Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Aridea P Dec 2011
Palembang, 17 Desember 2011

Aku kehilangan emosi ku
Ketika semua terlepas hilang

Bukan aku
Bukan
Bukan
Bukan aku

Merenung . . .
Hanya ada aku
Di ruang hampa
Di negeri antah berantah
Menunggu cahaya
Tuk menarikku keluar
Ke terik sinar mentari terpanas
Tuk memerah peluh sendiri
Karena terlalu lama beku akan kesunyian

Pernah ku bermimpi nirwana
Indah, tak terharga
Dibuat dari batu ketaatan
Dilapisi emas keimanan
Dipagari kayu keikhlasan
Sederhana, tak menarik
Sulit pun tuk di huni

Aku sudah di sini
Di tempat aku berada
Di gedung mewah penuh kesenangan
Dibuat dari berlian kemusyrikan
Dilapisi perak kemunafikan
Dipagari besi keserakahan

Aku sudah terlanjur di sini
Mati rasa
Fandiaz Feb 2020
Kecacatan yang sempurna
Kekurangan yang ideal
Keheningan yang menggelegarkan hati
Kesetiaan yang abadi
Keimanan yang menyilaukan
Kecantikan yang menenangkan

Untuk-Mu, Lyra-Ku
#love #indo #indonesia #cinta
Setiap hari kubuka Tiktok.
Selalu kulihat banyak video.
Terus diposting orang orang Gaza.
Bercampur antara duka lara dan suka cita.

Anas sang jurnalis di Jabalia.
Menyiarkan berita bombardir pesawat jet.
Menghancurkan rumah dan sekolah.
Mayat anak anak tergeletak dimana mana.

Hamada sang juru masak di Khan Yunis.
Bersemangat memasak shawarma ayam.
Lalu dia membagikan untuk anak anak.
Mereka tertawa gembira bisa makan enak.

Motasem sang jurnalis di Beit Lahia.
Mendatangi beberapa tenda pengungsi.
Anak anak di dalam tenda tenda itu.
Semuanya kurus kering kelaparan.

Mona sang relawan di Al Mawasi.
Sibuk membagikan bahan bahan kebutuhan.
Beras , tepung , minyak , gula , mie.
Para pengungsi senang menerimanya.

Bisan sang jurnalis di Al Maghazi.
Bertemu banyak rombongan pengungsi.
Mereka kelelahan berjalan jauh.
Sandal dan sepatu mereka sobek semua.

Tito sang badut di Gaza Utara.
Selalu enerjik menghibur anak anak.
Bermain , bernyanyi , berjoget.
Tertawa gembira bersama sama.

Dr Mohammed di rumah sakit Kamal Adwan.
Merasa kelelahan dan ketakutan.
Sendirian mengurusi orang orang terluka.
Sementara rekan rekannya ditangkap semua.

Said sang relawan di Al Nuseirat.
Tanpa lelah memasang tenda tenda.
Memasak makanan dan membagikan barang.
Untuk pengungsi yang terlantar.

Saleh sang jurnalis di Khan Yunis.
Menemukan anak lelaki saat tengah malam.
Menangis sendirian di kuburan ibunya.
Tidak mau kembali ke tenda hingga pagi tiba.

Dahlan sang relawan di Deir El Balah.
Mengadakan acara nonton kartun bersama.
Anak anak berkumpul dan merasa gembira.
Nonton kartun sambil makan popcorn.

Ahmed sang jurnalis di Al Nuseirat.
Merasa kasihan melihat anak anak di dalam tenda.
Mereka kepanasan saat siang terik.
Dan kebanjiran saat hujan deras.

Samaa sang gadis pemain biola di Tel El Hawa.
Duduk di bawah pohon sambil memainkan biola.
Anak anak yang melihatnya tampak tenang.
Terlarut melupakan semua penderitaan.

Youmna sang jurnalis di Shujaiya.
Bertemu anak anak yang terlantar.
Mereka memungut makanan dari sampah.
Dan meminum air dari comberan.

Alaa sang tukang cukur di Al Nuseirat.
Mencukur rambut orang orang tanpa bayaran.
Dia cukup senang mendapat sedikit imbalan.
Rokok , roti , kopi atau ucapan terima kasih.

Hossam sang jurnalis di stadion Yarmouk.
Meliput banyak pengungsi yang berdatangan.
Mereka kelelahan , kelaparan , kehausan.
Terlantar tak punya tenda.

Renad sang gadis cilik di Deir El Balah.
Selalu ceria memasak berbagai makanan.
Dia memasak maqluba tanpa ayam.
Harga ayam naik tinggi tak terbeli.

Doaa sang jurnalis di rumah sakit Al Nasser.
Mengunjungi anak anak yang terluka.
Ada yang tangan dan kakinya buntung.
Ada yang kulitnya mengelupas terkena fosfor.

Israa sang guru di Al Bureij.
Mengajak rekan rekannya membuka tenda sekolah.
Mereka memberi alat menulis dan menggambar.
Anak anak senang bisa sekolah lagi.

Hind sang jurnalis di rumah sakit Al Aqsa.
Menyiarkan berita yang mengerikan.
Tenda tenda di sekitarnya hancur berantakan.
Terbakar terkena bombardir pesawat jet.

Samih sang pemuda pemain oud di Deir El Balah.
Penuh semangat bernyanyi sambil memainkan oud.
Sementara teman temannya lincah menari dabke.
Menghibur orang orang yang mengungsi.

Samara sang jurnalis di Al Zaitun.
Mendatangi tenda tenda para pengungsi.
Banyak anak anak yang kulitnya gatal.
Penuh borok dirubungi lalat.

Abdullah sang petani di Khan Yunis.
Nekat menyelinap kembali ke kebunnya.
Agar dia bisa memanen sekarung buah olive.
Cukup untuk dibagi para pengungsi.

Faiz sang jurnalis di Rafah.
Meliput jalanan yang sepi.
Tak ada apapun selain mayat mayat berlumuran darah.
Tewas bergelimpangan diserang quadcopter.

Hassan sang dosen di Al Rimal.
Tanpa lelah melakukan kuliah online.
Para mahasiswa bersemangat melanjutkan kuliah.
Tak peduli dengan kekacauan , kesulitan dan keterbatasan.

Mahmoud sang jurnalis di Shujaiya.
Menutup hidungnya sambil melakukan liputan.
Mayat mayat membusuk menjadi tulang belulang.
Dimakan anjing anjing liar yang kelaparan.

Abdallah sang relawan di Deir El Balah.
Sibuk mengurusi banyak kucing liar.
Dia mengobati dan memberi makan.
Lalu membelai belai dan bermain main.

  Mousa sang penyelamat sipil di Beit Hanoun.
Merasa putus asa tidak bisa menolong.
Orang orang yang terluka tertimpa bangunan.
Merintih rintih kesakitan menunggu kematian.

Fadi sang relawan di Al Maghazi.
Terus bergerak bersama rekan rekannya.
Mereka memasang solar panel , mengebor sumur dan membuat.
Para pengungsi memuji kerja keras mereka.

Yousef sang petugas medis di rumah sakit Al Quds.
Merasa ketakutan naik ambulance.
Drone pengebom terus mengejar.
Meledakkan jalanan yang dilewati.

Menna sang pelukis di Al Shati.
Menyuruh anak anak untuk mengantri.
Sementara dia melukis wajah mereka satu persatu.
Lukisan semangka , Handala dan bendera Palestina.

Nofal sang jurnalis di Shujaiya.
Mewawancarai seorang pria kurus penuh luka.
Pria itu baru saja dibebaskan dari penjara.
Terus disiksa hingga mengalami trauma.

Maha sang jurnalis di Deir El Balah.
Bersantai di pantai sambil memandangi senja.
Sementara anak anak muda di sekitarnya.
Penuh semangat bermain sepakbola.

Naji sang sopir taxi di kota Gaza.
Menyetir mobilnya pelan pelan sambil menangis.
Dia sedih melihat seluruh kotanya hancur lebur.
Tak ada yang tersisa selain puing puing reruntuhan.

Fatema sang relawan di Al Shati.
Berkumpul bersama anak anak perempuan di tenda besar.
Mereka duduk di tikar sambil membaca ayat ayat Al Quran.
Terdengar merdu hingga meneguhkan keimanan.

Ouda sang jurnalis di Jabalia.
Bertemu seorang pria yang naik kereta keledai pelan pelan.
kereta keledai itu mengangkut mayat anak anak yang berlumuran darah.
Ada yang kepalanya pecah , ada yang perutnya hancur.

Nour sang jurnalis di kota Gaza.
Tertawa senang melihat anak anak muda di sekitarnya.
Mereka bermain parkour melompati puing puing reruntuhan.
Lalu mengibarkan bendera Palestina di atas atap yang hampir roboh.

Khaled sang jurnalis di Beit Hanoun.
Tergesa gesa meliput pengeboman drone di jalanan.
Ledakan bom menghancurkan mobil hingga ringsek.
Orang orang di dalam mobil tewas mengenaskan berlumuran darah.

Ashraf sang insinyur elektronik di Al Nuseirat.
Tampak senang memamerkan barang barang buatannya.
Kipas angin , lampu meja , charger ponsel hingga kulkas.
Semuanya dibuat dengan rongsokan yang dia temukan.

Lubna sang jurnalis di rumah sakit Al Shifa.
Meliput kengerian setelah pembantaian massal.
Ratusan mayat membusuk bergelimpangan dimana mana.
Semuanya hancur tak berbentuk setelah dilindas tank dan buldoser.

Firas sang relawan di Al Bureij.
Naik truk bersama rekan rekannya ke tempat pengungsian.
Begitu tiba mereka langsung membagikan sepatu , mantel dan jaket tebal.
Anak anak senang tak lagi kedinginan.

Jumana sang janda di Al Mawasi.
Menangis teringat suaminya yang tewas tertembak quadcopter.
Dia juga lelah berusaha bertahan hidup tanpa suaminya.
Sementara anak anaknya masih kecil semua.

Rami sang pemuda kreatif di Al Nuseirat.
Mengumpulkan banyak kardus bekas dari tempat sampah.
Setelah itu dia membuat beraneka mainan kardus untuk anak anak.
Mobil mobilan , motor motoran , kapal kapalan dan lainnya.

Wedad sang gadis remaja di Al Mawasi.
Termenung sedih sambil memegang kunci tua dan kunci baru.
Kunci tua itu milik neneknya yang terusir dari rumah sejak 1948.
Kunci baru itu miliknya sendiri yang terus dibawa setelah rumahnya dihancurkan.

Mosab sang pelukis mural di Rafah.
Membawa banyak peralatan lukis dan cat beraneka warna.
Dengan penuh semangat dia melukis mural di reruntuhan tembok yang lebar.
Yang dia lukis adalah sosok Handala sedang makan semangka.

Dokter Ayaz di rumah sakit Al Awda.
Menangis melihat bayi bayi prematur yang tidur dalam inkubator.
Tak ada kiriman bahan bakar untuk terus menyalakan listrik yang hampir padam.
Bayi bayi prematur itu akan segera mati satu persatu.

Aboud sang pemuda kreatif di Al Maghazi.
Mengajak anak anak membuat layangan besar bendera Palestina.
Lalu mereka menerbangkan layangan besar itu di tepi pantai.
Siapapun yang melihatnya merasa masih punya harapan.

Duka lara yang dialami orang orang Gaza masih terus berlanjut.
Tapi orang orang Gaza masih terus melanjutkan suka cita.
Melakukan apapun yang masih bisa dilakukan.
Menikmati apapun yang masih bisa dinikmati.


November 2024

By Alvian Eleven

— The End —