Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Dec 2011
Palembang, 17 Desember 2011

Aku hidup dengan nafas mu Bapak, Ibu
Aku ada karena Dia Yang Maha Satu

Namun raga ini aku yang bawa
Jiwa ini aku yang menjaga
Hidup ini aku yang memilih
Cerita ini aku yang jalani

Aku tumbuh bersama nafas mereka
Aku termotivasi karena mereka juga

Nafas kita menyatu
Mereka menghela nafas kebahagianku
Aku menghela nafas kebahagian-Mu
Nafas kami juga nafas mu, Bapak.. Ibu..

Kau pelita kehidupan
Obor benderang di gelap ku
Bekal mengenyangkan di lapar ku
Oasis indah nan segar di dahaga ku

Tak akan ada aku tanpa-Nya
Tak akan hidup aku hingga sekarang tanpa Bapak dan Ibu
Tak akan aku bertahan tanpa diriku sendiri
Dan aku hidup tuk bersama mereka

Aku yang menentukan
Dia tinggal menyetujuinya
Bapak Ibu hanya bmendoakan
Dan sebentar lagi mereka ku gapai

(it’s because I Love Shane, Mark, Kian and Nicky)
Kudengar adzan berkumandang
Ah! Subuh datang
Membangunkanku dari istirahat malam
Mengecoh mimpi indah malam itu

Belum, kubelum siap bangun
Tapi semesta mendoktrinku
Kuharus bangun dan terjaga
Kuiyakan saja mereka

Sesaat pagi tiba
Kelembutan angin memuaskanku
Segar aroma udara memenuhiku
Pipit mericau ramai
Sesal tak ada dalam benakku
Hanya puas dan sentosa
Kutak menyesal bangun subuh
Aku ingin pagi ini bujur

Tiba-tiba sengat datang
Tolong! Tolong aku
Siang datang mencuri pagiku
Aku mulai belingsatan
Panas matahari mengantup
Aku bergidik
Meratap
Siang jahat!
Aku kutuk siang
Namun ia tak mau pergi
Ia malah semakin menjadi-jadi

Aku hilang kendali
Aku marah
Kembalikan pagiku!
Aku memohon pada siang
Aku menangis
Bahkan aku bersujud
"Siang, aku rindu pagiku"
Aku rindu ricauan pipit pagi itu
Aku kehilangan angan-angan

*Novita Olivera.
Silahkan mengartikan sendiri puisi diatas! Ada beberapa persepsi mengenai puisi "Selamat tinggal pagi." Puisi ini saya tulis setelah menonton AADC-2 yang sangat menginspirasi untuk terus menuliskan puisi. Dan sebenarnya puisi ini agak berkaitan dengan kisah AADC-2. -pipi
Gayle Bell Sep 2012
Blues Haiku

Freddie King’s guitar
Waits for a big leg woman
Fishnets adorn mine


Self Portrait LIII
Reading street hieroglyphics
comfortable in it’s dark caress
Buildings like promises
Broken and lost
The wheels spinning
My mp3 jazz loop
Sing that skit skat baby
The things I tell my pillow makes it blush

Self Portrait 54
Weekend
Books at half mast
Reading a book on Af Am essays
Wondering what happened to
The ‘Dream”
Monday
Listening to Bob Segar and Snoop
Tatas at attention mode
Bopping to the
Unemployment office
to see a lady about a check
and a “Dream Deferred”
So Dreamy Jun 2017
Bagiku, kamar adalah satu ruangan persegi yang paling krusial di antara ruangan-ruangan lainnya. Magis, nyaman, penting, dan pribadi. Kamar tak hanya berisi tentang selimut dan bantal-bantal yang dilapisi kain bercorak bunga-bunga atau selimut berbulu yang lembut. Tidak juga tentang tumpukan baju sekali pakai yang dilipat di atas nakas dan kursi roda meja belajar. Tidak juga tentang jendela yang selalu terbuka lebar setiap pagi, mengajak udara segar untuk memasuki rongga hidung, membawa masuk lantunan burung-burung. Terlepas dari karpet cokelat muda yang selalu tergelar di tengah-tengah ruangan, yang dihuni berbagai remah-remah makanan—keripik kentang, biskuit, roti kering—ruangan berukuran 4x4 ini menyimpan dan menyembunyikan banyak hal.

Cerita, rahasia, asa.

Bagiku, kamar adalah saksi bisu. Saksi bisu atas upaya yang pernah ditempa, semangat yang tak pernah padam untuk membara, diri yang selalu kembali bangkit setiap kali jatuh ditampar dunia, serta doa-doa yang mulai dibisikkan dengan lembut sejak fajar menyingsing. Meja belajar yang tak pernah rapi, rak buku yang ditinggali berbagai macam buku; novel, buku puisi, buku pelajaran, buku latihan soal, tempat pensil yang berantakan, cahaya dari lampu meja belajar yang hampir rusak, serta mading yang tak pernah sepi dari berbagai kertas target dan to-do-list yang ditempel.

Kamar juga mata bagi segala perasaan; marah, kecewa, putus asa, sendu. Inilah tempat di mana sepi terpelihara dengan baik, yang anehnya, terasa menyenangkan dan bersahabat. Tenggelam dalam kesibukan sendiri, menulis seorang diri, membaca dengan latar musik indie, yang barangkali hanya satu dari sepuluh orang pernah mendengarnya. Ruangan persegi ini merupakan tempat di mana lagu The Trial of the Century – French Kicks diputar, selalu bergandengan dengan kekecewaan yang perlahan merekah di bilik dada. Tempat di mana Fall Harder – Skyler Spence diputar bertepatan dengan lamunan, ide-ide abstrak, membayangkan hal-hal manis yang misterius. She'll lose herself in bright-lit skies, she watches the sun go by, and even if her love runs dry, she'll be there for the summertime. Ialah sesuatu yang terasa cukup magis dan menyihir, bagaimana lagu tersebut selalu membawaku ke dalam lamunan dan gambaran yang muncul seketika di benak, lalu terbitlah ide-ide dan keinginan untuk membuat sesuatu.

Menulis.

Ruangan persegi ini adalah ruangan kecil yang paling setia menaungi ide-ideku yang seringkali tumpah-ruah tak tahu waktu dan tempat, yang kadang dapat direalisasikan menjadi sebuah karya, kadang juga hanya duduk diam tak mau bergerak di dalam kepala. Ialah ruangan persegi yang dengan sabar mendukungku untuk selalu bergerak mengikuti dinamika inspirasi yang datang, memberontak minta dikeluarkan dari kepala, memintaku untuk selalu menjadi produktif. Tentang menulis cerita singkat dan puisi (karena penulis hebat tidak pernah kehilangan inspirasi, menulis dan bermain dengan kata-kata, bercanda ria dengan rima adalah asupan hariannya layaknya menghirup oksigen). Membaca banyak buku dan terus belajar. Melepaskan tangisan dan emosi yang lelah dipenjara di dalam hati, membiarkan mereka menghujani kertas kosong dalam bentuk kata-kata yang bebas. Mengevaluasi diri, membuat target-target.

Membuat prakarya-prakarya sederhana. Menyanyi lepas dan menari mengikuti irama musik. Menjadikan musik indie sebagai latar musik yang membuat semua komponen di ruangan persegi ini menjadi lebih menyatu, saling melengkapi, menciptakan ide baru, lagi.
Aridea P Oct 2011
Tergetar nadi ku saat teriakanmu
Tersenyum aku saat melihatmu
Bagai mentari pelawan gelap
Bagai jiwa ku  yang amat tenang

Saat terjunan air membasuh raga
Alangkah indahnya pelangi melingkar
Bercahaya terang amat indah warnanya
Begitu segar sambil menatapnya

Tatapan itu tak sama
Dengan saat aku menatapmu
Di hati ku hanya kau yang terindah
Tak tertandingi dari apapun

Cinta...
Segelas darah ku buang
Selaut air mata ku tumpahkan
Saat ku lihat kini kau berada di Surga

Created by Aridea Purple
Masih kubayangkan seperti apa jadinya aku apabila suatu saat aku benar-benar bisa memiliki dia. Mencintai dia begitu dekat. Sedekat tarikan napas dari setiap udara segar yang aku hirup di pagi hari. Masuk ke dalam paru-paru. Kemudian bercumbu di sana.

Benar apabila aku memang sangat ingin bisa memiliki, segala hal yang mungkin tidak pernah bisa aku miliki.
Begitu naif apabila kita sedang belajar mencintai seseorang.
O wajahnya. O matanya. O hidungnya. O pipinya. O bibirnya. O rambutnya yang panjang tergerai jatuh di bahunya. Begitu jelas, hingga mimpi seperti realita.
Dia begitu jelas terlihat. Dia begitu nyata, bahkan kurasakan sesuatu berdetak begitu cepat dan kencang, seperti angin yang menyibak rambutnya.
Senyumnya membuat segala yang hancur menyatu kembali, tetapi tidak, tidak untuk setiap kali.

Aku masih mencintainya, begitulah cinta yang semestinya aku akan katakan apabila memang dia benar ada di sini. Tetapi dia tidak di sini. Dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku mencintainya.

Dia begitu dekat, tetapi juga begitu jauh. Dia jauh dari mataku. Dan dia begitu jauh untuk bisa merasakan perasaanku padanya.
Indonesia, 23 Maret 2021
Arif Aditya Abyan Nugroho
fatin Oct 2017
hembus aku nafas kelelahan
membaca bait cinta yg ditulis para muda
masing-masing melempar rasa
namun siapalah aku
mengatakan tidak pada rasa indah itu?

resah kamu mungkin tenang untuk aku
tatkala dunia goncang berebut harta
aku disini masih keliru tentang rasa
kemudiannya, aku melihat lirik mata anak muda yang sedang bebas teroka dunia
indah dan segar matanya
bersinar umpama harapan cerah sentiasa menanti mereka

sempat aku pesan anak muda,
teruslah berjuang demi rasamu
sematkan cinta kepada setiapnya
agar mudah kita kemudian hari kelak

kerana aku pasti
cinta yang tumbuh itu akan bersemi
dan terus ramai...

hingga satu hari, kan seluruh dunia tersenyum.
maka, teruslah.
teruslah...menulis..


944pm
oct 2nd 17
Sundari Mahendra Dec 2016
Diantara waktu pergi dan pulang

Selamat pagi sapanya dan demikian juga balasku
Segar melihat senyum dipagi yang kelabu
Mendung mengantung seolah siap untuk terjun

Silahkan wahai hujan
basahi bumi ku tercinta ini dengan kesegaran
tapi kalau bisa jangan terlalu banyak
kasihan mereka yang selalu susah
dengan kehidupan banjir dan kuyup

Sore kembali pulang juga dengan hujan
seolah mau berkata
Tidak ada yang dapat menahanku
kecuali Tuhan Sang Khalik
Aridea P May 2017
Dia yang memberikan irama obrolan begitu hangat di penghujung fajar,
Aku terlarut di dalamnya
Aku meminta lagi irama itu di fajar selanjutnya

Aku adalah oasis yang membantu melepaskan dahaganya,
kala ia berkelana di gurun nan tandus
Namun setelah segar kembali ia menyumbat mata air dengan pasir
Lalu ia berkelana kembali
Tuk mencari oasis selanjutnya, tuk menyumbat yang lain-lainnya

Dia lalu kembali ke jalan berkerikil menuju rumahnya
Dikala ia harus memilih di antara menyimpan kucing yang ia temukan di dalam sebuah peti emas di pinggir jalan
Atau dia akan pergi dengan peti emas dan meninggalkan kucing itu tak bertuan
Curt A Rivard Sr Apr 2013
Living now only on prior imagery I summon them up from their bed
Visions of how they looked to me when they were dead
Thinking of how they must now look their filling my head.

Waiting for the day when I can make my life complete
Exhuming his bones I want the bag back that I put at his feet
Inside you will find trinkets, pictures and also a devil’s treat.

Opening your casket because you’re inside and I want to see
Giving you a fresh breath of air like the times I refilled your A/C
The crypt keeper they say I was dog dollar and you Richie Rich to me.

I remember the song when I was told you died at 45 years of age
To the hospital drinking in the back seat I’m angry and need to rage
Turn up the volume please so I can hear Bob Segar’s Turn The Page.

If I knew then just what it is I know now you brother would be proud
Keeping you alive I tell everyone about you I say it clear and I say loud
I love blending in public places like a chameleon I hide in the crowd.

Happy Birthday, Rest in Peace, See you Soon!

(SirCARSr 4-21-12)
¿Quién me compra una naranja
para mi consolación?
Una naranja madura
en forma de corazón.

La sal del mar en los labios
¡ay de mí!
La sal del mar en las venas
y en los labios recogí.

Nadie me diera los suyos
para besar.
La blanda espiga de un beso
yo no la puedo segar.

Nadie pidiera mi sangre
para beber.
Yo mismo no sé si corre
o si deja de correr.

Como se pierden las barcas
¡ay de mí!
como se pierden las nubes
y las barcas, me perdí.

Y pues nadie me lo pide,
ya no tengo corazón.
¿Quién me compra una naranja
para mi consolación?
Ya se han roto las ataduras,
sólo la noche me rodea,
me va robando la memoria,
me acuna para que me duerma.

Ahora que ya no la contemplo
para robarle su belleza.
Ahora que siento en mí el cansancio
de nuestras pobres razas viejas.
Ahora que lucho y me rebelo
contra su mansedumbre eterna
y me acuerdo de que algún día
fui tan sin tiempo como ella,
¡qué monólogo desbordado,
qué soliloquio sin respuesta,
qué deseo de renacerme,
de entender y de que me entienda,
de borrar pasado y futuro,
de segar mi memoria entera!
Luego, arrojar al ***** pozo
lo que de mí evoca y recuerda:
cojín de nieblas matinales
donde apoyaba la cabeza.

Repetimos las mismas cosas,
recorremos aquellas sendas
por donde todos los humanos
dejaron gritos, ecos, huellas.
Son las palabras angustiadas
que un día oyó al nacer la tierra:
«húmedo beso, vida, muerte,
nada importa, me voy y quedas,
ayer desnudos en el campo
y hoy se caen solas las cerezas».

Palabras viejas y cansadas
que nosotros creímos nuevas,
recién nacidas para el canto,
para una dicha siempre nuestra.
Y la noche me va matando,
me acuna para que me duerma.
En cada instante mío pone
siglos de luna, alta y sangrienta.

Nada me importa que yo siembre
y que otros cojan la cosecha.

Pero morirme sin rebelarme,
someterme sin resistencia,
ser por los siglos de los siglos
sólo luz o sólo tinieblas,
irme cegando de hermosura
hasta dejar de ser materia,
aunque mi premio sea un día
mirar por dentro las estrellas...

Hoja de chopo, onda de río,
sangre mezclada con la tierra.
Y que mi forma sea el barro
que una mano mortal modela.
Niño que juega desnudito,
mínima brizna de la hierba,
todos los peces de los mares,
los animales de la tierra.
Saber que vivo, que palpito,
que me enloquezco en la carrera,
que nado mares y anchos ríos,
que escalo cimas, salto cercas,
que desde el fondo de las noches
hay pesadumbre que me acecha.

Sentir en mí todos los soles,
todos los gozos y las penas,
todos los vientos que me mueven,
los dolores que en mí hacen presa…
Sentir, por fin, llegar el alba,
su melodía limpia y fresca,
y barrernos las sombras turbias
que oscurecen nuestras cabezas,
y beber las lejanas brisas
que nos alejan de la tierra
maniatados y adormecidos,
sin saber a dónde nos llevan...
Graff1980 Jan 2015
Teary eyes
Walking bodies
Working stiffs
Echoing
Losing
Everything
Originality
Disappears
Factory motions
Zoloft emotions
One sidewalk
Looks the same
One uniformed man
Looks the same
Loosing names
For sign in numbers
Citizens are just social security cards
Like Bob Segar said
I feel like a number
And every stranger is just a digit more
Sito Fossy Biosa Sep 2020
MALAM yang indah, bulan sabit tiba-tiba hilang dari pandangan.

KLISE; bunyi burung malam dibarengi meong kucing-kucing kecil, bunyinya seperti +-@$"'=,/::!

aku diam, aku tak sanggup gugup atas dua jiwa yang sudah ditelan bersama potongan tuna setengah segar. kutukan penantang tuhan. nging
oklasasadu is a diction that was deliberately created by Sito Fossy Biosa to express his frustration with God, disappointment, against God, and the concept of Godhead. ⊙a concrete poetry project⊙
PLAINJETPLANE May 2020
merah jambu bukan lagi warnaku

meski masih ada putih
hitam juga yang aku pilih
7 tahun telah aku rasakan mati
cukup tiga, mungkin jiwaku tiada lagi baki

sering ku ingin pulang
bertinta di atas muka surat yang sama
tiap kali itu juga lemas aku berperang
tenat kepalaku melawan apa yang di minda

rapat aku tutup mata yang segar
mendambakan saat ia terbuka
sepi di dalam penuh di luar
melakar noktah di sudut sengsara

kerana begitu aku rindu
waktu diriku dihiasai merah jambu.
TJ Struska Mar 2020
The yellow stained blinds
Lead to the alley with no breeze. As I watch hookers,
Predictors, victims,
And the other lost cling
To railings drinking what they have.

The women are once again
Ready to feel the pulse of the bar, bleeding red and purple,
The back door open To the swelter. Bob Segar And Stevie
Nicks, Pasty Cline and Elvis.
I laid above the heat blanching the small window with the yellow blinds,
Beautiful and ******.

I stiffed what I could on the rent, pawned what I could,
Cigarettes and coffee,
A piece of toast,
The only meal for the day.
Sometimes a sandwich or a Hostess pie. A burger after
Two days hunger tasted like
Heaven on Earth.

Sometimes running out of smokes, you search the ground for half smoked butts,
Coming up empty.
No soup kitchen where you lived. Survival of the fittest friend.

And I let my poison arrow fly,
Finding it's trajectory through juke joints With women and music.
You lean into the bar, and the
Glint of the mirror provides the harsh ambiance to the racket inside the Black Rail Lounge.

You rode its tide to the one room above with the yellow stained blinds soured by
Still air and stale clothing.
And the small window let's
In yellow light and little air.

And you must rise this day
And go to work.
But you cannot rise from the bed. You can only groan
As the room spins, and shut
Your eyes to the bloated morning, with hot plates and coughs from other roomers down the darkened hall.
And the Black Rail beneath
With Janis Joplin and Fleetwood Mac, and the steady beat lulls you insane.
And you cannot rise to the task at hand.

But you must.

Marshalling your forces to
The bus and the El down
The ghetto streets of Chicago.
Past tenements and junkyards, hock shops and winos taverns, where you made rubber plates for box stamping. And the winos And barflies line the taverns along Skid Row. Mostly black,
All poor.
Beautiful and ******.

And the hand of God reached down touching my ravaged soul.
Lifting me in Love.
Beyond the Black Rail and the one room. I've since drank an ale on this first night of vacation, watching
The nightfall to sounds in the meadow, As the first firefly
Lights my Window in a time of Passion and Passing
This poem was difficult to share.
It was a deeply tragic time of my life. But the God I love saw to it I didn't stay there. O am thankful for every moment of life...TJ

— The End —