Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
erik diskin Jan 2019
perjalananmu pasti cukup melelahkan, bahkan menjadi buta pun bisa melihatnya dengan baik. ini, disini, rebahkanlah kekhawatiranmu yang semakin hari menjadi gusar dalam doa-doa yang tabah. akan kuganti dari setiap amin yang kamu titipkan pada malam diam-diam. hati yang kemarin kamu pertaruhkan untuk menemukanku dalam mereka laut yang kesulitan kamu pelajari siapa Tuhannya, yang telah bersusah payah kamu coba taklukkan.

tidak apa-apa. tenggelamlah sesekali, mungkin lima, teguk pilunya, dan pelajari dengan bijak. pada akhirnya, jiwamu yang diberi nama manusia akan piawai membawa diri. paling sedikit, penjaga yang tahu kapan dan untuk apa waktunya sepadan dengan raga yang tersedia.

aku akan menerima sebutan sialan, menyebalkan! dalam hidup bagai keputusasaan jarum dalam jerami dengan senang hati, malah. setidaknya, kamu adalah pelaut yang cukup handal karena aku, dari jatuh-bangun-tenggelam-terbentur-salah nama dan angkatan telepon yang kesalnya harus diangkat.

bahkan, syukurku akan terpenuhi menjadi sebuah tetes melengkapi lautanmu. aku adalah satu tetes yang akan cukup membuatmu rumpang kapan saja, yang akan kamu kejar dengan bodohnya kapan saja. katakan saja terdengar ganjil. siapa peduli. aku tidak akan menjadi mudah karena aku adalah pembalut kulit dan hati terlukamu dan akan selamanya menjadi tugasku.

namaku lebih dari sebuah harap. aku tak akan pernah dan ingin menjadi harap, sebab payah adalah nama kedua dari harap. aku adalah, “kamu bisa mempunyai bagian besar dari kue ini.” atau, “tentu saja. aku punya alasan untuk mengemudi dengan hati-hati dan kembali.”

namaku sederhana.
sederhana dan akan selalu nyaman.
setelah hari itu yang penuh prasangka dan tanda tanya dari dunia yang kamu kenal dan tidak.
namaku adalah seorang pelindung dan pahlawan yang gigih nafasnya, nama yang ketika rindumu akan lapar dan kehausan menemui pelepasnya.
aku adalah kemenangan dan hadiah kemurahan hati.

rumah.
Penunggang badai Feb 2021
Sejak kapan kita menjadi pendiam dan enggan tuk bertukar kabar?

Sudah lama rasanya tidak membersihkan debu yang makin tebal, bersarang (yang kuyakin) di masing-masing satu ruang kecil nan sempit di hati kita. Aneh rasanya mengingat dulu masing-masing dari kita pernah saling menguatkan satu sama lain dikala masa kejatuhan, saling membahagiakan di tengah badai yang bergemuruh.

Pada akhirnya, waktu seolah memaksa kita melanjutkan perjalanan dengan cara berpisah, saling memilih arah yang berbeda. Seolah memberi isyarat bahwa kau dan aku memang tidak diciptakan untuk bersama. Dan benar, waktu membuktikan ucapannya. Kita lambat laun mewujud bumi dan langit, hitam dan putih, atau bahkan air dan api.

Memilih tunduk dengan titah sang waktu, dengan ego yang kau Tuhan-kan, mulai berjalan tanpa beban meninggalkan semua kenangan, termasuk aku yang tertahan di persimpangan jalan. Sedangkan aku; dengan perasaan kalut yang membelenggu hati, coba berjalan memikul sisa-sisa petualangan kita, menjinjing sekantong mimpi yang kala sedih maupun bahagia pernah kita kumpulkan bersama-sama.

Berteman sunyi, terus berjalan meski sepi sendiri.
Penunggang badai Feb 2021
Akhir memaksa hadir di sela-sela kisah yang sementara kita bangun dengan asa—tanpa aba-aba. Bersamanya getir, menetapkan takdir dari apa yang tak pernah kau dan aku amini sebelumnya. Mengaburkan fungsi intuisi, hilang arah semua kata demi kata dalam kepala. Membekukan imaji, runtuh semua rasa dan karsa.

Ditengah terombang-ambingnya alur cerita yang kita garap, kau tetiba menyerah dan berhenti berharap.

Menanggalkan semua mimpi dan asa, biar berserakan di atas meja tanpa perduli akan masa depan cerita. Meninggalkan aku, yang pernah menjadi ruang bagimu menuangkan ide perihal apa saja yang kau cinta.

Adalah karenamu, duniaku kembali berputar.
Adalah karenamu, aku belajar menulis tentang rasa.
Adalah karenamu pula, aku mencoba mengartikan perihal cara mengikhlaskan.

Dan mungkin itu sebabnya—tanpa sadar, kau juga mengajarkan soal kedatangan dan kepergian. Hadirmu menghentakkan semestaku untuk bergerak dan mesti beradaptasi. Tanpamu semestaku berusaha untuk terus berjalan tanpa harus kembali berhenti.

Aku mencoba bertanggungjawab atas apa yang telah kita mulai. Mencoba menantang badai meski hanya berteman bayangan diri sendiri.

Peran menulis naskah cerita kini sepenuhnya milikku, yang dulunya adalah tugas kita bersama. Terus melanjutkan dan memikirkan penyelesaiannya—meski tak ada lagi peleburan ide kita didalamnya.

Semua yang rumpang akan rampung, sedih akan berbalas bahagia pada akhirnya. Waktu adalah saksi, upaya dan sabar akan menjawabnya. Belajar bangkit dari keterpurukan, hadapi dan rangkul baik segala kenyataan.

— The End —