Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Wat skryf die hand?
Wat skryf die pen?
In 'n kunste swyg
wat ek so goed herken.

*** loop die sinne
uit in 'n meesterstuk,
wanneer die muse
aan my stiltes verstik?

*** skep ek weer skrywes
wat mense laat wroeg,
sonder die hartseer
en met al hierdie moeg?

*** laat ek my digters tong
luiters in die oopgraf in
met 'n hand vol liefde
raak my siel weer blind.

Waar kom my ritme en passie vandaan
, maar beter nog, met die koms van geluk
... waar het dit heen gegaan?
Marie Nov 2018
Liefde is:

om die langpad Kaap toe deur te dring met Afrikaans is Groot treffers omdat jy sien *** Pappa sy vingers teen die maat van die ritme tik.

Dis om te weet dat Mamma wel omgee al is sy soms te besig om na jou gunsteling gedigte te luister.

Dis om saam met Boeties rugby te speel al wil jou lyf al vir jare nie meer hardloop en rond gestamp word nie.

Liefde woon hier
Tussen die gee en kry,
Tussen die op offeringe,
Tussen ons almal.
Weenlied, weenlied
Op ń valse noot
Handel oor siekte
En eindig in dood

Gebroke verwysings
Probeer jou lei
Maar jou wysie is af
En jou ritme te lui

Weenlied , oh weenlied
My hart pleeg hoogverraad
In my soektog na jou.
Tragedies en ellende
Ñ treurspel aanskou
Deur die wyses
Die edel
Die harlekyn
sluk ek jou suur woorde
Saam met soet rosé wyn
Die donker dans in daai kind se oe
kyk *** die duiwel om hom draai en
walts met die doodsdonker nag
op die ritme van sy swak hart.

Die kind se swak hart
natuurlik bosluis die duiwel hom
toe op die bloedjie se bloed
tot sy are net gal spoeg.

Tant San se hy speel met vuur...
en sit op die doringdraad
tussen hierdie span en die ander
wie hy altwee lelik speel.

Oom Jaap se hy snuif hom slim
die gom is maar om sy hart weer
aanmekaar te plak en die spirits
vir die graffiti op sy spirit en sy soul

maar mens praat nie so van God se kind nie
die laaitjie praat met engele
en gaan eerder hemel toe as jy...
want geen mens gan tweekeer hell toe nie.

Hy wag net om te dooi...
Sjame , die arme kind.
Anita Jul 2021
Jy
My liefste mens
My beminde
Jy.

Jy is n meesterstuk.
Jy is digkuns, jy is melodie
Jy is ink en papier en woorde
Jy is n kaleidoskoop in anatomie.

Jou mond is my kompas
As my kop verdwaal
Gerroes en deur die wind verweer
Kan jou sagte woorde my veilig laat huistoe terugkeer.
Jou hare, watervalle oor die skatkamers
Waar ek my geheime neerle
Van fluisters in die donker
Tot hardop liefde opse.

Dat ek myself aan jou mag gee
My swaar, my lig, my heimwee
My gister, my more, my vandag.
My geslote deure, my trane, my glimlag.

Jou hande is sleutels wat my kamers oopsluit
En oor my gly soos water oor rante
Om hoeke om draaie
My sirkels, my vierkante
My donker steugies en oop plaaspaaie.

Jou oe is die verlede, die toekoms en nou
En as jy lag sien ek padkaarte in hulle oopvou
Wat lei na orals en nerens
Na die sterre
En na onthou.

Jou bors is my vesting.
My kaggel, my lig, my beskerming
Waar ek veilig my hart kan hou
Om saam met jou dans
Op die ritme van vetrou.

My liefste mens, my beminde
Jy is sterre oe en oop-oog droom
Jou glimlag breek, vee weg en maak skoon.
Jy maak die storm in my rustig.
Jy is die vrede na die reen...
Jy is my virewig
Andrew L Manson Jul 2018
Ik druk mijn lippen op jouw naam,
sierlijk op een enveloppe geschreven,
fragmenten van herinneringen,
in een brief die ik je nooit heb gegeven.

Weet je nog *** wij de eerste keer liepen,
door die oude hoofdstad van ons land?
Door de straten zwervend, lachend,
jouw koude in mijn warme hand.

En weet je nog de kleurigste herfst,
wandelend door het bos bij de duinen,
met jouw dochter die vol bewondering
naar paddenstoelen liep te struinen?

En weet je nog die hoogste schommel,
die bijna reikte tot de maan
waarop ik jou steeds hoger duwde,
omdat ik nog niet weg wilde gaan?

En weet je nog *** wij samen,
slenterend door winkels van ingebonden papier,
intiem pratend, de wereld negerend,
jij mijn hand pakte en zei “hier”?;
“Voel *** wij uit alle macht
hetzelfde dansen op het ritme van dit leven”
en *** ik toen ter plekke bedacht
dat ik jou mijn wereld wilde geven.

En weet je nog, toen het tij
zich tegen ons begon te keren
en wij nog dachten dat wij samen
de storm wel zouden kunnen trotseren,
*** ons roerloze schip
tezamen met mijn wereld is vergaan,
toen de golven van emoties
het tegen de rotsen hebben doen slaan?

En heb je het nog gehoord dat ik zoekend,
tussen het wrakhout in de koude oceaan,
jouw naam heb geroepen tot ik,
schor en half in verdriet verdronken,
maar aan land ben gegaan?

En heb je het geweten dat ik dolend,
over bospaden en de straten van die oude stad,
gezocht heb naar sporen van jou,
niet wetende of je aan mij dacht of dat je mij vergat?

Maar wat je niet hebt kunnen weten
en waarschijnlijk ook niet meer ziet
is dat ik nooit heb kunnen vullen,
de leegte die je achter liet.

Ik druk mijn lippen op jouw naam,
sierlijk op een enveloppe geschreven,
fragmenten van herinneringen,
in een brief die ik je nooit heb gegeven

— The End —