Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Shrivastva MK May 2015
Hum us desh ke vashi hain.....
Jaha sabhi ka samman kiya jata hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha sabhi logo me ekta hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha atithi ko bhagwan ka darja diya jata hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha aurato ko devi kaha jata hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha hindu muslim sikh esai sabhi bhai bhai hain,
Hum us desh ke vashi hain.....
Jaha mata pita ko dharti ke bhagwan mana jata hain,
Hum us desh ke vashi hain.....
Jaha sabhi log desh ke liye marte hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha mahatma gandhi, Bhagat singh, Subash chandra bose jaise beero ne janam liya tha,
Hum us desh ke vashi hain.....
Jaha par sanchai aur ekta mishal hain,
Hum us desh ke vashi hain....
Jaha ki nadiya sudha jal deti hain,
Hum us desh ke vashi hain.....
Jise log bharat ya india kahte hain...
      JAY HIND
               JAY BHARAT
Hindi
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Shrivastva MK Jun 2017
Maine paise ke liye insaan ko badalte dekha hai,
Maine paise ke liye insaan ko tadapate dekha hai,
Ye bhagwan to nahi par,
Iske liye insaan ko marte dekha hai,

Maine Paise ke liye kisi ko kadi dhup me jalte dekha hai,
Maine Paise ke liye kisi ko thand me tadapte dekha hai,
Ye grihdata to nahi par,
Iske liye kitno ke Ghar ujarte dekha hai,

Maine Paise ke liye riste badalte dekha hai,
Maine Paise ke liye kisi ko naak ragarte dekha hai,
Ye koi aahar to nahi par,
Iske bina kaiyo ko bin bhojan ke sote dekha hai,

Maine Paise ke liye insaan ko nazaro se girte dekha hai,
Maine Paise ke liye insaan ko aag par chalte dekha hai,
Ye koi Ann to nahi par,
Iske bina insaan to bhukh se marte dekha hai,

Maine paiso ke liye aurat ke kapade utarte dekha hai,
Maine paiso ke liye Ghar me bahu ko jalte dekha hai,
Ye koi vastra to nahi par,
Iske bina kaiyo ko bin kapade yu tahalte dekha hai,

Maine paiso ke liye Bhai Bhai ko ladte dekha hai,
Maine paise ke liye ladki ko sadak par thirkate dekha hai,
Ye koi bhagya to nahi par,
Esse kaiyo ke bhaag badlate dekha hai,
Bhag badlate dekha hai.....
Its my personal opinion about money,if any word or sentence hurts u sorry for that,
We have really seen the real figure of money,and have seen children working in company for money..
Translation available
Vineeta rai Apr 2019
Ek ldki apne pure jeevan Me kya kya sehti hai ish kavita ke madhyam se batana cahti hu....

Waise to Laxmi, durga, saraswati kaha jata hai ladkiyo ko..
To kyu uske janm par mara jata hai ush masum ko....
Ladka hai to hamara chirag hamara vans aur ladki hai to sir ka bojh...
Jara yaad kro aise soch walo ladki na rahe to kahan se laao tum apna vans apna chirag...
Jo tmhe har khusiya De uski jra izzat ni krte....
Samjhte pair ki jutti **...
Are suno bewakufo...
Bina aurat aage ni badh sakte **....

Ladki ka to pura jeevan hi aisa hota hai... Ladki kabhi apna nahi soch sakti suru se maa baap Ka kaha manana aur fhir pati aur saas sasur ka... Apni khusiyo se jada pariwar ka sochna khud ki khwahiso ka Gala ghot sabki baat Manana....girls don't have life of there own... Chaliy aage dekhte hai.... Jb ldki ki saadi ** jati hai...

Ladki ko to suru se paraya dhan samjha jata hai....
Kyuki ushe vida hokr dusre ka ghar swarana hota hai...
Apni maa ka anchal chod...
Kai nae rista nibhana hota hai...
Kisi ki bahu kisi ki biwi kisi ki cachi 1000 riste bn jate hai...
Un sbko pyar se nibhana hota hai...
Ladki ka to naam hi tyag hai...
Kyuki suru se usne apni khusiyo ko tyagna sikha hai...
Kabhi maa baap ke majburi ke karan..
Kabhi society ke karan...
Aur fhir apne maa baap ko chod sasural jana hota hai...

Jara puchna cahti hu un ldko se... Kya tum apne maa ka saya chod reh skte **... Nahi na... To socho ek ldki kaise rehti hogi.... Wo tumhare liy apna har kuch chod skti hai... To kya tumhara farz ni ki uske khusiyo ka khyal rkho... Itna hi to ek ldki mangti hai.. Aur afsos tum log ushe wo bhi Ni de skte... Ldke bus apni jimmedari saupte hai apne faisle thopte hai... Ldki ke saadi ke baad to ushe apne mayke tk jane ka haq ni hota jbtk pati raazi na **... Kya ldki ki koi life hi  nahi...
Hum niyam to nahi badal sakte par itna to kar sakte hai na ki uske khusiyo ka bhi dhyan rakh ske...Kabhi socha hai ek ldki ke andar kitna kuch chlta hai par itne risto Me wo bandh kar kuch nahi keh pati.... Jara samjho ushe jo tumhe ache se samjh jati hai...
Tum kya khate **... Kya pasand hai... Kya kaam kb krte **... Tumhare kapde se lekar jutte tk har cheez ka khyal rkhti hai... Aur tum uska bhi khyal nahi rakh Pate...

Waqt chlta hai ldki maa banti hai....
9 mahine kya kuch seh ke ek bache ko janam deti hai....
Ush 9 mahine wo kis daur se gujarti hai wo wahi janti hai...
Sb kuch Sehti hai par chu tk ki aawaz nahi nikalti...
Aur ladki ka dard koi samjh ni pata...
Ek bache ko achi parwaris deti hai ushe Bada karti hai...
Ek ladki ki puri lyf ek battle field se kam nahi hoti...
Ladki janam se maut tak bahut kuch jhelti hai...
To apka bhi farz banta hai ushe samjhna....
Uski khusiyo ka khyal rkhna...
Ajj jada nahi ek baar Akele baith kr socha what a Girl do for uhh...
As a mother, sister, wife even ur girlfriend...just think ND try to understand her....
Ek khusi ushe bhi dekr dekhiy... Sach Me ldki ishse jada kuch nahi cahti...

Last Me itna hi kahungi...ladki dusro ke liy jeete jeete apna antim saans leti hai....
Pls I request to all boys and men.... Stop to hurt ur wife sister mother or gf just respect what they do for you.... And app bhi kuch krna sikho... Unke liy...
Main tumhe dhundhne swarg ke dwar tak,
roj jaata raha, roj aata raha.
Tum gazal ban gayi ban gayi,
geet me dhal gayi,
Manch se main tumhe gungunata raha.

Zindagi ke sabhi raste ek the,
sabki manzil tumhare chayan tak rahi.
aprakashit rahe peer ke upnishad,
man ki gopan kathayein nayan tak rahi,
Praan ke pristh par preet ki vartani
tum mitati rahi, mai banata raha

Main tumhe dhundhne swarg ke dwar tak,
roj jaata raha, roj aata raha.
Tum gazal ban gayi ban gayi, geet me dhal gayi,
Manch se mai tumhe gungunata raha.

Ek khamosh halchal bani zindagi,
gehra thehra hua jal bani zindagi,
tum bina jaise mehlon me beeta hua
urmila ka koi pal bani zindagi.
drishti akaash me aas ka ek diya
tum bujhaati rahi mai jalaata raha.
Main tumhe dhundhne swarg ke dwar tak..

Main tumhe dhundhne swarg ke dwar tak,
roj jaata raha, roj aata raha.
Tum gazal ban gayi ban gayi,
geet me dhal gayi,
Manch se main tumhe gungunata raha.

Main tumhe dhundhne swarg ke dwar tak..!!
Copyright© Shashank K Dwivedi
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook-https://www.facebook.com/skdisro
Shrivastva MK Feb 2017
Bikhar se gye ye Pal mere khushi ke
Unke chale Jane ke baad,
Nikal gye en aankho se aansoo
Unki yaad aane ke baad,
Aaj nazane kyon khamosh Hai ye dil mera
Unka sath chhut Jane ke baad,
Pal Pal kuchh tutne ki aawaj sunai de rhi mujhe
Sab kuchh tut Jane ke baad,
Hansu to Kaise Hansu jab meri Hansi hi chali gyi
mujhse Ruth Jane ke baad,
Ye ek ek Pal ek saal ki Tarah Kat rahi Hai
Jabse chhut gya unka sath,
Ai Hwa zara unse kah Dena ki mere kabra par ek phul chadha Dena
Mere saans tutne ke baad,
Mere sans tutne ke baad....
Meri pehchan shirf itni hai ki "I'm born in INDIA" Bharat meri pehchan h, Bharat mera samman h, Bharat mera Abhimaan h
||
Aap mujhshe sab kuch cheen sakte **, mera tan mera lahu par meri pahchaan mujhse Bhartiya hone ki nahi cheen sakte aur wahi meri identity hai, mai bhartiya hu mujhe iss par bahot garv hai or iss se uper koi garv mujhe chahie v nahi ||
Mai Bharat maa ka beta hu pahle ,uske baad ek maa ne mujhe janm dia h is sthal bharat bhumi par ussi ki lie kuch likha tha ye ki..
KAASH MERI ZINDGI ME SARHAD KI KOI SHAAM AAYE
KAASH MERI ZINDGI MERE WATAN KE KAAM AAYE
NAA KHAUF HAI MAUT KA OR NAA AARJU HAI JANNAT KI
MAGAR JAB KABHI ZIKR ** SAHEEDO KA
KAASH MERA V NAAM AAYE KAASH MERA V NAAM AAYE
This is what i would love to introduce myself like that....
Agar koi puche ki kaun tha wo -
JAB KOI PUCHE MERE BAARE ME
TO MERI YE PEHCHAAN LIKH DENA
UTHANA MERA COMMANDO DAGGER
OR CHATTI PAR HINDUSTAAN LIKH DENA
KOI PUCHE PAGAL THA WO KAUN
TO BHAGAT SINGH OR KRANTIKARIO KA CHELA
OR INQUILAB KA GULAM LIKH DENA
AUR BACHA ** JO **** ME LAHU
NIKALNA USSE OR FEKANA ZAMEEN PE
OR MAA TUJHE SAALAM LIKH DENA
Yhai parichaye tha hai or rahega...... |||||||||
Aaj kal bahot ek mudda chal rha h Desh bhakti kuch logo ne usse Hinduo se jod dia kuch ne mushlmaano se kuch ne sikkho se kuch ne ishayeo se, ek baat yaad rakhna hum pehchaan hai Ek aisa mahavidyalaya ek aisa university (its like an university ,its like a college the country is like college, we may have different wings, we may have different subjects but we all belong to une college/ university and that is Bharat ||
aaj bahot jaruri ** gya uss ‪#‎traitor‬ us gaddar ya behter language me usse ‪#‎gaddar‬ or ‪#‎Chutia‬ khenge..
lets talk about that person jisne har fauji har iss bharat maa ke bete ko hurt kia h aaj uske baare me baat karna bahot jaruri ** gya h
Naa hinduo se naa mushalmano se
iss mulk ko taqleef hai gaddar or baemaano se
jinhe hum haar samajh baithe the
gala apana sajane ko
wahi ab naag ban baithe
humhi ko kaat khane ko
Pichle 2-3 mahine, it has been disturbing me a lot " I being an Indian ,I being a simple son of this motherland feel hurt ..
Bura lagta haikaaran ye hai log kahte hai hum kuch kar nahi sakte
"Aisa hai karne par aa jaye to bahot kuch kar sakte hai , lekin hum samman karte hai bharat ke sarrwoch nyayalay ka (Supreme court ka )" or uske aadesh ki awhelna nahi karna chahte hai , uske aadesh ka paalan karte hue kuch gaddaro ko aaj v chod rakha hai,
warna aisa hai kaam hi haddia todne ka or jaan lene ka hindustani fauz karti hai |
kisi ne kaha mai unn gaddaro ka naam lena v pasand nahi karunga,bcz wo itna v deserve nahi karte ki unka naam is juban par aaye
but ek cheej bolna bahot jaruri hai ''ki Bhartiya senaa ****** hai"
Agar gharo me baithe ** naa or tumhari behne or tumhari maaye ghar se nikal kar jaa rahi hai to sirf ye hindustani fauz hai jiski dumm pe tumne bhai hone kaa baap hone ka farz nahi nibhaya hoga "this is the only indian armed forces which maintain the degnity of a soldier nad maintains that brotherhood" aapki bahne aapki maaye agar surakshit hai to wo bharat ki senaye hai jiske kaaran hai , bolne ke pahle socha karo or kismat bahot acchi thi ki fauz ke saamne nahi bola warna jo Hero bana di na iss desh ne ,fauz tum jaise ko choddti bhai nahi ....magar ye bharat ka samvidhan hai "there is the constitution of India" jisne baandh rakha hai humare haatho ko , Krodh karna meri aadat nahi hai magar aata hai gussa islie aata hai kyuki chanakya ne kaha ki akshar maine juthe logo ko mushkurate hue dekha hai .. jo sach bolta hai or dil se bolta haai usko gussa bahot aata hai or ye gussa iss bat ka hai ki iss desh me kutto ko maarne ki permission nahi hai isliye abhi tak bache hue ** "Ask ur sister ask ur family members ,if there are 10 young boys & if there is a single soldier ,ask a young girl where would you go for the help and whom would she ask for the help & i insure this that girl would go to a soldier and ask and she will say one thing suddenly she will use this word Bhaiya meri help kijie" kya hai ye jawani sambhal nahi rahi hai to batao 23 saal me Saheed Bahagat Singh,
Ram Prashad Bishmil bada bada kaam kar ke chale gye, bahot garmi aree sena join karo bharat ki fauz me aaodushmano se lado naaghar ke ander kyu dushmani ka mahaool banate **.....
Kisi ek bewkoof ne ye kah diya ki Bhagat Singh jaisa hai ,Abe sharm karo and clear ur facts before you compare that guy with revolutionaries, kaun the wo or kiski baat kar rahe ** uss inshaan ki who can't deliver two right sentences in one particular languages,
Aap uski comparison kar rahe ** jo Bharat ke samvidhan ko gaddar kah rha hai..
Thik hai bolne ki azadi hai magar ye azadi di kisne hai ," The freedom has been given to you bye the constitution of this country,The Honorable Supreme Court has some guidelines the honorable constitution of this country has some guideline and we must respect that "
Aap kaise Bhartiya sena ko ****** kah sakte ** sharm karo uss sentence par agar aaj v bacchia surakshit hai if the Indian youth if everybody who ever is doing what ever they want to do if this freedom has been given to them is just because of one thing that Indian Army ,Navy,Airforce, Indian armed forces are fighting for you day and night.
Jab tum sone jaate ** tab unki duty ka waqt shuru hota hai , sharm khao iss baat k lie aur yaad rakho Bharat ko todne ki koshish mat karo
Naa hinduo se naa mushlmano se
Iss mulk ko taqleef thi hai gaddaro se or bayemano se .
Or yaad rakho "Apni azadi ka galat upyog mat karo "
JAI HIND
Copyright© Shashank K Dwivedi
Web- skdisro.weebly.com
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
So Dreamy May 2017
Hari itu hari Sabtu. Dan, aku sedang ulangtahun.

Sepi. Hanya terdengar suara tetesan air dari keran yang lupa ditutup rapat di wastafel dapur. Desiran angin yang menggesek dedaunan di halaman belakang. Bambu angin yang bersiul di teras rumah tetangga sebelah. Jalanan beraspal yang kosong. Terpaan sinar matahari. Mangkuk beling yang diketuk penjual makanan keliling. Suara jarum detik jam dinding.
Dalam diam aku menunggu. Mahesa belum juga datang. Duduk di atas sofa, perlahan kulahap sekantung keripik kentang, suara iklan di televisi kini menjadi musik latar yang mengisi siang terikku yang sepi ini. Lupakan fakta bahwa kakakku, Mas Kekar, adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulangtahunku. Ucapan ulangtahunnya tiba tadi pagi pukul tujuh lewat pesan suara. Kalau ada Nenek, ia pasti akan membuat kue tar dan nanti malam kami akan duduk melingkar di atas meja makan, menyantapnya bersama-sama sambil minum teh lemon. Sayangnya, sekarang rumahnya jauh; di surga.
Tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Satu notifikasi baru, ada satu pesan masuk. Dari Mahesa, katanya ia akan sampai lima menit lagi. Baiklah, akan kutunggu dengan sabar. Walaupun ia bilang akan menjemput pukul setengah dua belas ― aku sudah menunggunya sejak pukul sebelas lewat, sekarang pukul satu, dan lima menit lagi ia akan datang. Menghabiskan waktu seharian bersama Mahesa selalu menjadi momen istimewa bagiku, membuat jantung jumpalitan tak karuan, dan berakhir tersenyum-senyum sendiri setiap kali sebelum memejamkan mata di atas tempat tidur pada malam hari. Singkatnya adalah orang ini selalu membuatku bahagia, sadar atau tidak sadar dirinya, ialah sumber kebahagiaanku. Bulan dan bintang bagi malamku.
OK. Kubalas pesannya, lalu kubuka pesan-pesan lain yang mungkin belum kubuka. Tidak ada pesan lain atau telepon. Belum ada telepon dari Ayah ataupun pesan singkat. Entah kapan ia akan pulang. Entah kapan ia akan menyempatkan diri membuka kalender, teringat akan sesuatu, dan mengucapkan, “Selamat ulangtahun.”.
Aku berjanji tidak pernah ingin jadi orang yang hidup tanpa memiliki waktu.
Bel berbunyi dan pintu diketuk. Spontan, aku merapikan rambut, memakai tas selempang, dan bangkit. Kusiapkan senyum terbaik untuk menyambut Mahesa. Setelah pintu kubuka, senyumku langsung sirna. Mang Ijang, tukang pos daerah kami yang malah muncul.
“Siang Mbak Maura, ada tiga surat buat Bapak,” dia menyerahkan tiga surat berbentuk persegi panjang yang sangat familiar bagiku. Sudah berpuluh, bahkan mungkin ratusan kali aku menerima surat macam ini sejak lima tahun terakhir. Kubaca nama perusahaan yang tertera di kop surat itu. Masih sama seperti biasanya; bank, perusahaan listrik, perusahaan telepon.
“Tandatangan di sini dulu, Mbak,” Mang Ijang menyerahkan pulpen dan sebuah kertas tanda terima surat. Setelah kutandatangani, ia pergi.
Kubuka surat itu satu per satu sambil duduk di kursi teras. Surat-surat tagihan, seperti biasa. Hampir dua bulan rupanya Ayah tidak membayar tagihan telepon. Aku bahkan tidak berselera lagi membaca nominalnya. Aku menghela napas dan memandangi jalanan kosong di depan rumah. Kuputuskan untuk memakai earphone, memilih playlist di aplikasi musik, menunggu Mahesa di kursi teras sambil ditemani angin semilir.
5 menit.
Everything is Embarrassing – Sky Ferreira.
10 menit.
Please, Please, Please, Let Me Get What I Want – The Smiths.
15 menit.
Love Song – The Cure.
Dua puluh menit kemudian, Mahesa datang. Senyumku seketika merekah, walaupun ia terlihat begitu lelah. Kaos polo abu-abunya basah oleh keringat, dahinya dibanjiri keringat, napasnya terengah-engah dengan ritme yang tak beraturan. Aku duduk di sampingnya yang memegang kemudi dan masih bisa mencium wangi parfumnya samar-samar, meskipun tujuh puluh persennya sudah bercampur dengan semerbak peluh. Tapi, siapa peduli? Menurutku, ia tetap mengagumkan.
“Maaf lama, Ra. Tadi ada urusan penting yang mendadak,” katanya sambil memilih-milih saluran radio. 19.2, saluran radio yang khusus memutarkan musik-musik indie dan jadul. Mungkin ini salah satunya mengapa sejak awal aku tertarik dengan manusia yang satu ini dan berujung benar-benar mengaguminya, kami menyukai jenis musik yang sama. “Jadi, ke mana kita hari ini? Dan, akan mengobservasi apa?”
Kubuka catatan jadwal terakhir kami, “Hmm. Hari ini jadwal kita ke galeri seni kontemporer yang ada di sebelah balai kota dan pameran seni di hotel Metropolite. Kita bakal mengobservasi lukisan kontemporer supaya bisa membandingkan dengan jenis lukisan yang lain.”
Kamu benar, sesungguhnya ini hanyalah sekadar tugas kelompok bahasa Indonesia. Mungkin bagi Mahesa begitu, tapi bagiku bukan sama sekali. Kuanggap ini sebuah kebetulan yang ajaib. Kebetulan kami sekelompok. Kebetulan kami berdua sama-sama tidak masuk di hari ketika guru Bahasa Indonesia kami membagikan kelompok dan kami masuk ke dalam kelompok terakhir, kelompok sisa. Kebetulan kami memilih tema seni lukis dan belum ada kelompok lain yang mengambil topik itu. Kebetulan dua anggota kelompok kami yang lainnya tidak bisa diandalkan, yang satunya sakit berat dan yang satunya lagi sudah dikeluarkan dari sekolah sejak bulan lalu. Kebetulan hanya aku dan Mahesa yang tidak bermasalah. Maka, hanya kami berdua yang selalu jalan ke tempat-tempat untuk mengobservasi. Sejak saat itu, aku percaya akan keajaiban.
---
Semuanya berawal dari pertemuan singkat kami di minggu keempat kelas sebelas. Oke, ralat, bukan sebuah pertemuan lebih tepatnya, melainkan hanya aku yang memandanginya dari jauh. Namun, itu satu-satunya kejadian yang mungkin dapat memberi jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana perasaan ini bisa muncul. Bukan secara tidak sengaja dan spontan seperti yang biasa kau dapatkan di adegan jatuh cinta pada film-film romansa norak, tetapi adeganku sederhana, penuh kehati-hatian, dan perlahan.
Kelas sebelas adalah tahun yang cukup sulit bagiku. My dad was busy more than ever—well, until now dan itu tahun pertama Mas Kekar menginjakkan kaki di dunia perkuliahan. Dia diterima di salah satu universitas negeri ternama di Bandung, jadi hanya pulang ke rumah setiap akhir bulan. Aku punya waktu sendirian di rumah dengan jumlah yang berlebih.
In that year, my friends left me. Ghia pindah ke luar kota dan Kalista bergabung dengan anak-anak populer sejak mendaftar sebagai anggota baru di tim pemandu sorak. Kami hanya makan siang bersama pada beberapa hari di minggu pertama sekolah, setelah itu dia selalu dikelilingi dan menjadi bagian dari kelompok cewek-cewek pemakai lip tint merah dan seragam yang dikecilkan. Aku mengerti, barangkali dia memang menginginkan posisi itu sejak lama dan citra dirinya memang melejit pesat, membuat semua leher anak cowok melirik barang beberapa detik setiap ia berjalan di tengah koridor. Lagipula, jika ia sudah mendapatkan status sosial yang sangat hebat itu, mana mungkin dia masih mau berteman dengan orang sepertiku? Maura, the average one, yang selalu mendengarkan musik lewat earphone, yang lebih banyak menyantap bekal di dalam kelas pada jam istirahat. Aku hanya masih tidak paham bagaimana seseorang yang semula kau kenal bisa berubah menjadi orang lain secepat itu.
Tapi, hal lainnya yang cukup melegakan di tahun itu adalah aku bertemu dengan Indira. Kami berkenalan pada hari Senin di minggu kedua kelas sebelas, hari pertama dia masuk sekolah setelah seminggu penuh dirawat di rumah sakit karena DBD. Begitu melihatku duduk sendirian di baris paling belakang, dia buru-buru menghampiri sambil bertanya, “Sebelahmu kosong?”. Sejak itulah kami berteman.
Indira dan teman-temannya biasa menghabiskan makan siang di bangku koridor lantai satu yang menghadap ke lapangan, bukan di kantin. Walaupun secara harfiah aku bukan salah satu bagian dari kelompok pertemanan mereka, Indira selalu mengajakku bergabung dan orang-orang baik itu rupanya menerimaku.
Di bangku koridor itu kali pertama aku memerhatikan anak laki-laki yang bermain bola setiap jam istirahat kedua. Hanya ada dua-tiga orang kukenal, itu juga karena mereka teman sekelasku sekarang atau di kelas sepuluh, sementara selebihnya orang asing bagiku. Di antaranya ada yang berperawakan tinggi, rambut tebal, rahang yang tegas. Aku hanya belum tahu siapa namanya waktu itu.
Selanjutnya, aku bertemu dengan laki-laki itu di kantin, sedang duduk bersama beberapa cowok yang tidak kukenal, tertawa lepas. Mungkin karena aku jarang ke kantin, aku baru melihatnya di sana waktu itu. Pada acara demo ekskul, aku melihat dia lagi. Bermain bass di atas panggung. Anggota klub musik rupanya. Pemain bass. Pada hari-hari berikutnya, aku lebih sering melihatnya berjalan di koridor depan kelasku, kadang sendirian dengan earphone, kadang ada beberapa temannya. Anak kelas sebelas juga rupanya, jurusan IPS juga. Hari-hari berikutnya, selalu kutengokkan kepala ke jendela setiap kali ia lewat di depan kelasku. Aku penasaran, kenapa mataku tidak pernah melihat orang semenarik dia sebelumnya? Dan, kenapa dia hanya muncul di tempat dan saat-saat tertentu, seperti saat istirahat, masuk sekolah, dan jam pulang? Hari-hari berikutnya, berpapasan dengannya membuatku senang sekaligus semakin penasaran. Dia anggota klub fotografi juga, aktif, sering memimpin rapat anggota di kantin sepulang sekolah, dan ternyata karyanya banyak dipublikasikan di majalah sekolah. Dari situ aku tahu namanya, Mahesa.
---
“Geser ke kanan sedikit. Bukan, bukan, sedikiiit lagi. Sedikiiit, oke, pas!”
Sebagai dokumentasi, Mahesa memotret beberapa lukisan dari berbagai angle dan beberapa kali memintaku untuk berpose ala-ala tak sadar kamera. Tentu saja aku pasti bersedia, selalu bersedia. Dia juga merekam keadaan sekitar dalam bentuk video, yang katanya, bakal dia edit menjadi super artsy.
“Percaya sama gue, kita bakal jadi tim paling keren yang menghasilkan dokumentasi paling berseni, Ra,” kata Mahesa sambil tersenyum sendiri melihat hasil jepretannya.
Destinasi terakhir kami—pameran lukisan yang sedang digelar selama seminggu di hotel Metropolite—akan tutup sepuluh menit lagi, tepat pukul tujuh malam. Setelah terakhir kalinya Mahesa merekam keadaan pameran dan beberapa pengunjung yang masih melihat-lihat, baterai kameranya habis. Sebelum pulang, Mahesa bilang dia tahu tempat makan enak di sekitaran sini. Jadi, kami mampir untuk mengisi perut dengan soto ayam dan berbincang-bincang sebentar, setelah itu baru benar-benar pulang.
Di perjalanan pulang, derai hujan turun perlahan. Karena rumah kami terletak di pinggiran kota, jadi kami harus melalui jalan tol atau kalau tidak, akan lebih jauh. Mahesa memencet-mencet tombol radio, mencari saluran nomor 19.2, tapi setelah mendengar acara yang dibawakan penyiar radio, dia langsung mengganti asal saluran radio yang lain. Saluran radio yang menyiarkan lagu-lagu pop kekinian yang sedang hits.
“Sekali-kali dengerin genre lain, ya, Ra,” katanya sambil menginjak rem. Jalanan seketika padat merayap di depan kami. Mungkin karena hujan mulai deras, jalanan mulai tergenang, orang-orang mengemudi dengan lebih hati-hati.

(bersambung.)
to be continued.
Shrivastva MK May 2015
Maa tere pyar ke aanchal me
pale bade hum,
tere sikhaye hua rashte par
chalte hain hum,
Maa tujhe kabhi bhi na ** dukh,
eske lia bhagwan se prathna karte hain hum,
Maa tere pyar ke aanchal me
pale bade hum. ..


Tere charano me maa
ye dunia sari dhikhti hain,
baccho ke lia maa tu bhagwan si lagti hain,
tujhe maa kabhi bhi na denge dukh hum ,
Maa tere pyar ke aanchal me
pale bade hum. ..


Maa apne baccho ke lia
jaan bhi de deti hain,
kahti hain Maa
mere bete tujhe kuchh hone na
denge hum,
Maa tere pyar ke aanchal me
pale bade hum. .
Maa ko dukh dene wale
rote hain aakhri dum .. .
maa tere pyar ke aanchal me
pale bade hum ..
Dedicated to my mother
                                 Shrivastva MK
Zindagi aapse hi khubsurat hai humari,

Aapke sang hi rehna humein umar saari.


Har janam aap hi humsafar ** humare,

Yahi dua hai us neeli chhatri wale se. 


Ye dhadkane bhi ruk si jaati hai aapse jab baat ni hoti,

Aapki wo tagri daant bhi sacchi humein bhut pyaari lagti.


Is Dil ki har dhadkan Kuch kehna hai chahti,

Sirf aur sirf aapke pass rehna chahti ji.


Aapka Naam hi tou humare naam ko pura krta,

Aapki muskaan dekh ke hi ye dil humara bhi dhadakta.


Ye meelon dur ki duriya humara Kuch ni bigaad sakti,

Aapki tasveer seene se lagake hi Roz soti.


Ek aap hi apne apne se lagte **,

Aap pass ** tou bhul jau duniya ko.


Kaise kahu mai aap kitna mayne rakhte **,

Jo dua us ishwar ke darwaze pr roz hum Kare wo puri **.


Humesha har kadam par saath saath rahein hum dono,

Koi bhi Juda na kar paaye humko.


Aap Jaise fikar karte, pyaar karte aise koi bhi nahi kar sakta,

Is sacchi mohabbat sacchi shiddat se hi jeene ka dil karta.


Jeene ka sahara jeene Ka matlab hi aapse hai mere saathiya,

Aap saath ** tou saanse chalti hain mere mahiya.


Mai hu aapki in haathon ki lakeero mein,

Aapko paakar sabse qismat wala bna Diya uparwale ne.


Khushnaseeb hai humari taqdeer jo aap humko mile.

Aapke aane se zindagi mein phul khile.



Jo labz  hothon se keh Nahi paate,

Wo bhi aap samajh ** jaate. 


Dil Ka dard jab bayan Nahi karte,

Wo bhi aap itni dur se pata laga lete.


Har dard har jhakam apne aap thik ** jaata,

Jab ye Dil us pyaare se Dil ke seene se lag ke sukoon paata.


In hawao ki sarsarahat ke zariye wo ehsaas bhejna,

Humesha Aapke Saath Hu sunnu ji aapka ye kehna.


Sacchi beintehaa sukoon deta is rooh ko,

Ishwar humesha mehfooz rakhe aapko.


Kadi dhup ki pyaari si chaav aap ban jate,

Har Khushi har aansu ek dusre se baat te.


Wo hi hain zindagi Ke sabse pyaare lamhe har dard bhi lete ** bhaap,

**** se tou har koi pyaar kr leta rooh mein basna kise kehte uski misaal ** aap.


Bhagwaan ji mujhe maaf kr dena,

Aapse bhi badhkar Kisi ko maine samjha.


Inke saamne sajda mai jab bhi karti,

Meri bandagi zindagi dono puri ** jati.


Agar rabb mujhse puche ki tumhein kya du

Mai bina soche bas Aapka naam keh aapko maang lu.


Aap bhale hi duniya ke liye ek insaan **,

Mere liye tou aap hi puri duniya **.


Zindagi ** tou aapke saath warna,

Koi zindagi bhi nahi chahiye mere khuda.


Aapke saath jiyenge aapke sang hi marenge,

Kuch Nahi chahiye humein neele aasman ke neeche bhi aapke sang reh lenge.


Bs aap humesha humare pass humare saath rehna,

Isse jyada Kuch Nahi humko kehna.


Wish you a very very happy anniversary dear sweeeeeetuuuuu ji. Aap ** tou Sab Kuch hai humare pass. ... Sabse most important part of my life is justttttttt you. I love you dheeeeerrrrr saaaaraaaaaa MERI jaaaaaaannn...feeelllll you the mosttttttt. Aap ** humare pass jeene ki wajah hai ... Thankyou so much for always being there with me my dear sweetesttttttttt life partner..❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ I am soooooooooooo muchhhhhhhhhhhhh luckiestttttt and blesseddddddd to have you munnnnnnnnnnnuuuuuuuu jiiiiii ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ bhagwaan ji aapki har manokaamna Puri krein ..aapko dheeerrr saaariiii khushiya de...humesha mehfooz rakhein ...jaldi se aapko success mil Jaye aur aap apni is Dil ki raani ko Apne sang le jao humesha ke liye ❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️❤️ I love you a lottttt more than my life ..my life ..my lifeline ...my everything ....Sab Kuch aap ** .... Happy anniversary sweetuuuu ji❤️❤️❤️❤️❤️
31 may most special one
Maa ki mamta ko dekh maut v
aage se hat jati hai
gar  maa apmanit hoti
dharti ki chaati fat jaati hai
ghar ko pura jeevan dekar
bechari maa kya pati hai
rukha sukha kha leti hai
paani *** kar soo jati hai

Jo maa jaisi devi ghar ke
mandir me nahi rakh sakte hai
wo lakho punya bhale kar le
inshan nahi ban sakte hai
maa jisko v jal de-de
wo paudha sandal ban jata hai
maa ke charno ko chukar paani
Gangajal ban jata hai

Maa ke anchal ne yugo-yugo se
Bhagwano ko pala hai
maa ke charno me jannat hai
Girijaghar aur Shivala hai
Himgiri jaisi unchai hai
sagar jaisi gahrai hai
dunia me jitni khushboo hai
maa ke anchal se aaye hai

Maa kabira ki sakhi hai
maa tulsi ki chaupai hai
meerabai ki padawali
khusru ki amar rubai hai
maa angan ki tulsi jaisi
pawan bargad ki chaya hai
maa ved richao ki garima
maa mahakavya ki maya hai

Maa maansarovar mamta ka
maa gomukh ki unchai hai
maa parivaro ka sangam hai
maa rishto ki gahrai hai
maa hari dubh hai dharti ki
maa keshar wali kyari hai
maa ki upma kewal maa hai
maa har ghar ki phulwari hai

Saato sur nartan karte jab
koi maa lori gaati hai
maa jis roti ko chu leti hai
wo prasad ban jati hai
maa hasti hai to dharti ka
jarra-jarra muskata hai
dekho to dur kshtiz ambar
dharti ko sheesh jhukata hai

Mana mere ghar ki deewaro me
chanda si murat hai
par mere man ke mandir me
bas kewal maa ki murat hai
maa saraswati lakshmi durga
ansuya mariyam sita hai
maa pawanta me ramcharit
manas me bhagwat geeta hai

Amma teri har baat mujhe
vardaan se badhkar lagti hai
he Maa teri surat mujhko
bhagwan se badhkar lagti hai
saare teerath ke punya jaha
mai un charno me leta hu
jinke koi santan nahi
mai un maawo ka beta hu

Har ghar me Maa ki puja **
Aisa sankalp uthata hu
Mai dunia ki har maa ke
Charno me ye sheesh jhukata hu.....
Copyright© Shashank K Dwivedi
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
kundan kumar May 2015
maa
payar ke do lamhon me kho jana chahta ***
maa ke aanchal me so ja jana chahta ***
mamta ki sarowar me dub jana chahta ***
yein duniyan ki rasme se parein hona chata ***
is jhut ki nagri se niklna chahta ***
payar ke do lamhon me kho jana chahta ***
maa ke aanchal me so ja jana chahta ***
yein badal tu mujhse kyun puchh raha h
tu bhi to maa ki mamta ko chahta h
tabhi to pani bankar maa ki god me barasta h
mai bhi apne aansu maa ki god me bahana chahta ***
payar ke do lamhon me kho jana chahta ***
maa ke aanchal me so ja jana chahta ***
yein pat tu mujhse kyun puch rahan h
tu bhi to maa ki god me samana chahta h
kabhi patjhar, to kabhi aandhi ke karan maa ki god me aana chahta h
mai bhi apne mastak maa ki god me girana chahta ***
payar ke do lamhon me kho jana chahta ***
maa ke aanchal me so ja jana chahta ***
Ankit Dubey Mar 2020
Zikr jab zindagi ka hota hai toh hum aksar apni zindagi ke guzre waqt ke flashbacks mein chale jaate hai, aur kehte hai zindagi toh bohot buri guzar rahi hai.. yeh maana ki jo beet gaya hai usse bhulaya toh jaa sakta hai magar apne zehan se mitaya nahi jaa sakta.. bas unn tamaam ache-bure daur ko muqaddar samjhkar aage badha jaa sakta hai. Aur life mein ek phase aata jab humein lagta hai ab aur kya dekhne ko baaqi reh gaya hai zindagi mein saare tajurbe aur sabaq mil chuke hai ab toot jaane mein hi bhalayi hai haar jaana hi ek aakhri sahi rasta hai. Aur phir apni khushiyon ka shok aur barbaadiyon ka jashn manane lag jaate hai. Magar khushiyan bhi itni aasani haar nahi maanti. Zindagi humein har ache-bure daur ke baad ek khoobsurat tohfa deti hai jisse hum mauka kehte hai. Humein zindagi se mile wo saare tajurbe aur sabaq phir se jeene ka hausla dete hai. Ek nayi umeed dete hai. Aur shayad isliye hum zindagi ka saath nahi chhorte.
Beete kal mein pareshan rehte hai, aane kal ki fizool mein fikar rehti hai aur jo aaj hai usse jeete toh hai magar thodi bechaini ke saath. Jo guzar gaya usse accept karke aage badh jao, jo kal hoga wo tumhare aaj ki mehnat se pata chalega na ki fikar se, aur apne aaj se mohabbat karo.
Ek badi ajeeb si cheez hai jo hum sabhi ke saath hoti hai jab hum 5-6 saal purani tasveer mein khudko dekhte hai toh hasi aajati hai ki kaise the hum ab waqai behtar badlaav aaya hai hum mein wo badlaav tum laaye ** khud ke andar. Waqt ke saath mature hokar, mushkil se mushkil maqaam haasil karke, apna vision aur mindset positive rakhkar, apni zindagi ko sahi raaste mein le jaakar. Isliye tum haare nahi **, zindagi mauke deti hai magar tumhe ehsaas tak nahi hone degi kab tumne uss mauke ka fayda utha liya. Aur agar kabhi bura phase aaye toh uss mein bekhauf hokar jeena magar sahi waqt par nikalkar apni zindagi ko behtar bana dena. Kyunki abhi tumhara qissa khatam nahi huwa, abhi tumhe nikhar ke wapas aana hai kahani badalne.. .
JAMIL HUSSAIN Oct 2016
Main Talkhi-e-Hayat Se Ghabra Ke Pi Gaya
Gham Ki Siyah Raat Se Ghabra Ke Pi Gaya

With the worry from bitterness of life, I drank
With the grief of my darkest night, I drank


Itni Daqiq Shai Koi Kaise Samajh Sake
Yazdan Ke Vaqiat Se Ghabra Ke Pi Gaya

Such delicate substance, how can one comprehend?
With the fear of merciful moment, I drank


Chhalke Hue The Jaam Pareshan Thi Zulf-e-Yaar
Kuchh Aise Hadsat Se Ghabra Ke Pi Gaya

Overflowing cups and beloved’s anxious tresses
With the concern for such calamities, I drank


Main Aadmi Huun Koi Farishta Nahi Huzur
Main Aaj Apni Zaat Se Ghabra Ke Pi Gaya

Human I am and no angel O’ respected
Today, with the vigilance of my own being, I drank


Duniya-e-Hadsat Hai Ik Dardnak Giit
Duniya-e-Hadsat Se Ghabra Ke Pi Gaya

World of incidents is an agonising song
With the discomfort of this world of incidents, I drank
  

Kante To Khair Kante Hain Is Ka Gila Hi Kya
Phulon Ki Vardat Se Ghabra Ke Pi Gaya

Thorns are yet thorns and there is no complaint
With the scare from crimes of flowers, I drank


Saghar Vo Kah Rahe The Ki Pi Lijiye Huzur
Un Ki Guzarishat Se Ghabra Ke Pi Gaya*

Saghar they said drink O’ respected
And with the care for their wishes, I drank


— Translated by Jamil Hussain, Poet Saghar Siddiqui, Sung by Nusrat Fateh Ali Khan
Ashna Alee Khan Sep 2016
Kabhe pucha hay apnay app say kay tumnay kitnay waday torhay hein?
kabhe pucha hay apnay app say kay kitnay logouin ka dill tora hay?
kabhe pucha hay apnay app say kay tumnay apne eik nazar say kis kis ko apne he
nazrouin mein gerayya hay?
- nae pucha nah? kese din pucho gay nah tou mrnay ka dill chahy ga, zindage kay
naam say chirnay lago gay.
Kabhe pucha hay kay tum Zindage kay naam per eik beyqaar zindage jee rahay
hou? aur phir kehthy hou ''yaar kya krien zindage he esse hay''. Kabhe Zindagi
ke kitaab ko khol kr tou dekho kya kya rakha hay uiss mein. Zindage bahot he
haseen hay sirf hum masroof hein apne duniya mein wou duniya jis mein kuch
nahe sawaye humaray. Ajj loug dusrouin ke mintein krtay hein kay ''ruk jau''
''na jau'' jb kay mery khayaal mein ye loug bhul chukay hein kay '' jis ko jana hay
uis ko jana hay chahy tum apne jaan kyun na deh dou''. Ajj tou logouin ke
zindage andhere hojaate heh jab koe uinka ''dost'' ya ''yaar'' chor jaye aur wo uis
khuda ko bhool jaatay hein jis nay uis ko usse ''dost'' ya ''yaar'' say milaya tha.
Hum loug tou apnay Khuda ko bhe bhul chukay hein. Wo Khuda jis kay pass
humnay waapis jana hay wo Khuda jis kay bagheir humare koe ukaat nae.
Barhay Unchay gharouin mein reh reh kr apnay app ko Khudha samjhna shuru krdeya hay humnay.
Ess zamaanay mein koe kese ka Dost nae hota barha Dost Dost krtay hou na jab doob rahay hou gay
kudhe dekhna kay sab DOST tamasha dekh rahay hogein aur tum zindage ke tarf aanay ke bher-poor
koshishein kr rahay hou gay, tab apnay app say puchna kay ye wo DOST thay jin kay leye tum apnay
maa-baap say laray? uin kay samnay uncha bolay? sharmindage hoi? Ajj hum itnay ''self-obssessd''
hein kay dusrouin ko dekh kay lagta hay chunte jitni ukaat hay uiss ke. Hum apne he Duniya mein
bahot dur nikal aayein hein, asal duniya say bekhabar, asal dostouin say hum la-taluq ** chukay hein.
Hum ajj apnay app mein he kho chukay hein. Apnay rab ko humnay kho deya. Rab ko kho deya matlab
Sub kuch kho deya  ! tou abb hamaray pass koe raasta hay?
-Haan wou rab 5 martaba bulaata hay tumhein apne taraf, jau uiss ke taraf aur apne ASAL ZINDAGE
ke taraf waapse aou.
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
Shrivastva MK Jun 2015
Pyar ke deep jalayenge hum,
Mil kar sath sabhi
Desh ki takat ko badhayenge hum,
Es desh ki mitti hamari hain,
Yahi par janam liya hain
yahi par mar jayenge hum,
Pyar ke deep jalayenge hum,

Mita ke nafrat logon me
phir se bhaichara layenge hum,
Auraton ka samman karenge
Use vishav me devi ka darja dilayenge hum,
Mil kar sath sabhi
pyar ke deep jalayenge hum,

Banenge hum besaharon ka sahara
Apne aap ko itna takatwar banayenge hum,
Na koi bada na koi chhota hoga es desh me,
Ese hi puri duniya ko batayenge hum,
mil kar sath sabhi
pyar ke deep jalayenge hum...
INDIA
Kgolagano Tshela Sep 2017
[Praying] Ka leina la Ntate,la Morwa le la moya o o galalelang
Amen!

She cried while praying

For she never ever in her history felt this way
One could say it was tears of joy and love:
[Praying] Modimo ntate ke rata go go leboga fa okile wa ntshegofatsa ka neo ya motho yo o gapile pelo yame,ke raya sona serunkgi sa pelo yame.Ke lebogela lerato,boikobo le tlotlo yo o mo neileng yona.Ke lebogela fa o mo tlisiitse mo botshelong bame.
Amen!

At the other hand one could say it was tears of fear:
[Praying]Modimo wame yo ke mo rapelang bosigo le motshegare ke wena o itseng maikaelelo a gagwe mo gonna ka jalo kopa o mpontshe tsela gore ka nnete ke ena yo a tshwanetseng pelo yame.
Amen!

Since day one she made sure that she never skipped a day without looking for the answers from the one Above.

She prayed and prayed and prayed and she is still praying not only for her or him but for them:
[Praying]Modimo yo ke mo rapelang bosigo le motshegare,Modimo yo ntirelang ntho tsotlhe ke ipaya pele gago keleng ngwana wa gago mo se sebaka go go kopa gore o babalele kamano ya rona, fa ele ena motho yo ke moratang gape ke batla go tshela le ena.
Amen!

She is really praying, hoping and trusting that this relationship will last.

You should see her when she talks to him
You should see her when his name lights up on her phone
You should see her when she talks about him
You should see her when she hears his name
You should see her when she sees him
You should see her smile when she thinks of him
You should see her
She becomes….
She becomes happy
She is in love
She loves him
She doesn't want to lose him

Her love for him begins at forever and ends at never.

         _____________
Prayer 1: In the name of the Father, the Son and the Holy spirit. Amen!

Prayer 2: Father God, I would like to thank you for the rich blessing of a sincere heartwarming soul, I am talking about the one who captured my heart. Thank you for the love, humility, and respect you’ve given him. Thank you for bringing in my life. Amen!

Prayer 3: The God I worship night and day, you the one who knows his intentions for me therefore I ask you to show me the way, if this is really the one for me. Amen!

Prayer 4: The God I worship night and day, the God who provides for me, I put myself before you as a child of God asking you to protect our relationship for he is the one I love and want to spend my life with. Amen!
VENUS62 Jul 2014
Swaymvar- Wedding! With Translation in English

Kavi, tha khayalon me khoya
Dard-e -dil soch ke roya

Tab Apsara sundarsi hui prakat
Ahista se gayee Kavi ke nikat

Likhte kyun ** kavita hamesha udaas
Racho koi rachna jisme ** harsh-o- ulhas

Ghatne wali hai ghatna avismarniya
Reh jayega baki sub kuch asmarniya

Aney wali hai baraat aaj raat
Yahi kuch gyarah- barah baje ke baad

Chaand ke saath hogi chandni
Sitare layenge jhilmil roshni

Indra layenge varsha ko saath
Varun ayenge thamey badalon ka haath

Suraj layenge bas kiran ek
Teeno mil sajayenge indradhanush anek


Draupadi ke saath honge punch pandav
Shiv bhi karenge nritya tandav

Agni khud karenge havan
Halka sa jhonka denge Pavan

Patton se banegi chudiyan hari
Maang mein mitti hogi lal sindoori

Aasman mein cha jayega kala-neela sa rang
Krishna jab nachenge radha ke sang

Rachegi khoob ras leela wahan
Dekha na hoga kabhi ye jahan

Pakwan har ek hoga anvesh
Bhojan hoga bahut hi vishesh

Srishti banegi ati ati -sundar
Rachegi jab
Ambar aur dharti ka swayamvar!



Translation The Wedding!
The poet was lost in thought
Heartbroken and distraught

When appeared an Apsara ethereal
She touched his shoulder lightly

Why do you write poems full of sorrow
Do write some poems replete with joy

About to happen is an event memorable
Everything else will be forgettable

The bridegroom will ride on a chariot light
Around eleven-twelve tonight

The moon will swing in with his moonlight
The stars will twinkle on their own shining bright

Indra will bring along the rains
Varun will hold the clouds in rein

The sun will be present as a single ray
The trio will create a rainbow array

Draupadi will come with five pandav
Shiv will swirl to his Dance Tandav

Agni himself will do the Havan
Gentle breeze will be supplied by Pavan

The bangles will be made from leaves green
The color of the earth will be vermilon red

The sky will be decked in black and blue
When Krishna will dance with Radha his beloved true

There will be celebrations lavish
Mortals will be left in disbelief

The food will indeed be delectable
Each dish will be a creative spectacle!

Creation will be at her very best
When the earth and sky
will be in their union blessed.
Khuda ke dar ke siwa agar karni ** bandagi,
Mera sir jhuke mehboob ke aage jo hai meri zindagi.

Ibadat karti hu is sachhi mohabbat ki,
Mere humsafar ke bin ye jaan hai aduri si.

Chand roz chamakar intrane laga,
Mere chand ki tasveer dekh khomosh ** gaya.

Ajeeb si betaabi hai tere bina,
Tujh bin har ek pal ye dil ne gina.

Ashq behne lagte hain yaara,
Ek pal ki duri bhi nahi hai gavara.

Log jaate hain mandir masjid khuda ko talaashne,
Apna khuda ko khoj liya humsafar mein humne.

Jaam tou unke liye hai Jinhe nasha nahi hota,
Ishq ke rang is qadar hum par hai chadha.

Aapki yaadon ke nashe mein har lamha doobe rehte,
Is dil ki har dadhkan mein sirf mere mahadev baithe.

Mera khuda hai mere humsafar,
Humesha saath hai aapke chahe kaise ** manzar.

Karwate jitni marzi badal le aye zindagi,
Haskar dard chupane ki karigiri mashoor hai meri.

Par jab aap saamne aate,
Hum sudh budh ko baith te.

Har baat tumse hi befikra hokar aapse keh dete,
Ek aap hi tou hai duniya mein jo humein samajhte.

Dil ke har jazbaat ko bin kahe hi padh lete,
Aapse ek baat hum kehna chahte.

Kabhi udaas na hona aap humsesha aapke hain saath,
Majbooti se pakda hai humne aapka haath.

Saamne na sahi kahin aas-pass hi hu
Rooh se judi hai hamari aabru.

Kuch na kar payenge meelon dur ke faasle,
Palkein band kar dekhiye aapke dil mein baithe.

Aasmaan se farishta utarkar,
Dil mein sama gaye aakar.

Mohabbat hai hamari ibadat,
Aapke aane se mili dharti par jannat.
Neeraj katta Jan 2019
Judai
~~♥~~
Suno jaana
Mujhse kai logo ne pucha hai.
judai kaisi hoti hai.
judai kaisi hoti hai.
Me kehta hu
Zara thehro batata hu.
judai kaisi hoti hai.
judai aisi hoti hai.
bhari mehfil me bhi
kahi tanhai me kho jana.
Kirchi kirchi kanch ke
tukdo sa bikhar jana.
Or un tukdo me ek hi bas
ek hi chehere ka nazar ana.
Judai aisi hoti hai.
Simatna chah kar bhi
khud se na simat pana.
Har kisi ke samne
muskan chehre par le ana.
Dard saare chupane ki
ek nakaam si be-matlab
koshish kiye jaana.
khud apne aap se us
lamhat me nafrat si ** jana.
Judai aisi hoti hai.
Mulakato ke naam pe
milna u to kai logo se
har chehre me usi bas Usi chehre ko dhundte jaana.
Naam uska apne
lab pe saja lena.
Us ki kahi koi baat
yaad ane par rote hue thahake mar ke hans dena.
Or hans kar ke ek dam se khamosh ** jaana.
Naam uska le kar gir padna.
kai raato tak aansuo se
takiyo ko bigo dena.
Duao me usi ke liye
haatho ko failana.
khwabo or khayalo me
usi se wasta rakhna.
na mil pane ka ghum
is dil ko satana.
Or fir tut kar bikhar jaana.
Judai aisi hoti hai.  
Jhukaye gardan fir kabro me apni lout aa jaana.
Jise ham ghar bhi kehte hai.
Use Suna sa dekh kar kadmo ka theher jaana.
fir na utha pana.
Ye sab kya hai
judai ki nishani hai.
Na mil pana, satana, or har kadam har moud par tut'te bas tut'te jana.
Judai aisi hoti hai.
Jaise andheri si gufao me  talash roshni ki ** jaana.
jaise kisi apne ke haatho se haatho ka bichad jana.
Fir na mil pana.
kisi apne ko jata dekh kar
Dur se aawaze laga kar rokna.
Apne haatho ko jhatak na or diwaro pe patak dena.
Or bas kuch na kar pana.
bhari aankho se use
dur hote dekhte jana.
Palkey tak na jhapkana.
Fir aansuo ka jaise
sailab aa jana.
judai ki aag me
jalna,jhulasna
or zinda reh jana.
judai aisi hoti hai.
Judai aisi hoti hai.
Nk Sairam :)
Kanyadaan hua jab pura, Aaya samay vidayi ka
Hashi khushi sab kaam hua tha, Saari rashmm adaai ka
Beti ke uss kaatar swar ne , Baabul ko jhakjhor dia
Puch rahi thi papa tumne, Kya sach-much me chodd dia

Apne aangan ki phulwari, Mujhko sada kaha tumne
Mere rone ko pal bhar bhi, Bilkul nahi saha tumne
Kya iss aangan ke kone me, Mera kuch asthan nahi
Ab mere rone ka papa, Tumko bilkul dhyan nahi

Dekho antim baar dehri, Log mujhhe pujwaate hai
Aakar ke papa inko kyu, Aap nahi dhamkate hai
Nahi rokte chacha taau, Bhaiya se v aas nahi
Aisi bhi kya nishthurta hai, Koi aata paas nahi

Beti ki baato ko sun ke, Pita nahi rah saka khada
Umadd pade ankho se aanshu, Badahawas sa daud pada
Kaatar bichia si wah beti, Lipat pita se rotii thi
Jaise yaado ke akshar wah, Ashru bindu se dhoti thi

Maa ko laga god se koi, Maano sab kuch cheen chala
Phool sabhi ghar ki phoolwari se koi jyo been chala
Chota bhai bhi kone me, Baitha biatha subak raha
Usko kaun karega chup ab, Wah kone me dubak raha

Beti ke jaane par ghar ne, Jaane kya kya khoya hai
Kabhi naa rone wala baap bhi, Phoot-Phoot kar roya hai ............
Copyright© Shashank K Dwivedi
Website :- www.skdisro.weebly.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
sweetrevoirs Dec 2016
Relei ingat. Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Rok kotak-kotak selutut yang untung dan sayangnya tak pernah terisngkap sedikit pun angin berkata tiup. Adalah pakaian yang melekat di badan Malia kali mereka bertemu tatap.
Udara dingin malam Sabtu sama sekali tidak membuat para pujangga mengurungkan niatnya untuk berteriak kata cinta. Atau cerita patah hati. Mungkin iya di tempat lain, tapi tidak di sini, di 8th Avenue, sebuah ruangan tak terpakai beberapa tahun lalu yang di percantik jadi sebuah tempat pertemuan para penyair dari berbagai penghujung kota. Dengan satu podium kecil –sekitar setinggi 1 meter dan selebar tiga dada- di sebelah barat, membelakangi dinding yang berwarna merah marun sedangkan tiga dinding lainnya adalah batu bata yang tidak dipoles.
Malam itu Relei seperti malam Sabtu lainnya, berjalan dari kamar loft ke tempat favoritnya, menyusuri 6 blok dalam suhu 21 derajat dengan tentu pakaian hangat.
Semua wajah yang berpapasan, tak ada satupun yang Relei lupa. Ada 13 wanita, 8 diantaranya bermata coklat, dan 6 pria, satu diantaranya memegang setangkai bunga mawar, yang sudah bertatap sapa selama perjalanannya menuju 8th Ave. 8 bunyi klakson mobil dan 4 suara orang bersin yang selalu di balasnya dengan “semoga tuhan memberkati”. Tidak, Relei tidak selalu menghitung seperti ini dalam sehari-harinya. Hanya saja Relei selalu ingat.
“ Lalu bulan masih saja datang, pun tak sepertimu, yang malam ke malam, masih saja semakin semu.” Seorang wanita paruh baya sedang membacakan barisan terakhirnya di atas podium dengan parau sangat menghayati. Penyair lain yang ada di ruangan itu menjentikkan jari mereka terkagum, ada juga yang bersorak kata-kata manis. Kode etis dalam pembacaan puisi di 8th ave adalah : tidak perlu bertepuk tangan terlalu kencang untuk berkata bahwa kau kagum akan satu puisi, cukup dua jari saja.
“ Biarkan aku datang ke mimpi buruk mu, lalu mimpi indah mu, lalu mimpi mu yang kau bahkan tak tahu tentang apa, atau pun mengapa,” Selanjutnya adalah giliran seorang perempuan muda yang naik ke panggung. Ia bercerita tentang buah mimpi, bahwa Ia ingin menjadi fantasi yang dibawa kemanapun sang pemimpi berjalan.
Baju hangat kuning kecoklatan, 4 kerutan di tangan kanan dekat siku dan 5 lainnya di dekat bahu kiri. Malia –atau seperti itulah tadi perempuan itu memperkenalkan dirinya sebelum memulai puisi- menyisir rambutnya kebelakang kuping sebanyak 3 kali sepanjang ia membacakan puisinya. Ia bergeliat di boots hitamnya, entah karena grogi atau tidak nyaman. Malia berambut coklat ikal sepinggang, dan memiliki bulu mata yang lentik bahkan dilihat dari ujung ruangan.
“ Untukmu, yang bersandar ke bata merah dengan tangan memegang kerah.” Malia mengakhiri puisinya sambal menatap ke arah Relei. Tangan Relei yang sedang membenarkan kerah baju otomatis langsung membeku. Ia sadar penyair lain sedang mengalihkan semua perhatian mereka kepadanya. Tapi hey, ayolah, pasti bukan, gadis di atas podium itu pasti bukan sedang membicarakan tentang Relei. Gadis yang sekarang sedang menuruni tangga podium dan berjalan ke arahnya itu pasti bukan sedang- Oh tuhan, atau mungkin memang iya.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
JAMIL HUSSAIN Apr 2022
tire siine meñ dam hai dil nahīñ hai
tirā dam garmi-e-mahfil nahīñ hai

Ambition rests within your chest but not a heart
Your wheedling, warmth of assembly is not nor its art

guzar jā aql se aage ki ye nuur
charāġh-e-rāh hai manzil nahīñ hai!

Go beyond paths of reason in quest of light
Lamp of the way it is but not a destination

ḳhirad ke paas ḳhabar ke sivā kuchh aur nahīñ
tirā ilaaj nazar ke sivā kuchh aur nahīñ

Intellect has news and nothing more
A divine glance is your cure and nothing more

har ik maqām se aage maqām hai terā
hayāt zauq-e-safar ke sivā kuchh aur nahīñ

Beyond all ranks is your prestige
Life is a delightful journey and nothing more

ragoñ meñ gardish-e-ḳhūñ hai agar to kyā hāsil
hayāt soz-e-jigar ke sivā kuchh aur nahīñ

If veins have flowing blood, then what is the reward?
An existence with a burning heart and nothing more

jise kasād samajhte haiñ tājirān-e-farañg
vo shai mata-e-hunar ke sivā kuchh aur nahīñ

What traders of the West consider as synthetic?
These are entities of flawless craft and nothing more

urūs-e-lāla munāsib nahīñ hai mujh se hijāb
ki maiñ nasīm-e-sahar ke sivā kuchh aur nahīñ

Bride like a radiant tulip, why modesty from me?
Morning breeze I am and nothing more

baḌā karīm hai 'iqbāl'-e-be-navā lekin
atā-e-shola sharar ke sivā kuchh aur nahīñ

Very gracious is voiceless Iqbal and yet
A gifted flame with sparks of fire and nothing more

✒ Translated by ℐamil Hussain
Words of Muhammad Iqbal
Shrivastva MK Oct 2015
Meri zindagi aaj udas hai,
Ye Khushi ke pal bhi mujhse nirash hai,
Tut jate hain wo har sapne,
Jab tutata kisi ka vishwas hai,
Jab tutata kisi ka vishwas hai....

wo khile Phul aaj murjha gye hain tujhe yaad kar,
Kyon ojhal ** gye ** tum in aankhon me aansoo bhar,
Sisak-sisak ke puchh raha hai ye dil mera,
Kyon juda ** gye wo meri hansi bankar,
Meri hansi bankar...

Us andheri raat ko bhi teri raushani ka intejar hai,
Tujhe dekhne ke liye mera dil bhi beqarar hai,
Na chhup jana un ghane badalon me,
Ye sochkar ki meri muskurahat kisi ke liye khash hai,
Kisi ke liye khash hai...

Ban jaoo teri aansoo
teri aankhon me hi mera wash **,
Khushi ** ya ** gam,
Har waqt har pal tujhe mera saath **,
Es pal ko bhi us pal ki lagi aas hai,
Meri zindagi aaj udas hai,
meri zindagi aaj udas hai..

— The End —