Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Diandra Lathifa Oct 2016
Sebetulnya tidak ada yang terlalu berbeda pada Jogja malam itu, namun memang spesial.
Ada kamu di hadapanku, diterangi remangnya lampu kedai kecil tempat kita berdua berteduh dari gerimis dan dinginnya kota Jogja malam itu.
Kamu tidak banyak bicara, sibuk dengan sepiring gudeg dan segelas wedang jahe favoritmu.
Aku tidak bisa berhenti memandangi parasmu. Meski hanya diterangi lampu remang-remang, dan peluh yang basah akan air hujan, bagiku kamu tetap nomor satu.
Sang pemilik kedai pun memutar piringan hitam miliknya, terlantunlah ‘Berdua Saja’.
Aku masih ingat betul tatapanmu malam itu seiring dengan alunan lagu. Sederhana, teduh, dan penuh dengan kehangatan.
Malam itu, aku sadar bahwa rumah tempatku pulang bukanlah bangunan bata beratap dengan satu pintu dan dua jendela.
Malam itu aku sadar, Sepasang mata bola yang teduh dan hangat itulah tempatku pulang.
Kamulah tempatku pulang.
An 11.00 PM thoughts that I  wrote a few weeks a go, Inspired by someone special, someone that captivated the **** out of me.
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
lillium May 2022
Setiap hari, aku mengintip dirimu dari kaki-kaki langit
Melihat parasmu, yang melumat kewarasanku
Dan akhirnya samudra akan memecah 'kita' menjadi kepingan 'aku' dan 'kamu'
kekasih, sebelum takdir melenyapkan tubuhku
dan takbirku menjadi sesuatu yang senyap

ajari aku mencintaimu:

ajari lidahku menyebut namamu
ajari mataku melihat parasmu
ajari telingaku mendengar suaramu
ajari tanganku memegang tanganmu
ajari kakiku melangkah padamu

sekali lagi

agar aku, kekasih, yang cuma
hamba sahaya ini bisa merdeka

merdeka adalah berada di haribaan cintamu
sepanjang waktu
2017

— The End —