Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Feb 2012
Jakarta,  30 Maret 2009

Jangan takut musuh negeri ini
Jangan takut penguasa negeri ini
Takutlah pada air bah yang mengalir
Takutlah pada penyapu kota ini

Jangan percaya kata mereka
Jangan percaya janji mereka
Percayalah pada diri sendiri
Percayalah pada Allah SWT

Maret pertandakan akhir
Pembayaran hutan akan janji
Amuk amarah alam negeri ini
Sebab tak satupun pemimpin peduli
Penunggang badai Feb 2021
Ahh, judul...
Kuliat ia akhir-akhir ini begitu menyebalkan
Begitu merangah, berusaha mencolok
Aku tidak yakin dia melakukannya dengan tidak sadar
Aku tahu dia menginginkan sesuatu

Kuasa!
Aha, itu sudah pasti kuasa
Kuliat ia begitu sombong hanya karena posisinya yang sedikit diatas
Memandang rendah kata-kata serumpun yang ada di bawahnya
Acuh melihat titik dan koma yang baginya tak ada apa-apanya

Hanya karena font yang sedikit tebal dan size yang agak besar
Membuat masyarakat kata memilihnya untuk mewakili suara mereka
Pun merasa tak sebanding dengan apa yang dimiliki ‘Si Congkak’ itu
Kata merasa rendah, titik koma tak berdaya
Dan mereka... Kalah atas kedaulatannya sendiri

Padahal judul hanya tak sadar
Bahwa kuasa yang dimilikinya itu bukan karena dirinya sendiri
Ia lahir karena keresahan kata
Yang terombang-ambing bagai kapal di ganasnya lautan
Menggantung bagai kepompong, terpenjara dalam ketidaksempurnaan
Melayang-layang bak daun jatuh ditiup angin, tak tentu arah
Mendambakan hidup yang bahagia dan tenteram untuk merdeka

Karena ketakutan kata-lah
Judul hadir sebagai jawaban
Agar kata dilirik pembaca
Agar kata digunakan dalam ruang diskusi
Agar kata hidup dalam kepala
Mengakar kokoh dan menjadi abadi

Judul adalah cerminan pemimpin di negeri ini
Seperti kacang yang acuh pada kulit, lupa diri
Bahwa dirinya ada untuk mendengar keresahan
Bukannya malah menjadi dalang kerusuhan
Bahwa dirinya ada untuk mengerti suara yang dimarjinalkan
Bukannya malah membuang muka, lalu lantas pergi meninggalkan

Lihatlah ibu yang telah melahirkan
Yang terpinggirkan mengandung harapan
Yang menanti dengan merapal doa disetiap malam
Anak baik jadilah baik
Wahai kalian yang duduk manis di kursi tahta

Bangkitlah!
Kata-kata dan rakyat jelata yang dipandang sebelah mata
Mendengarlah!
Wahai judul "Si Congkak" juga para pemimpin negeri yang berlagak sok kuasa
So Dreamy Nov 2017
Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan ‘What if?’ ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati, semua orang seolah hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu seolah berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang; orang-orang dengan pikiran yang praktis, orang-orang yang logis dan serba teratur, orang-orang konservatif yang senang mengerjakan hal sama berulang-ulang, politikus yang kritis, orang-orang berjiwa bisnis, orang-orang berjiwa sosial, musisi, seniman yang nyentrik. Dan, aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan terlalu melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Dikecewakan manusia? Sudah biasa. Itulah sebabnya mengapa dirimu sendiri adalah temanmu yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi dirimu dari sakit hati, kemudian menjadikanmu sebagai sahabat terbaiknya. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Dikecewakan ekspektasi? Sudah terlalu sering. Salahnya diri ini terlalu berharap pada orang lain, mengharapkan bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan pada mereka akan selalu dibalas, lupa bahwa kadang, ada saja orang-orang tak berhati mulia. Menjadi diri sendiri? Adalah hal yang penting. Menjadi kuat untuk diri sendiri? Jauh lebih penting. Disamping kertas, pena, kata-kata, aku menginginkan kemandirian di dalam hidup ini. Kau pikir ini terdengar sedikit individualis, sayangnya aku tak lagi peduli. Dunia mengajarkan bahwa menjadi kuat untuk berdiri sendiri adalah hal yang penting, di mana terlalu banyak rasa sakit hati yang tak diharapkan terulang kembali. Bukan tak memaafkan atau tak mampu melupakan, hanya saja aku mulai belajar untuk tidak lagi peduli pada  hal-hal yang mengganggu kebahagiaan hidup saya. Untuk itu, saya perlu menjadi kuat bagi diri saya sendiri.
Iqbal Ramadhan Apr 2019
Kita yang menyirnakan kenyataan.
Manusia yang melenyapkan kemanusiaan, lantas kemudian kita saling menunjuk perihal keadilan.
Kami bertanya mana yang perlu di salahkan, kehidupan, pemimpin atau justru Tuhan?
-M- Sep 2019
Kepada bumi yang semakin liar.
Dipenuhi sesak yang membakar.
Kepada para manusia yang disebut pemimpin.
Lihatlah tempat-tempat di mana kami bermukim.

Panas, seakan membakar diri.
Peluh berjatuhan semakin jadi.
Tanpa hirauan dari kalian para petinggi.
Melepas kata seolah akan kami pahami.
Sudahilah kepura-puraan kalian.
Kami muak akan kepalsuan.
Kau bungkam kami dengan janji manis.
Kemudian kau tertawa dengan bengis.

Hancur sudah perlahan mimpi.
Tak satupun orang-orang yang peduli.
Terbujur kaku dingin diam membisu.
Kepada siapa lagi kami kan mengadu.

Banyak kata terbuang percuma.
Mengkoarkan segala duka penuh kecewa.
Kepada mereka para petinggi yang berkuasa.
Takpunya hati dan rasa bela sungkawa.

-M-

— The End —