Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Joshua Soesanto Jun 2014
menelan secercah jejak, jarak.
ku banting kembali kepala
terlihat senyum..
bergeludak

kopi brewing cerita blues
harmoni harmonica pecahkan riak malam
rasa cafe pinggiran kemang
hanya berpandangan, memungut senyum yang terbuang

hentakan arus 3/4
pikiran berbicara pada otak
rangkaian sajak mulut berteriak..
kata-kata pembuka, ledakan!

setelan 60'an, rokok ditangan
seruput pelan-pelan, hey fancy! kenapa sendirian?
bandana rock n rollan, Otis Spann berkumandang
hisap rokok asap dibuang, mata terkadang melihat keluar

halusinasi kafein kalimantan
sejenak melihat lesung tipis
menunggu sendirian
sesosok yang tak kunjung datang.
Sendu yang merana ingin segera hilang eksistensinya.

Aku merasakannya melalui deburan sayap-sayap imajinerku: lambat, lembam, berat, dan lekat.
Kabur dari kejaran mendung yang membayang di antara kepakku, pundi-pundi udaraku rasanya ingin kubakar saja. Kepada tangan-tangan Malam yang mulai menggelepar kelelahan, menyerahlah.
Diam kau, Rindu! Kunantikan Pagi hanya untuk berkubang dalam realitas yang menyejukkan tembolokku ini.

Sebuah transkripsi dari sunyinya Pagi, aku ingin bercinta dengannya. Ia juga menginginkanku. Aku lah Burung Gereja yang mengisi setiap jeda bisu dari upacara sakral pergantian periode. Aku tahu Pagi merindukanku. Aku tahu Pagi menantiku untuk duduk di pangkuannya dan menunduk, menghormati, dan pada akhirnya bersanding dengannya.

Biji mentari mulai retak. Fiksi-fiksi kemerahan mulai bersemi di ufuk timur. Burung Gereja yang munafik ini pun segera menertawakan Malam (mengapa ia terdiam saja? Mengapa ia tidak mengejarku? Ah sudahlah, mungkin ia akhirnya sadar) dan melesat dalam sudut lurus ke arah ranumnya penghujung subuh.

Segera ketika mendarat di antara embun pagi hari yang terkondensasi, jemari Pagi meraih wajahku. Merasuk hingga retinaku menjerit dalam sukacita. Bulba olfaktori yang menghirup segala nikmat dalam sejuknya nafas kabut (berbau mint, capucinno hangat yang dituang dalam cangkir marmer, dan pelukan hangat sepasang kekasih dalam satu ranjang untuk pertama kalinya) meronta dalam adiksi akan ciuman pertama Pagi kepada diriku. Lalu perlahan sinarnya mulai meraba tubuhku; dengan lembut dan penuh kasihlah Pagi selalu bersikap. Pelan tapi pasti, ia mulai menelanjangiku sampai pada suatu titik hingga aku sadar bahwa aku hanyalah sebuah bias eksistensi.

Aku ini tiada.

Aku ini bukan siapapun.

Akulah Sendulah yang merana!

Rindu mulai menjerat kaki-kakiku. Kemanakah benteng-benteng diksi verbal yang selalu kulontarkan dalam hipokrit tiada seekor Rindu pun yang boleh menggerayangi diriku! Aku berteriak meminta derma asih agar tidak terseret Malam yang tiba-tiba duduk dalam singgasananya sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak boleh kembali ke dalam Malam! Bagian bawah tubuhku seakan sudah menyerah dalam keadaan, tetapi lenganku meronta menjulur ke arah Pagi.

Yang kini tiada.

Yang memberikan harapan semu terbiaskan oleh lampu jalanan

Yang rupanya hanyalah delusi

Dari sebuah Sendu

Yang memunafikkan masa lalu dengan bersandar pada peluh masa depan

Yang rupanya hanyalah delusi
"Kepada seluruh mantan kekasih yang berusaha mencari pelarian"
Joshua Soesanto Jun 2014
tanah anarki gersang hari ini
tertutup paparan awan hitam menghiasi
seduh kopi distorsi
di surga, Janis Joplin bernyanyi
goyanglah badan menari gipsi

tarik hisap jauh kepala nikotin
tahan..
sruputlah pelan-pelan kopimu
buanglah limbahnya

giting murah..
bidadari senja jatuh..

lihatlah mawar hitam mulai melayu
tertusuknya hati oleh belati
sesosok perempuan sendayu
matanya jatuh terhujani rayu

semakin dekat semakin terlihat
otak terlintas
badan gitar mata belati
seksi rasa Debbie Blondie
Kemarin aku mengajakmu melihat senja.
Katanya kamu suka warnanya merah jambu bercampur oranye seperti jeruk mandarin kesukaan ibu.
Kamu selalu ceriwis membahas senja ini dan itu.

“Jangan lupa kopi dan puisi! Kita harus merayakan isi bumi.”
Celotehmu.
“Kamu mau kan melihat senja bersamaku?”

Kemarin aku mengajakmu melihat senja.
Telah kupersiapkan sekian lama.
Aku rakit sendiri senjaku dengan kopi manis dan puisi cinta yang kau sebut - sebut itu.
Aku merangkai pelan-pelan sambil menghayal bola mata emas yang berbentuk kenari kesukaanku dan lengkung pelangi bibirmu.
Cukup lama buatnya,
tapi senjaku sangat cantik.
Dan sedikit rapuh.
Aku harap kamu senang.

Kemarin aku mengajakmu melihat senja.
Tapi kau pergi ke laut dan menjelajahi waktu.
Terhanyut malam.
Aku tidak ada di sana.

Kamu menolak senjaku.
Katamu ada senja yang lebih bagus.



Senja, senja, senja.
Muak dengan puisi senja.
Aku bukan anak indie regional, aku pendengar Ed Sheeran, top 50 ,Danilla Riyadi dan Sapardi !
Aku ya begini begini begini!
Maksud hati tidak menulis puisi emosional. Tapi aku menulis untukmu (bila membaca) dan, ah indie anjing!
Amira I Jun 2020
Rumah joglo di tengah sawah.
Dengan cahaya remang yang berasal dari pojok ruangan ini.
Pemutar piringan hitammu baru selesai kau perbaiki.
Ku memilih untuk mendengarkan album Chet Baker Sings dengan vokalnya, seingatku itu milik mendiang kakekmu.
Gelas-gelas tinggi sudah kau siapkan, sebotol anggur dari Bordeaux sudah ku buka.
Makan malam kita sudah tandas, dua piring penuh berisi daging sapi yang sore tadi ku panggang, hampir matang penuh, bersama hancuran kentang yang sedikit dibubuhi garam dan lada, dengan saus krim jamur.
Jasmu sudah kau tanggalkan dan sampirkan di sisi sofa coklat tua itu.
Gaun hitamku masih rapih melekat pada tubuhku, namun rambutku, yang hanya sepanjang bahu, sudah ku urai, agar kau bisa menghirup harum bunga sakuranya.
Kita menari, pelan, sembari menengguk asam dan manisnya anggur Bordeaux itu.
Ku kira Chet Baker telah letih bernyanyi dan bermain trumpet, suaranya perlahan hilang, digantikan oleh suara jangkrik dari luar sana.
Aku pun lelah, ku rebahkan tubuhku di sofa coklat itu, menyandarkan kepala di dekat sampiran jasmu, menghirup bau cendana yang hampir hilang.
Kau menghampiriku, memelukku erat, menghirup leherku, pipiku, dan mengecup bibirku.
Pelan-pelan, satu per satu pakaian kita tanggal, di bawah cahaya temaram, ditemani suara jangkrik, kita melebur, melebur jadi satu.
Tanah Ubud, tak pernah gagal membuatku jatuh cinta, sengaja maupun tidak.
terinspirasi dari lagu Sal Priadi berjudul sama.
So Dreamy Oct 2017
"Cahaya redup itu umpama semesta alam."
birunya naungan langit fajar
ketika tetes embun hadir di atas permukaan daun
pada hari itu kau berujar

"Pernahkah kamu tahu bahwa gelapnya mengisahkan beribu kisah?"
yang ada suaraku bungkam oleh pertanyaanmu
gaungnya terngiang mengisi sudut hampa telingaku
sebuah kubus berisi ruang kosong tak beraksara
ada sorot matamu yang terjebak di dalamnya

"Pernahkah kamu sentuh sisi gelap yang bersembunyi itu?"
pernah
taman kecil berisi bunga warna-warni dalam suaramu yang sepi kusam, kota lama yang redup di tengah peradaban
kuperhatikan rambut ikal panjangmu menjilati tengkukmu
sambil disiuli angin yang bernyanyi pelan, begitu tenang

"Atau yang tidak sengaja kamu sembunyikan?"
"Ralat, yang sengaja kamu sembunyikan."
matamu mengerling menerawang memandang langit Juni
apa lagi yang kamu dambakan dari gelap pada pagi secerah ini?

"Cahaya redup umpama semesta alam, gelapnya mengibarkan beribu ilham."
jemarimu cepat berdansa dengan senar begitu cermat
ingat pertama kali dua pasang mata sendu ini berkenalan
dalam gelap dalam redup
lahir melodrama di tengah rintik tangisan langit bulan kedua

"Gelapnya mengibarkan seribu ilham. Gelapnya mendatangkan pelangi di tengah tulisan dalam buku kelabuku."
diremasnya jemariku, lalu tenggelam dalam beribu rasa
bunga-bunga merekah membentangkan senyum sang surya

apa lagi yang kudambakan dari gelap pada pagi secerah ini?
satu pertanyaan kubisikkan untuk langit biru pada bulan Juni
apakah hadirku sudah cukup bagi hari-hari gelapmu?

lalu, jemarimu meremas jemariku lebih keras
seolah tak pernah ingin lepas.
zahra ly Oct 2019
Ini bukan Haiku
Ini tentang matahari
Yang biasa abai
Lalu tentang bulan

Ini bukan Haiku
Ini tentang kamu
Yang hilang pelan-pelan
Lalu pergi diam-diam
Diska Kurniawan Sep 2016
Seteguk apapun, semua tak akan berakhir*

Aku adalah seorang pemabuk yang selalu menguarkan harum arak kemanapun aku pergi. Anggur, dan berbotol-botol ***** telah kutenggak pagi ini. Dan hanya hari ini pula aku ingin bicara, tentang segenggam racun yang kalian semua suntik ke dalam nadi dan pembuluhku.

Topeng
yang dengan bangga kalian pakai
tak ubahnya ketelanjangan
hanya mengumbar malu dan aib

Tawa
yang sesenggukan kalian jeritkan
hanyalah tangis jiwa kalian yang memudar
memutihkan kejujuran dan kebajikan


Oh, beginikah cara kerja dunia
berduri dan berbatu, sama saja
disetiap lajurnya
kemanapun aku pergi, dijejali
mulutku dengan dusta dan hanya dusta
belaka

Menghitamnya jiwaku, seandainya
bagai langit malam
tak ada chandra di ufuknya

Sudah selayaknya aku berkabung atas jiwaku, dimana dia merintih penuh sesal dan tanya. Apakah lalu lalang motor dan diesel itu memusingkan kepala atau hanya sebuah kesibukan belaka. Dan dengan itu pula jiwaku berakhir, terdiam, dalam kematian.

Kukubur dia dengan layak, diantara nisan-nisan lain disekitarku, yang diberi nomor, sesuai urutannya. Jiwaku tersungkur di nomor tujuh. Beruntung sekali!
Kukubur dia, pelan sekali dengan tertidur. Tak berharap bangun lagi di keesokan pagi. Kutaburi bunga-bunga dan prosa yang harum, dan kusiram dengan sebotol Martini dan bir.

Harum. Seharum embun yang kau injak ditepian jalan.
Wangi. Sewangi sukmamu yang kuingat telah pergi.

Aku adalah pemabuk. Yang selalu menenteng sebotol arak, bermabuk di tepian jalan kehidupan. Mengambil jeda diantara kalimat-kalimat mencela dan busuk, yang tergelincir masuk ke dalam telingaku.

Botol-botol inilah sang penawar, berminum pula para nabi terdahulu menyesali umatnya, sedangkan aku?

Menyesali kalian.
NURUL AMALIA Jan 2019
teruntuk atau kepada
engkau atau kamu
tersayang atau terkasih
taukah kamu?
bulan berdesir pelan
menyelusup ke sela- sela kabut hitam
malam yang pekat
aku tak sendiri, ada sepi yang mememani
aku mengisahkan padanya
perihal perih tapi tidak sakit,
tentang rindu yang tak berujung temu
aku ingin memberitahunya
aku senang jika ia mendengarkan cerita- ceritaku
aku akan menunggu
biar waktu yang akan membawamu
disini aku memelukmu
dengan mantra sakti yang aku miliki
ga Nov 2018
Venus pukul 5 pagi
Berpendar sendu di ujung timur
Hatinya meraung bergema
Lengannya memeluk kenangan yang mulai buyar
Matanya menerawang kisah-kisah lampau
Pasrah dirinya hanyut, bermuara ke alam sadar

Jiwanya hampir roboh
Beruntai-untai tali penopang mulai usang
Seutas tetap bertahan
Yang terbuat dari cintanya,
Yang dirajut oleh sang terkasih
Mengikat rohnya tetap dalam raganya

Berderai senyap air mata yang tak pernah kering
Mengecup pelan bibir yang tak mampu berkata
Membalas tatap mata yang tak pernah terlelap
Memeluk hangat tubuh yang tak lagi merasakan hangat
Menyambut lembut mimpi yang tak pernah selesai,
Mimpi yang tak ingin disudahi
01/11/2018
NURUL AMALIA Nov 2018
itukah yang dinamakan gagal?
hatiku berteriak keras mengguncang isi tubuhku
sudah.. tak guna semua ini bibirku mengoceh pelan
ingin rasanya berlari jauh pergi
kemana? tak tahu arah jika rasa syukur tak bertahta di diri ini
sudah.. bersabarlah!..sisi lainku mencuat..
pura- pura saja aku tegar..
didepan mereka..orang terkasih
harapan dan doa terpancar jelas menyiangi ketakutanku
iya aku takut..
membuat mereka lara
tapi sekali lagi..sudah
mereka hanya menyuruhku untuk bersyukur..
menjadikan itu elegi
tetapi hari esok haruslah berseri
Moonity Jun 2018
Tak perlu pergi ke tengah hutan belantara tak bertuan
Atau tempat semak belukar tumbuh dengan liarnya
Alam bawah laut dimana air udaranya
Untuk merasa kesepian
Coba bercokol di tempatmu berpijak
Satu bulan dan ribuan bintang bertabur layaknya salju di musim dingin
Satu surya dan semburat awan yang bergerak pelan serta tenang
Angin tak lagi mampu menemani
Satu persatu hilang
Orang, cinta, mimpi, juga impian
Betapa inginnya terbangun dari alam bawah sadar yang panjang
Namun takdir tidak dapat diubah
Layaknya kesepianmu yang tidak berubah.
—lalu tersadar jikalau tiap jiwa di bentala ini ditakdirkan dengan sunyi yang berbeda.
YC Jun 2017
Jika kau hanya butuh waktu, maka aku kan menunggu.
Jika kau merasa kesulitan, biar kubantu pelan-pelan.
Jika kau kehilangan arah, kan kutuntun agar kau terarah.
Namun, jika kau sengaja menghilangkan diri dariku, entah harus apa aku.
Sejatinya, aku tak ingin memikirkannya sampai sejauh itu.
Karena hanya membayangkannya saja, mampu buat hatiku terasa ngilu.
12:30 am
13 June 2017
Moonity Jun 2018
Aku akan mengatakannya sekali lagi
Pada matahari tengah malam di belahan bumi lain
Ada tapi tak pernah kau lihat
Siapa di dalam benakmu ketika terdengar kalimat pahit itu

Aku akan mengatakannya sekali lagi
Hujan di tengah langit cerah biru sekilas awan bergerak pelan
Nyata tapi kebencianmu padanya

Lagi aku mengatakannya padamu
Aku cinta kamu
Terakhir kali sebelum melepas yang harusnya bebas
Selamat tinggal, cintaku yang konyol.
—ini adalah kebohongan terbesarku tapi semoga saja waktu membantuku lupa akan kamu yang terlalu lama menetap tanpa balasan.
lillium May 2022
Tentang kopi pekat
yang baru mengantar ku pulang
dengan mata setengah terpejam

Lalu,
dirimu yang mulai hilang
diantara inginku yang terlalu dipenuhi angan
serta kalimat-kalimat basi
yang datang pelan dan ringan

Dan jarak,
Jarak menjelma menjadi tubuh yang menggantikan
diriku di lenganmu
gadis bermata terang
yang bersandar malas di dadamu
¡Mecánica sincera y peruanísima
la del cerro colorado!
¡Suelo teórico y práctico!
¡Surcos inteligentes; ejemplo: el monolito y su cortejo!
¡Papales, cebadales, alfalfares, cosa buena!
¡Cultivos que integra una asombrosa jerarquía de
útiles
y que integran con viento los mujidos,
las aguas con su sorda antigüedad!
¡Cuaternarios maíces, de opuestos natalicios,
los oigo por los pies cómo se alejan,
los huelo retomar cuando la tierra
tropieza con la técnica del cielo!
¡Molécula exabrupto! ¡Atomo terso!
¡Oh campos humanos!
¡Solar y nutricia ausencia de la mar,
y sentimiento oceánico de todo!
¡Oh climas encontrados dentro del oro, listos!
¡Oh campo intelectual de cordillera,
con religión, con campo, con patitos!
¡Paquidermos en prosa cuando pasan
y en verso cuando páranse!
¡Roedores que miran con sentimiento judicial en torno!
¡Oh patrióticos asnos de mi vida!
¡Vicuña, descendiente
nacional y graciosa de mi mono!
¡Oh luz que dista apenas un espejo de la sombra,
que es vida con el punto y, con la línea, polvo
y que por eso acato, subiendo por la idea a mi osamenta!
¡Siega en época del dilatado molle,
del farol que colgaron de la sien
y del que descolgaron de la barreta espléndida!
¡Angeles de corral,
aves por un descuido de la cresta!
¡Cuya o cuy para comerlos fritos
con el bravo rocoto de los temples!
(¿Cóndores? ¡Me friegan los cóndores!)
¡Leños cristianos en gracia
al tronco feliz y al tallo competente!
¡Familia de los líquenes,
especies en formación basáltica que yo
respeto
desde este modestísimo papel!
¡Cuatro operaciones, os sustraigo
para salvar al roble y hundirlo en buena ley!
¡Cuestas in infraganti!
¡Auquénidos llorosos, almas mías!
¡Sierra de mi Perú, Perú del mundo,
y Perú al pie del orbe; yo me adhiero!
¡Estrellas matutinas si os aromo
quemando hojas de coca en este cráneo,
y cenitales, si destapo,
de un solo sombrerazo, mis diez templos!
¡Brazo de siembra, bájate, y a pie!
¡Lluvia a base del mediodía,
bajo el techo de tejas donde muerde
la infatigable altura
y la tórtola corta en tres su trino!
¡Rotación de tardes modernas
y finas madrugadas arqueológicas!
¡Indio después del hombre y antes de él!
¡Lo entiendo todo en dos flautas
y me doy a entender en una quena!
¡Y lo demás, me las pelan!...
lessache May 2020
takut, takut banget.
takut enggak bisa liat mereka pisah bahkan kalau emang udah waktunya.
mau nikmatin masa-masa sekarang untuk jatuh lebih dalam lagi, tapi aku punya masa depan yang penting. nyesel baru tau mereka tahun 2018. kata orang-orang "enggak penting siapa yang ada dari awal, karena yang bertahan sampai akhir itu hebat" tapi aku juga takut, takut enggak akan bertahan sampai akhir, sampai mereka pilih jalannya masing-masing. I'm scared of leaving, farewell, it hurts. mereka bikin aku seneng, ketawa, hal-hal kecil yang mereka lakuin bisa bikin jutaan orang bahagia, they've save so many lives. mau coba lupain pelan-pelan dan bodoamatan kalo ada berita tentang mereka juga gak mungkin. gak akan pernah bisa karena ya mungkin kayak gini once in a lifetime. susah banget emang kalo udah sesayang ini sama orang, walaupun orang itu gak tau kita gimana, tapi semacam ada tali yang nyatuin perasaan satu orang ke orang lainnya, ah lebay kamu. tapi bener loh! aku ngerasa banget, mungkin aku yang udah dewasa nanti baca ini bakalan "apaan sih kok lebay, alay banget" hehehe maaf ya far. soalnya gak tau lagi mau cerita ke siapa, temen? gak ngertiin, internet friends? banyaaaaaaaak yang satu frekuensi, tapi aku gak bisa cerita ke mereka. satu-satunya ya ini. kalo mungkin nanti aku baca ini lagi entah 2025, 2030, atau bahkan 2050, inget ya kamu pernah sayaaaaaaaaaaaaaaaaang banget sama 7 orang yang jauh disana, yang setiap hari isi hari-hari kamu, jangan coba lupain deh!!! kalo bisa cari tau kabar mereka!!!!!
this is for 7 brightest stars in my life <3
Megitta Ignacia Mar 2020
satu tangan menutup mata
satu tangan menutup telinga
belikatku bertahan kaku
tiap pijakan pelan, terseok
belum leluasa ku berlari

terpaan gelombang yang sudah-sudah
masih meninggalkan goresan dalam daging
dibantu merangkak, tapi dipaksa berlari
caramu mengenyahkan biru yang masih menyelubungiku

takut
pada lidah sangkalan beradu
bukankah lancang mencipta imaji semu
lalu menggantungnya pada tiang-tiang garam
berharap keras, tak begitu meleset pada manusia
sadar, tak se-Esa
namun jika Bapa memberi
siapa yang bisa menutupnya?

target apa, begitu mendesakkah?
soal pembendaharaan rasa
apalagi rancangan
telah kuserahkan padaNya
aku dungu & tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat Bapa. Tetapi aku tetap didekat Bapa; Ia memegang tangan kananku.
140320 || 18:48 PM  lantai dua kosan, hmm sepertinya banyak poems-ku yang dimotori sama obrolan tentang hidup sm coworker sebelah meja, si ipul, kemarin lg ngobrol ga jelas sambil kerja ttg hubungan masing-masing, dia abis lamaran, sementara gw masih di fase abu-abu belajar adaptasi sm pasangan kesayangan yang nemenin hampir setahun lamanya. As ditanya hubungan mau dibawa kmn, gw blg ikut arus aja toh yg lama kandas padahal udah direncanain,  jd buat apa manusia berencana, pasti Tuhan udah atur yg terbaik. "Idup lo, lo yang atur. Ga bisa ngikut arus aja, harus punya target, udah umur brp lo." Berulang-ulang sampe berbusa dia bilang "ada masa depannya ga?" lalu gw bete karena sesulit itu untuk healing & masih sulit untuk berani berencana/berekspektasi apapun tp malah dijejelin pertanyaan yg ngeinduksi anxiety tp di 1 sisi juga bener harus dipikirin. Kewalahan berperang sm pikiran sendiri, pagi tadi buka sermon  kata-kata ps. Phillip Mantofa " kalau tidak tahu apa langkah berikutnya, jangan gelisah hatimu, percayalah & berserah pada Allah." Berencana aja, trs serahin semua rencana ke yg punya sorga, God will lead the way. Ada bagian dari Mazmur 73:21-23 dalam puisi ini.

— The End —