Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Aug 2015
Aku berdosa,
Telingaku bunuh diri.

Sudah baru-baru ini
Aku sepenuhnya tuli
Aku tak tahu lagi  

Apa kata dedaunan
Pada tanah yang terantuk lemas dibawah
Atau ceracau yang diteriakkan
Bunga keparat
Untuk mayat dingin si kumbang.

Bahkan di restoran tua
Yang setiap sela kayunya berdarah dingin,
Tempat rintihan musik bisumu selalu dialunayunkan
Semuanya hanya tertawa hening
lalu mati begitu saja.

Dan meskipun duduk menghadapmu
Aku masih tak dapat mendengar
Suara mengaji jam setengah mati
Yang kerap menceritakan
Dongeng gelap kita
Dari lampau sampai me—
La lala la la
      lala la lala
La la la la la lala
           La la la lalala la la
La
—Lampaui
Pemakaman hati yang mati dipancung
Di pekarangan rumah tiap senja gulana

Yah, baru-baru ini aku tuli
Bisu lagi,
Mampunya cuma mengumpat dalam tulis.

Dan dihadapkan denganmu,
Sesekali dalam terkadang
Aku anehnya dapat mendengar
Serintikan isak tangis yang
Sama sekali tidak kita cucurkan

Lalu ini semua salah siapa,
Kalau aku baru tuli
Lalu kamu sudah bisu?
Apa memang ini dosaku?
Di palangnya tertulis;
Nama: Siapapun yang menangis

Di sela-sela pengakuan dosa
Kematian telinga gila
Dan kelumpuhan bibir hambar
Kita tiba-tiba melongo,

Tuhan tertawa
Sabar lagi bahagia,
Mengisyaratkan untuk
Sudah, ya,
Simpul mati saja senyum satu sama lain.
Writing in my mother tongue once in a while
senjakala May 2019
Di saat aku tak mengharapkan kehadiranmu, kamu datang dengan wajah sendu, seakan mengungkapkan rindu, mengisyaratkan tak ingin melepasku.
Apa-apaan kamu ini—berulang kali jadikan aku Yang Tersisih; tak pernah malu membuat aku ragu.

Biasanya, aku yang bertanya kepada diriku sendiri;
Apakah aku, yang harus selalu memperjuangkan dirinya?
Apakah aku, yang harus selalu menjadikannya nomor satu?
Apakah aku, yang harus selalu menghujaninya dengan kasih sayang?

Apakah aku, yang harus selalu memberikannya perhatian?
Apakah aku, yang harus selalu mewujudkan impiannya?
Apakah aku, yang harus selalu memanjakannya dengan cinta?
Apakah aku, yang harus selalu jatuh dan merindu?

Apakah aku, yang harus selalu—
... dan segala pertanyaan lainnya masih kusimpan dalam hati.
Kita sudahi sampai di sini, karena sebentar lagi, tangis tak mampu berhenti.
Kita akhiri sampai di sini, sebab aku tak ingin dia lagi.

Aku bertahan, dengan senyuman.
Kubiarkan dia bepergian, tanpa tahu arah pulang.
Kubiarkan dia terjaga, tanpa tahu aku menunggunya pulang.
Kubiarkan dia berkelana, tanpa tahu aku menahan kerinduan.

Kubiarkan dia ...
... pergi.

Di saat aku sudah berhenti—menutup hati, berjuang pergi, berjanji tak akan kembali—kamu datang tanpa permisi, membuat hatiku lagi-lagi perih; pertanda aku masih di sini, setia menanti.

Jangan tertawa, aku tak sedang bercanda.

Bagaimana, jika kita ubah sudut pandang kamu menjadi aku?
Bagaimana, jika kamu berada di posisi aku?
Bagaimana, jika kamu menjadi aku, yang senantiasa menjaga rindu, menantikan kehadiranmu, tanpa tahu, di mana kamu?

Bagaimana?

Di saat kamu membutuhkanku, maka cari aku, meski kamu harus tahu, aku mungkin saja tak sedang menantikan kehadiranmu.
Di saat kamu menginginkanku, maka kejar aku, meski kamu harus tahu, aku bisa saja sudah tak lagi menginginkanmu.

Jangan mengira, aku akan selamanya setia, menunggumu berubah rasa di setiap langkah.
Jangan menduga, aku akan selalu ada, setiap kamu membutuhkan aku ada di sisimu selamanya.
Jangan membual, karena aku tak lagi kenal dirimu dalam khayal.

Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menanyakan kabarmu, meski kamu menjawab hanya di saat kamu membutuhkanku.
Saat menjadi aku, jangan lupakan kebiasaanku menjadi pendengar, meski kamu tak sadar, aku memperlihatkan tatapan nanar saat melihatmu liar.

Ingatlah satu hal, aku tak akan mencarimu dan berdiri di sampingmu lagi, sebab aku tahu, kamu hanya berlari menemuiku saat kamu kesepian mereka tak ada untukmu.
Ingatlah lagi, aku tak akan menjadikanmu pemilih, karena kali ini aku yang akan memilih.
NURUL AMALIA Aug 2017
Hujan lebat telah turun
Berganti matahari yang cerah terbit
Sekarang biru
Aku sendiri berjalan di tangga pelangi
Lalu awan putih menjemputku
Aku hanya duduk manis di atasnya
Merasakan angin yang berbisik lembut ditelingaku
Mengisyaratkan dan mencoba meyakinkanku, untuk jangan takut
Sementara burung bernyanyi riang
Menemaniku untuk berjalan-jalan
Aku baru saja tiba di depan sebuah istana
Penuh bunga bunga yang mekar
Dan menyambutku
Lalu aku ingin tinggal di sana
Jika aku bisa..
Penunggang badai Mar 2021
Mengambil bentuk paling bahagia dari bias sore yang sayup melantunkan nada-nada melankoli, perihal perpisahan.

Tersapu wajah oleh angin laut, biru terbakar di ujung cakrawala, sepasang mata menatap dalam baskara—mengisyaratkan, "saatnya pulang dengan lapang".
Diksimerindu Jul 2019
Mendegar mereka diantara dua ucapan
Tersebar panjang sebuah harapan
Seperti getaran tanpa celah
Membiarkan hilang dalam naungan

Pada halaman konstelasi
Mereka mengisyaratkan
Gerak gerik sebuah keinginan
Dipenuhi kecemasan
Dan cerita belum terbaca

Mereka membisik
Terdengar samar
Menunjukan cara untuk hidup
Menunjukan aku ada tanpa tujuan
Kepada si pendengar
Si pendengar kisah dua dunia
To someone who is confused looking for solutions to all the stories he/she hears

— The End —