Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Victor D López Feb 2019
Heroes Desconocidos: Parte V: Felipe 1931 - 2016  
© 2016, 2019 Victor D. López

Naciste cinco años antes del comienzo de la Guerra Civil Española que vería a tu padre exiliado.
El lenguaje llegó más tarde a ti que a tu hermano pequeño Manuel, y tartamudeaste por un
Tiempo, a diferencia de aquellos que hablan incesantemente sin nada que decir. Tu madre
Confundió la timidez con la falta de lucidez un trágico error que te marcó por vida.

Cuando tu hermano Manuel murió a los tres años de la meningitis, oíste a tu madre exclamar:
"Dios me llevó el listo y me dejó el tonto." Tenías apenas cinco años. Nunca olvidaste esas
Palabras. ¿Como podrías hacerlo? Sin embargo, amaste a tu madre con todo tu corazón.
Pero también te retiraste más en ti mismo, la soledad tu compañera y mejor amiga.

De hecho, eras un niño excepcional. La tartamudez se alejó después de los cinco años para no
Volver jamás, y cuando estaba en la escuela secundaria, tu maestra llamó a tu madre para una
Rara conferencia y le dijo que la tuya era una mente dotada, y que deberías ingresar a la
Universidad para estudiar ciencia, matemáticas o ingeniería.

Ella escribió a tu padre exiliado en Argentina para decirle la buena noticia, que tus profesores
Creían que fácilmente ganarías la entrada a la (entonces y ahora) altamente selectiva universidad Pública donde los asientos eran pocos, y muy difíciles de alcanzar basado en exámenes Competitivos ¿La respuesta de tu padre? Comprale un par de bueyes para arar las tierras.

Esa respuesta de un hombre muy respetado, un pez grande en un pequeño estanque en su nativo Olearos en ese tiempo está más allá de la comprensión. Había optado por preservar su interés
Propio en que continuaras su negocio familiar y trabajara sus tierras en su ausencia. Esa cicatriz También fue añadida a aquellas que nunca sanarían en tu enorme y poro corazón.

Sin la ayuda para los gastos de vida universitarios (todo lo que habrías requerido), quedaste
Decepcionado y dolido, pero no enfadado; Simplemente encontrarías otra opción. Tomaste los Exámenes competitivos para las dos escuelas de entrenamiento militar que proporcionarían una Educación vocacional excelente y un pequeño sueldo a cambio del servicio militar.

De los cientos de aspirantes a los pocos puestos premiados en cada una de las dos instituciones,
Marcaste primero para el más competitiva de las dos (El Parque) y decimotercero para la Segundo, La Fábrica de Armas. Escogiste la inferior para dejarle el puesto a un compañero de
Clase que había quedado eliminado por pocos puntos. Ese eras tú, siempre y para siempre.

En la escuela militar, finalmente estuviste en tu elemento. Te convertiría en una mecánico /
Maquinista de clase mundial, una profesión que te brindaría trabajo bien pagado en cualquier
Parte de la tierra de por vida. Fuiste verdaderamente un genio mecánico quien años más tarde
Añadiría electrónica, mecánica de automóviles y soldadura especializada a tus capacidades.

Dado un taller de máquinas bien montado, podrías con ingeniería inversa duplicar cada maquina
Y montar uno idéntico sin referencia a planes ni instrucciones. Te convertiste en un mecánico
Maestro dotado, y trabajaste en posiciones de línea y de supervisión en un puñado de empresas
En Argentina y en los Estados Unidos, incluyendo a Westinghouse, Warner-Lambert y Pepsi Co.

Te encantó aprender, especialmente en tus campos (electrónica, mecánica, soldadura), buscando
La perfección en todo lo que hiciste. Cada tarea difícil en el trabajo se te dio a ti toda tu vida.
No dormías por la noche cuando un problema necesitaba solución. Hacías cálculos,
Dibujos, planes y trabajabas incluso literalmente en tus sueños con pasión singular.

Estabas en tu elemento enfrentando los rigores académicos y físicos de la escuela militar,
Pero la vida era difícil para ti en la época de Franco cuando algunos instructores
Te llamaban "Roxo" - "rojo" en gallego - que se refería a la política de tu padre en
Apoyo a la República fallida. Finalmente, el abuso fue demasiado para soportar.


Una vez mientras estabas de pie en la atención en un pasillo con los otros cadetes esperando
Dar lista, fuiste repetidamente empujado en la espalda subrepticiamente. Moverte provocaría
Deméritos, y deméritos podrían causar la pérdida de puntos en tu grado final y arresto por
Los fines de semana sucesivos. Lo aguantaste un rato hasta perder la paciencia.

Volteaste hacia el cadete detrás tuyo y en un movimiento fluido lo cogiste por la chaqueta y con
Una mano lo colgaste en un gancho por encima de una ventana donde estaban Parados. Se
Arremolinó, hasta que fue rescatado por dos instructores militares furiosos.
Tuviste detención de Fin de semana durante meses, y una reducción del 10% en el grado final.

Un destino similar le ocurrió un compañero de trabajo unos años más tarde en Buenos Aires que
Te llamó hijo de puta. Lo levantaste en una mano por la garganta y lo mantuviste allí hasta que
Tus compañeros de trabajo intervinieron, rescatándolo al por la fuerza. La lección fue aprendida
Por todos en términos inconfundibles: Dejar a la mamá de Felipe en paz.

Eras increíblemente fuerte, especialmente en tu juventud, sin duda en parte debido a un trabajo
Agrícola riguroso, tu entrenamiento militar y participación en deportes competitivos. A los quince
Años, una vez te doblaste para recoger algo en vista de un carnero, presentando al animal un
Objetivo irresistible. Te cabeceo encima de un pajar. También aprendió rápidamente su lección.

Te sacudiste el polvo, y corriste hacia el pobre carnero, agarrándolo por los cuernos, girándolo
Alrededor varias vueltas, y lanzándolo encima del mismo pajar. El animal no resultó herido, pero Aprendió a mantener su distancia a partir de ese día. En general, fuiste muy lentos en enfadar
Ausente cabeceos, empujones repetidos o referencias irrespetuosas a tu madre.

Rara vez te vi enfadado; y era mamá, no tú, la disciplinaria, con zapatilla en la mano. Recibí
Muy pocas bofetadas tuyas. Mamá me golpeaba con una zapatilla a menudo cuando yo era
Pequeño, sobre todo porque podía ser un verdadero dolor de cabeza, queriendo Saber / intentar / Hacerlo todo, completamente ajeno al significado de la palabra "no" o de mis limitaciones.

Mamá a veces insistía en que me dieras una buena paliza. En una de esas ocasiones por una Transgresión olvidada cuando yo tenía nueve años, me llevaste a tu habitación, quitaste el
Cinturón, te sentaste a mi lado y te pegaste varias veces a tu propio brazo y mano susurrándome
"Llora", lo cual hice fácilmente. "No se lo digas a mamá." No lo hice. Sin duda lo sabía.

La perspectiva de servir en un ejército que te consideraba un traidor por la sangre se te hizo
Difícil de soportar, y en el tercer año de escuela, un año antes de la graduación, te fuiste a unirte
A tu padre exiliado en Argentina, a comenzar una nueva vida. Dejaste atrás a tu amada madre y a
Dos hermanas para comenzar de nuevo en una nueva tierra. Tu querido perro murió de pena.

Llegaste a Buenos Aires para ver a un padre que no recordabas a los 17 años. Eras demasiado
Joven para trabajar legalmente, pero parecías más viejo que tus años (un rasgo compartido).
Mentiste acerca de tu edad e inmediatamente encontraste trabajo como maquinista / mecánico de
Primer grado. Eso fue inaudito y te trajo algunos celos y quejas en el taller sindical.

El sindicato se quejó con el gerente general sobre tu sueldo y rango. Él respondió, "Daré el
Mismo rango y salario a cualquier persona en la compañía que pueda hacer lo que Felipe hace."
Sin duda, los celos y los gruñidos continuaron durante un tiempo. Pero no había compradores.
Y pronto ganaste el grupo, convirtiéndote en su mascota protegida como "hermano pequeño".

Tu padre partió hacia España dentro de un año de tu llegada cuando Franco emitió un perdón
General a todos los disidentes que no habían derramado sangre. Quería que volvieras a
Reanudar el negocio familiar asumido por tu madre en su ausencia con tu ayuda. Pero te negaste a Renunciar tu alto salario, el respeto y la independencia que se te negaban en su casa.

Tendrías escasamente 18 años, viviendo en una habitación que habías compartido con tu padre al
Lado de una escuela. Pero también habías encontrado una nueva querida familia en tu tío José,
Uno de los hermanos de tu padre, y su familia. su hija, Nieves con su esposo, Emilio, y
Sus hijos, Susana, Oscar (Rubén Gordé) y Osvaldo, se convirtieron en tu nueva familia nuclear.

Te casaste con mamá en 1955 y tuviste dos negocios fallidos en el rápido desvanecimiento en la
Argentina a finales de los años 1950 y comienzos de los años 1960. El primero fue un taller
Con una pequeña fortuna de contratos de gobierno no pagados. El segundo, una tienda de
Comestibles, también falló debido a la hiperinflación y el crédito extendió a clientes necesitados.

A lo largo de todo esto, seguiste ganando un salario excepcionalmente bueno. Pero a mediados
De los años 60, casi todo fue a pagar a los acreedores de la tienda de comestibles fallada.
Tuvimos años muy difíciles. Algún día escribiré sobre eso. Mamá trabajo de sirvienta, incluso
Para amigos ricos. Tu salías de casa a las 4:00 a.m. volviendo de noche para pagar las facturas.

El único lujo que tú y mamá retuvieron fue mi colegio católico. No había otra extravagancia. No
Pagar las facturas nunca fue una opción para ustedes. Nunca entró en sus mentes. No era una
Cuestión de ley u orgullo, sino una cuestión de honor. Pasamos por lo menos tres años muy
Dolorosos con tu y mamá trabajando muy duro, ganando bien pero éramos realmente pobres.

Tú y mamá se cuidaron mucho de esconder esto de mí y sufrieron grandes privaciones para
Aislarme lo mejor que pudieron de las consecuencias de una economía destrozada y su efecto a
Sus ahorros de vida y a nuestra cómoda vida. Llegamos a Estados Unidos a finales de los años 60 Después de esperar más de tres años por visas, a una nueva tierra de esperanza.

Tu hermana y cuñado, Marisa y Manuel, hicieron sus propios sacrificios para traernos aquí.
Traíamos unos $ 1, 000 del pago inicial por nuestra diminuta casa, y las joyas empeñadas de Mamá.
(La hiperinflación y los gastos comieron los pagos restantes). Otras posesiones preciadas
Fueron dejadas en un baúl hasta que pudieran reclamarlas. Nunca lo hicieron.

Incluso los billetes de avión fueron pagados por Marisa y Manuel. Insististe al llegar en términos
Escritos para el reembolso con intereses. Fuiste contratado en tu primera entrevista como un
Mecánico de primer grado a pesar de no hablar una palabra de inglés. Dos meses más tarde, la
Deuda fue saldada, mamá también trabajaba, y nos mudamos a nuestro primer apartamento.

Trabajaste largas horas, incluyendo sábados y horas extras diarias. La salud en declive te obligó
A retirarte a los 63 años y poco después, tú y mamá se mudaron de Queens al Condado de Orange. Compraron una casa a dos horas de nuestra residencia permanente en el Condado de Otsego, y, en la Próxima década, fueron felices, viajando con amigos y visitándonos a menudo.

Entonces las cosas empezaron a cambiar. Problemas cardíacos (dos marcapasos), cáncer de
Colon, Melanoma, enfermedad de hígado y renal causada por sus medicamentos, presión arterial
Alta, la gota, Cirugía de la vejiga biliar, diabetes.... Y aún seguiste hacia adelante, como el
Conejito “Energizer”, remendado, golpeado, magullado pero imparable e imperturbable.

Luego mamá comenzó a mostrar señas de pérdida de memoria junto con sus otros problemas de
Salud. Ella oculto bien sus propias dolencias, y nos dimos cuenta mucho más tarde que había un Problema grave. Hace dos años, su demencia empeoraba pero seguía funcionando hasta que
Complicaciones de cirugía de la vesícula biliar requirieron cuatro cirugías en tres meses.

Ella nunca se recuperó y tuvo que ser colocada en un asilo de ancianos con cuido intensivo.
Varios, de hecho, ya que Rechazó la comida y tú y yo nos negamos a simplemente dejarla ir, lo que Pudiera haber sido más noble. Pero "mientras hay vida, hay esperanza" como dicen los españoles.
No hay nada más allá del poder de Dios. Los milagros suceden.

Durante dos años tu viviste solo, rechazando ayuda externa, engendrando numerosos argumentos Acerca de tener a alguien unos días a la semana para ayudar a limpiar, cocinar, y hacer las tareas.
Tu no eras nada sino terco (otro rasgo compartido). El último argumento sobre el tema hace unas
Dos semanas terminó en tu llanto. No aceptarías ayuda externa hasta que mamá regresara a casa.

Sufriste un gran dolor debido a los discos abultados en la columna vertebral y caminabas con uno
De esos asientos ambulatorios con manillares que mamá y yo te elegimos hace años. Te
Sentabas cuando el dolor era demasiado, y luego seguías adelante con pocas quejas. Hace diez
Días, finalmente acordaste que necesitabas ir al hospital para drenar el líquido abdominal.
Tu hígado y riñones enfermos lo producían y se te hinchó el abdomen y las piernas hasta el punto
Que ponerte los zapatos o la ropa era muy difícil, como lo era la respiración. Me llamaste de una
Tienda local llorando que no podías encontrar pantalones que te cupieran. Hablamos, un rato y te
Calmé, como siempre, no permitiendo que te ahogaras en la lástima propia.

Fuiste a casa y encontraste unos pantalones nuevos extensibles que Alice y yo te habíamos
Comprado y quedaste feliz. Ya tenías dos cambios de ropa que aún te cabían para llevar al
Hospital. Listo, ya todo estaba bien. El procedimiento no era peligroso y lo había ya pasado
Varias veces.  Sería necesario un par de días en el hospital y te vería de nuevo el fin de semana.

No pude estar contigo el lunes 22 de febrero cuando tuviste que ir al hospital, como casi siempre
Lo había hecho, por el trabajo. Se suponía que debías ser admitido el viernes anterior, para yo Acompañarte, pero los médicos también tienen días libres y cambiaron la cita. No pude faltar al
Trabajo. Pero no estabas preocupado; Esto era sólo rutina. Estarías bien. Te vería en unos días.

Iríamos a ver a mamá el viernes, cuando estarías mucho más ligero y te sentirías mucho mejor.
Tal vez podríamos ir a comprate más ropa si la hinchazón no disminuía lo suficiente. Condujiste
Al médico y luego te transportaron por ambulancia al hospital. Yo estaba preocupado, pero no Demasiado. Me llamaste sobre las cinco de la tarde para decirme que estabas bien, descansando.

“No te preocupes. Estoy seguro aquí y bien cuidado." Hablamos un poco sobre lo usual, y te
Asegure que te vería el viernes o el sábado. Estabas cansado y querías dormir. Te pedí que me Llamaras si despertabas más tarde esa noche o te hablaría yo al día siguiente. Alrededor de
Las 10:00 p.m. recibí una llamada de tu celular y respondí de la manera habitual optimista.

“Hola, Papi.” En el otro lado había una enfermera que me decía que mi padre había caído.
Le aseguré que estaba equivocada, ya que mi padre estaba allí para drenar el líquido abdominal.
"No entiendes. Se cayó de su cama y se golpeó la cabeza en una mesita de noche o algo,
Y su corazón se ha detenido. Estamos trabajando en él durante 20 minutos y no se ve bien ".

"¿Puedes llegar aquí?" No pude. Había bebido dos o tres vasos de vino poco antes de la llamada
Con la cena. No pude conducir las tres horas a Middletown. Lloré. Oré. Quince minutos después
Recibí la llamada de que te habías ido. Perdido en el dolor, sin saber qué hacer, llamé a mi
Esposa. Poco después vino una llamada del forense. Se requirió una autopsia. No pudría verte.

Cuatro días después tu cuerpo fue finalmente entregado al director de funeraria que había
Seleccionado por su experiencia con el proceso de entierro en España. Te vi por última vez para Identificar tu cuerpo. Besé mis dedos y toqué tu frente mutilada. Ni siquiera podrías tener la
Dignidad de un ataúd abierto. Querías cremación. Tu cuerpo lo espera mientras escribo esto.

Estabas solo, incluso en la muerte. Solo. En el hospital, mientras desconocidos trabajaron en ti. En la Oficina del médico forense mientras esperabas la autopsia. En la mesa de la autopsia
Mientras pinchaban, empujaban, y cortaban tu cuerpo buscando indicios irrelevantes que no
Cambiarían nada ni beneficiarían a nadie, y menos que a nadie a ti.

Tendremos un servicio conmemorativo el próximo viernes con tus cenizas y una misa el sábado.
Nunca más te veré en esta vida. Alice y yo te llevaremos a casa, a tu pueblo natal, al
Cementerio de Olearos, La Coruña, España este verano. Allí esperarás el amor de tu vida.
Quién se unirá contigo en la plenitud del tiempo. Ella no comprendió mis lágrimas ni tu muerte.

Hay una bendición en la demencia. Ella pregunta por su madre, y dice que está preocupada
Porque no ha venido a visitarla en algún tiempo. “Ella viene”, me asegura siempre que la veo.
Tú la visitabas todos los días, excepto cuando la salud lo impedía. Pasaste este 10 de febrero aparte,
El aniversario 61 de bodas, demasiado enfermo para visitarla. Tampoco yo pude ir. Primera vez.

Espero que no te hayas dado cuenta de que estabais aparte el 10, pero dudo que sea el caso.
No te lo mencioné, esperando que lo hubieras olvidado, y tú tampoco. Eras mi conexión con Mamá.
No puede marcar o contestar un teléfono. Tu le ponías el teléfono celular al oído cuando
Yo no estaba en clase o en reuniones y podía hablar con ella. Ella siempre me reconoció.
Estoy a tres horas de ella. Los visitaba una o dos veces al mes. Ahora incluso esa línea de
Vida está cortada. Mamá está completamente sola, asustada, confundida, y no puedo en el corto
Plazo al menos hacer mucho sobre eso. No habías de morir primero. Fue mi mayor temor, y el
Tuyo, pero como con tantas cosas que no podemos cambiar, lo puse en el fondo de mi mente.

Me mantuvo en pie muchas noches, pero, como tú, todavía creía --y creo-- en milagros.
Yo te hablaba todas las noches, a menudo durante una hora o más, en el camino a casa del trabajo Tarde por la noche durante mi hora de viaje, o desde casa mientras cocinaba mi cena.
La mayoría del tiempo te dejaba hablar, tratando de darte apoyo y aliento.

Estabas solo, triste, atrapado en un ciclo sin fin de dolor emocional y físico. Últimamente eras Especialmente reticente a colgar el teléfono. Cuando mamá estaba en casa y todavía estaba
Relativamente bien, yo llamaba todos los días también, pero por lo general hablaba contigo sólo
Unos minutos y le dabas el teléfono a mamá, con quien conversaba por mucho más tiempo.

Durante meses tuviste dificultades para colgar el teléfono. Sabía que no querías volver al sofá,
Para ver un programa de televisión sin sentido, o para pagar más facturas. Me decías adiós, o
"Ya basta para hoy", y comenzar inmediatamente un nuevo hilo, repitiendo el ciclo, a veces cinco o seis Veces. Me dijiste una vez llorando recientemente, "Cuélgame o seguiré hablando".

Te quería, papá, con todo mi corazón. Discutimos, y yo a menudo te gritaba con frustración,
Sabiendo que nunca lo tomarías a pecho y que por lo general solo me ignorarías y harías lo que querías. Sabía lo desesperadamente que me necesitabas, y traté de ser tan paciente como pude.
Pero había días en los que estaba demasiado cansado, frustrado, y lleno de otros problemas.

Había días en los que me sentía frustrado cuando te quedabas en el teléfono durante una hora
Cuando necesitaba llamar a Alice, comer mi cena fría o incluso mirar un programa favorito.
Muy rara vez te corté una conversación por lo larga que fuese, pero si estuve frustrado a veces,
Incluso sabiendo bien cuánto me necesitabas y yo a ti, y cuán poco me pediste.

¿Cómo me gustaría oír tu voz de nuevo, incluso si fuera quejándote de las mismas cosas, o
Para contarme en detalle más minucioso algún aspecto sin importancia de tu día. Pensé que te haría
Tener al menos un poco más de tiempo. ¿Un año? ¿Dos? Sólo Dios sabía. Habría tiempo. Tenía
Mucho más que compartir contigo, mucho más de aprender cuando la vida se relajara un poco.

Tú me enseñaste a pescar (no tomó) y a cazar (que tomó aún menos) y mucho de lo que sé sobre
La mecánica y la electrónica. Trabajamos en nuestros coches juntos durante años--cambios de
Frenos, silenciadores, “tuneas” en los días en que los puntos, condensadores y luces de
Cronometraje tenían significado. Reconstruimos carburadores, ventanas eléctricas, y chapistería.

Éramos amigos, bunos amigos. Fuimos los domingos en coche a restaurantes favoritos o a
Comprar herramientas cuando yo era soltero y vivía en casa. Me enseñaste todo lo que necesito
Saber en la vida sobre todas las cosas que importan. El resto es papel sin sentido y vestidor.
Conocí tus pocas faltas y tus colosales virtudes y te conocí ser el mejor hombre de los dos.

Ni punto de comparación. Nunca podría hacer lo que hiciste. Nunca podría sobresalir en mis
Campos como lo hiciste en los tuyos. Eras hecho y derecho en todos los sentidos, visto desde
Todos los ángulos, a lo largo de tu vida. No te traté siempre así, pero te amé siempre
Profundamente, como lo sabe cualquiera que nos conoce. Te lo he dicho a menudo, sin vergüenza.

El mundo se ha enriquecido con tu viaje sobre él. No dejas atrás gran riqueza, ni obras que te Sobrevivan. Nunca tuviste tus quince minutos al sol. Pero importaste. Dios conoce tu virtud, tu
Integridad absoluta y la pureza de tu corazón. Nunca conoceré a un hombre mejor. Te amaré, te Extrañaré y te llevaré en mi corazón todos los días de mi vida. Que Dios te bendiga, papá.

  Si desean oír mi lectura de la versión original de este poema en inglés, pueden hacerlo aquí:
https://www.youtube.com/channel/UCRUiSZr1_rWDEObcWJELP7w
This is a translation from the English original I wrote immediately after my dad's passing in February of 2016.  Even in the hardest of times suffering from his own very serious medical conditions, my dad was full of love and easy laughter. I will never see his equal, or my mom's. Tears still blur my eyes as they do now just thinking of them with great love and an irreparable sense of loss.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Elle Sang Mar 2016
Jakarta, 1986

Wanita berambut cokelat muda sebahu itu terlihat sedang asyik mengamati asap rokok yang ia keluarkan sebelum membuang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Jalanan di Jakarta memang selalu ramai tapi tak satupun mobil-mobil yang sedang berlalu-lalang itu akan berhenti dan menghentikan apa yang akan ia lakukan setelah jam menunjukkan pukul lima pagi. Masih terngiang di kepala apa yang orang-orang katakan tentangnya selama ini.. *sampah
, pelacur memang tidak pantas hidup enak, ingat ya, kau itu cuma pelacur ia memejamkan mata sambil perlahan menghitung berapa kali ia telah mendengarkan cacian setiap pulang.

Jam yang berada di tangan kirinya masih menunjukkan pukul lima kurang lima belas menit, ya lima belas menit yang ia gunakan untuk akhirnya mengingat perkataan Abimanyu. Laki-laki terakhir yang memberikan segalanya, harta, kasih sayang, dan waktu tapi ia tak dapat menikmati itu semua walau sudah mencoba beribu kali aku tidak akan pernah berubah menjadi laki-laki yang sudah menyia-nyiakanmu ,kau tahu bahwa seberapapun mahalnya berlian apabila yang memakainya tidak pantas maka akan terlihat murah?, kau terlihat cantik dengan apapun, aku melakukan semua ini karena aku tak sanggup melihatmu sedih, aku akan terus mencintaimu walau kau tak akan pernah bisa membalas perasaanku yang hanya akan selalu ia balas dengan aku sudah tak percaya cinta atau aku sudah tak punya hati hatinya telah membeku dicabik-cabik sejak dulu, sebelum bertemu Abimanyu. Air mata perlahan mengalir dari mata yang tertutup itu, lima menit lagi batinnya sebelum mengusap air mata yang sudah membasah pipi dan meluruskan gaun putih rancangan desainer terkenal yang diberikan sebagai hadiah untuknya tak dipungkiri gaun itu bernilai lebih dari penghasilannya selama satu bulan namun apalah arti uang disini?
Ia kembali melirik jam yang sekarang menunjukkan dua menit sebelum pukul lima, diatas jembatan layang itu masih ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan.  Tenanglah tak akan ada yang mampu menyelamatkanmu.

Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, tanpa berpikir panjang ia melepas pegangannya dari pagar yang menopang tubuh dan terjun bebas tanpa ada perlawanan terhadap gravitasi.
**Tak semua bidadari hidup bahagia di surga
Santiago Jun 2015
"Ni En Defensa Propia"

Por primera vez no meti ni las manos
ni en defensa propia evite la caida
yo que anduve huyendo de un mundo de engaños
vine a dar de lleno a lo peor de la vida
la primera vez que te tuve en mis brazos
me decias llorando que no habias pecado
pero ya tenias no se cuantos fracasos
y querias borrar con mi amor tu pecado

ya tenias el rostro cubierto de besos
y en tu ser las huellas que dejan las penas
si despues de amarte te hicieron desprecio
yo no he de pagar por las deudas ajenas

te podria jurar que te ame con locura
y jamas pense que llegara a perderte
pero en vez de amores me diste amarguras
y asi como eres prefiero perderte

ya tenias el rostro cubierto de besos
y en tu ser la huella que dejan las penas
si despues de amarte te hicieron desprecio
yo no he de pagar por las deudas ajenas
Victor D López Feb 2019
Naciste siete años antes del comienzo de la guerra civil española,
Y viviste en una casita de dos pisos en la Calle de Abajo de Fontan,
Frente al mar que les regalo su riqueza y belleza,
Y les robo a tu hermano mayor, y el más noble, Juan, a los 19 años.

De chiquita eras muy llorona. Los vecinos te hacían rabiar con solo decirte,
“Chora, Litiña, chora” lo cual producía un largo llanto al instante.
A los siete u ocho años quedaste ciega por una infección en los ojos. Te salvó la vista
El medico del pueblo, pero no antes de pasar más de un año sin poder ir a la escuela.

Nunca recuperaste ese tiempo perdido. Tu impaciencia y la vergüenza de sentirte atrasada, Impidieron tus estudios. Tu profundo amor propio y la vergüenza de no saber lo que sabían tus
Amigas de tu edad, tu inquietud y tu inhabilidad de aguantar la lengua cuando te corregían,
Crearon una perfecta tormenta que desvió tu diminutiva nave hacia las rocas.

Cuando aún una niña, viste a Franco con su escolta salir de su yate en Fontan.
Con la inocencia de una niña que nunca supo aguantar la lengua, preguntaste a
Una vecina que también estaba presente “Quien es ese señor?”
“El Generalísimo Francisco Franco” te contestó en voz baja. Dile “Viva Franco” cuando pase.

Con la inocencia de una niña y con la arrogancia de una viejita incorregible gritaste señalándolo
“Ese es el Generalísimo?” Y con una carcajada seguiste en voz alta “Parece Pulgarcito!”
Un miembro de su escolta se acercó alzando su ametralladora con la aparente Intención de Golpearte con la culata. “Dejadla!” Exclamo Franco. “Es una niña—la culpa no es suya.”

Contaste ese cuento muchas veces en mi presencia, siempre con una sonrisa o riéndote.
Creo que nunca apreciaste el importe de esa “hazaña” de desprecio a la autoridad. Pudiera ser En parte por ese hecho de tu niñez que vinieron eventualmente por tu padre  
Que lo Llevaron preso. Que lo torturaron por muchos meses y condenaron a muerte?

El escapó su condena como ya he contado antes—con la ayuda de un oficial fascista.
Tan fuerte era su reputación y el poder de sus ideas hasta con sus muchos amigos contrarios.
Tal tu inocencia, o tu ceguera psíquica, en no comprender nunca una potencial causa de su Destrucción. A Dios gracias que nunca pudiste apreciar la posible consecuencia de tus palabras.

Tu padre, quien quisiste toda la vida entrañablemente con una pasión de la cual fue muy Merecedor, murió poco después del término de la guerra civil. Una madre con diez
Bocas para alimentar necesitaba ayuda. Tú fuiste una de las que más acudió a ese
Pedido silencioso. A los 11 años dejaste la escuela por última vez y comenzaste a trabajar.

Los niños no podían trabajar en la España de Franco. No obstante, un primo tomó piedad
De la situación y te permitió trabajar en su fábrica de embutidos de pescado en Sada.
Ganabas igual que todas tus compañeras mayores. Y trabajabas mejor que la mayoría de ellas,
Con la rapidez y destreza que te sirvieron bien toda tu vida en todos tus trabajos.

En tu tiempo libre, llevabas agua de la fuente comunal a vecinos por unos céntimos.
De chiquita también llevabas una sella en la cabeza para casa y dos baldes en las manos antes y Después de tu trabajo en la fábrica de Cheche para el agua de muchos pescadores en el puerto
Antes del amanecer esperando la partida a alta mar con tu agua fresca en sus recipientes.

Todo ese dinero era entregado tu madre con el orgullo de una niña que proveía
Más que el sueldo de una mujer grande—solo a cambio de tu niñez y de la escuela.
También lavabas ropa para algunos vecinos. Y siempre gratuitamente los pañales cuando había
Niños recién nacidos solo por el placer de verlos y poder estar con ellos.

Cuando eras un poco más grande, ya de edad de ir al baile y al cine, seguías la misma rutina,
Pero también lavabas y planchabas la ropa de los marineros jóvenes que querían ir muy limpios
Y bien planchados al baile los domingos. Ese era el único dinero que era solo tuyo—para
Pagar la peluquería todas las semanas y el baile y cine. El resto siempre para tu madre.


A los dieciséis años quisiste emigrar a Argentina a la casa de una tía en Buenos Aires.
Tu madre te lo permitió, pero solo si llevabas también a tu hermana menor, Remedios, contigo.
Lo hiciste. En Buenos Aires no podías trabajar tampoco por ser menor. Mentiste en las Aplicaciones y pudiste conseguir trabajo en una clínica como ayudanta de enfermera.

Lavaste bacinillas, cambiaste camas, y limpiaste pisos con otros trabajos similares.
Todo por ganar suficiente dinero para poder reclamar a tu madre y hermanos menores,
Sito (José) y Paco (Francisco). Luego conseguiste un trabajo de mucama en un hotel
En Mar del Plata. Los dueños apreciaron tu pasión por cuidar a sus niños pequeños.

Te mantuvieron como niñera y mucama—sin doble sueldo. Entre tu (pobre) sueldo y
Propinas de mucama, en un tiempo pudiste guardar suficiente dinero para comprar
Los pasajes para tu madre y hermanos. También pudiste volver a Buenos Aires y
Conseguiste alquilar un doble cuarto en una antigua casa cerca del Consulado español.

De aquellas, aun menor de edad, ya trabajabas en el laboratorio Ponds—al cargo de una
Máquina de empacado de productos de belleza. Ganabas buen dinero, y vivieron en el
Centro de Buenos aires en esa casa hasta que te casaste con papa muchos años después.
Aun te perseguía la mala costumbre de decir lo que penabas y de no dar el brazo a torcer.

El sindicato de la Ponds trató de obligarte a registrarte como Peronista.
A gato escaldado hasta el agua fría le hace daño, y reusaste registrarte al partido.
Le dijiste al sindicato que no le habías escapado a un dictador para aliarte a otro.
Te amenazaron con perder el trabajo. Y con repatriarte a ti y a tu madre y hermanos.

Tu respuesta no la puedo escribir aquí. Te llevaron frente al gerente general demandando
Que te despidiera de inmediato. Contestaste que te demostraran razones para hacerlo.
El gerente—indudablemente a propio riesgo—contestó que no había mejor trabajadora
En la fábrica y que no tenía el sindicato razones para pedir que te despidiera.

Después de un noviazgo de varios años, se casaron tú y papa. Tenían el mundo en sus
Manos. Buen trabajo con buenos ahorros que les permitirían vivir muy bien en el futuro.
No podías tener hijos—los cuales siempre anhelaste tener. Tres años de tratamientos
Lograron que me dieras vida. Vivimos por años en un hermoso apartamento en la ciudad.

Tengo uso de razón y recuerdos gratos desde antes de los dos años. Recuerdo muy bien ese Apartamento. Pero las cosas cambiaron cuando decidieron emprender un negocio
Que no fue sostenible en el caos de la Argentina en los años 60. Recuerdo demasiado bien el Sacrificio tuyo y el de papa—es eso un tema para otro día, pero no para hoy.

Fuiste la persona más trabajadora que conocí en mi vida. No le temías a ningún trabajo
Honesto por fuerte que fuese y tu inquietud y espíritu competitivo siempre te hicieron
Una empleada estelar en todos tus trabajos, la mayoría de ellos sumamente esclavos.
Hasta en casa no sabias parar a no ser que tuvieras con quien charlar un rato largo.

Eras una gran cocinera gracias en parte al chef del hotel en cual trabajaste en Argentina
Que era también un compatriota español (vasco) y te enseno a cocinar muchos de sus
Platos españoles e italianos favoritos. Fuiste siempre muy mal comedora. Pero te
Encantaba cocinar para amigos, familia y—cuantos mas mejor—y para las fiestas.

Papá también era buen cocinero aunque con un repertorio mas limitado. Y yo aprendí
De los dos con mucho afán también a cocinar desde joven. Ni en la cocina ni en ninguna
Fase de mi vida me puedo comparar contigo ni con papa, pero también me encanta
Cocinar y en especial para compartir con seres queridos.

Te daba gran placer introducir a mis amigos a tus platos favoritos como la cazuela de mariscos,
Paella, caldo gallego, tus incomparables canelones, ñoquis, orejas, filloas, buñuelos, flan,
Y todo el resto de tu largo repertorio de música culinaria. Papa me iba a buscar al colegio
Cuando en la escuela secundaria (JHS #10) todos los días antes del trabajo.

Los dos trabajaban el segundo turno y no partían hasta después de las 2:00 p.m.
Muchos días traía el coche lleno de mis compañeros. Recuerdo igual que si fuera ayer
Las caras de mis amigos judíos, chinos, japoneses, italianos, ingleses e irlandeses
Cuando primero probaron el pulpo, caldo gallego, la tortilla, las orejas o el flan.

Mediante el bachiller, la universidad y los estudios de derecho fue igual. A veces parecía
Una reunión de Las Naciones Unidas, pero siempre con comida. Siempre trataste a mis
Amigos íntimos como si fueran hijos tuyos también. Y algunos aun hoy día te quieren
Como una segunda madre y sienten tu ausencia aunque no te vieran por muchos años.

Tuviste una pasión por ser madre (una gran pena que solo tuvieras un hijo).
Que te hizo ser demasiado protectora de tu hijo.  Me vestías con ropa exclusiva de
Les Bebes—Fui un muñeco para quien no los tuvo de niña. No me dejabas fuera de tu vista.
El mantenerme en un ambiente libre de gérmenes produjeron algunos problemas de salud.

Mi pediatra te decía “Quiero verlo con las rodillas raspadas y las uñas sucias.”
Tú lo tomabas como un chiste. Me llevabas a menudo a un parque y a la calesita.
Lo recuerdo como si fuera ayer. Pero no recuerdo tener ningún amigo hasta los siete u ocho
Años. Y solo uno entonces. No recuerdo tener una pandilla de amigos hasta los 13 años. Triste.

Cuando comencé a hablar como una cotorra con un año, y a caminar al mismo tiempo,
Me llevaste al médico. El medico pensó que era solo idea tuya. Me mostro unas llaves y me
Pregunto “Sabes lo que es esto, Danielito?” “Si. Son las llaves de tu tutú,” le contesté.
Después de unas pruebas, le recomendaron a mi madre que alimentara mi curiosidad.

Según ella era yo insoportable (algunas cosas nunca cambian). Si le preguntaba a
Papá por que el sol quema, a que distancia esta, que son las estrellas, por qué una
Linterna enfocada al cielo en una noche oscura no se ve, por qué los aviones no tienen
Ruedas debajo de pontones para poder aterrizar y despegar en el agua? Etc., etc., etc.

Me contestaba con paciencia. Recuerdo viajes en tren o autobús sentado en las piernas de mi Padre haciéndole mil preguntas. Desafortunadamente, si le preguntaba algo a mama que No supiera contestar, inventaba cualquier respuesta con tal de hacerme callar en vez de decirme “No se” o “pregúntaselo a papá” o “vete al infierno de una ver por todas y dejame en paz.”

Cuando me contaba algún cuento y no me gustaba como terminaba, “Caperucita Roja” por Ejemplo, mi madre tenía que inventar un fin que me gustara mejor o aguantar un llanto
Interminable. Pobre madre. Inventar lo que a Danielito no le gustaba podía ser peligroso.
Recuerdo un día en el teatro viendo dibujos animados que me encantaban (y aun encantan).

El Pato Donald salió en una escena comiéndose un tremendo sándwich. Le dije a mamá que
Quería un sándwich igual. En vez de contestarme que no era un sándwich de verdad, o que me Llevarían a comer después del teatro (como de costumbre) se le ocurrió decirme que me
Lo iba a traer el Pato Donald al asiento. Cambio la escena y el Pato Donald salió sin el sándwich.


Se acabo el mundo. Empecé a chillar y llorar que el Pato Donald se comió mi sándwich.
Me había mentido y no me trajo el prometido sándwich. Eso era algo insoportable.
No hubo forma de consolarme o hacerme entender—ya tarde—que el Pato Donald también
Tenía hambre, que el sándwich era suyo y no mío, o que lo de la pantalla no era realidad.

Ardió Cristo. Se había comido el sándwich del nene el Pato Donald quien era (y es) mi favorito.
La traición de un ser querido así era inconcebible e insoportable. Me tuvieron que quitar del
Cine a grito pelado. No se me fue la pataleta por largo rato. Pero todo paso cuando mi querida Tía Nieves (una prima) me dio unas galletas marineras con mermelada más tarde en su casa.

Cuánta agua debajo del puente. Tus recuerdos como el humo en una placentera brisa ya se han Esparcido, son moléculas insubstanciales como estrellas en el cielo, que no pintan cuadros Coherentes. Una vida de conversaciones vitales vueltas a susurros de niños en una tormenta Tropical, impermisibles, insustanciales, solo un sueño que interrumpe una pesadilla eterna.

Así es tu vida hoy. Tu memoria fue siempre prodigiosa. Recordabas el nombre de todas las Personas que conociste en toda tu vida—y conversaciones enteras palabra por palabra.
Con solo tres años de escuela, te fuiste por el mundo rompiendo paso y aprendiste a leer y
Escribir ya después de os 16 años en una ciudad adoptiva. Te fue más que suficiente tu estudio.

Siempre dije que eras mucho mejor escritora que yo. Cuantas excelentes novelas u obras de Teatro y poesía hubieras escribido tú con la mitad de mi educación y el triple de trabajo?  
No ay justicia en este mundo. Por qué le da Dios pan a quien no tiene dientes? Tú prodigiosa Memoria no te permite ya que me reconozcas. Fui la última persona que olvidaste.

Pero aun ahora que ya no puedes tener una conversación normal en ningún idioma,
Alguna vez te brillan los ojos y me llamas “neniño” y sé que por un instante no estás ya sola.
Pero pronto se apaga esa luz y vuelve la oscuridad. Solo te puedo ver unas horas un día a la Semana. Las circunstancias de mi vida no me dejan otra mejor opción.

Algún día no tendré ni siquiera la oportunidad de compartir unas horas contigo. No tendrás
Monumento alguno salvo en mis recuerdos mientras me quede uso de razón. Toda una
Vida de incalculable sacrificio de la cual solo dejarás el más pobre rasgo viviente del amor
De tu único hijo quien no tiene palabras para honrarte adecuadamente ni nunca las tendrá.


*          *          *

Ya llegó ese día, demasiado pronto. Octubre 11, 2018. Llegó la llamada a las 03:30 horas,
Una o dos horas después de haber quedado yo dormido. Te trataron de resucitar en vano.
No habría ya mas oportunidades de decirte te quiero, de acariciar tus manos y cara,
De cantarte al oído, de poner crema en tus manos, de anhelar que esta semana me recordaras.

De contarte acontecimientos de seres queridos, a quien vi, que me dijeron, quien pregunto
Por ti, ni de rezar por ti o de pedirte si me dabas un besito poniendo mi mejilla cerca de tus Labios y del placer cuando respondías dándome muchos besitos. Cuando no me respondías,
Lo mas probable estos últimos muchos meses, te decía, “Bueno la próxima vez.”

Siempre al despedirme te daba un besito por Alice y un abrazo que siempre te mandaba,
Y tres besitos en tu frente de parte de papa (siempre te daba tres juntos), y uno mío. Te
Dejaba la tele prendida en un canal sin volumen que mostrara movimiento. Y en lo posible
Esperaba que quedaras con los ojos cerrados antes de marchar.

Se acabó el tiempo. No hay mas prorroga. Mis oraciones cambian de pedir que Dios te proteja
Y que por Su Gracia puedas sanar un poquito día a día a que Dios guarde tu alma y la de papá y
Permita que descansen en paz en Su reino. Te hecho mucho de menos ya, como a papá, y lo
Haré mientras viva y Dios me permita uso de razón. No sabia lo que es estar solo. Ahora si lo se.

Cuatro años viendo tu deslumbrante luz reducirse a una vela temblando en a oscuridad.
Cuatro años temiendo que te dieras cuenta de tu situación.
Cuatro años rogando que no tuvieras dolor, tristeza o soledad.
Cuatro años y sin aprender como decirte adiós. El resto de mi vida esperando verte otra vez.

Te quiero con todo mi corazón siempre y para siempre, mamá. Descansa en Paz.
You can hear all six of my Unsung Heroes poems read by me in my podcasts at https://open.spotify.com/show/1zgnkuAIVJaQ0Gb6pOfQOH. (plus much more of my fiction, non-fiction and poetry in English and Spanish)
Zampuzado en un banasto
Me tiene su Majestad,
En un callejón Noruega
Aprendiendo a gavilán.
Graduado de tinieblas
Pienso que me sacarán
Para ser noche de Invierno,
O en culto algún Madrigal.
Yo, que fui Norte de guros,
Enseñando a navegar
A las Godeñas en ansias,
A los buzos en afán,
Enmoheciendo mi vida
Vivo en esta oscuridad,
Monje de zaquizamíes,
Ermitaño de un desván.
Un abanico de culpas
Fue principio de mi mal;
Un letrado de lo caro,
Grullo de la puridad.
Dios perdone al Padre Esquerra,
Pues fue su Paternidad
Mi suegro más de seis años
En la cuexca de Alcalá,
En el mesón de la ofensa,
En el Palacio mortal,
En la casa de más cuartos
De toda la Cristiandad.
Allí me lloró la Guanta,
Cuando por la Salazar,
Desporqueroné dos almas
Camino de Brañigal.
Por la Quijano, doncella
De perversa honestidad,
Nos mojamos yo y Vicioso,
Sin metedores de paz.
En Sevilla el Árbol seco
Me prendió en el arenal,
Porque le afufé la vida
Al zaino de Santo Horcaz.
El zapatero de culpas
Luego me mandó calzar
Botinicos Vizcaínos,
Martillado el cordobán.
Todo cañón, todo ****,
Todo mandil jayán,
Y toda iza con greña,
Y cuantos saben fuñar,
Me lloraron soga a soga,
Con inmensa propiedad,
Porque llorar hilo a hilo
Es muy delgado llorar.
Porque me metí una noche
A Pascua de Navidad
Y libré todos los presos
Me mandaron cercenar.
Dos veces me han condenado
Los señores a trinchar,
Y la una el Maestresala
Tuvo aprestado sitial.
Los diez años de mi vida
Los he vivido hacia atrás,
Con más grillos que el Verano,
Cadenas que el Escorial.
Más Alcaides he tenido
Que el castillo de Milán,
Más guardas que Monumento,
Más hierros que el Alcorán,
Más sentencias que el Derecho,
Más causas que el no pagar,
Más autos que el día del Corpus,
Más registros que el Misal,
Más enemigos que el agua,
Más corchetes que un gabán,
Más soplos que lo caliente,
Más plumas que el tornear.
Bien se puede hallar persona
Más jarifa y más galán,
Empero más bien prendida
Yo dudo que se hallará.
Todo este mundo es prisiones,
Todo es cárcel y penar:
Los dineros están presos
En la bolsa donde están;
La cuba es cárcel del vino,
La troj es cárcel del pan,
La cáscara, de las frutas
Y la espina del rosal.
Las cercas y las murallas
Cárcel son de la ciudad;
El cuerpo es cárcel del Alma,
Y de la tierra la mar.
Del Mar es cárcel la orilla,
Y en el orden que hoy están,
Es un cielo de otro cielo
Una cárcel de cristal.
Del aire es cárcel el fuelle,
Y del fuego el pedernal;
Preso está el oro en la mina;
Preso el diamante en Ceilán.
En la hermosura y donaire
Presa está la libertad,
En la vergüenza los gustos,
Todo el valor en la paz.
Pues si todos están presos,
Sobre mi mucha lealtad
Llueva cárceles mi cielo
Diez años sin escampar.
Lloverlas puede si quiere
Con el peine y con mirar,
Y hacerme en su Peralvillo
Aljaba de la Hermandad.
Mas volviendo a los amigos,
Todos barridos están,
Los más se fueron en uvas
Y los menos en agraz.
Murió en Nápoles Zamora
Ahíto de pelear,
Lloró a cántaros su muerte
Eugenia la Escarramán.
Al Limosnero a Zaguirre
Le desjarretó el tragar:
Con el Limosnero pienso
Que se descuidó San Blas.
Mató a Francisco Jiménez
Con una aguja un rapaz,
Y murió muerte de sastre,
Sin tijeras ni dedal.
Después que el Padre Perea
Acarició a Satanás
Con el alma del corchete
Vaciada a lo Catalán,
A Roma se fue por todo,
En donde la enfermedad
Le ajustició en una cama,
Ahorrando de procesar.
Dios tenga en su santa gloria
A Bartolomé Román,
Que aun con Dios, si no le tiene,
Pienso que no querrá estar.
Con la grande polvareda,
Perdimos a Don Beltrán,
Y porque paró en Galicia,
Se teme que paró en mal.
Jeldre está en Torre Bermeja;
Mal aposentado está,
Que torre de tan mal pelo
A Judas puede guardar.
Ciento por ciento llevaron
Los Inocentes de Orgaz,
Peonzas que a puro azote
Hizo el bederre bailar.
Por pedigüeño en caminos,
El que llamándose Juan,
De noche, para las capas,
Se confirmaba en Tomás,
Hecho nadador de penca,
Desnudo fue la mitad,
Tocándole pasacalles
El músico de Quien tal...
Sólo vos habéis quedado,
¡Oh Cardoncha singular!,
Roído del Sepan cuántos...
Y mascado del varal.
Vos, Bernardo entre Franceses,
Y entre Españoles Roldán,
Cuya espada es un Galeno
Y una botica la faz,
Pujamiento de garnachas
Pienso que os ha de acabar,
Si el avizor y el calcorro
Algún remedio no dan.
A Micaela de Castro
Favoreced y amparad,
Que se come de Gabachos
Y no se sabe espulgar.
A las hembras de la caja,
Si con la expulsión fatal
La desventurada Corte
No ha acabado de enviudar,
Podéis dar mis encomiendas,
Que al fin es cosa de dar:
Besamanos a las niñas,
Saludes a las de edad.
En Vélez a dos de marzo,
Que por los putos de allá
No quiere volver las ancas,
Y no me parece mal.
KA Poetry Oct 2017
Mendung gelap kala itu
Angin yang berlari-lari
Kilat petir mengambil alih langit
Kegelapan menyelimuti

Burung yang terbang diantaranya
Satu diantara membuat perbedaan
Burung yang duduk diatas pagar
Seakan kelelahan melawan

Meratapi kegelapan menerpa
Hujan deras menyelimutinya
Duduk terdiam
Lelah akan melawan.
25/10/2017 | 21.00 | Indonesia
Trampas, ponen en mi camino trampas. Construidas de palabras de alabanza. Desean saber sobre mí, no saben que yo sé con antelación, lo que se planea. Desconocen que puedo leer el corazón y ver el Alma, sin importar la distancia...

No es fácil conocerme, no porque no me muestre tal como soy, que soy. Tal como me muestro,Sino, porque no soy una hombre, como otra hombre, mi modo de ser y de pensar es diferente.

No es fácil conocerme, no, no lo es, porque soy imprevisible. Jamás planeo nada. Todo surge instantáneamente y me dejo llevar por las corrientes del destino. No pongo resistencia.

No es fácil conocerme a pesar de ser un libro abierto en sentimientos. Intenté proteger a algunas personas, y el bien que yo he dejado a los demás, me lo deseaban pagar con trampas.

Cada cual recogerá lo que siembre. Yo sembraré bondad, por donde camin, pero no confiaré jamás, en personas que intentan pagar Mal, por el Bien que han recibido. Y evitaré esas trampas, como llevo haciendo toda mi vida.
16doesknowpoetpoemsecretporhewolosqueohhosersjustobamalasdoctorsu­essmartererpatternain'trightbigpayouyaylodoctah'smrdrprofessordin­erosyllablesreasonsobamacarerazoneshugeda10thimpeachacusedoctahsm­akethinksilabasenpeoplehousesupposedmoneythere'sawayusted murly hombres febifbibuufbjnujbfeujny87hndbashbay probablemente explicar pone cheerio 1616 stoopid dólares medicos vagos hacerles espanol oet oculto paga pagar yippee we're orr crecido goin' doesn't how's wouldn't here's others' razon numero africano realli muchos algunos cuales nacido stoppin' algunas demas nukes esos fueron traducción continuación ithway otway ossbay gorjsyfhrn3837dh99rddyduyd8778hdg87hhhdyqydeay njbfhsebtcu37uqiretruebey837ugt0dvg736yay uniformway egtay ifefugsuhcbjgvcbyehfb638eu3ay ywhay uchmay ucksay onsirbay andjbandhjabdhbauyay orfay hzbiuhrfibfiuht0uycgwtofi8yheweorfywoeryhwporay certificado mayoría deuda billones votantes trabajan onaldray unray ockknay 123q3873w938fhdhsjhruwhfdewryay oofway iway jnfdjnbsfhbhvbcgbhv6treyegcb isway doctah superererest emay avehay owrdsway ki-yay chargin' miastake mestakes arre capitally won't irlsgay emthay ontday ymay ofway itway ndfnbhdbucbf37gyjytbewguyu3dgjw7gje6rbyfuay aintway oybay eaganray egativenay idnightmay yinday avesway ivinglay sanderson bud translation instead falls rhyming la mention line suicide going yes working born raised se broke flying crew dr understand hid factory visit takes loaded commit men bucks explain probably poems life gave break case gets cause like tell light hello aqui look say written order care famous hey head arm evil happen thing ya need wait para dre embargo muchas voters esta bobby spelling va complaints haiku ta debt solo trillion estar bien honorably voy derek entiendo toma speling darle certificate stow importa lugar courageously enorme spanish rhyme bums betrayed trains sharing poetry plane sin silently number rhymes yeah punished les el una heritage sus mexico african contains spells han risk equal ay government reason
Danielle Furtado Aug 2014
Acorda e já não sabe quem é, mas que diferença faz quando não se quer ser alguém?
O cigarro queima enquanto pensa em respostas para a vida, meio dia. A fumaça preenche o vazio e alivia a ânsia que as dúvidas causam, enjoada pela própria ignorância, por mais que tente saber tudo, não sabe nada. Então percebe todas as pessoas indo aos seus destinos, como fantasmas, ninguém as nota, nem elas mesmas, é tudo automático e ninguém realmente sabe o que está fazendo. Qualquer obstáculo no caminho para o trabalho é razão para dizer que o dia foi terrível, pois digo que terrível é fazer o mesmo caminho todos os dias, voltar para casa e receber o olhar frio das pessoas que também tiveram um dia "terrível".
O cigarro está quase no fim e acende outro logo em seguida, morrer cedo não é problema para alguém assim, então pensa em por que as pessoas querem envelhecer se todos os dias delas são iguais, semanas redundantes que se transformam em anos redundantes, vidas irrelevantes. Todos estão correndo para pagar seus impostos, todos estão preocupados em comprar móveis novos para suprir uma casa cheia de solidão. Uma televisão enorme ligada para o nada, fingir que não estamos sozinhos. Todos com tanto medo de irem contra o fluxo, gente desinteressante que acha o interessante esquisito.
Gente que morre sem ler poesia.
D. Furtado
En París está doña Alda,   la esposa de don Roldán,
trescientas damas con ella   para la acompañar:
todas visten un vestido,   todas calzan un calzar,
todas comen a una mesa,   todas comían de un pan,
si no era doña Alda,   que era la mayoral;
las ciento hilaban oro,   las ciento tejen cendal,
las ciento tañen instrumentos   para doña Alda holgar.
Al son de los instrumentos   doña Alda dormido se ha;
ensoñado había un sueño,   un sueño de gran pesar.
Recordó despavorida   y con un pavor muy grande;
los gritos daba tan grandes   que se oían en la ciudad.
Allí hablaron sus doncellas,   bien oiréis lo que dirán:
-¿Qué es aquesto, mi señora?   ¿quién es el que os hizo mal?
-Un sueño soñé, doncellas,   que me ha dado gran pesar:
que me veía en un monte   en un desierto lugar:
do so los montes muy altos   un azor vide volar,
tras dél viene una aguililla   que lo ahínca muy mal.
El azor, con grande cuita,   metióse so mi brial,
el aguililla, con gran ira,   de allí lo iba a sacar;
con las uñas lo despluma,   con el pico lo deshace.
Allí habló su camarera,   bien oiréis lo que dirá:
-Aquese sueño, señora,   bien os lo entiendo soltar:
el azor es vuestro esposo   que viene de allén la mar,
el águila sedes vos,   con la cual ha de casar,
y aquel monte es la iglesia,   donde os han de velar.
-Si así es, mi camarera,   bien te lo entiendo pagar.
Otro día de mañana   cartas de fuera le traen:
tintas venían por dentro,   de fuera escritas con sangre,
que su Roldán era muerto   en caza de Roncesvalles.
The voice Aug 2015
Como decirte que me has lastimado, si eso significa que te lastimaría
Como aclarar tus dudas si aclararlas es que sufras la verdad
Como asercarme a ti con amor si se que te podria lastimar

Dime, acaso fui yo quien cambio?
Fui you la que se alejo de la verdad primero?
Fueron mis palabras las que lastimaron mas?
Fue La fuerza de mi amor la que hizo tanto daño?

Yo solo quería escucharte decir un te quiero aunque fuese mentira
Solo quería tener el palpitar de tu corazón conjunto al mio
Solo tenía la esperanza de que por una vez tu tomaras mi mano
Yo solo quería sentir que tenía el respaldo de alguien....

Tenía muchos deseos de que me sostubieras en tus brazos
De que por un momento todo pareciera solo una pesadilla
Quería porbun instante llevarme yo la victoria , aunque hiciera trampa
Quería tenerte como un amigo,un aliado, un hermano

Me canse de que quisieras ser un padre, sabes ya tengo bastantantes de esos
Uno se dio por vencido y nunca intento ser parte de mi vida
Otro estuvo allí y cobro un precio demasiado caro que tuve que pagar
Si quieres ser un padre para mi tienes que lastimarme, hacerme sentir que valgo la pena y luego darte la vuelta
B'Artanto Feb 2019
Menuju Maret, pagi-pagi matahari meninggi sambil menyeduh minuman penolak kantuk.
Sesekali ia aduk minuman di gelas melawan arah jarum jam.
Katanya agar berbeda,
Padahal sedari dulu ia sudah berbeda.

Pagi-pagi matahari cepat meninggi
Mungkin membawa kabar dari Bapak menyertakan terimakasih.
'Terimakasih' suara bapak dari ponsel genggam buatan negara berkelopak mata monolid.

Menuju Maret hati yang disini berduka. Menolak umur ditambah dengan satu angka,
Belum lagi kalau dia ingat suara pintu pagar besi yang dimainkan anak-anak tetangga.
Rindu katanya,

Ia belum pulang, sebagian jiwanya sedang bermain pasir di masa lalu.
Tapi ia malah lari mengejar lagi. 'Sudah cukup, aku mau ikut' katanya

Sekarang ia siap, menuju Maret dan segala kebaikan di dalam dan setelahnya.

B_Art
07-Feb-2019
CautiousRain May 2016
Preguntame por qué la luz no la hará brilla,
o de qué manera
los arboles encinar transformaron
a ceniza y polvo,
consumen en el fuego,
y por qué nadie oyendo los gritos del bosque
llegaron para pagar sus respetos.

Estas soldados de madera necesitaron lluvia,
como lágrimas a la faz de una viuda afligida,
para calmar las llamas,
entonces, tomaron gotas de agua para pacificar sus dolores,
y en la noche, cuando todos era silencio
ellos dormían en el viento sin ansia,
como es el estado natural para madre tierra.

English version:
Ask me

Ask me why the light won't shine,
or how
the oak trees transformed
into ashes and dust,
consumed in the fire,
and why no one, hearing the cries of the forest,
came to pay their respects.

These wooden soldiers needed rain,
like tears in the face of a grieving widow,
to calm the flames,
so, they took drops of water to pacify their pains,
and at night, when all was silent
they slept without anxiety in the wind,
as is the natural state for Mother Earth.
Because it's been a while since I tried using spanish :P
Con un menino del Padre,
Tu mandil y mi avantal,
De la cámara del golpe,
Pues que su llave la trae,
Recibí en letra los ciento
Que recibiste, jayán,
De contado, que se vían
Uno al otro al asentar.
Por matar la sed te has muerto;
Más valiera, Escarramán,
Por no pasar esos tragos
Dejar otros de pasar.
Borrachas son las pendencias,
Pues tan derechas se van
A la bayuca, donde hallan,
Besando los jarros, paz.
No hay cuestión ni pesadumbre
Que sepa, amigo, nadar;
Todas se ahogan en vino,
Todas se atascan en pan.
Si por un chirlo tan sólo
Ciento el verdugo te da,
En el dar ciento por uno
Parecido a Dios será.
Si tantos verdugos catas,
Sin duda que te querrán
Las Damas por verdugado
Y las Izas por rufián.
Si te han de dar más azotes
Sobre los que están atrás,
Estarán unos sobre otros
O se habrán de hacer alIá.
Llevar buenos pies de albarda
No tienes que exagerar,
Que es más de muy azotado
Que de jinete y galán.
Por buen supuesto te tienen
Pues te envían a bogar,
Ropa y plaza tienes cierta,
Y a subir empezarás.
Quéjaste de ser forzado,
No pudiera decir más
Lucrecia del rey Tarquino,
Que tú de su Majestad.
Esto de ser galeote
Solamente es empezar,
Que luego, tras remo y pito,
Las manos te comerás.
Dices que te contribuya,
Y es mi desventura tal
Que si no te doy consejos,
Yo no tengo que te dar.
Los hombres por las mujeres
Se truecan ya taz a taz,
Y si les dan algo encima,
No es moneda lo que dan.
No da nadie sino a censo,
Y todas queremos más
Para galán un Pagano,
Que un Cristiano sin pagar.
A la sombra de un corchete
Vivo en aqueste lugar,
Que es para los delincuentes
Árbol que puede asombrar.
De las cosas que me escribes
He sentido algún pesar,
Que le tengo a Cardeñoso
Entrañable voluntad.
¡Miren qué huevos le daba
El Asistente a tragar
Para que cantara tiples,
Sino agua, cuerda y cendal!
Que Remolón fuese cuenta
Heme holgado en mi verdad,
Pues por aquese camino
Hombre de cuenta será.
Aquí derrotaron juntos
Coscolina y Cañamar,
En cueros por su pecado
Como Eva con Adán.
Pasáronlo honradamente
En este honrado lugar;
Y no siendo picadores,
Vivieron pues de hacer mal.
Espaldas le hizo el verdugo,
Mas debióse de cansar,
Pues habrá como ocho días
Que se las deshizo ya.
Y muriera como Judas,
Pero anduvo tan sagaz,
Que negó -sin ser San Pedro-
Tener llave universal.
Perdone Dios a Lobrezno,
Por su infinita bondad,
Que ha dejado sin amparo
Y muchacha a la Luján.
Después que supo la nueva,
Nadie la ha visto pecar
En público; que de pena
Va de zaguán en zaguán.
De nuevo no se me ofrece
Cosa de que te avisar,
Que la muerte de Valgarra
Ya es añeja por allá.
Cespedosa es ermitaño
Una legua de Acalá;
Buen diciplinante ha sido,
Buen penitente será.
Baldorro es mozo de sillas
Y lacayo Matorral,
Que Dios por este camino
Los ha querido llamar.
Montúsar se ha entrado a ****
Con un mulato rapaz:
Que por lucir más que todos
Se deja el pobre quemar.
Murió en la Ene de palo
Con buen ánimo un Gañán,
Y el Jinete de gaznates
Lo hizo con él muy mal.
Tiénenos muy lastimadas
La justicia, sin pensar
Qué se hizo en nuestra Madre,
La vieja del arrabal,
Pues sin respetar las tocas
Ni las canas ni la edad,
A fuerza de cardenales
Ya la hicieron obispar.
Tras ella, de su motivo,
Se salían del hogar
Las ollas con sus legumbres;
No se vio en el mundo tal,
Pues cogió más berenjenas
En una hora, sin sembrar,
Que un hortelano morisco
En todo un año cabal.
Esta Cuaresma pasada
Se convirtió la Tomás
En el Sermón de los peces
Siendo el pecado carnal.
Convirtióse a puros gritos,
Túvosele a liviandad,
Por no ser de los famosos,
Sino un pobre Sacristán.
No aguardó que la sacase
Calavera o cosa tal,
Que se convirtió de miedo
Al primero ¡Satanás!.
No hay otra cosa de nuevo,
Que en el vestir y el calzar,
Caduca ropa me visto
Y saya de mucha edad.
Acabado el decenario
Adonde ahora te vas,
Tuya seré, que tullida
Ya no me puedo mudar.
Si acaso quisieres algo
O se te ofreciere acá,
Mándame, pues de bubosa
Yo no me puedo mandar.
Aunque no de Calatrava
De Alcántara ni San Juan,
Te envían sus encomiendas
La Téllez, Caravajal,
La Collantes valerosa,
La golondrina Pascual,
La Enrique mal degollada,
La Palomita torcaz.
Fecha en Toledo la rica,
Dentro del pobre Hospital,
Donde trabajos de entrambos
Empiezo ahora a sudar.
Leydis Jun 2017
I will not lie,
I threw myself in, I wanted to drown.
It seemed beautiful,
peacefully blissful,
not having to worry about the;
what if’s of life,
of failures,
of the way, I had botched my life,
the way that the HOPE became my enemy,
the way that life cheated me...with me!

I will not lie,
the only light I saw,
was at the bottom of that floor.
It invited me in.
I told me, "there, I had a house"!
One, where I would forever reign in.
I liked the sound of that….
the knowing that something other than calamity,
of me
…………………………….wanted a part.

I will not lie,
I knew how to swim,
but in that instant…I pretended, I forgot.
The way that I pretended so many other things in my life.
To always have a smile
despite how much it hurt the cracks in my spine.

To have a brave heart, though it had bled out a life time ago.
The way, I can figure out how to solve someone else’s life….without hesitation,
yet, mine was so complex
and any attempt to fix it…was vexing.

Taxing the humanity out of me.
Felt like I was in a different tax bracket,
the bracket where the dejected must pay up,
but Uncle Sam wanted a little more on the side,
but, I had no more sides…
just a pretentious smile
and
my broken spine.

I will not lie,
I threw myself in
I wanted to drown.
But,
my brained which is wired to survive,
sent a signal to my feet,
and reminded them
that
they
knew
how
to
swim.
___________________PIES con MEMORIA

PIES con MEMORIA

No voy a mentir,
me lancé, me quería ahogar.
Me parecía fantásticamente hermoso y tentadora la idea,
gozar de paz,
de no tener que preocuparme de los quizás
de los fracasos de la vida,
la manera en que arruine mi vida,
la manera en la que la ESPERANZA se convirtió en mi enemiga,
y que la propia vida conmigo me traicionaba!

No voy a mentir,
la única luz que vi,
fue en la parte inferior de ese piso.
Que me invitó a entrar.
Me dijo, “aquí tienes una casa...¡una donde por siempre reinaras!
Me gusto el sonido de esa idea
... el saber que algo que no fuese la CALAMIDAD, a mi me cortejaba.

No voy a mentir,
¡Yo sabía nadar!
pero en ese instante...
Pretendí, que no sabía.

Así como pretendí tantas cosas en mi vida.
Vestirme siempre de una sonrisa…
aun,
cuando al sonreírme me hiriera la espina dorsal.

Pretender que tenía un corazón lleno de valentía,
aun a sabiendas,
que se había desangrado hace un tiempo atrás.

La manera como podía resolver la vida de alguien, sin contrariedad alguna,
más la mía,
la encontraba tan compleja y cualquier intento de arreglarla... espinoso me salía.

Es como si la vida le subía los impuestos a mi humanidad.
Como si estuviese yo en otro tramo de impuestos, por el simple hecho de respirar.
Que el recaudador de impuestos, quería más de lo que podía yo pagar,
Mas ya yo no tenía nada más que dar.
Sólo una pretensiosa sonrisa y mi fraccionada columna vertebral.

No voy a mentir,
al agua me lancé
ahogarme quería.

Pero, mi cerebro,
que está diseñado para la sobrevivencia,
le envió una señal
a mis pies
y
les recordó
que
ellos
sabían
nadar!

LeydisProse
6/15/2017
https://www.facebook.com/LeydisProse/about/
Expo 86' Oct 2015
Seu rosto já não é mais o mapa que me guia
Seu sorriso já não representam as estrelas que me fascinam
E as morfina de suas palavras estão longe de ser efetivas
Mas o que fazer?
Sempre soube que meu sim foi carregado de insensatez
E mais uma vez tenho que pensar
Em qual moeda essas fantasias devo pagar
Angustia que pode virar combustível
Ou talvez, raiva que será nosso castigo

Talvez apenas devo esquecer isso
Mas o pensamento de puxar o gatilho
É muito mais forte do que o de sofrer sozinho
E você não sabe como é difícil
Saber que essa noite estarei sozinho
E a falta que sinto dos seus carinhos

Mas agora tudo isso é passado
E apenas agora consigo enxergar
O que onde existia um começo
Coexistia um erro
E o que achávamos que seria amor
Apenas era a euforia de um perdedor que ocupa o segundo lugar no pódio do amor
Patas de perro con
mi primacho Miguel
en Pereira, buscando
un hotel pa pagar
la estancia de una cuartico
cerca al centro o
a poca distancia
del burdel.  

Nos tomamos un jugo de caña
y como ya tengo la maldita maña, llamamos al Toro porque
sin esa hierbita jamás
cerraría pestaña

Dándole vueltas al centro, esperándolo a él
Vi un lindo edificio
y le dije a Miguel:
"un segundo hermano que me
  gustó ese hotel, voy a entrar a
  ver si hay cupo"
y a cuánto estaba
una noche en aquél.

Me mira bien serio y
me deja pasar
quedándose afuera pa disimular.

"Buenas tardes caballero,
bien pueda...
¿En que le puedo servir?"

"Busco un cuartico que mi primo
  y yo pensamos quedarnos en
  Pereira esta noche, ¿a cuánto
  están?"

¿Cómo así? me contesta
y como creía que
no me había entendido...
repiti la encuesta.  
Otra vez ....¿Cómo así?

En eso momento,
que pendejo te cuento,
me di cuenta que
no era un hotel.
De un salón a la izquierda
salían los llantos
seguidos por un desfile
en ***** de luto.....
y yo hijueputa ¡"que bruto"!

Volteaba a ver si el primo ya sabía que pasaba cuando
soltó la gran carcajada.  

Huí sin mu decir
buscando la risa de Miguel
que decía uy... ¿que pasó no es hotel?

Pero se la hice también
cuando nos recogió el torito
y comenzamos a fumar y fumar. Tantos baretos estilo Bob Marley que ya no nos podíamos ver.

Cuando se escapó todo el humo Miguel se detuvo
antes de casi caer.  
Con ojos cruzados y labios babeados empecé
a burlarme también.
Story bout my cousin letting me make a fool of myself in Pereira Colombia by asking the front desk at a funeral home if they had rooms for the night.  And how I got him back
jan assen Feb 2011
writing is writing about nothing
nothing is writhing
so just started with nothing
and write it
like a sea of flames ******* to my mindless thoughs
life is nothing more then hell on ice
Love is something we all don't always need
nothing is the way we live our lives without knowing it
flames burn up in my heart will eat up my heart
writing just moves my throughs
the unknow lines of the pagar befor me
I can't stop, writing is my life, my life is writing
I will never stop
Rui Serra Jul 2014
pai
Escuta meu pai este segredo,
que hoje eu te vou contar,
quando vou p'rá cama à noite
e em ti me ponho a pensar.

Passaram anos desde o dia,
que me viste pela primeira vez,
desde então tens-me ensinado,
a ser aquilo que tu és.

Tenho aprendido o que posso,
nem tudo aprendi, paciência,
mas espero em mim ter retido,
o que me ensinas-te com veemência.

Tenho hoje uma linda filha,
a quem espero poder dar,
tudo aquilo que tu me deste,
só assim te posso pagar.

Não à palavras que descrevam,
o que este teu filho gosta de ti.
Se ao leres isto te emocionares,
não chores, mas sim, meu pai RI.
Ya está guardado en la trena
Tu querido Escarramán,
Que unos alfileres vivos
Me prendieron sin pensar.
Andaba a caza de gangas,
Y grillos vine a cazar,
Que en mí cantan como en haza
Las noches de por San Juan.
Entrándome en la bayuca,
Llegándome a remojar
Cierta pendencia mosquito,
Que se ahogó en vino y pan,
Al trago sesenta y nueve,
Que apenas dije «Allá va»,
Me trajeron en volandas
Por medio de la Ciudad.
Como al ánima del sastre
Suelen los diablos llevar,
Iba en poder de corchetes
Tu desdichado jayán.
Al momento me embolsaron
Para más seguridad
En el calabozo fuerte
Donde los Godos están.
Hallé dentro a Cardeñoso,
Hombre de buena verdad,
Manco de tocar las cuerdas
Donde no quiso cantar.
Remolón fue hecho cuenta
De la sarta de la Mar,
Porque desabrigó a cuatro
De noche en el Arenal.
Su amiga la Coscolina
Se acogió con Cañamar,
Aquel que sin ser San Pedro,
Tiene llave universal.
Lobrezno está en la Capilla.
Dicen que le colgarán,
Sin ser día de su Santo,
Que es muy bellaca señal.
Sobre el pagar la patente
Nos venimos a encontrar
Yo y Perotudo el de Burgos:
Acabóse la amistad.
Hizo en mi cabeza tantos
Un jarro que fue orinal,
Y yo con medio cuchillo
Le trinché medio quijar.
Supiéronlo los señores
Que se lo dijo el Guardián,
Gran saludador de culpas,
Un fuelle de Satanás.
Y otra mañana a las once,
Víspera de San Millán,
Con chilladores delante
Y envaramiento detrás,
A espaldas vueltas me dieron
El usado centenar,
Que sobre los recibidos
Son ochocientos y más.
Fui de buen aire a caballo,
La espalda de par en par,
Cara como del que prueba
Cosa que le sabe mal;
Inclinada la cabeza
A Monseñor Cardenal;
Que el rebenque sin ser Papa,
Cría por su potestad.
A puras pencas se han vuelto
Cardo mis espaldas ya,
Por eso me hago de pencas
En el decir y el obrar.
Agridulce fue la mano,
Hubo azote garrafal,
El asno era una tortuga,
No se podia menear.
Sólo lo que tenía bueno
Ser mayor que un Dromedal,
Pues me vieron en Sevilla
Los moros de Mostagán.
No hubo en todos los ciento
Azote que echar a mal;
Pero a traición me los dieron:
No ne pueden agraviar.
Porque el pregón se entendiera
Con voz de más claridad,
Trajeron por pregonero
Las Sirenas de la Mar.
Envíanme por diez años
¡Sabe Dios quién los verá!
A que, dándola de palos,
Agravie toda la Mar.
Para batidor del agua
Dicen que me llevarán,
Y a ser de tanta sardina
Sacudidor y batán.
Si tienes honra, la Méndez,
Si me tienes voluntad,
Forzosa ocasión es ésta
En que lo puedes mostrar.
Contribúyeme con algo,
Pues es mi necesidad
Tal, que tomo del verdugo
Los jubones que me da;
Que tiempo vendrá, la Méndez,
Que alegre te alabarás
Que a Escarramán por tu causa
Le añudaron el tragar.
A la Pava del cercado,
A la Chirinos, Guzmán,
A la Zolla y a la Rocha,
A la Luisa y la Cerdán,
A Mama, y a Taita el viejo,
Que en la guarda vuestra están,
Y a toda la gurullada
Mis encomiendas darás.
Fecha en Sevilla, a los ciento
De este mes que corre ya,
El menor de tus Rufianes
Y el mayor de los de acá.
Ay no quieres,
te asusta
la pobreza,

no quieres
ir con zapatos rotos al mercado
y volver con el viejo vestido.
Amor, no amamos,
como quieren los ricos,
la miseria. Nosotros
la extirparemos como diente maligno
que hasta ahora ha mordido el corazón del hombre.
Pero no quiero
que la temas.
Si llega por mi culpa a tu morada,
si la pobreza expulsa
tus zapatos dorados,
que no expulse tu risa que es el pan de mi vida.
Si no puedes pagar el alquiler
sal al trabajo con paso orgulloso,
y piensa, amor, que yo te estoy mirando
y somos juntos la mayor riqueza
que jamás se reunió sobre la tierra.
Victor D López Dec 2019
Tu esposo murió a los 40 años, dejándote sola con siete hijos a mantener,
Pero no antes de que tu hijo mayor más, Juan, muriera ahogado en el mar,
Aun en su adolescencia, trabajando como pescador para ayudarte a ti y a tu esposo
A poner comida en la mesa.

Habías también perdido a una hija,
Toñita, también en su tierna adolescencia, a la enfermedad.
Sus gentiles almas puras encontraron
Su camino de regreso a casa demasiado pronto.

Más tarde en la vida que perderías dos hijos más a la tragedia, Paco (Francisco),
Un, hombre sumamente trabajador, honesto, y bueno cuya inclinación a usar lenguaje ******
Nunca pudieron desmentir una naturaleza apacible y un corazón generoso. Se electrocutó con una
Luz portátil defectuosa mientras trabaja en torno a su piscina.

Y el niño de tus ojos, Sito ( José ), el último en nacer y tu preferido, quien
Había heredado la hermosura física de su padre y también su conciencia social, su política de izquierdas, Su imponente presencia, su ***** de oro, y su mala, mala suerte, terminando su vida tal vez por
Accidente debajo del carril de un tren en movimiento.

Ni la desesperación ni la pobreza pudieron doblar tu espíritu. Tú te levantaste todos los
Días antes de la madrugada para vender el pescado en un puesto en la plaza.
Y cada tarde colocaste una enorme cesta de mimbre en la cabeza y
Caminaste muchos, muchos kilómetros para vender más pescado en otros pueblos.

El dinero era escaso, por lo cual a menudo recibías otros bienes a cambio de tu pescado.
También le dabas tu pescado a quien solo te lo podía pagar con su bendición. Caminabas
De vuelta a casa, a altas horas de la noche, a través de la oscuridad o por
Caminos iluminados por la luna, cargada de lo que te dieran a cambio de tu pescado.

Verduras, huevos, y tal vez un conejo o un pollo llenaban tu cesta de mimbre sobre tu
Fuerte cabeza. Caminabas recta sobre tus piernas repletas de venas varicosas, impulsada
Siempre hacia delante por un propósito noble: alimentar a tus hijos y poder darles
Esperanza de que vendrían tiempos mejores.


Durante la peor época de hambre mediante y después de la Guerra Civil, la chimenea de tu
Casa alquilada con vistas al Puerto de Fontan, expulsó humo ***** todos los días.
El fuego de tu lareira alimentó no sólo a tus hijos, sino también a muchos vecinos aun
Menos afortunados que tú, alimentando su cuerpo y manteniendo en vida la esperanza.

Fuiste criticada por algunos vecinos cuando lo peor había pasado, después de la guerra.
"¿Por qué trabajas tan duro, Remedios, y permites que tus niños pequeños trabajen
Tan jóvenes? Los sacrificas a ellos y a ti misma sin necesidad por un orgullo imbécil
Cuando Franco y la ayuda extranjera otorgan comidas gratis para los necesitados”.

“Mis hijos nunca vivirán de la caridad pública mientras mi espalda lo permita,” era tu
Contestación. Resentiste a tu esposo por poner la política por encima de su familia, y por
Arrastrarte a ti y a tus dos hijas mayores de tu cómoda y sana vida en tu casa, en el
Numero 10 Perry Street cerca del Grenwich Village a una Galicia sin esperanzas.

El optó por inclinar su lanza a molinos de viento por a la eterna gloria de otros hombres
Necios. Y te dejó a ti sola para enfrentar la ingloriosa lucha por la sobrevivencia diaria.
No obstante su corazón enfermo, el trabajó  con gran diligencia para promover un futuro
Justo en su querida España, ignorando la realidad practica de tu doloroso presente.

Te llenó de hijos y construyó con gran cuidado la cruz en la cual lo crucificaron, una
Palabra a la vez, dejándote a ti la dolorosa tarea de recoger los rasgos de su idealismo
Destrozado.  Pero tú sobreviviste y prosperaste sin sacrificar tus propios principios
Sólidos y sin permitir que tus hijos sufrieran más privaciones que las del trabajo duro.

Nunca perdiste tu sentido del humor. Nunca tomaste a nada ni a nadie con gran seriedad.
Enfrentada con la absurdidad de la vida, siempre optaste por reírte con ganas.
Te vi llorar muchas lágrimas de risa, Pero nunca te vi llorar lágrimas de tristeza o de dolor.
Nunca te verías a ti misma como una víctima ni permitiría que otros lo hicieran.

Te encantaba la gente. Tu sentido del humor fue siempre irreverente y repleto de suave Ironía.
Y de gran sabiduría. Te encantaba reírte de ti misma, de otros, y especialmente de
Tontos pomposos que invariablemente no se daban cuanta que eran los objetos de tu gran
Diversión, inconscientes de tu despito, proveído con gentiles palabras y ojos luminosos.

Tus cataratas y miopía hicieron difícil que leyeras, No obstante leías
Vorazmente y te encantaba escribir largas cartas a tus seres queridos
Y amigos. Eras una anciana sabia, la persona más sabia y más fuerte que jamás conoceré.
Eras sabia, si, pero con el corazón de una niña y el alma de un ángel.

Fuiste el ser más sano, más racional, más bien ajustado y humano que jamás he conocido. Eras
Traviesa, pero incapaz de malicia. Fuiste aventurera; nunca tuviste miedo de probar o de aprender algo Nuevo. Fuiste amante de la diversión, interesante, amable, traviesa, divertida e infernalmente inteligente.


Habrías sido una de las primeras adoptadoras de toda la
Tecnología moderna, si hubieras tenido una vida más larga,
Y te hubiera encantado jugar-y trabajar con
Todos mis juguetes electrónicos.

Habrías sido un terror con un procesador de textos, con el correo electrónico
Y con las redes sociales y una gran campeona con mis juegos de video.
Me habrías ganando en todos ellos. Éramos grandes amigos tú y yo,
Y compañeros de juego a lo largo de la mayor parte de mi infancia.

Nos seguiste a nosotros aquí en breve después de que emigramos en 1967, dejando atrás a 20 nietos. Nunca entendí a plenitud la profundidad de ese sacrificio,
O el amor que lo hizo soportable para ti. Lo comprendo ahora. Demasiado tarde.
Es uno de los grandes pesares de mi vida.

Jugamos juegos de mesa, a vaqueros e indios, carreras de coches eléctricos,
Volteamos tarjetas de béisbol y compartimos miles de manos de cartas juntos. Nunca
Se me ocurrió que tú eras el más mínimo inusual de ninguna manera. Te amé profundamente, pero Nunca me moleste mucho por demostrártelo. Eso también me pesa, y es también demasiado tarde.

Después de mudarse a Buenos Aires, cuando mamá se había ganado suficiente dinero
Para llevarte a ti y a los dos hermanos más jóvenes, el sistema de cuotas entonces
No permitía que emigraran también tus dos hijos menores, quienes quedaron
Al buen cuidado de tu hija casada mayor en España, María, y su esposo, Fausto.

Los querías contigo. Te dirigiste directamente a Evita Perón para pedirle ayuda.
Como era de esperar, no pudiste conseguir esquivar a sus porteros. Pero no eras nada si no persistente. Sabías que Evita salía temprano cada mañana para su oficina. Y te
Estacionaste a las 6:00 de la mañana, mediante muchos, días por su camino de salida.

Con el tiempo, Evita le hizo parar a su chofer y te señalo que te acercaras.
"Abuela, ¿por qué me hace señas a mí cada mañana cuando salgo para mi trabajo? "
Ella preguntó. Tu le explicaste acerca de tus hijos en España. Evita se apiadó y
Te escribió un pase en su tarjeta para verte en su oficina al día siguiente.

La fuiste a ver al día siguiente y ella te aseguró que la visa se expediría inminentemente;
Cuando se enteró de que hacías la vida de lavandera y de limpieza,
Ella te ofreció una máquina de coser y entrenamiento para
Convertirte en una costurera con la intención de promoverte una vida mejor.

Tú se lo agradeciste, pero declinaste la oferta. "Dele la máquina de coser a otra madre Necesitada. Mi espalda es fuerte y mis manos me sirven bastante bien, igual que siempre Me sirvieron. “Evita debió haber quedado impresionada, puesto a que te pidió que la Visitaras una vez más cuando los niños hubiesen ya  llegado a Buenos Aires.


Te dio otro pase y tú cumpliste tu palabra, como siempre, de volver a verla con tus niños.
Evita te volvió a ver en su despacho brevemente y compartieron chocolate en taza y Galletas tu, Evita y tus dos hijos menores—Emilio y José (Sito). No eras partidaria de la Política ni del
Peronismo, pero siempre defendiste a Evita mediante tu larga vida.

Te fuiste demasiado pronto. No te había dicho “te quiero” en muchos años, estando
Demasiado ocupado con mis estudios y con otras ocupaciones igualmente inútiles.
Falleciste sin poder volverte a ver. Mamá tuvo que ir a tu lado sola. La última vez que
Te había escrito te envié una foto de mi graduación de abogado.

Según mamá la llevabas en el bolsillo antes de que te diera el ictus cerebral del cual
No hubo recuperación. Como siempre, me quisiste con todas mis faltas que me hacen
Indigno de tu cariño. Yo presentí el momento de tu muerte. Desperté de un profundo
Sueño desperté y vi un pájaro blanco parado encima de mi escritorio al pie de mi cama.

Ese pájaro de tamaño humano extendió unas enormes alas y voló hacia mí,
Traspasándome y dejándome en un fuerte escalofrió. Supe en ese momento que
Habías muerto. Lloré y recé por ti. Mamá llamo el próximo día por la mañana
Para confirmar la triste noticia.

Mamá también me comunicó muchos años después que habías estado en una
Coma por un tiempo pero que habías despertado y que, sin conocerla, le
Habías dicho que viajabas a Nueva York par ver a tu nieto. Luego te dormiste
Por última vez, según mamá.  Te echo de menos todos los días.

Translated by the author from Of Pain and Ecstasy: Collected Poems (C) 2011 Victor D. Lopez (Amazon Kindle and CreateSpace)]
Let us remember today how much
God has loved us all.
And let us remember today
why Jesus Christ was born.

Love He told us in which to abide.
Love the reason He was crucified.

Este dia te recibimos Dios
en nuestro corazon.
Para darnoa vida eterno,
el Padre te mando.

Amor un regalo que uno puede dar.
El vino para nuestros pegados pagar.

Love, the greatest gift that one could give.
Love, is how we all were made to live.

Today love was born in Bethlehem
let us all come celebrate!

Our Savior and Lord of all The Christ,
Our New Born King!

Love each other is what we must do.
Love why Jesus came and died for you.

Let us remember today how much
God has loved us.
And let us remember today,
why Jesus Christ was born.


Milton L. Delgado
This is what Christmas is only about...everything else, in my opinion, is *******!
En un viejo país ineficiente,
algo así como España entre dos guerras
civiles, en un pueblo junto al mar,
poseer una casa y poca hacienda
y memoria ninguna. No leer,
no sufrir, no escribir, no pagar cuentas,
y vivir como un noble arruinado
entre las ruinas de mi inteligencia.
Brando Dec 2018
Para las flores
Para las ropas
El collar
Y el anillo
Todos los regalos que me traerías
No significaba una maldita cosa
Por los besos
Por los abrazos
Los paseos en coche
Y las cenas que compartiríamos
Todo vino con un precio
Que tendría que pagar
Ahora que hemos terminado
Me quedo con todo
Todos los recuerdos
Toda la basura
Y no quiero nada de eso
Nuestro tiempo puede haber sido corto
Pero no fuimos hechos para durar
Así que, gracias por nada puta
Por favor, toma todo de vuelta


For the roses
For the clothes
The necklace
And the ring
All the presents you would bring me
Didn’t mean a ******* thing
For the kisses
For the hugs
The car rides
And the dinners we would share
All came with a price
That I would have to pay
Now that we are through
I am left with it all
All the memories
All the junk
And I don’t want any of it
Our time may have been short
But we weren't made to last
So, thanks for nothing *****
Please take it all back
im currently wearing a shirt that says "gracias for nada" so there is my inspo
Muitas são as cabeças que se agilizam em governar Portugal. Sim cabeças de políticos, que bem, ou mal formados nos encaminham no fracasso.
Aquilo que é de todos e contributo de todos deveria ser nosso. Falo do Sistema Nacional de Saúde em primeiro, para o qual todos contribuímos e onde muitos dos que lá trabalham, optam por de uma necessidade populacional fazer uma fonte de rendimento. A seguir e porque também a mim me toca, justiça. Como pode ser possível que a justiça, solene e a segunda coisa mais importante da Constituição, esteja hoje nas mãos da comunicação social que diariamente condena e absolve tanta gente, cometendo diariamente vários crimes de devassa e nada lhes acontece.
Infraestruturas de Portugal, redes viárias construídas com o dinheiro de todos nós e muitas delas exploradas por particulares.  
TAP, EDP, PT, Correios de Portugal, águas  e outras instituições privatizadas que hoje só esvaziam os nossos bolsos.
Em tempos Portugal era mais que um retângulo ao largo da península ibérica, era o Brasil, Angola, Moçambique, Guiné, Timor, Macau e muito mais ainda foi derretido nas mãos de quem as teve.
Cá dentro, apesar de pequenos hoje, Portugueses julgam-se os que vivem em cidades grandes e o interior cada vez mais é esquecidos e despovoado, onde os Portugueses que lá vivem apenas servem para pagar impostos, e no resto cada vez mais esquecidos, até o direito há saúde tem horário para se estar doente.
Caros senhores do poder, se querem que o interior do país não seja habitado mas sim esquecido, entreguem aos espanhóis o que lhes foi tirado tal como fizeram quando entregaram Macau há China, talvez assim as pessoas que lá vivem consigam sentir-se como pertencendo a um país .
Chega de arruinar a vida de quem trabalha e vangloriarem-se com a epidemia de gente que quer morrer, com a pandeleiragem e a prostituição humana que nos assola diariamente por nossas casas a dentro e nos chegam pela TV desde manhã cedo. Basta de maus costumes e má gente.
António Benigno
Codigo Activista 2018.06.04.01.06.2050
Gil Cardoso Feb 2019
Fogo que arde por dentro
Tudo consome
Até deixar vazio

Uma eterna fome
Um imparavel rio

Árvores que crescem por amor
Ramos partidos em dor

Voltam a crescer
Frágeis e retorcidos
Interiores corrupidos
É o preço de viver
A consequência dos conhecimentos adquiridos

Até quando crescem?
Quando vão parar?
Será que não percebem
Que há um preço a pagar?

“Senão crescemos
Diz-me que fazemos,
Morremos?”

“Deixamos um eterno vazio?
Perdemos a esperança?
Secamos o rio?
Abandonamos a lembraça?
Aceitamos o frio?
Interrompemos a dança?”

Eu só quero paz
Não felicidade
Porque não interessa se tentas e dás
A vida aproveita toda oportunidade

Ela é ingrata
E para mim já marcou uma data
Escrito 17/02/2018
Mariana Seabra Mar 2022
Ó vida!

Que de ti se apagou a luz

Da escrita criativa.



Não foi de ti, vida,

Foi de mim.



Foi de mim que se extinguiu!

E a mim que ela levou,

                Depois que me partiu…

Como se me levasse a vida!

Toda!

            a que existia.



E como é criativa,

A musa que me inspira à escrita!

Foi de mim;

Levou-me a vida;

                              Mas conseguiu deixar-me viva.



“Tem tanto de triste

Como de cruel:

Ser peso morto que respira.”



Escrevi isso em algum papel…

Que logo depois perdi,

Ou se molhou,

Ou o esqueci,

Em algum lugar

Ao qual não pretendo voltar.



Mais tarde, estava de frente com o Mar

Quando dei por mim a chorar…



Em algum momento pensei:

“Talvez a dor da sua partida

Seja outra faísca perdida no ar

À qual me vou agarrar,

E sentir entre os dedos

Antes de a transformar  

Em algo mais.”



O “algo mais” que me referia,

Creio que seja esta desordenada poesia.



É o sangue quente, frio, vermelho, azul, é rio, és fogo,

Sou maresia, és eu, sou tu, somos nós, é o mundo,

É a fantasia, é a verdade disfarçada de ironia,

É dor, é amor, é tudo o que caiba num poema,

É tudo o que faça encher; se possível, transbordar!



Foram tantos!  

Os que me imploraram para os escrever.

Era eu que ia buscar a inspiração;

Ou era ela que me vinha socorrer?!



No frenesim da escrita maldita

Ficou outra questão por responder.



A caneta tornou-se um órgão essencial

Que não pedi para transplantarem cá dentro;

Sentia a sua forte presença nos momentos de maior alento;

Era a ponte que eu percorria, entre o sentir e o saber;

Assisti enquanto se estendia; dobrava! mas nunca partia;

Até encontrar na página branca uma saída

Para poder florescer; e florescia!

Nascia uma folha que era tecida; com uma teia tão fina que ninguém via;

Só brilhava quando a luz lhe batia; resplandecia!

Quando existia uma ligação direta entre mim e a magia;

De estar na beira do precipício entre a morte e a armadilha;

A que escolhem chamar de vida.



Ah! Musa criativa…

A única que me inspira à escrita!

Sei que um dia te irei reler,

Mas só quando estiver pronta para te entender.



Prometo que vou fazer por o merecer!



Talvez quando esta agonia paradoxal

De ser

Tão humana e sentimental

De ter

De amar à distância  

Uma humana tão excecional

Fizer sentido;  

                        Ou então desaparecer!



Foi um “adeus” que nem te cheguei a dizer…



Nem vou tentar romancear

Toda a angústia que vivi; contida

Numa simples despedida.  



Foi como se dissesse adeus à vida!



Pois nem toda a tinta

Alguma vez já vertida

Serviu para camuflar o *****

Que saiu da minha espinha

Quando a adaga me acertou.



Até hoje, nem eu sei como me atingiu!

Se fui eu que não a vi,

Ou se fui eu quem a espetou?!



Mas era *****, muito *****,

Tudo o que de mim sangrou;

Quando descobri,

Num mero dia, num inferno acaso,

Que no final das contas

A única que eu tanto amava

Se tinha entregue a um alguém tão raso.



Tapei os olhos com terra suja!...

Tal como decidiu fazer a minha musa.



“O pior cego é o que não quer ver!”

Prefere fechar os olhos porque abri-los é sofrer!



Induzi-me à cegueira;

Amnésia propositada;

Alma bem trancada;

Tudo para a tentar esquecer.



Tudo para lhe pagar na mesma moeda!



Então, claramente, o desfecho da narrativa só poderia ser:

De olhos bem fechados se deu a queda…



Foi assim que aprendi:

A vingança tal como o ódio,

É veneno para quem a traz!



Parei…

Dei um, dois, três, quatro, cinco mil passos atrás.

Relaxei…

Segui em frente.

                                         Lá ia eu  

                                                        com a corrente…



Inspirei amor e paz.



E foi assim que os abri,

Com uma chapada de água fria.



Não posso dizer que não a mereci.



Foi à chuva, nua, de frente com a verdade pura e crua,  

que descobri do que era capaz; e quando soltei ar de novo,  

expeli branco, afastou-se um corvo, brilhou o sol com a lua atrás, e:



Ahhhhh! Lá estava ela, exatamente ali!



Onde sempre tinha estado.

No lugar que lhe era reservado,

Onde estava eu também.



Olhamo-nos;

Com um olhar triste; influenciado

Por restos de terra suja

Que ainda não se tinham descolado.



                                                             Quase não aguentei;

                               Contrariei

                              A vontade de fugir;

                                                               ­                                                                 ­      
                                                                ­      E sorri-lhe…



Já fui um ser não tão humano,

Que até para amar estava cansado!

Preso por correntes de ilusões;

Ego;

Egoísmo;

E muito mais do que considero errado.



Como tudo na História

Isso pertence apenas ao passado.



Ah! Musa criativa…

A única que me inspira à escrita!

Ela, melhor que ninguém, o deveria saber;

Que me tornei um ninguém melhor,

Só por a conhecer.



Fiquei mais ardida

Que a Roma Antiga!

Quando aquela louca,

Tal musa criativa,

Me pegou na mão

E fez-me a vida colorida.



(Despertou-me fogo no coração!)



Alastrem-se cores de cinza!

Espalhem-se! Que os vamos fazer ver:

Mesmos os templos em ruína

São possíveis de reerguer.
MÁFV Jan 2019
Mi recuerdo de varias lunas, de varios ayeres
Donde las aulas eran cunas y los maestros las mujeres
Promesas de vida que presumían permanencia, la vida en ciencia
Obstinadamente forjado, añicos hice creencia tras vivencia

Aquellos años donde la vida era sencilla y sin penas a pagar
Crecer fue caminar en la orilla, cenas con agua de mar
Incongruentes lecciones, incoherentes pensamientos
En cuantas secciones fallar, inherentes lamentos

Me busco para al fin nacer y darme definición
Mi plena consciencia puesta en este mundo
Tuve que creer y luego no, esa fue la elección
No quiero ser guiado más, ni un segundo
No terminado
dead0phelia Aug 2023
desde os 12 elizabeth bishop me ensinou que tudo bem perder as coisas
ter que fazer o movimento contrário
do meu corpo
da minha cabeça
e dos meus pés
dói muito
entao quanto antes eu te deixar ir melhor
melhor pra que as pessoas nesse plano espiritual possam pagar seus pecados e libertar suas gerações
melhor pra que eu possa me esconder nos dias
melhor pra que eu preste atenção na cor da água da torneira
"eu queria ser corriqueira" disse pra vânia aquela tarde que passei no brechó
"mas como assim menina" menos coerente, mais passageira, desabitada
mas a verdade é que eu fico
com muita força
e eu sempre fico tempo demais
e preencho muito espaço assim como sou muito preenchida por tudo
por que diabos não escolhi voltar nessa vida como cabides?
la forma en la cual te decapitan
es normalizada igual que el esplendor
del sol, a cual le llaman cosa cotidiana

la forman en la cual callas sin saberlo
es naranja siendo pelada
mas no la muerdes la regalas

la forma en la cual una pandemia te desboca
es dentista jalando muela
y despues hasta le tenes que pagar

la formal la cual la estacion apgujeong no te facina
es la misma forma por la cual hollywood y vine tampoco

trabajadores en rumbo hacia todas direcciones para
no morrir de hambre
Valeria Chauvel May 2020
Vamos humano piensa y crea
Trabaja y trabaja
No pares y sigue ¡sigue!
El tiempo pasa y pasa
Ahora esto y lo otro
Y por aquí y por allá
Tienes que terminar
Todo ya ya ya ya y ya.

No voltees humano
cógelo y quémalo
Que no existes.
Y si lo escribes de nuevo
vuélvelo a quemar.
Y sigue trabajando
Y sigue trabajando
Tu eres mío humano
A trabajar, a trabajar.
Que tienes hambre
Y yo te voy a pagar.
Ja já

— The End —