Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Shrivastva MK Jun 2017
Kitni azeeb hai ye Duniya kitne ajeeb log,
Koi kisi ko dara rha, kuchh sahme sahme se log,
Bada muskil hai esko samjhna,
Yaha palbhal me baldate hai log,

Humne bhi socha tha Ki jawane ko badalenge hum,
Ek nayi soch ke sath ek hokar chalenge hum,
Par ye dekh kar dil tut gya Jab ek hi dali ke chaar phoolon ne kaha,
Nahi hum khilenge,aur nahi ek dusre se milenge hum,

Roh deti hai kalam bhi likhkar dard jawane ka,
Kuda-Kachra nadiyon me kya haal bna diya Bharat ke khazane ka,
Roti ke liye tadapte sadak par log,
Aur yahan pariyojna chalai ja rhi desh ko smart banane ka,

Gareeb ko roti kapda aur makan chahiye,
Kisano ko es desh me apni ek pahchan chahiye,
Sabhi ko samjhe ek barabar,
Aisa deshbhakt insaan chahiye,
Aisa deshbhakt insaan chahiye....
So ashamed to watch and write the real figure of Indian village and their peaples here lots of problems and leaders come at the term of election after electing they havent come till day...
...
Renjith Prahlad Aug 2011
Kalippaattam
------------

              ---Renjith Prahlad
                        (27th AUGUST 2011-12:30AM)



Vimookamaayoru sundara swapnam ente kannukale yaanthrikamaaya ee lokathilninnakatti
bhaavanayile mohanabhoomiyileku yathrayaakkunnu..Ennal Ivide kanunnathu yaadharhyathil
aroopiyaaya ente mohangalude kadanjedutha swaroopangale..ivide kelkkunnathu
yadhaarthyathil uumakalaya prathyaashakalude imbamaarnna prathidhwanikal..
Ivide enne sparshikkunnathu yaadharthyathil maravicha ormakalude jeevanulla viralukal..
Ivide njan anubhavikkunnathu yaadhaarthyathil oru pazhjadamaaya ente, chetananiranja
chalanagal..allayo Swapname ethakshayapaathrathil ninnedukkunnu nee ithratholam
jyothithullikale,ente raathrikalil prakaasham choriyuvaanaayi..Pakshe, oru maathrayude
maathrayolam polum illallo ninte aayussinte dairkhyathinu...Kizhakkile chakavarthiyude
udayam asthamippikkunnathu vimookamaaya aa sundara swapnathinullile sooryane ..
Kizhakkile chakavarthiyude sobha vazhithelikkunnathu swapnathil maathram
swathanthranaya ee kuthirayude adimathwathilekkulla thirichupookkine...


Njan oru kuthirayaanu..jeevashavamaayoru kalippattam..Enikku chaadaam,odaam,
shabdamundaakam..pakshe ellam oru thaakkolinte kanakkinanussarichu..,oru kurunnu
baalante manassinanussarichu..avane rasippikkuvan kazhinjal..avante viralukale
anussarikkan kazhinjal enikku kure neeram chalikkam..kalankamariyaathorukuttiyude
adimayaayi eere naal jeevanillathe jeevikkam..ente suhruthukkale...shashvathamaayoru
maranathe polum aagrahikkan avakaashamillatha ente ee janmam shapikkappettathalle...
Niraveettan aavathillatha Aashaakalum mohangalum ente manassil kumilukalaai pirann
anthimam parasparam thattichithari athmahathya cheyyunnathu shaapameetathinalalle..
avarozhukkiya chorathullikal polum adimakalaakunnathu shapikkappetta ente
manassinullile irunda shoonyathayilalle..Nikoodatha koodukoottiya vanangaliloode
paanju pokuvaan..Marangaleyum pakshikaleyum pinnilaaki kodumkaattinte gathiyepolum
athijeevichu oru kuthirayude lokathekku raapaarkkan..sharamazha peyyunna yudhabhoomiyileekku raajyatinaayi poruthunna sippaikalude naduvileekku, raajaakkanmareyum padathalavanmaareyum purathiruthi avasaana shwasathe sharangal thulachukeerumvare dheeramaayi poraadi maranamadayan oru kuthira aagrahichaal athil thettilla,pakshe oru kalippattam aaya kuthira aagrahichaal
athahankaaramaakunnathengane..Kalippatamenkilum kuthirayalle njanum..Enikku mathram
enthe aagrahangalkku neere kuda nivarthendivarunnathu...Enikkuchuttum maathram enthe
kudakkyu keezhe athimohangal nizhalikkunnathu..

Ennal, Kudaykku keezhile ANDHAKAARAM oru divasam enikku thannu, Irulil janichuveenu
shwethajwaalayayi valarunna swapnangalee..Kalippattamaaya njan annumuthal andhakaarathe
snehichu thudangi....kaaranam Swapnathil njan kalippattamalla..jeevanulla kuthirayaanu..
Njan adimathvatinte theerangalilalla, swaathanthriyathinte ananthasamudrathilaanu..
Vimokamaaya aa sundara swapnam vechuneettiya sowbhagyangale enikku nishedikakkan
kazhinjilla, yaadhaarthyathilekku oru madangipookkinu ente manassu madichu..
swapnavaathilukal orikkalum adayalle ennaashichu..pakshe ente mohangalkkethirayi
swapnasooryan swapnachakravaalathileekasthamichu thudangi..swapnavaathilukal adyaan
thudangi.swapnagale swanthamaakkunna swapnangal kanda njan, ente madagivaravinaay
kaathirikkunna yadharthyathe avaganichu..swapnalokathe sweekarichu..Vilangukal
pottichodunna kuttavaaliye pole njan odirakshappettu..Yaadharthyathinorikkalum
ethippedaan kazhiyaathathra doorangalilekku njan yathrayaay..pakshe, Aashakalum
Mohanglum niraveettiya santhoshathinte velicham amithavegam polinju..Kalippatamaay
jeevichirunna lokathorikalum anubhavappettittillathoru thalarcha ente shareerathe
aswasthamaakki..Marubhoomiyile mantharikal orittu mazhaykkayi kezunnathu pole ente
thondayum oru thullidaahajalathinay karanju..divasangal kadannu poyi..swapnathiloodeyum
narakathe praapikkam ennu njan manassilaakki...Vikruthmaayoru aantharikathe maraykkunna
ente swapnamohangalude kadanjedutha swaroopangalekkal ethrayo dhanyamaanu, roopamillatha
ente yaadarthyamohangal ennu njan manassilaakki..Vilaapaswarangal maathram paadunna ente
swapnamohangalude prathidhwanikalekkal ethrayodhanyamaanu, uumakalaya ente
prathyaashakal, ennu njan manassilaaki.Enne jeevanode njerukkunna ente swapnamohangalude
viralukalekkal ethrayo dhanyamaanu, maravicha ente yaadarthya ormakal ennu njan
manassilakki,Ennil ninnum chethana oottunna ente chethana niranja chalanangalekkal
ethrayo dhanyamaanu,oru kurunnu baalante chundilpirakunna punchiriyude maathru
janmam, oru paazhjadamaaya kalippaattathinte janmam...ennu njan manassilaakki...

         -----------------------------------------------------------------­

Vaathilukal pinnum thurannu.."Madangivaru kalippattame"..Kurunnu baalante chundil veendum
oru niranja punchiri pirannu...

                           -----Renjith Prahlad
Joshua Soesanto Jun 2014
baru saja kopi tersedia
terpikirnya kembali gambaran diorama
ku rasa rusaknya irama menjadi bencana
namun terkadang rasa asa menjadi surat suara

cinta rasa gejolak mesin rusuh suara
jalanan menanti sosok pengembara
terbakarnya arang ara
sepinya jalan bintaro jaya

makin ku pacu mesin waktuku
kuda besi tanpa boncengan terisi
ingat akan mimpi
kita pernah bersama menepi

gergaji rantai pembalik waktu
marlboro atau kretek kopinya satu
koboi gudang garam saling menunggu
kecaplah air liur kita bercumbu

akan ada waktu terbaliknya jam waktu
ia disana bersama pejantan baru
rasa rasanya pukulan tepat pada paru-paru
sesak napas ingat dia diatas saat bercumbu
ESP Nov 2014
Puro isip, walang gawa
Puro lito, walang aksyon
Puro na lang ba ganito?
Ayoko na ng ganito!

Masyadong masikip
Masyadong maraming ingay
Maraming kuda
Maraming putangina

Masakit sa ulo
Nakakarindi ang mga ingay
Nakakasawa sila
Pero nakakaadik

Magulo pero gusto ko
Ayokong wala sila dito
Gusto ko maingay sila
Siguro nababaliw na nga

Sinong matino ang gusto nito?
Wala sabi nila
Matino ako para sa akin
Kayo nga ang hindi matino

Ayoko sa inyo
Gusto ko lang dito
H'wag niyo kong kausapin
Hindi ako kasapi niyo

Malalim 'to
Malalim tayong lahat
May lalim tayong lahat
H'wag niyong hayaang mawala.
Kerak dinding merapuh
Menyapuh bata, menyangainya
Alamat hujan atas gersang
Laksana injil bagi pemeluknya
----------------------------------------------
Ngengat­ dan sesak beraduk
Alasan bagi kuda putih yang tak lagi berlari
Hari ini ia merangkak
Kesakitan atas luka entah dimana
Sakit tampak dari air matanya
Tetesan berawai dan putus asa
Athi Sep 2019
Oru kooda keezhil
Orumayodennum
Ore manasayi
Ee mannil
pularan kripayekane..


Santhoshathirakal
Alayadikumbol
Nin karam cherthu pidichu.


Manam urukum neram
Thangayi thanalayi enum
Nee en arikil ninnu.
RVani Kalyani Jun 2022
To the one who I hope will stay forever,
And from the one who promises to stay forever.
Thank you anna,
Oka guiding star laga u were there,
And I hope you will always be!

Ekkadnundi start cheyyalo ardam katle anna😅
Firstly you inspired me a lot anna, mi laga kavali ani chala sarlu ankunna inka ankuntunna kuda 😁 so nak tips ivvandi how to become a person like ram sai ani 😄 and i really hope we stay in touch for our whole lives 🫂













Chala chala thank u anna! Mek eroje manchiga hug cheskoni thank u so much Anna ani chepdam ankunna 😅 but konchem ibbandi feel aina kani malli chance dorkademo malli meet avthano leno ani bayamesindi... Chala hesitate chesi inga finally miku oka hug icha 😁 Inka walking kuda veldam ankunna mitho mrng 😁 anddd thank u so much for the books Anna malgudi days aithe pakka aipogodtha 10 days lo complete ga next week mids kabatti. Inka eh 3rd year Vani ni ila chakkaga change chesindi meere! Idi mathram pakka. Thank u anna me valle i got to have a dosti gang asalu. Nak intha mandi friends unnaru ipdu ayyaru ante me valle! You made this me! Thank u so much Anna asalu inka okka year matho unte inkentha bagundedi ani,Manam inka munde kalisi unte inka bagundu kada ani, eh corona asal lekapothe bagundu ani okate thoughts. Entha cheppina entha ikkada type chesina thakkuve anna. Nijanga asal ankoledu intha manchi anna dorkutharu ani, munde evari tho matladanu alantidi ram sai anna dorkikaru ante matala!( nijanga anna) munde chepthunna anna eh 10 days lo meku call osthadi nanundi and nen edustha pakka 😅 so be ready😂
Inkokasari 3rd year starting nundi chadvalani undi anna, malli okasari fest ni experience cheyyalani undi same mecharena22 ni, malli traditional day night temple mundu ala nightout cheyali ani undi kani time is soo fast asalu. Time machine unte bagundu anna😅
Ivala morning ala ayyindi ani mer em feel kakandi 😅 meku chala fans untaru so i can understand 🤑 but chala chepdam ankunna cheppalekapoya ani chinna regret😅kani danni calls lo therchukunta le😁 marchipokandi anna nannu🤧 Love you Anna and I miss u already...



And meku 2 bookmarks ichanu ga dantlo wings daggara chinigi unnadantlo oka chinna message rasanu kani pencil tho rasina so cheppalenu fade avvakunda unda leda ani. But promise me anna you will open it only when you miss me so much ok? Ipde open cheyyakandi. Open it when you truly miss me a lot.
And please dont forget me anna eppudaina nak munde evar ler ekva 😅
gadisunja Mar 2023
Aku ingin jadi anak kecilmu.
Menyusup di antara pagimu,
menjadi sibukmu,
di malam hari sebelum lelap.
Menyusup di ember jemuran,
di kuda-kudaan,
di bak mandi,
di kaus kaki bayi,
begitu mungil sampai aku muat untuk selalu ada di mana-manamu.
Tanya aku tentang apa yang paling kumau,
jawabku satu dan akan selalu:
Aku ingin lahir dari jalan tengahmu, besar sebagai anak kecilmu.
datang dari 2021
xGalih Aug 2020
Sejenak kita tunda laju lalu-lalang kendaraan yang kebingungan di kota kecil yang mulai penuh sesak.
Menghentikan bising suara mesin di kepala.
Memejamkan mata dari keriuhan yang rumit dalam saku.
Menggantung gaun-gaun yang telah lama tak kita baringkan.

Barangkali kita terlalu sibuk melupakan.
Terlalu berusaha menjauh dari diri sendiri.
Mungkin kita ini tak pernah tersesat pada dunia yang menyesatkan siapa saja.
Tersedak tawa oleh lelucon yang mencekik mimpi-mimpi.

Kita terus berlari tanpa tahu arah, kebingungan dan gelisah.
Seperti kereta kuda di taman bermain yang sepi pengunjung.
Kita terus saja berbicara tanpa pernah merasa.
Seperti suara klakson yang meraung-raung di kota yang semakin sibuk.

Kita terlalu berapi-api memperdebatkan apa saja.
Terus berteriak dan terbakar.
Terlalu sering menertawai, tanpa tahu lelucon sesungguhnya.
Tanpa tahu upacara kematian telah dipersiapkan di akhir tawa.
She wasn't materialistic, had to consider her wife material.
She made me love her without making love to me.
Her gentle soft words tied me down and I could never untie myself.
She holds me down and lifts me up.
My brain shuts down and my heart does the job.
Numb to anyone else's opinion but hers.
She's my million man army.
I appreciate myself more and I appreciate her for.
She never told me she loved me, but she showed me she does.
She's so beautiful both inside and out, the world does not deserve her.
Love is blind but she makes me see clearer. I don't know how that works really.
Her presence and absence never seem to be of difference, because she's always with me wherever I go.
I question myself if I deserve her at all.
I mean does she deserve me or better?
I would **** for her. I would die for her.
I never knew I could fall so deep, yet I could fly so high.
She is my queen. She is my princess.
She is reason I get sad or glad.
She is my best friend and my lover.
She's just the best thing to happen man.
To her I'm Mellow, to me she's a Mona Lisa painting



#kuda

— The End —