Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Jun 2012
Kau ini siapa?
Aku berbicara seakan sangat mengenalmu
Menyebut namamu penuh kerinduan,
seakan dua sahabat yang sudah lama tak bertemu

Aku serius bertanya, Kau ini siapa?
Menceritakanmu ke teman-teman ku di sekolah,
seakan kau ini seseorang yang ku kenal di dekat rumah

Aku sekali lagi bertanya, Kau ini siapa?
Tahukah kamu aku mencintaimu tidak sengaja,
mengenalmu memandangmu hanya dari kata-kata

Kau ini terbuat dari apa?
Mencintaimu sungguh menyakitkan
Ingin rasanya aku mati saja
Terkubur bersama rasa ini
Rasa sakit yang entah mengapa,
sakit karena mencintaimu terlalu dalam
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
Aridea P Jun 2012
Palembang, 9 Juni 2012

Kau kira aku ini apa?
Seenaknya menampar bayanganku
Mengoceh seakan aku tak pantas

Kau pikir aku ini siapa?
Manusia konyol yang sama sepertimu?
Bukan, aku ini hanya fans mu

Kau pikir aku seperti apa?
Seenaknya membaca pikiranku
Menulis kata yang kau kira tak bisa ku baca

Kau ini abstrak!
Berwujud tapi tak nyata
Ku mengenalmu bukan di dunia nyata

Kau bilang apa?
Ini hanya mimpi?
Tapi kau benar-benar ada
Hanya saja tak ada di sini

Aku ini apa?
Mencintaimu saja aku tak boleh
Tak berharap apapun tak boleh

Aku ini aku
Kamu itu kamu
Kita tak mungkin bersatu

Aku ini aku
Aku bukan kamu
Aku akan melupakanmu
Elle Sang Jan 2016
Hai...
Kau mungkin tak akan tahu siapa aku
Dan sejujurnya aku tak akan mengenalmu
Namun kau dan aku memiliki suatu kesamaan
Ia yang kau perjuangkan, yang kau sayangi hingga hatimu sakit
Dulu pernah menjalani hari demi hari bersamaku
Ia juga pernah ku perjuangkan hingga raga ini tak mampu lagi
Ia yang selalu ku sayangi hingga hati ini tak merasa sakitnya

Aku hanya ingin menitipkan sebuah pesan untukmu
Sebuah pesan kecil yang bisa saja kau abaikan jika kau mau
Jangan pernah merasa lelah untuk memperjuangkannya
Jangan berhenti menyayanginya walau mungkin ia menyakitimu secara tak sadar
Karena jika aku masih mampu dan ia masih membuka hatinya
Aku pun tak akan berhenti melakukan kedua hal tersebut
Apa yang bisa ku lakukan sekarang adalah menyisipkan namanya disela doa-doaku agar ia bahagia dengan hidupnya
Dan agar kau tetap terus menjaganya sebagaimana aku akan menjaganya
Dayle Kehl Dec 2014
Sahabat..
orang yang selalu ada disaatku bahagia
maupun didalam kepiluan
Orang yang selalu membuatku kesal tapi aku tak menyesal mengenalmu
Orang yang tak pernah lelah mendengarkan ribuan ceritaku yang sama

Kini saatnya aku pergi sementara
Membawa kenangan yang tak lekang oleh waktu
Sahabat Jalan..
NURUL AMALIA Aug 2017
Lupakan luka itu
Memori usang telah berubah menjadi debu
Aku memang pernah merasa kecewa
Semesta bahkan tahu
Tapu Sadarilah bahwa ada sesuatu yang hilang
Sekarang aku jatuh ke dalam perasaan abstrak
Aku tak tahu kemana takdir akan membawaku
Sampai akhirnya kamu mendekat
Aku tak bisa menjadi kekasihmu
Jujur pada diri sendiripun aku tidak mudah
Karena aku terlalu sibuk,
Sibuk untuk pura pura tidak mengenalmu
Mencoba terus mengabaikanmu
Sebenarnya kali ini aku tidak bisa mengenali diriku sendiri
Tapi aku tidak butuh bantuanmu
Aku memilih untuk terjebak dalam kegelapan, di tempat persembunyianku
Menyembunyikan perasaan rahasiaku Aku sama kuatnya dengan egoku
Aku memang pengecut, aku cukup tahu itu
Aku tak tahu sampai sekarang atau nanti
Sampai sekarang atau nanti
Ann P Jul 2019
Hallo kamu, ini aku
Aku yang sudah lama mengenalmu, walau kamu belum mengenalku
Aku yang sudah lama mendukungmu, walau kamu belum jumpa dengan ku
Aku adalah seseorang
yang selalu tertawa dan tersenyum karenamu
Walau kamu
bukan tertawa dan tersenyum karenaku
Tetapi aku selalu ada
Bersorai untuk kamu
Jika suatu hari keberuntungan mulai berpihak pada ku
Kamu akan tahu siapa aku
dan aku tahu
kamu akan berkata
Hallo kamu, ini aku
dan aku pun akan menjadi kamu
Mousamous Aug 2017
Pasal I; tentang mengikhlaskan dan melepaskan.

- kau harus tau, bahwa dirimu yang telah kulepaskan dengan ikhlas, adalah dirimu yang sekarang. bukan dirimu dahulu, ketika ku pertama mengenalmu.

-kau harus tau, bahwa melepasmu bukan tentang rasa yang kian hari berubah, namun, melepasmu adalah jalan terbaik setelah mengikhlaskan dirimu berbahagia dengannya.

-sekali lagi, kau juga harus tau, bahwa melepas dirimu bukan berarti berlepas diri dari segala luka, namun aku paham, bahwa segala sesuatu yang terpaksa dan dipaksakan, justru semakin memperdalam luka. semoga mengikhlaskanmu tak sesulit melepasmu.

-perlu diingat, sebagai penegasan bahwa melepasmu bukan karna egoku semata, bisa kau temukan, semua proses melepaskan dan mengikhlaskanmu adalah demi kebahagiaanmu semata, karena dengan bersamanya (semoga) kau bisa benarbenar berbahagia, dan kuharap, diriku ikut andil sebagai pembawa bahagia bagimu.

prdks.
ps: terima kasih karena pernah mengikhlaskanku berada disampingmu.
stephanie Jul 2020
(Disclaimer: gue udh lama ga nulis jadi maaf ya kalo aneh he he he)

6 tahun. Itulah lama kita berteman.


Umurmu 14 tahun ketika kamu menyapaku dan mengajak berkenalan di ruang kelas 8B. Namamu bagus, Thevin. Tapi entah mengapa orang disekitarmu memanggilmu Ncek. Akupun mulai mengenalmu sebagai Ncek, teman pertamaku di kelas itu. Entah apa yang membuat kita menjadi akrab; aku yang sering memintamu untuk menemaniku berjalan ke Citraland sampai kamu jatuh sakit, atau kamu yang sukarela mengambil novelku yang dibuang ke tempat sampah oleh Pak Eko.

Umurmu 16 tahun ketika kita kembali berteman. Diujung masa SMP (dengan bodohnya) kita bertaruh untuk tidak berbicara lagi setelah lulus. Namun lewat Aji, kita memutuskan untuk berteman lagi, bahkan jauh lebih dekat dari sebelumnya. Kamu melindungiku dari patah hati dan aku mendengar kisahmu mengenai hatimu yang patah.

Umurmu 19 tahun ketika persahabatan kita terasa retak. Aku yang terlalu rapuh dan kamu yang menjaga aku dan dia secara bersamaan membuat semuanya semakin mustahil. Sahabatku menjadi sahabatnya; hal itu terngiang-ngiang didalam kepala. Aku memutuskan untuk menjadikanmu musuhku, orang yang sepihak dengannya. Padahal kamu hanya ingin menjadi sahabat yang baik bagi kami berdua.

Sekarang, umurmu 20 tahun. Kamu bukanlah orang yang sama seperti Thevin yang mengajakku berkenalan 6 tahun yang lalu, namun rasanya kamu masih familiar. Kamu terasa seperti kota Jakarta yang terus berubah namun aku tau aku akan selalu pulang ke rumah.

Dirgahayu Thevin. Selamat datang di masa dewasa.

Dimana kamu akan tertawa lebih keras bersama teman-temanmu. Bercerita lebih banyak kepada ibumu. Berusaha lebih sabar menjaga kedua adikmu. Berbicara lebih dalam bersama ayahmu. Menangis lebih banyak karena masalah yang menimpa. Memaafkan diri lebih dari menyalahkan diri.

Semoga tahun ini seorang Thevin dapat lebih mengenal dirinya sendiri!

— The End —