Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
coffeesign Jun 2013
Aku lari ke hutan, kemudian menyanyiku
Aku lari ke pantai, kemudian teriakku
Sepi… Sepi dan sendiri aku benci.
Aku ingin bingar. Aku mau di pasar.

Bosan aku dengan penat,
dan enyah saja kau, pekat!
Seperti berjelaga jika aku sendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh

Ahh.. ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang
di tembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya?
Biar terderah,
atau… aku harus lari ke hutan belok ke pantai?
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Mungkin suamimu tak pandai berkata apalagi merayu dengan romantisme karya sastra...
Tapi mungkin dengan cara itulah Allah menjaga lisannya...
Menjauhkannya dari fitnah dunia yang tak halal baginya...

Mungkin suamimu tak pandai berkata..
Tapi heningnya menahan kita banyak bicara..
Memutus rantai kalimat sanggahan yang lahirkan perkara..
Sehingga keseimbangan suasana lebih terjaga..

Andai saja Allah ciptakan sebaliknya, mungkin rumahmu bagai arena tarung laga
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu tak berparas mempesona
Apalagi secantik selebritis di warta berita..
Tapi mungkin lisannya selalu berucap kata mutiara yang terpancar dari jiwa yang terjaga...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin hatimu tak tenang saat jauh darinya
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin suamimu bukanlah saudagar kaya yang membawa pulang limpahan laba hasil usaha...
Namun meskipun besarannya begitu sederhana...
Mungkin ia selalu menjaga kehalalan apa yang dibawa..

Mungkin suamimu bukanlah pejabat yang bertahta, yang dihormati dan dipuja bawahannya
Tapi mungkin dibalik kedudukannya yang biasa, ia mampu menjadi imam bagi keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya,
Mungkin belum tentu ia miliki derajat takwa
Ah..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa yang masakannya selezat pujasera...
Tapi mungkin ia pandai mendidik buah hatinya, memahat pribadi yang berkarater mulia.

Mungkin istrimu bukanlah koki istimewa,
Yang terkadang masakannya itu-itu saja
Tapi mungkin ia pandai mengatur alokasi harta, sehingga pemberianmu tak terhambur percuma

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin kecintaanmu akan terlalu berlebih padanya...
Melebihi cintamu pada Allah sang pemberi karunia..
Ah.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat kau melakukan semuanya
Tapi mungkin ia sabar membantumu... meringankan pekerjaan rumah tangga..
Sehingga semua terlaksana dengan kerja sama..

Mungkin suamimu tak pandai terlibat merawat anaknya...
Sehingga terlihat minim perannya dalam keluarga...
Tapi mungkin ia sangat keras bekerja
Sehingga nafkah telah cukup terpenuhi lewat dirinya...

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin banyak para gadis menanti dipinang menjadi yang kedua
Jika suamimu terlalu sempurna...
Aaa.... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Tak mampu menyulap rumah menjadi rapi tertata...
Tapi mungkin ia begitu cerdas menguasai matematika...
Sehingga anak yang cerdas dalam eksakta terlahir dari rahimnya karena genetika...

Mungkin istrimu tak mahir dalam mengurus rumah tangga..
Menambah sedikit tugasmu dalam membantunya bekerja..
Tapi mungkin ia begitu taat dalam beragama..
Membimbing anak-anak dalam kerangka syariat agama...
Sehingga meringankan kewajibanmu dalam membimbing keluarga

Andai saja Allah menciptakan sebaliknya
Mungkin engkau merasa tugasmu telah tertunai sempurna..
Cukup sekedar menyempurnakan nafkah keluarga
Aaa..... itulah mengapa Allah menikahkanmu dengannya

Percayalah......
Selalu ada kebaikan dalam setiap ketetapan Allah Sang Sutradara
Maka temukanlah sebanyak-banyaknya rahasia dibaliknya..
Agar engkau mengerti mengapa Allah menikahkanmu dengannya...

Jikalau engkau masih sulit menemukan jawabannya...
Gantilah kaca matamu dengan kacamata syukur atas segala karunia...

Adalah hakmu jika engkau berharap Khadijahmu menjadi lebih sempurna...
Asalkan kau siap membimbingnya dengan menjadi Muhammad baginya.

‪#‎RZMuhasabah‬

Suka · Komentari · Bagikan
1017

Gusto kong bihisan ang bawat tugmang binibitiwan mo
Na para bang ayokong manatili ang mga ito
bilang mga sugnay na makapag-iisa
At magiging isang abstrak sa pagitan ng Ikaw at Ako.

Kung isusuma ko ang bawat pangambang parehas nating tinalo'y
Baka nga matagpuan ko ang katuturan sa sinasabi nilang Tayo
Pero sa aking paghihimay
Para bang ang Tayo ay isang katapusan na lamang
Na hindi na kailangang bigyan pa ng kahulugan
At tuklasin ang panibagong simula.

Sa aking paghahabi ng bawat salaysay
Na mismong binitiwan natin nang magkahiwalay,
Natuto na rin akong iahon ang sarili
At hindi na muling magpakamatay --
Magpakamatay ng mga pangarap na isinantabi
Sa sabi mo noong
Ika'y tunay na makapaghihintay.

Ang pag-urong ko sa laba'y hindi literal na pagsuko
Hindi ako sumuko sa laban
Na para bang tumatakbo nang nakapiring
At walang kamalay-malay sa kung saanman ang direksyon.

Umurong ako bilang distansya sa ating dalawa
At piniling sumuong sa umagang mag-isa --
Mag-isa at wala ka na
Wala ka na,
Naglaho ka na ngang talaga.
Para sayo pala
Baka sakali,
Baka sakaling marinig mo.
Klauss Ritkke collector leaves and representative of Beggars, with their 76 autumn and semi-dead body of downstroke of insect. I used to walk through its narrow streets serenades as liquid pearls, as clusters of dreams omnipotent ogres and fetishes; owners of old Avignon, iridescent moist soil marshes bringing minerals liquids Gotthard massif, ancient drains into the Rhone. Owner dreams and curses weak burst administrators of the house of God.

         August 4 in the year of our Lord 1617, when it was asset Klauss cleaning the largest stained glass, heard heated dialogues between Fraile and Gentleman, who was in another time assistant clergy? You could approach Klauss and listen more clearly their conversation, until the Friar Andrew, stammering, Raymond Bragasse demanded indulgence, or one or the other.

Fray Andrés : How many times hopefully I struggled to reform you ... Raymond!
  
'O virga ac diadema diabolus thirst ...!!
  'Oh ****** the Devil smiled ...!!

Raymond  : It is to live more question if I failed something, take me to the sulfurous emanations from Averno. But my faith lies mildewed on the seabed, sacred myth ... my truth, and my beloved Marielle ... Meanwhile,

Klauss envisaged to play the window and looked her tongue to pray for them. Fray Andrés, paced back and forth wondering what to do...?
Raymond  : There are fifteen thousand demons possessing my body ... fifteen thousand demons to attack the sacred mystery of the Holy Rosary ...!                

Fray andrés : Oh great cause ... How I have to ****** your soul whose darkness of flashed light ...!?

Raymond  : Marielle was my light, my Eve Edenic, admirable land. Now, it's my I spell, my blindness or my constant bleed sharp, not knowing where to elapse...?

         ...To a memory that night, that dismal night, giving up my final vows of faith and consecration of my soul. I broke my bonds and ecclesiastical chores all by Marielle noble descendant of the Quentinnais.

            Never believe such grief in my fate I do love her, but his misfortune was to meet me. That night when I went to the edge of her house, I walked through the kitchen window. Everyone was asleep, except the albi-blue reflection of the last gasps of the deadly round of Quentinnais Mansion. I thought rescue and salvage something from those cheeks kissed by me, but their heart wiping her heart and lungs.
     It is possible to recall the last roses I took her hands.   Danced with her, next to the old hymn and lamentation of prestidigitations made by the monk, played alongside cartomancy having abolished the minute of darkness take her with her beautiful bare feet. What a pain, I could not rescue her, and snatched me death! His parents hated the mere fact of having their priest ruled by a wicked heart, so I turned to the pagans and dark gods to heal Marielle, and his heart transplant it for mine.
              
Since that day, I'm still burning in hell polisatanic to take little breath of kindness and seize transparent liquid plaguing their existence and serene Diadem metal to learn that his friend possessed by the devil fall into any infection endemic evil ...; endemic of his love, crossed himself when he saw that turned into a horrible one.

Humble as leaves in the garden became the Bible leaves torn from the bound fillings. Saints lepers shriveled down her columns. Heaven proclaimed hemorrhages and wind festering stinking gases, which in the sky sprouted in clusters clots on the Papal Household.

          Fray Andrew threw the rosary on the neck of the possessed, and asked the Demons who feared more ...?. A question answered this question Demons, which fell shrieking vertical down the aisle ... and.... fell, rose!

              
       Klauss fell to the ground in horror, and the demons not to respond, fell into tears and regret shaped so plaintive and poignant, many dark beings holed up in fixtures and embankments, they began to mourn moved by natural compassion ... and saying pained voice by the mouth of the possessed...:

...Andrés, Andrew ... ... have mercy on us!
              
Meanwhile, Klauss ran away screaming the place ... could be heard in the distance ... Marielle ... have mercy on us!

         Sparkling lights fell on the dome, covered with orange and creamy luzbels horror. Apertures fulminations betrayed contained emancipate the shackled muses leaping vacuum; discouraging reddening chinks bad ..., saturating every form, every place, and every interlocutory benign breeze.
Most animals vomited on the walls; carbonated some ****** walls and curdling the soul of the people. Other remains of vomiting sulphurous radiated papal house, initialing the firing squad diabolical image of Raymond and Fray Andrés; they are swallowed by the Cancerbero. So flayed bats were issued by the campanile, mistaking the red sunset in penitence with blood dripping thick alleged by the Buttress and reach a churchyard to embryo.
            
Got home, tightly closed the latch, feeling strangely his wife Danianne; which saw his face isolation. Then he went to his bedroom and closed the curtains, warning yellow lights in progressive outlook towards a corner of the mirror. Then he lay down on the bed and prayed for himself and others ... "Today, when I walked by my office and my prayer my clothes pilgrim incense drove away my voice ... as if Fray Andrés, still whispering my ears..."

I close my eyes listening to litanies and prayers ...
         O ****** by virtue of your rosary, directs these enemies of mankind to respond to my question...!
                
Klauss saw the exorcism using the mirror. He made a prayer, came a radiant ears, nose and mouth of the possessed flame. Fire flowed like laba of the Holy Cross, which destroyed the wicked and the most worthy wisdom worked against the satanic specter fire and hot rosary fell on the hot heads Fraile and Raymond. It was what translated his shadow in her room.

         Klauss Rittke, returning the next day moistened his clothes by the dense fog that covered the sacred place, then when picking up     leaves plucked Bible found a Diadem with an initial contained a    backwards W, whose image pointed to Marielle triumphing evil. He   tried to leave but nothing left pulled, so refugee took the   diamond and warily Diadem led her pocket.                                                          ­                          

Little bit could do that dark and rainy day, as an insurrectionary devotion that day begged her angelic singing to heaven; that enveloped the sky in order to transport to the cemetery to sleep next to their parents.  Diadem virtue to useful lives and reigns in the footsteps passerby Baal runaway spirits. All with their malodorous footsteps, they vomited and flying in higher meridians, like the giddy exorcism in the house of the universal Shepherd.
           The same day, August 5, 1617, Klauss arrived tired with the diadem cast in her hand. Thus, ceased to exist and its long sleep would walk with his white robe and crown throw with his eyes came from the Sea blankets the oceanographic serpentuous within Marielle, whose hairnets they are containing its essence. His agony lasted three days, and around Avignon no who could wear mourning. His children and wife lost their voice to utter.

Go in peace Benedict Klauss...!
KLAUSS RITTKE FROM EXORCISM -  THE ******  PURE LOVE IN BETWEEN RAYMOND  BRAGASSE  AND  MARIELLE QUENTINNAIS,

CREATED BY JOSE LUIS CARREÑO TRONCOSO - CHILE / SOUTH AMERICA
the guttural baritone fixes
the tone of the bravado.
  unafraid of the world's conspiracy
sweltering, is this fan of flame.

              luto
linis
           laba

  thumbing down a prayer
of the last leaf, this wondrous tendril.
   all the taverns shake still
in the spleen of contention.
       this is the penultimate tonic:
when the world is not moving
   and when all the bottles are drained
of their oceans, when the women are
   dull and our lovelorn duties double
  their weights, oh, and when we are
  at the edge of desires from what
   you perceive as "hairtrigger",

    we will once more savour the
  emptiness of all and wring
    the seas of their blue and guzzle
        a swig,
     drink or two even if you
know me not.
for Krip Yuson

— The End —