Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
JAMIL HUSSAIN Oct 2016
Jis Ki Janib Woh Nazar Apni Uttha Lete Hain
Uss Ki Soyee Hui Taqdeer Jaga Dete Hain

Towards whom they raise their glance
His resting destiny they awaken in a trance


Teri Duzdeeda Nigahon Ko Dua Dete Hain
Jitne Chubte Hain Yeh Teer Utna Maza Dete Hain

For your peeking gazes, I pray
The more these arrows wound, the more delighted I lay


Jab Se Dekha Hai Unhein Apna Mujhe Hosh Nahin
Jane Kya Cheez Woh Nazroon Se Pila Dete Hain

Ever since them I saw, senseless I have become
What they pour from their glances, a mystery it has become


Takht Kya Cheez Hai Aur Laal-o-Jawahir Kya Hai
Ishq Wale To Khudai Bhi Loota Dete Hain

What is a throne and what are lustrous jewels?
Lovers surrender divinity against the rules


Aik Din Aisa Bhi Ata Hai Mohabbat Mein Zaroor
Khud Ko Ghabra Ke Naqab Apna Uttah Lete Hain

There is one such moment in love, indeed!
With nervousness, they raise their veil


Apni Barbadi Pe Khush Hoon Yeh Suna Hai Jabse
Woh Jisse Apna Samajhte Hain Mitta Dete Hain

Happy with my own ruin I am, ever since I have learned
Who they consider their own, obliterated have turned


Apne Daman Ko Zara Aap Bacha Kar Rakhna
Sakhat Aahon Se Bhi Hum Aag Laga Dete Hain

Your own hem a little, you save and claim
With deep sighs, we set the fire aflame


Jis Ki Janib Woh Nazar Apni Uttha Lete Hain
Uss Ki Soyee Hui Taqdeer Jaga Dete Hain*

Towards whom they raise their glance
His resting destiny they awaken in a trance


— Translated by Jamil Hussain, Sung by Nusrat Fateh Ali Khan
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Fortune maine Nov 2018
If Nigeria was a book,
It will be as big as an oxford English dictionary
Cause, our problems alone will be too many to write down
There won’t be any table of contents
Just like that old song goes, “everywhere jaga jaga”.

If Nigeria was a book,
Readers will never be leaders
Instead, they become cheerleaders when it’s election season flaunting brooms and umbrellas over their heads.

If Nigeria was a book,
The book itself will be imported
Each word will be written in red
If you get to read in between the lines you will find corruption on every single page.

If Nigeria was a book,
You wouldn’t want to read it, you would say “nothing come out”
But yet
The book defines us
It is our home
It is our pride
Our remedy is still in the book.


Fortune Maine
Nigeria a country located in west Africa...
If Nigeria was a book... Enjoy like and share
Aridea P Oct 2011
Palembang, Rabu 26 Juli 2011

Aku sayang dia
Aku jaga dia sejak pertama ku milikinya
Ku genggam erat dia seakan tak ingin berpisah
Ku selalu awasi dia tak ingin kehilangannya

Dia selalu ada di setiap ku butuh
Kawan terbaik mencurahkan inspirasiku
Tak terbayang jika dia pergi tinggalkan ku
Atau hanya hilang tanpa jejak atau pesan sekalipun

Yang pertama, tak bisa terganti
Sekali sayang, dan akan terus selamanya
Perasaanku tak tercurah tanpanya
Berhari-hari aku bersamanya dengan setia

Namun di hari itu aku kecewa
Yang aku sayang yang terus aku jaga
Dia mati di kala waktunya belum tiba
Aku kecewa ketika mereka membunuhnya

Aku marah, aku kesal
Aku minta mereka mengembalikannya
Tapi yang ku dapat hanya heningan
Tanda mereka tak mau berbuat apa-apa

Aku sudah tahu jawaban mereka
Meskipun belum terucap, hanya bahasa gerak
Mereka tidak mengerti rasanya kehilangan
Mereka tidak peduli dengan perasan orang

Ku hanya ingin pertanggungjawaban
Dan kembalikan dia kembali ke genggamanku
Tolong sekali saja Kalian mngerti perasaan seseorang
Dia adalah pena ungu yang paling ku sayang

"Pena Ungu ku tinggal kenangan"
Rang laayi dua , mojajaa ** gya
jo nahi tha mera, wo mera ** gya    2
rang laayi dua mojajaa ** gya    
2

Iss kadar mat sataa, laut aa laut aa
fir na kahna koi, bewafa ** gya     2
rang laayi dua mojajaa ** gya    
2

Ki aisa lagta hai tumko nazar lag gyi
tum to aise naa the, tumko kya ** gya    2
rang laayi dua mojajaa ** gya    
2

Meri ankho me sota raha dewta
man ke mandir me fir, rat jaga ** gya    2
rang laayi dua mojajaa ** gya    
2

Teri kurbat tera aasara chahie
mujhko isske siwa, or kya chahie    2 *2
manzile khud pe khud, paas aa jayengi
dil me chalne ko bas hausala chahie

Rang laayi dua mojajaa ** gya    
2
Copyright© Shashank K Dwivedi
Web- skdisro.weebly.com,www.researchbits.com
email-shashankdwivedi.edu@gmail.com
Follow me on Facebook - https://www.facebook.com/skdisro
Fahali Machi Mar 2012
sekali kau berbicara jujur mereka akan mematahkan hati mu.

jangan pernah melihat mata mereka,

karena akan membuat perasaanmu tercabikcabik

ku rekomendasikan kau tuk jaga jarak,

karena sekali kau dapat, kau hilang kontrol. jangan pernah jatuh cinta,

simpan di lubang kesepianmu

yang dalam

ambillah pengalaman bahwa bertindak depresi adalah konyol.

jangan pernah berbicara jujur.

jangan pernah.

karena seseorang yang kau cintai akan berbuat yang sama kepadamu.

kalau mereka melepas tanganmu,

dan menjatuhkan mu,

dan kau jatuh…

kau hanya berakhir untuk berpura-pura kepada semua orang

bahwa semua tidak pernah terjadi apa-apa..

kau tahu….kadang..

tawa tersedih adalah yang terkeras.
KA Poetry Dec 2017
Waktu adalah sahabatku
Jarak adalah musuhku
Bersamamu adalah saat kesukaanku
Berjarak denganmu adalah keengananku

Terlintas di benak ingin membuat mesin waktu
Melintasi waktu
Teleportasi menuju duniamu
Menghabiskan waktu yang tersisa bersamamu

Berbicara segala hal
Mendengarkan segala hal
Mencintai segala hal tentangmu
Bersenggama selamanya denganmu

Tuhan telah menurunkan malaikat di hidupku
Setiap malam kubisikkan doa-doa ku kepadaNya agar diriku layak
Setiap hal di dirimu membuat segalanya sempurna untuk menjadi layak
Tuhan, jaga malaikat ini untuk tetap disisiku.
06/11/2017 | 23.56 | Indonesia
Aridea P May 2012
Palembang, 31 Mei 2012


Maaf
Aku hanya bisa bilang maaf
Hanya itu yang tersisa

Maaf
Tlah ku ungkapkan cinta
Tak sanggup lagi ku jaga

Maaf
Aku kekanak-kanakan
Aku memang masih sangat muda

Maaf
Aku tak bisa menurutimu
Kau bilang ini bukan cinta

Maaf
Hidupku aku yang jalani
Kau lah yang aku cintai

Maaf lagi
Aku harus pergi
Tak ingin terjerumus lebih dalam lagi
D Mar 2019
Bapak, aku ingin pulang

Aku rindu dengan rumah atau ide akan rumah

Tapi kau telah mempunyainya.

Aku rindu disambut harum masakan buah tangan sang Ibu

Tapi kau tak pernah menyicipinya, Ibu tak bisa masak.

Aku rindu berduduk diatas kursi kayu yang terletak di ruang makan

Tapi kau bahkan tak pernah melakukannya. Kau, tak pernah makan.

Aku rindu akan ruang sesak penuh sayang

Akan kentalnya keakraban yang melekat di dinding-dinding bisu;
yang dalam diam mendengar isak tangis setiap manusia yang menjajalkan diri dalam rumah ini

Akan hangatnya cinta kasih yang tergurat diantara bisingnya suara televisi yang kau nyalakan setiap Minggu jam tujuh pagi dan gaduhnya percakapan seorang diri yang terproyeksi dalam tiap benak manusia, lagi-lagi, dirumah ini.

Kau tak akan menemukannya disana

Aku dan Ibumu ini hanyalah tamu

Kau adalah rumahmu

Tapi kau adalah bukan tempat singgah

Badanmu bak ruang luas tak terbatas

Tamu-tamu tak bisa lalu-lalang melalui satu pintu saja

Banyak pintu-pintu lain didalamnya namun tak terbuka

Ribuan pintu tersebut tertutup adanya

Terkunci dengan rapat

Namun kuncinya telah kau telan  

Dibalik pintu itu,

Lagi-lagi ribuan misteri

Teka-teki tentang dirimu yang tersimpan dalam boks berbagai macam ukuran

Tersimpan terlalu aman


Jiwamu adalah fondasi

Kebaikanmu harum masakan yang mengundang setiap orang

Keingintahuanmu benda mahal; memikat tamu untuk ingin bertualang ke setiap ruang

Kenekatanmu—sisi Sang Pembangkang yang kusayang—menantang mereka untuk tinggal lebih lama

Empatimu alunan musik yang menyodorkan kenyamanan

Namun parasmu, anakku sayang,

Matras termahal yang membuat mereka ingin menginap

Hati-hati dalam memberi izin

Jaga rumahmu

Bersihkan

Bagiku Istana terbesar di Dunia tak ada nilainya jika disandingkan dengan Rumah yang kau punya.
senjakala Aug 2019
Mereka bilang; cinta itu buta, tetapi aku tak percaya.

Mengapa?

Sebab kedua orang tua tidak mengajarkan untuk membenci cinta; mereka memberikan ketulusan di dalam sebuah hubungan.

Cinta mereka padaku; tulus dan tidak bersyarat.

Walau tak terlalu peduli akan cinta, pun tak selalu mengatasnamakan cinta dalam setiap langkah, aku tahu dengan pasti, keluarga yang kumiliki tak akan terganti.

Lewati hari tanpa adanya Kasih, bukan masalah isi, melainkan aku yang risih, selalu diminta membawa kekasih.

Apalah arti sebuah persatuan, di saat aku bisa bahagia, meski tak miliki pasangan?

Aku mampu berdiri sendiri, tanpa perlu berlari menuju akhir yang pasti.

Aku tidak membutuhkan pasangan yang hanya mencari aman di saat kesusahan.

Jadi, jika kamu tak mengutamakan kebahagiaanku di atas milikmu, maka jangan ragu untuk berjalan mundur, sebab aku sedang jaga hati agar tidak luka lagi.

Aku, akan selalu perjuangkan kebahagiaanmu.
Aku, akan selalu berusaha jadi terang bagimu.
Aku, akan selalu percaya cintaku padamu utuh.

Dengan cinta, penuhi jiwa.
Dengan materi, hidup pasti.
Dengan senyuman, kebahagiaan tertanam.

Semuanya, bersama.
Ankit Dubey May 2019
koi fikar unko nahi meri,
aur na hi mujhko meri kadar rah gayi,
vo ** gaye jis din paraye,
jindagi meri jis din kisi gair ki bahon me aa gayi...
na toofan koi aaya,
na koi hui halchal,
bas raat bhar jaga,
aur subah sab taraf mayusi cha gayi,
vo ** gaye jis din paraye,
meri maut ki tasdeek ** gayi....
koi sitam na kar sake vo mujhpe,
na kabhi ek najar pyar se dekh mujhko,
khud hi khud me nafrat ki,
aur le liya na chahkar badla meri mohabat ka,
ek dam se choda sath mera,
vo kisi aur ki mahbooba ** gayi,
vo ** gaye jis din paraye,
meri saanson se tauba ** gayi....
na manga kabhi koi hak ,
na koi khatir kar saka,
bewajah rota raha,
tadapta raha bas pyaar me,
chah kar bhi kuch na mila ,
bas jindagi tabaah ** gayi,
vo ** gaye jis din paraye,
unki aadat hi bas,
mera ant muqarrar kar gayi.....
Ayush Gangwar Jan 2019
Han vo ** tum,
Jagah thi khali, jo kisi ne bhar dali
Han vo ** tum,
Khamosh rehta tha, na kisi se kuch kehta tha,
Achanak se aake, ye chuppi todne pr majbur sa kr diya,
Akela tha, thi tanhaiya bht, laga jaise kisi ne dastak di ** dil me, vo dastak dene vali,
Han vo ** tum,
Ajnabi se eshaas ko apna sa bana liya,
Kho raha tha tanhaiyo me, muje zindagi se mila diya,
Gehri neend me tha, muje firse jaga diya,
Han vo ** tum,
Abh jab a gyi ** to fir na jana
Tut jayega ye dil, iss abh na behkana,
Judne ki taqat abh fir nhi mil payegi,
Tu fir chali gyi to shayad ye jaan bhi chali jayegi.
Yeh jaan bhi chali jayegi...
Andika Putra Jul 2019
Matanya yang kalap di kotak

menghampas debur debu dari atap ke puncak dahan. Menutup temaram lampion.

Berusaha menampik getar di dada yang telanjang. Itu-kini

sampai kesekian lintas kelokan. Terlewati.

Enam uang logam terbuai lendir lintah saat kududuki kursi tak ubahnya senjakala & engkau sadar. Berdiam & terus bungkam

menunggu henti nyanyian puan nun sumbang

berkaca daku yang terpasung, itu di abu

letupan yang mencandu hujam asam &

melulu jadi bisu-kita. Di renda setengah tertutup/ semua orang sudah tahu.

Perihal hening yang memang tak pernah membuah harap.


Hilangnya alkisah kemuning pala kambing yang enggan memerah.
Walau bertumpu akan cita dalam almanak musnah-karam

/ tiada henti di jaga oleh wajah-wajah muram;

di garis vertikal

di persegi dua dimensi/ hitam

pun segitiga/ jajar genjang

& semut kita mengerubung oval. Seraya penonton menyilang dua lengan di dada

di lingkar rafia sementara ini semakin terasa di Kursi. Meja. Cangkir. Jendela. Cat. Kuas & Tv. Lentera. Buku. Radio. Senter

/beringin di jiwa.
Hira malik Dec 2019
Angaray, Shamma-n kay aagay
Yun dikhtay hain,
Jaisay shola bujh sa jayy kissi udaas shaam main
Aur kuch nahin
Yay ehsaas ki maut hai
Jiss Kay Kafan main paiwasta  chaid
Najanay kuen sakoot orhay baithay hain.....

Insaan ka wajood itna aarzi kuen hai
Kay jab roay tou bulbulay ki manind phatt jay
Aur jab ** saakan, tou kainaat naan chalay.....
Kia karna aisay but-t ka
Jo khud ko jaga naan sakay
Har simt hai bass hoo
Haq hoo
Ya hoo ka alam
Har lafz main bass hoo....

Anbaar hai kay uthaya nahin jata
Har baar sulaya nahin jata
Bass chain aur roh ki ikk jang hai
Aur uss jung ka haara ikk thakka insaan......
Its in Urdu language. I am hating this forum for not expressing urdu in its form but in roman english
Mein khoya
Chand bhi khuch Kam dikhne Laga
Phir ek mehfil e khwaab liye
Najane sote sote kitne Baar jaga
Ghor andhera
Aur mein bas sapne dekhta raha
Pagal si nadiyon ke Chaaro taraf ghumta Raha ghumta Raha
ek Kahaani me
jo khud ne hi jaise banayi ** jaise!!!
nabilah Feb 2020
-
masih aku ingat hari-hari dimana belum berisikan akan engkau
sebagaimana tiap harinya yang terasa hanya parau
belum lagi hatiku yang sesak lantaran banyak dibuat sendu
sampai pada suatu pagi sekitar jam sepuluh,
dapat aku lihat kau datangi aku dari jauh
kau jabat tanganku, kau sebutkan namamu
selalu aku kagumi cara Tuhan membuat yang jauh menjadi satu
dan hanya jika kau berkenan, boleh aku titipkan segenap hati, cinta, serta pengharapanku?
lalu sama-sama kita bangun cinta itu, kita jaga dan kita pupuk
kita pelihara supaya jangan dicabut Tuhan kembali

— The End —