Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Zindagi aapse hi khubsurat hai humari,

Aapke sang hi rehna humein umar saari.


Har janam aap hi humsafar ** humare,

Yahi dua hai us neeli chhatri wale se. 


Ye dhadkane bhi ruk si jaati hai aapse jab baat ni hoti,

Aapki wo tagri daant bhi sacchi humein bhut pyaari lagti.


Is Dil ki har dhadkan Kuch kehna hai chahti,

Sirf aur sirf aapke pass rehna chahti ji.


Aapka Naam hi tou humare naam ko pura krta,

Aapki muskaan dekh ke hi ye dil humara bhi dhadakta.


Ye meelon dur ki duriya humara Kuch ni bigaad sakti,

Aapki tasveer seene se lagake hi Roz soti.


Ek aap hi apne apne se lagte **,

Aap pass ** tou bhul jau duniya ko.


Kaise kahu mai aap kitna mayne rakhte **,

Jo dua us ishwar ke darwaze pr roz hum Kare wo puri **.


Humesha har kadam par saath saath rahein hum dono,

Koi bhi Juda na kar paaye humko.


Aap Jaise fikar karte, pyaar karte aise koi bhi nahi kar sakta,

Is sacchi mohabbat sacchi shiddat se hi jeene ka dil karta.


Jeene ka sahara jeene Ka matlab hi aapse hai mere saathiya,

Aap saath ** tou saanse chalti hain mere mahiya.


Mai hu aapki in haathon ki lakeero mein,

Aapko paakar sabse qismat wala bna Diya uparwale ne.


Khushnaseeb hai humari taqdeer jo aap humko mile.

Aapke aane se zindagi mein phul khile.



Jo labz  hothon se keh Nahi paate,

Wo bhi aap samajh ** jaate. 


Dil Ka dard jab bayan Nahi karte,

Wo bhi aap itni dur se pata laga lete.


Har dard har jhakam apne aap thik ** jaata,

Jab ye Dil us pyaare se Dil ke seene se lag ke sukoon paata.


In hawao ki sarsarahat ke zariye wo ehsaas bhejna,

Humesha Aapke Saath Hu sunnu ji aapka ye kehna.


Sacchi beintehaa sukoon deta is rooh ko,

Ishwar humesha mehfooz rakhe aapko.


Kadi dhup ki pyaari si chaav aap ban jate,

Har Khushi har aansu ek dusre se baat te.


Wo hi hain zindagi Ke sabse pyaare lamhe har dard bhi lete ** bhaap,

**** se tou har koi pyaar kr leta rooh mein basna kise kehte uski misaal ** aap.


Bhagwaan ji mujhe maaf kr dena,

Aapse bhi badhkar Kisi ko maine samjha.


Inke saamne sajda mai jab bhi karti,

Meri bandagi zindagi dono puri ** jati.


Agar rabb mujhse puche ki tumhein kya du

Mai bina soche bas Aapka naam keh aapko maang lu.


Aap bhale hi duniya ke liye ek insaan **,

Mere liye tou aap hi puri duniya **.


Zindagi ** tou aapke saath warna,

Koi zindagi bhi nahi chahiye mere khuda.


Aapke saath jiyenge aapke sang hi marenge,

Kuch Nahi chahiye humein neele aasman ke neeche bhi aapke sang reh lenge.


Bs aap humesha humare pass humare saath rehna,

Isse jyada Kuch Nahi humko kehna.


Wish you a very very happy anniversary dear sweeeeeetuuuuu ji. Aap ** tou Sab Kuch hai humare pass. ... Sabse most important part of my life is justttttttt you. I love you dheeeeerrrrr saaaaraaaaaa MERI jaaaaaaannn...feeelllll you the mosttttttt. Aap ** humare pass jeene ki wajah hai ... Thankyou so much for always being there with me my dear sweetesttttttttt life partner..❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ I am soooooooooooo muchhhhhhhhhhhhh luckiestttttt and blesseddddddd to have you munnnnnnnnnnnuuuuuuuu jiiiiii ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ bhagwaan ji aapki har manokaamna Puri krein ..aapko dheeerrr saaariiii khushiya de...humesha mehfooz rakhein ...jaldi se aapko success mil Jaye aur aap apni is Dil ki raani ko Apne sang le jao humesha ke liye ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ I love you a lottttt more than my life ..my life ..my lifeline ...my everything ....Sab Kuch aap ** .... Happy anniversary sweetuuuu ji❤️❤️❤️❤️❤️
31 may most special one
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Vineeta rai Apr 2019
Ek ldki apne pure jeevan Me kya kya sehti hai ish kavita ke madhyam se batana cahti hu....

Waise to Laxmi, durga, saraswati kaha jata hai ladkiyo ko..
To kyu uske janm par mara jata hai ush masum ko....
Ladka hai to hamara chirag hamara vans aur ladki hai to sir ka bojh...
Jara yaad kro aise soch walo ladki na rahe to kahan se laao tum apna vans apna chirag...
Jo tmhe har khusiya De uski jra izzat ni krte....
Samjhte pair ki jutti **...
Are suno bewakufo...
Bina aurat aage ni badh sakte **....

Ladki ka to pura jeevan hi aisa hota hai... Ladki kabhi apna nahi soch sakti suru se maa baap Ka kaha manana aur fhir pati aur saas sasur ka... Apni khusiyo se jada pariwar ka sochna khud ki khwahiso ka Gala ghot sabki baat Manana....girls don't have life of there own... Chaliy aage dekhte hai.... Jb ldki ki saadi ** jati hai...

Ladki ko to suru se paraya dhan samjha jata hai....
Kyuki ushe vida hokr dusre ka ghar swarana hota hai...
Apni maa ka anchal chod...
Kai nae rista nibhana hota hai...
Kisi ki bahu kisi ki biwi kisi ki cachi 1000 riste bn jate hai...
Un sbko pyar se nibhana hota hai...
Ladki ka to naam hi tyag hai...
Kyuki suru se usne apni khusiyo ko tyagna sikha hai...
Kabhi maa baap ke majburi ke karan..
Kabhi society ke karan...
Aur fhir apne maa baap ko chod sasural jana hota hai...

Jara puchna cahti hu un ldko se... Kya tum apne maa ka saya chod reh skte **... Nahi na... To socho ek ldki kaise rehti hogi.... Wo tumhare liy apna har kuch chod skti hai... To kya tumhara farz ni ki uske khusiyo ka khyal rkho... Itna hi to ek ldki mangti hai.. Aur afsos tum log ushe wo bhi Ni de skte... Ldke bus apni jimmedari saupte hai apne faisle thopte hai... Ldki ke saadi ke baad to ushe apne mayke tk jane ka haq ni hota jbtk pati raazi na **... Kya ldki ki koi life hi  nahi...
Hum niyam to nahi badal sakte par itna to kar sakte hai na ki uske khusiyo ka bhi dhyan rakh ske...Kabhi socha hai ek ldki ke andar kitna kuch chlta hai par itne risto Me wo bandh kar kuch nahi keh pati.... Jara samjho ushe jo tumhe ache se samjh jati hai...
Tum kya khate **... Kya pasand hai... Kya kaam kb krte **... Tumhare kapde se lekar jutte tk har cheez ka khyal rkhti hai... Aur tum uska bhi khyal nahi rakh Pate...

Waqt chlta hai ldki maa banti hai....
9 mahine kya kuch seh ke ek bache ko janam deti hai....
Ush 9 mahine wo kis daur se gujarti hai wo wahi janti hai...
Sb kuch Sehti hai par chu tk ki aawaz nahi nikalti...
Aur ladki ka dard koi samjh ni pata...
Ek bache ko achi parwaris deti hai ushe Bada karti hai...
Ek ladki ki puri lyf ek battle field se kam nahi hoti...
Ladki janam se maut tak bahut kuch jhelti hai...
To apka bhi farz banta hai ushe samjhna....
Uski khusiyo ka khyal rkhna...
Ajj jada nahi ek baar Akele baith kr socha what a Girl do for uhh...
As a mother, sister, wife even ur girlfriend...just think ND try to understand her....
Ek khusi ushe bhi dekr dekhiy... Sach Me ldki ishse jada kuch nahi cahti...

Last Me itna hi kahungi...ladki dusro ke liy jeete jeete apna antim saans leti hai....
Pls I request to all boys and men.... Stop to hurt ur wife sister mother or gf just respect what they do for you.... And app bhi kuch krna sikho... Unke liy...
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Bs ek tamanna hai agar janam mile fir se,
Meri sacchi mohabat mujhe har janam mein mile.

Zindagi ka har pal khubsurat hai jab aap saath **,
ye dil shiddat se chahta hai sirf aapko.

Aap dharti kya jahan bhi honge,
Aapki khusbu se hum aapko pehchaan lenge.

Aankh band kar dadhkano se pehchaan lenge,
Din maheene saal guzarte jayenge.

Pyar mein aapke har pal har lamha badhte jayenge,
Jab jab janam lenge hum sirf aur sirf aapke rahenge.

Ye dil sirf us dadhkan ki hai pehchaan,
Aapki rooh mein basti hai hamari jaan.

Har dua mein us rabb se hum aapko maangte,
Is dil mein sirf aap hi ** rehte.

Dil bhi bekaraar hain aapse milne ko,
Khushnaseeb hain hum jo aap humein mile **.

Saare jahan ki hasi aapke labe par saja de khuda,
Aapse  kabhi nahi hongey hum juda.

Har saans par hamari hai aapka naam,
Aapke bin zindagi hai gumnaam.

Chand ki chandani madhamm padh sakti,
Phulon ki khusbu feeki ** jaati.

Hamari sacchi mohabbat ki khusbu is qadar faile,
Ki dharti ke yug bhi kam padh jaaye.

Karte hain kkhuda se hum gujarish,
Aapki mohabbat ke siwa koi bandagi ki na ** baarish.

Chahe hazaaron dafa waqt le le hamare imtehaan,
Nahi chhodenge hum aapka saath meri jaan.

Kuch ehsaason ke saaye dil ko chhu jaate,
Zindagi mein phul khil jaate jha aap kadam rakhte.

Gulaab tou kaaton mein bhi khila hain karte,
Kabhi kabhi apne bhi paraya kar dete.

Shukriya hai aapka jab hazaaron log khilaaf hote hum khuda kehte,
Tab sirf aap hi ** jo hamara haath thame hamare saath khade rehte.

Khubsurat hai har subah aur har shaam,
Achaa lagta hai hamara naam jab judta aapka naam.

Aap saath hain tabhi khush hai saara chaman,
Aapse mohabbat karne ko le le hum hazaro janam.

Aap jaise dost milte hain taqdeer walon ko,
Mile yhi taqdeer aur is dil mein sirf aap rho.

Aapki rag rag se waakiff hain hum,
Saath hain humesha mere humdum.

Bs ek tamanna hai is dil mein,
Har janam mein aap hi hamare mahadev bane
Smiling Queen Aug 2019
Kyu?

Jab karte ** itni mohabbat hamse,
To phir tum chipate hi kyu **?
Jab tum mere bin ek pal bhi na reh pate **,
To phir mujhse dur jate hi kyu **?
Jab tumhara dil mujhe pana chahta hai,
To tum use satate hi kyu **?
Jab najare churani hi hai tumhe mujhse,
To phir mere samne aate hi kyu **?
Tum kehte the na ki mai tumhari nahi ** sakti,
Jab mai tumhari ** hi nhi sakti,
To phir mujhe tum itna yad aate hi kyu **?


~your smiling queen :)
If you love me so much,
Why the hell do you hide from me?
If you can't live without me,
Why the hell do you want to leave me?
29 August ko hui thi pehli mulakaat,
Taraste they sunne ko wo unki aahat.

5 september ko hui unki dosti,
Ek ladki jo shaadi se bhut darti.

Intezaar mein baithe rehte they wo,
Baar baar niharte shayad koi paigaam aaya **.

Hokar mayoos fir laut jaate,
Maheeno baad messages ke reply aate.

Bhut intezaar kara hai mahadev ne,
Milne ko apni shivani se.

Izhaar tou bhut baar kiya tha unhone,
Har baar mazak mein taal diya pagli ne.

Wo bhi bhut pyaar karti thi,
Par haa mein jawab dene se darti.

9 maheene tak intezaar karaya,
Fir ek din bn gyi unka humsaaya.

Tham liya ek duje ka haath,
Dene ke liye janam janam ka saath.

31 may zindagi ka sabse khaas din,
Ek pal bhi guzar nahi sakte bin.

Chand ko pyaari hai chandni jaise,
Dil se dil jude hain aise.

Chahe meelon dur hain wo,
Mehsoos kar skte hain ehsaaso ko.

Ek aisi pavitra paak rooh hai unki,
Khuda smjh ibadat kr sakti.
Aye mere humsafar,
Kya aapko hai khabar.

Meri har khushi sirf aap **,
Dil ki dadhkan aur meri sada hai wo.

Meri pehli aur aakhiri mohaabat ** sirf aap,
Milon dur hain fir bhi har takleef lete bhaap.

Chaha hai sirf aapko chahat se badhkar,
Kabhi kahin nahi jayenge aapko chhodhkar.

Har janam sirf aapke hai naam,
Khuda ko bheja hai humne paigaam.

Hamari har saans sirf aapse hai shuru hoti,
Aapko takleef mein nahi dekh sakti.

Aapke har kadam ke neeche ** haath mere,
Zara si aanch tak na aane denge.

Aapse badhkar kisi ko itna na chaha humne,
Sabse anmol tohfa mila humein rabb se.

Khushnaseeb hain jo aapko paaya,
Hamara dil aapki dadhkano mein samaya.

Mere mahadev meri mohaabat ** tum,
Tumhe chhodhkar kha jayenge hum.

Kasam se jab se mile ** tum humko,
Zindagi ki har khushi mil gayi mujhko.

Kuch paane ki tamanna nahi hai meri,
Khushnaseeb hain jo jud gayi mujhse dadhkane teri.

Sachhi mohabbat sirf hai tumse,
Gehre hote hain rishtey jude jo dil se.

Aapke liye tou khuda se lad jayein hum,
Hamari jaan se pyaare ** tum.

Meri duaon mein itna ** asar,
Aapko lage na kabhi kisi ki nazar.

Mehfooz rakhe khuda aapko,
Aur kuch nahi chahiye mujhko.

Duniya ki khushiyan mile aapko saari,
Sacche dil se dua hai hamari.

Aye mere mahiya,
Wo drrrr humne nikal diya.

Aapse gujarish hai hamari,
Hum sirf aur sirf hain aapki.

Aapka saath janmon janmon tak nibhayenge,
Aapke khatir har imtehaan se lad jayenge.

Kisi ki himmat nahi jo juda kar ske,
Humesha sirf aapke hi rahenge.

Kasam se aapse behad pyaar hain karte,
Sabse jyada aapko khone se darte.

Par ab drrrr nahi lagta humein,
Khud se jyada bharosa aap par karte.

Zindagi chahe kitni karwatein badal le,
Aapki mahiya humesha aapki saath rahe.

Vaada hai hamara aapse,
Khuda se badhkar ** aap mere.

Aye mere saathiya,
Aapki hi hai mahiya.
NURUL AMALIA Jan 2019
teruntuk atau kepada
engkau atau kamu
tersayang atau terkasih
taukah kamu?
bulan berdesir pelan
menyelusup ke sela- sela kabut hitam
malam yang pekat
aku tak sendiri, ada sepi yang mememani
aku mengisahkan padanya
perihal perih tapi tidak sakit,
tentang rindu yang tak berujung temu
aku ingin memberitahunya
aku senang jika ia mendengarkan cerita- ceritaku
aku akan menunggu
biar waktu yang akan membawamu
disini aku memelukmu
dengan mantra sakti yang aku miliki
AADI Dec 2019
yakeen karne ki mitti zeharili ** gyi thi ...
usmein bhi ye ladki mohabbat ke baagh laga sakti thi...
par kisi ki muskaan ke aage khud ko bujha liya isne ,
varna chahti toh shehar mein aag laga sakti thi !
s Dec 2019
Bunyaad ko bana te huwe,
mein apne aap ko nahin bhool sakti.
Rough translation

While building a foundation,
I cannot forget myself
Megitta Ignacia Sep 2019
bara tubuhku
satu nafas, tikaman di perut
tapi bukan dari luar
bukan dari luar

cairan menjelma jadi belati
satu tegukan ramuan rempah sakti
rimpang agung warisan bumi pertiwi
jemari kuning si mbok hadir membukti
hangat jamu kuning pekat nan wangi
meresap, dinding terkikis
rasanya jantung diri digenggam keji

kini terlepas dari ragaku
sebegini ampuhnya
hingga ia menyerah luruh
sewaktu-waktu berdalih biasa saja
itu hanya gumpalan darah biasa
tidak ada yamg mengambil jiwa secara paksa
maklumkanlah
tubuhnya saja belum terbentuk sempurna
itu hanya gumpalan darah biasa
240919 | 00:09AM, kecemasan yang itu-itu lagi, perkara kesiapan, lamunan imaginasi tentang ada atau tiadanya makhluk kecil di tubuh manusia. Para wanita umumnya tahu persis kecemasan bisa diselesaikan dengan pelancar datang bulan.

— The End —