Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Elle Sang Dec 2015
Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya bisa ku gapai tangannya saja
Yang mampu ku lihat bayangannya namun tak akan pernah bisa ku raih
Seseorang yang hadirnya tak menentu bagai musim
Sebelum kaki ini mampu mengejarnya
Seseorang yang hanya bisa ku kirimkan isyarat
Sehalus awan di langit
Atau hujan yang telah mengiringi beberapa hari ini
Elle Sang Dec 2015
Gadis itu pulang dengan kepingan jiwanya
Berusaha untuk menahan segala rasa sakit
Semua ia simpan rapat-rapat walau tersirat dari matanya
Ia menghempaskan badan diatas tempat tidur
Sambil sesekali memijat keningnya, berharap rasa sakit tak akan hinggap kesana.

Lalu ia berusaha tak mengingat-ingat semuanya
Berharap entah bagaimana caranya agar ia mematikan perasaannya
Dalam hati ia bertanya "kapan terakhir kali kau bahagia?"
Tak ada satupun yang bisa menjawab pertanyaan itu
Ia hanya menatap langit-langit kamar  sambil tersenyum pahit.

"Yah, begitulah realita hidupmu. Tersiksa karena jatuh berkali-kali untuk orang yang salah"
Otaknya berbicara pada hati yang masih kukuh membela perasaan yang ia punya
Ia tak bisa lagi menampik bahwa kepala dan hatinya setelah ini tak akan pernah ada di kubu yang sama
Karena kelalaian hatinya lah ia berada disini sehingga logika menghukum hati itu, menutup pintunya rapat-rapat dan menenggelamkan kuncinya kedalam samudera pemikirannya.

Suara hujan mengiringi gadis itu
Tak terasa satu demi satu tetes air mata mengalir
Ia hanya bisa memejamkan mata dan berkata
"Aku sudah tak punya hati lagi"
lillium May 2022
Setiap hari, aku mengintip dirimu dari kaki-kaki langit
Melihat parasmu, yang melumat kewarasanku
Dan akhirnya samudra akan memecah 'kita' menjadi kepingan 'aku' dan 'kamu'
VM Jan 2021
Hari ini dia datang lagi
Dengan gaun kuning tanpa lengan
Rambutnya dibelah dua dan dikepang dengan dua warna karet rambut yang berbeda pada tiap-tiap ujungnya
Senyumnya manis sekali

"Dasar anak cantik"

Dia tersenyum semakin lebar sambil menawarkan aku setangkai balon
Sepertinya balon itu baru saja digelembungkan
Aku menggeseknya dengan kuku yang baru saja kupotong
Aku pikir dia akan mengernyit, entah kenapa dia malah tertawa

"Kemana saja kamu selama ini?"

Tertulis sebuah nama restoran yang kukenal pada balon itu
Jelas bukan tempat makan favoritku
Karena aku tak terlalu antusias saat melihat namanya
Sebuah tempat yang sering didatangi anak bini
Dipenuhi oleh emosi-emosi semu
Hanya untuk terlihat intim—setidaknya bukan tempat untuk anak gadis yang terus menatap layar ponselnya tanpa henti

"Darimana kamu tahu aku ada di sini?"

Dia memberikan aku kepingan lakban yang ternyata masih tercecer
Saat itu aku memperapikan koleksi buku harian, ya, dengan upaya untuk tidak melihatnya lagi
Supaya aku tak jatuh kepada rasa ingin membaca ulang semua tulisanku
Sial! Pasti dia mengawasi aku

"Apa tujuanmu kesini?"

Air mata berderai dari kedua matanya yang bulat
Seolah akan mengujarkan sesuatu dari mulutnya, dia hanya diam
Mungkin bukan diam, tapi mengoceh dengan kata-kata yang tak dapat kucerna
Kugenggam telapak tangan nya—sungguh kecil dibanding milikku
Dia masih saja menangis tanpa henti
Untuk segala tenggang rasa yang aku tahan kepada anak-anak, kali ini cukup iba rasanya

"Ayo, lah, aku hanya ingin merokok di sini"

Entahlah, enyahlah
Aku juga harus beranjak pergi dari sini
Lapangan tenis kosong yang dihiasi dedaunan repih
Gina Sonya Feb 19
Kehidupan singgah lebih cepat dari embun pagi. Manusia berdatangan lalu pergi. Kamu paham betul bahwa tidak ada gunanya terikat takdir dengan orang lain, cuma pedih dan perih yang akan kamu hadapi ketika mereka pergi nanti.

Perang antar dinasti yang kamu jalani sudah cukup banyak memberi pelajaran tentang hidup di dunia keji ini. Tanah kelahiranmu kamu bela sepenuh hati, kamu hancurkan tulang benulang mereka yang jadi lawanmu dengan tebasan setipis angin. Namun, hasil yang kamu dapat hanyalah puing-puing kota yang tidak bisa kamu kais lagi.

Kamu mulai berpikir, apa gunanya semua ini?

Rumah kayu yang ayahmu bangun runtuh, toko wijen dan daging di depan rumahmu ikut jatuh. Kedua matamu tersayat sampai-sampai penglihatanmu semu, kamu kehilangan seluruh keluargamu. Tanah airmu melebur bersama debu-debu perang yang berlalu.

Dan sialnya, setelah semua itu, kamu masih harus melanjutkan hidup.

Kehidupan pasca perang tidak seindah angan-anganmu. Negara barbar yang kamu bela dengan keringatmu tetaplah jadi tempat bengis tanpa hukum.

Kamu mulai menutup semua sisi yang membuat kamu menjadi manusia. Melumuri tangan dengan darah orang jahat kamu lakukan demi sekantung uang (dan kamu berpikir bahwa mungkin kamu lah orang jahat yang harus dibunuh demi uang).

Kamu membangun dinding yang memisahkan kamu dengan manusia lain. Kamu menyadari bahwa mereka yang datang kepadamu akan dengan cepat pergi seperti embun pagi.

Kamu berkelana ke seluruh negeri seorang diri. Bergulat bersama sepi setiap hari agar ia mengoyak kamu sampai mati.

Namun, rupanya kamu mengingkari janji untuk sendirian sampai mati.

Di tengah perjalananmu yang penuh sepi, kamu bertemu ia yang baru pertama kali menghadapi kehilangan di dunia ini. Semua yang ia punya direnggut sampai yang tersisa darinya cuma dendam yang buat kamu meringis.

Umurnya masih seujung jari, belum pernah menelusuri setiap celah dunia ini, kamu berpikir bahwa ia hanya akan jadi kerikil di dalam alas kakimu.

Kamu mendorong ia jauh-jauh, sana cari tempat lain untuk berteduh karena aku tidak punya apa-apa untuk mengobati luka-lukamu.

Kamu pernah kehilangan, kamu selalu kehilangan, kamu tidak punya apa-apa untuk membantu ia yang baru saja kehilangan.

Namun, ia bersikeras berteduh di bawah kain pelindung milikmu yang kumuh. Satu bulan perjalanan ia tempuh hanya untuk kembali ke kediamanmu.

Dinding yang kamu bangun bertahun-tahun mulai goyah karena kehadirannya yang mengisi hari-harimu.

Kamu biarkan ia tidur di atas kasurmu, kamu biarkan ia mengikuti perjalananmu. Kamu mulai menerima cuap-cuap yang ia lontarkan di tengah malam ketika kalian sulit tertidur. Kamu membiarkan ia menghancurkan seluruh dinding yang mengelilingimu.

Kemudian, tanpa kamu sadari, kamu lagi-lagi terikat takdir dengan manusia yang meruntuhkan pertahananmu.

Kamu lantas menyadari, ada kepingan cinta yang mulai muncul di sela-sela hatimu. Berpuluh-puluh kasih timbul di ruang terdalam hati yang kamu beri nama ruang kemanusiaan.

Dan tanpa kamu sadari, kamu mulai menjadi manusia lagi.

Kamu berpikir bahwa kamu akan mati sebagai makhluk bengis yang sebutannya bukan manusia. Namun, ketika ia datang ke hidupmu, kamu berpikir bahwa kamu layak mati sebagai manusia.

Kamu menikmati hari-harimu sebagai manusia baru.

Kali ini, kamu menelusuri negeri bersama orang lain. Kamu tidak lagi bergulat dengan sepi sampai mati.

Dan ketika kamu mati, ada ia yang berduka di pemakamanmu. Kamu mati dengan jutaan cinta yang bertabur di atas tanah kuburanmu.
Sebuah kisah tanpa tajuk--ditulis untuk ia yang hatinya kembali dibuat utuh.

— The End —