Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Shiv Pratap Pal Aug 2019
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
T­his poem is self translated version of my Hindi language poem titled "शिव लीला" published in pratilipi on (June. 2018) Can be read through the link ==>> https://bit.ly/2Z9Z57t
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^­^^^^^^

His neck has entirely turned blue due to Kalkoot, This is just a Leela of Shiva
He has taken everyone's pain and sorrow for the betterment of the world

He is the keeper of all the three loka's and also called as Trilokinath
He hold the holy Ganga in his locks, but do not drinks a drop from it

He sits on the yellow Tiger skin mat and keeps meditating for years to come
He satiates hunger by Datura and Madaar and drinks Bhang to quench thirst

He has a marvellous third eye through which all the three lokas are visible
Sitting in the Mahayoga posture, He keeps on concentrating and meditating

Brahma and Vishnu also bows before him with respect and feels blessed
Such a beautiful holy Leela of Shiva.  Nothing else but Shiva's holy Leela

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^­^^^^^

Kalkoot(Line 1): A poison generated due to Samudra Manthan ( The Churning of the Ocean by Devtas[Gods] and Asuras[Demons] )
Leela(Line 1): "Divine Play" (Just a pastime)
Shiva(Line 1): A God (The Destroyer) in Hindu Mythology

Loka(Line 3): Three three different worlds/realms. Swargaloka, the land of gods; Mrityuloka, the middle kingdom of men; and Pataloka, home of the Asuras, the fallen gods, and demons.
Trilokinath(Line 3): The Lord of the Three world/realms.

Ganga (Line 4): The Holy river whose flow and speed is controlled by the locks (Jatas - The thick hair strands) of Lord Shiiva

Datura and Madaar (Line 6): Poisonous plants (Datura stramonium and Calotropis gigantean)
Bhang (Line 6): Poisonous plants (Cannabis Plant)
Mahayoga (Line 8): Also called as Mahamudra – The Great Gesture (a posture for meditating)
The World is not real its Maya. Its the Divine Play of God
take me to your serenity..
so you feel joy in the deserted ..
give me a privilege  and a name ..
in order to reign in your heart and in it excite plump body ..

can't run and hide from the conscience  ..
could not bear the will of passion flame ..
the soul has long been frozen and can't be extinguished to felt ..

i want to give a bear hug  to a small shoulder and  crushing the faithfully ..
creeps passionate embrace your body with longing coals ..
kissing  your thin lips deeply  until it burn your desire..
**** your tongue wild  until unsatisfied romance ..
licking strong passion in your chest until bubbling subsided ..
shake your wild fantasy to  spoiling you with endless fondling ..

your night is ocean impression that never fade..
wading and paddling memories together ..
beautiful, warm and whole in your arms..*


┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈


hadirk­an aku dalam heningmu
agar tenang engkau dalam sepi..
beri aku sebuah gelar dan nama..
agar dapat kubertahta dalam hatimu dan berkuasa dalam tubuhmu..

tak dapat nurani untuk berlari sembunyi..
tak sanggup kodrati diri memikul rasa..
lama jiwa itu membeku dan padam hingga tak sempat merasa..

inginku peluk hingga remuk pundak kecil kesetiaanmu..
mendekap gigil gairah tubuhmu dengan bara kerinduan..
melumat tuntas gelisah bibir tipismu hingga bergetar lunglai..
menghisap liar asmara lidahmu hingga terpuasi..
merengguk hasrat peluhmu yang berjatuhan hingga terpulasi..
menggagahi kencang gairah didadamu hingga membuncah surut..
menyetubuhi manjamu dengan cumbuan tak berkesudahan..

malammu adalah  samudra kesan tak berpudar..
mengarungi  kenangan dan mengayuh kebersamaan..
indah, hangat dan luruh dalam dekapan..
if your night is your decision,  then sail through it with  your wild passion of lust
when the dawn flirty flicker on the horizon of the hill ..
feels cool breeze wash the bitter wounds ...

when the blazing sun dancing on the head burn jealous ..
so graceful way you speak ..

when the sun pull over and hide the east stretch of ocean ..
so light up the dim dark brushed off behavior ..

when the evening wading longing raft ..
so beautiful the way you steal sank deep trough ..*


┈┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈┈


cara karammu

saat sang fajar mengerlip genit diufuk bukit..
terasa sejuk  hembusan angin membasuh luka yang pahit...

saat sang mentari menari terik diatas kepala membakar cemburu..
begitu anggun bertutur caramu..

saat sang surya menepi dan bersembunyi ditimur hamparan samudra..
begitu terang perilakumu menepis gelapnya temaram asa..

saat rakit kerinduan mengarungi malam..
begitu indah cara karammu menyuri palung yang dalam..
these are the times that try men's souls..
i woke up thinking a very pleasant thought. there 's lots left in the world to see..
dibalik jendela pesawat terbang, ada bulan purnama
bulat dan terangnya sempurna
malam ini saya mengarungi awan
yang bentuknya jelas karena pantulan cahaya bulan
bergumpal, halus, keemasan
indah
terpantul pada retina mata, menakjubkan

lalu saya tertidur
dalam mimpi saya berkereta menuju cahaya bulan
saya akan sampai disana, dibulan

turbolensi membangunkan saya tepat pukul 11.42 malam
diluar bayangan samudra masih gelap, tidak terlihat
1 jam lagi saya akan sampai di negeri cina, kata seseorang dengan pengeras suara

tidak jadi kebulan?
tak apa, berbeloklah dahulu
baru ke bulan



*Diatas awan, 26 Februari 2013
bukalah samudra putihmu untuk sepenggal bayangan hitam ini
Biarlah ia arungi pusaran ombak dahagamu
Bawakan  salam duka bahwa aku penuh luka
Luka, yang ku balut sepenggal bayangan hitam itu.

lukislah doa di pundak bayang hitam
Biarpun itu kelam akan ku beri salam
Akulah lukamu, di alam
bukalah putihmu untuk sepenggal bayang hitam ini...
kulantunkan - lembut
kunyanyikan - kesenian
kukumandangkan - religi
kuikrarkan - formal
kulafazkan - detail
kuucapkan selamat malam duhai..... hahay.. :D
mana nih yang pas ya..

*kukumandangkan maklumat yang merindu..
oleh sanubari yang tersenyum kelu..
dari iman penghapus birahi dalam kalbu..
membangkitkan cinta yang menggebu..


       hingga ranting direlung hati tak sempat betanya..
       akan kemana gundah dalam jiwa terbawa..
       mungkinkah hanya sebuah nestapa...?
       yang tersingkap oleh nafsu dunia fana..


nurani yang kian membangkang..
bertanya pada tubuh yang terkekang..
merebahkan raga dihamparan angan yang tak lekang...
adakah keikhlasan yang terjengkang..

    
      tutur bijakmu sering tak terhiraukan..    
      seluas samudra perhatian kau berikan..
      dalam kasihmu tersandar persahabatan..
AM Mar 2016
habisnya seluruh suara
lenyap ditelan Samudra
bersembunyi di ujung lidahku
satu lautan cinta untuk kamu

ngga akan aku ucapkan
kamu ngga perlu tau
lillium May 2022
Setiap hari, aku mengintip dirimu dari kaki-kaki langit
Melihat parasmu, yang melumat kewarasanku
Dan akhirnya samudra akan memecah 'kita' menjadi kepingan 'aku' dan 'kamu'
Gilang Perdana Aug 2017
in my book-word of sea. the letters blackened
as though a crab carrion — sprawled out
on its slicky lingual waves:

there is a slip to the bottom of a riverbed
submerged, crushed by the froth of time
pilgrimaged by the monsoon

while the fate is a word
aboveboard — sail on my body
rowing its own letters
Favian Wiratno Dec 2019
Pilu dibalik rindu kembali menggebu,
Hujan di bumi sama derasnya.
Kukira aku melupakanmu,
Ternyata hati ini kembali keliru.

Hati mana yang tidak berdetak,
Melihat dua pasang mata seindah samudra?
Ucapan membisukan dari bibirmu,
Sayang, rindumu mengusikku.

Kacau, Hati ini.
Sudah berapa kali disakiti?
Malam dan Siang berganti,
Lekaslah kau pergi.

Pilu dibalik rindu kembali menggebu,
Rintik hujan di bumi sama derasnya.
365 hari berlalu,
Sudahkah kau merindu?
Oka Apr 2020
Melihatmu melangkah menjauh
"Aku pamit"
Ku terhembus mabuk
mendekati ruang hampa di sampingmu
Perjalanan beberapa tapak
menjadi hamparan samudra
dan ku tak sanggup berlayar
Surya Kurniawan Oct 2017
Apa yang akan orang katakan
Kala melihat kasihku mendorong air?
Dimana kukira itu karang
Walaupun ternyata air tergenang
Dan batu tetap bergeming
Lalu kulihat dia mengambang
Di atas beling-beling berkilauan
Kusangka samudra atau genangan lainya
Namun tetap saja riak matanya berkeluk-keluk
Bagai gelombang yang ada di kakinya
Kulihat jemari kecilnya tak kuasa menahan buih dan deru
Jika tak pelak aku yang terhempas
Kalau saja kasihku menolak ombak

Kasihku mendorong air
Aku mencampak karang
Kasihku menolak ombak
Aku menghenyak batu

Bergeming, dan tergenang
Diantara citra atas gelombang
Ek shakhs hai jise main behad pasand karti hoon, jise main beinteha chahati hoon. Ek shakhs hai jisse mera dil beinteha mohabbat karta hai par yeh baat usse main samjhau kaise? Pasandida mard hai woh yeh baat usse main bataun kaise? Nahi reh sakti main uske bina yeh baat woh samajhta kyu nahi? Kya usse mujhse mohabbat nahi? Kyu woh ek shakhs mere dil aur dimaag mein bas chuka hai? Meri mohabbat ab "ishq" ban chuki hai yeh baat main chah kar bhi usse bata paati kyu nahi? Aakhir kyu yeh dil uske bina kahin teherta nahi? Aakhir kyu uske alawa meri nazare kissi aur ko dekhti nahi? Kyu uski yaadein har pal, har lamha mujhe uske aur kareeb kar deti hai? Mujhe usse kya uski aankhon, uski baaton, uski khusboo ya tak ki uske naam se bhi ishq ishq hai, kaash yeh main usse bata paati. Uski aankhein jo samudra se gehri hai, unn aankhon mein dekhna mujhe kaafi pasand hai, uff!! Uski nashili aankhein. Uski awaaz? Uski awaaz mein toh maano jaise ek alag hi madhoshi hai, jisse sunna mere kaano ko ek sukoon sa deta hai aur hayee!! uska naam sunte hi mere chehre par jo muskurahat aati hai, woh kahan hi kissi se chhupi hai? Haan, ishq hai mujhe usse yeh baat mere dil mein hi kahin dafan hai. Usse meri mohabbat ki koi hadd nahi yeh jaake usse koi bataye, uske naraz hone se maano meri saansein tham jaye. Behad khoobsurat hai woh shakhs yeh baat woh maanta kyu nahi? Nahi reh sakti main uske bina yeh baat woh samajhta kyu nahi?
#Love #Ishq #Pasandida Mard 💓💗
Sarayu Apr 11
The mind whispers,walk the path of dharma,like Arjuna, with his bow drawn tight.

The heart replies, let me offer love into it,like Meera, singing to her Krishna through the night.

Situations whirl around me.

Like the churning of the cosmic ocean—Samudra Manthan

Where every choice pulls like devas and asuras

Tugging between what’s right… and what’s desired.

But my soul, ancient and still,speaks in the voice of Vishnu, resting upon Ananta.

Soft, eternal, and unshaken

Do what is necessary

Time moves—like Shiva in his Tandava

Moments rise and fall

Karma spins its golden wheel.

In the center of it all

Like a flickering diya in the wind

Like Draupadi with folded hands

I stood… still.

Not knowing what’s right and what’s desired.

Until something touched me

Not a voice, not a word,but a divine light

Like the jyoti of Arunachala.

The kind of light Yashoda must’ve See when she looked into Krishna’s mouth and saw the universe.

It said:

When your heart and mind stop their war and start walking together,like Lakshmi beside Vishnu grace flows into action.

Miracles don’t just visit…They begin to live in you.

When your soul accepts the leela,when it bends with the time,even suffering becomes prasad.

Even poison, like Neelakantha’s, becomes a sacred strength.

So I bow

Not in surrender,but in sacred acceptance.

I do not run after answers.

I do not ask the winds to calm.

I walk the sacred thread—that unseen sutra,woven by Saraswati’s wisdom and Sita’s silence.

That ties duty to devotion.

Lets love carry its weight.

With no need for reward.
mmay Apr 24
aku rasa
setiap aksara yang kutuliskan terasa seperti lelucon yang lahir dari jemariku sendiri,
menggeliat di atas benda bercahaya dengan kecerobohan yang puitis.

Makaa,
kubungkus ia dalam bahasa asing ,
seperti melarungkan rahasia ke samudra yang tak banyak mengerti,
berharap maknanya karam sebelum sempat ditertawakan.
VM Sep 16
Kala itu aku menonton sebuah film yang ramai diperbincangkan di seantero negeri. Kabar perihal kebagusannya menyebar laksana angin, maka aku pun datang tanpa curiga, tanpa sangsi. Terlebih, banyak sineas serta pelakon yang mengangkatnya, mengisahkan air mata dan tawa mereka setelah selesai menontonnya. Aku, manusia yang paling mudah diguncang rasa, bukan lantaran sedih, melainkan lantaran hatiku lekas tersentuh. Mataku pun basah, bukan karena duka, melainkan karena terharu melihat sepasang kekasih di layar berbahagia.

Siapakah yang hadir di benakku kala itu? Apa gerangan yang berputar di dalam pikiranku? Engkau. Namun engkau yang mana? Aku tiada tahu. Mungkin bukan engkau yang kelak menjadi teman hidupku. Jika engkau membaca ini—wahai belahan jiwa—janganlah kau sembunyikan rasa hatimu. Jika ia penting, ucapkanlah. Niscaya aku akan mengerti mengapa engkau berkata, mengapa engkau mengingat tulisan ini.

Yang kuingat kala menonton film itu ialah seseorang yang, pada tahun dua ribu dua puluh lima, pernah bertaut hati denganku. Setelah lama aku sendiri, aku berani membuka pintu hati. Namun jangan tersalah: bukan ia yang membukanya. Akulah yang memberanikan diri meloncat ke kolam, padahal belum jua kupelajari cara berenang. Namun aku ingin belajar. Ketika hubungan itu usai hanya dalam empat bulan, aku teringat, aku memang baru belajar berenang. Namun kelak akan kupilih ombak yang hendak kuarungi, kutemukan samudra yang tak berbatu karang, agar luka tak lagi singgah di tubuhku.

Mengapa aku teringat dirinya? Karena aku tahu, tiada kuasa untuk mengubah siapa pun dari kami berdua. Aku pun enggan mengubahnya. Bukan sebab kami telah dewasa—sebab kedewasaan bukanlah perkara usia. Aku pun kerap merasa kanak-kanak, ia pun demikian. Maka aku tak hendak mengubahnya, sebab tak ingin terjerat lebih jauh dalam takdir hubungan ini. Aku tahu ia tak akan kekal, karena di celahnya kulihat diriku bisa menjelma menjadi monster, bisa melukai dengan kata, dengan tangan, dengan kaki. Tak kupilih jalan itu. Dengarlah: ini bukan semata-mata untuk melindungi hatinya, melainkan agar wajahku tak ternodai oleh amarahku sendiri.

Lalu ingatanku terarah kepada seorang pria lain, yang pernah kucintai sedalam itu. Kami tak pernah bersanding, tak pernah menjadi sepasang, bahkan hingga kini hanya bertukar kata sederhana: “Aku sayang engkau.” Begitu dalam rasa itu, walau ada orang lain yang saban hari mengucap “Aku cinta kau” dalam bahasa manisnya, hatiku tak pernah benar-benar mengamini. Aku pun tak menaruh harapan kepada pria yang paling kucintai itu hingga detik ini aku menulis. Aku hanya tahu: kami saling cinta, saling sayang, tetapi usaha kami untuk menjaga rasa itu nyaris tiada.

Maka biarkan ia masak sampai hangus, sampai menjadi abu. Barangkali kami tak akan pernah menjadi sepasang, tetapi yang kurasakan nyata adanya. Dari dia aku belajar, bahwa aku akan menempuh segala jalan demi cinta. Ia akan tergantikan kelak oleh pria lain, namun ia adalah cetak biru. Rumah yang akan kubangun akan selalu berpijak pada rancangan itu. Aturannya jelas: setia, tulus, mengutarakan rasa, berkomitmen melampaui kata “sayang.”

Terima kasih, karena telah memperlihatkan wajah cinta, meski pahitnya membuat dada terasa sesak. Lihatlah, bertahun-tahun aku berjalan, bertemu dengan banyak lelaki, tetapi engkau masih menetap di kepala. Betapa pentingnya engkau. Semoga aku pun sepenting itu di kehidupanmu. Kini aku dapat menerima: engkau datang hanya untuk mengajarkanku cara mencinta, bukan untuk menjadi milikku selamanya. Setiap insan akan pergi, baik oleh hidup maupun mati.

Sejujurnya, aku bahkan lupa bagaimana parasmu. Memalukan? Tidak. Sebab yang tinggal hanyalah rasa. Kini aku tahu bagaimana aku ingin dicinta, bagaimana aku hendak mencinta, agar sebuah pertautan dapat bertahan.

Namun, perlukah pasangan hidupku kelak gentar akan rasa yang pernah kumiliki untuk pria itu? Tentu tidak. Segalanya telah lama berlalu. Aku sadar, mengucap “sayang” padanya pun tak pernah membuat kami menjadi sesuatu. Ya, aku mencintainya, tetapi tak ingin menjadi apa-apa. Pesan darinya yang datang di malam hari barangkali masih membuatku tersenyum, tetapi kesedihan tak lagi hinggap. Aku tahu, aku tak akan pernah kehilangannya.

Ia akan selalu ada, jika aku suatu hari tak lagi memiliki pilihan, jika aku sendiri dan perlu diyakinkan bahwa ada yang masih mau menungguku, yang masih mau berkata ia mencintaiku. Apakah ia kehilangan aku? Ya. Dahulu aku terluka, mempertanyakan rupa hubungan kami, mencari cinta sebesar yang kuberi. Dan ternyata kami memang saling cinta. Maka biarlah. Tak ada lagi yang dapat kuperbuat. Kini aku tak lagi berduka. Wahai kasihku, pasanganku, ia hanyalah masa lalu. Ia tak perlu menjadi milikku. Hatiku tak ingin memilikinya, hatinya pun tak ingin memiliki aku.

Itulah yang kurasakan. Kita tak perlu tahu bagaimana rasanya menjadi dia. Itu tak penting. Yang kupanjatkan hanyalah harapan: ketika kelak aku telah membenahi diriku sebaik mungkin, semua itu bukan hanya untukmu—wahai pasanganku, cintaku—melainkan juga untuk setiap insan yang kucinta. Akan kuusahakan agar hidup kita berjalan sebaik-baiknya, meski hari-hari mungkin kelak menjadi lebih berat daripada hari ini.

Cintaku tak akan pudar padamu. Dan jangan engkau bertanya, sebab cintaku bukan semata untuk pria itu—cintaku seluas itu. Namun tak akan kupinjamkan hatiku kepadanya, tak akan kubagi meski sebutir debu. Jika ia memilih menyimpanku di sudut hatinya, biarkanlah. Kita tak perlu tahu. Jangan kita pernah mencarinya.

Aku akan mencintaimu selama napasku masih berhembus, selama janji kita untuk sehidup semati masih bergaung di dada. Engkaulah yang akan kutunggu, di hari terakhirmu, di hari terakhirku, atau di hari terakhir kita bersama.

— The End —