pun tak akan terpisahkan
Cinta sejati tumbuh dalam cinta mereka
Ketika badai cinta mengancam
Mereka terpental jauh dengan terpisah

Dengan kekuatan Cinta Sejati
Mereka pun bersatu kembali
Sambil berkata:
Cinta Sejati
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Senin 20 Oktonber 2008


Malam ini aku bersedih
Aku menangis, aku berfikir
Agar waktu menunggu
Hingga aku mulai tenang

Cobaan hidup datang
Melumuri ragaku
Hingga terasa lumpuh
Tak berdaya bagai mati

Ku tunggu hujan bunga
Yang harum bebaskan raga
Mungkinkah aku bisa sabar?
Jika petir tetap menyambar
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Senin 14 Mei 2007


Cinta tidak bisa dilihat dengan mata
Cinta tidak bisa didengar dengan telinga
Cinta tidak bisa diraba dengan telinga
Cinta tidak bisa dirasakan dengan hati

Cinta memang indah
Cinta membuat orang yang merasakannya bahagia
Namun... Cinta sering datang dan pergi
Cinta membuat orang yang ditinggalkannya terluka
Dan sakit hati

Cinta... Jangan sakiti hatiku
Jangan biarkan aku menangis
Hatiku ingin
Cinta ku...
Abadi untuk selamanya
Aridea P Oct 2011
Jakarta, Senin 20 Oktober 2008


Ku terlahir di dunia
Untuk hidup dan berusaha
Ku kira, aku akan bahagia
Namun ternyata tidak


Ku berdoa . . .
Ya ilahi … akulah dia
Yang malas bekerja
Yang tak mengejar masa depan
Yang hanya duduk dengan lamunan


Ku iri dengan gunung dan langit
Lirik dengan melodi, hati dengan perasaan
Karang dengan laut, angin dengan pohon
Dan … kini ku sadari
Akulah Manusia Bodoh
lessache Apr 2020
Bagaimana jika sebenarnya dia tahu?
Setiap malam aku bertanya hal yang—tidak penting. Mungkin dia berpikir aku hanya bosan, atau kembali ke kalimat pertama.
Konsekuensi yang kudapat akan lebih buruk dari yang kukira, sudahlah. Ingin menyerah tapi sebut saja "Janur kuning belum melengkung"
Lagipula, yang datang belum tentu singgah, apalagi tinggal.
Aridea P Jan 2014
Palembang, Senin 4 Oktober 2010

Mom, I know you know that I love you
Although I never say that in front of you
But I believe you feel the same with me
That we both are never be apart
We are always be together, Forever
Until the end of time, And the age is die
Aridea P Jan 2014
Why
Jakarta, Senin 20 Oktober 2008


I am trying to forget you
But I couldn’t
You’re always in my heart

That is special thing, that’s my love

How can I have you in my life?
No, I couldn't.
How can I think about you?
Why you always here?
Why you’re not go away?
Go so far away!
From my life
Why?? Why??


(edited Thursday, January 2nd 2014)
ne zaman yunanca bir ezgi dolansa kulaklarımda
aklım utanmadan sana gider
çok üzgünüm sevgilim
seni tanımadan geçirdiğim yıllara
ama daha çok üzgünüm
seni bulacağımı sanarak boşa harcadığım zamanlara
dudaktan dudağa
kucaktan kucağa
dolanarak
senin izini aradığıma
çok pişmanım sevgilim
seni tanımadan geçirdiğim yıllara
ama daha çok pişmanım
aşktan gözümün kör olup
beni böyle sokaklarda
seni aramaya muhtaç bırakacağına
farkında olmadığıma
Muzaffer Mar 2019
merhaba sarnıçları alnın
ve alt parlamentosu
kaz ayaklarım
sizi seviyorum

değirmen
kaçkını saçlarım merhaba
koşudan yorgun mu
apak sevdanız
fukaralık gibi
beni yalnız bırakmadınız

gözlerim merhaba
ne canlar yaktınız kim bilir
çoğundan haberim olmadı
çocuk mu hala bakışlarım
bulansa da mavilikler
deniz feneri gibi
ümit burnu’ndayım

merhaba dilim
kem konuştun bazen duydum
duydu absolut üzengim, çekicim
kemik meselesi deme
lâkin
erdemine alkışım
her daim özür diledin

merhaba
acı patlıcanlar
kırağ çaldınız hep
bir kadının dudağında
refuse edildiniz çoğu zaman
pek azınız durmakta
dudaklarda ya
ıslık çalan
buselere merhaba

merhaba, merhaba
ellerim, ayaklarım
bazen boş yola çıktınız
dolu rızkla döndünüz
cana gözkulak oldunuz
minnettarım...

(şşştt.
sen dersini yap
bakıyim...)

merhaba yüreğim
kaç şıpsevdi konakladı
kim bilir
kaçı hançerleyip kaçtı
yine de memnunum senden
ara da bir
cızz etmesen
ama ne şereftir ölüm
senin kudretli elinden
uyurken gel
ve canımı yakma

öte yanda ki
ekmekli kadayıf zaten...
Evan Stephens Nov 2020
Sweet woman with black hair
your life is electric
intelligence floods your eyes.
When you laugh for me
your smile washes the world.

Getting closer to you
by breath and romance
like in a storybook.
I'm writing you this poem late at night
while even my candle is asleep.


Siyah saçlı tatlı kadın
senin hayatın elektrik
zeka gözlerinizi doldurur.
Benim için güldüğünde
gülüşün dünyayı yıkar.

Sana yakınlaşmak
nefes ve romantizmle
bir hikaye kitabındaki gibi.
Sana bu şiiri gece geç saatlerde yazıyorum
mumum bile uyurken.

— The End —