Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Membinasakan, demi bertahan
Menindas, mencerca, demi jadi raja hutan (singa kali..)
Ganas dan bengis, mengingkari kawan seperjuangan
Memang, manusia sekarang banyak yang tak lebih dari binatang!

Aku juga ingin jadi binatang
Binatang semut..
Ulat dimakan ayam
Ayam dimakan elang
Elang dimakan harimau
Semut? Semut tak pernah masuk rantai makanan
Karena ia kedahuluan mati terinjak

Walau begitu
Semut menggemukkan tanah
Tanah gembur tempat tumbuh rumput dan pohon subur
Rumput dan pohon subur jadi pusat rantai makanan

Kalian lihat kan peran semut?
Cakap dan mulia urusannya
Saking jadi pahlawan
Semut tak layak dinamai binatang
Mereka tak pas jadi tandingannya
hehe

Makanya aku ingin jadi semut
terlanjur modern.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Taltoy May 2017
Di ko alam kung paano ko gagawin,
Ako'y di mapakali, aking inaamin,
Dahil ako'y kinakabahan,
Mga ginagawa ko'y di mo magustuhan.

Dahil ito lang aking makakaya,
Sa kasamaang palad ito lang talaga,
Itong aking mga kalatas at tula,
Ito lang at wala nang iba.

Damdamin ang naging panulat,
Inspirasyon ang syang nagtulak,
Musika ang sa aki'y umalalay,
Sa katahimikan ng umagang walang kapantay.

Di lahat ng tula ko ay iisa ang balak,
Yung iba'y para lamang ika'y humalakhak,
Ngunit di ko alam kung ako'y matagumpay,
Upang mapasaya ka ng tunay.

Kay rami nga ng aking naiisip,
Mga "sana", parang panaginip,
Inaasam, nais makamtan,
Kahit yung man lang, mapagtagumpayan.

Sana ikay napasaya ko,
sana napangiti ka kahit papano,
Sana naunawaan mo,
Mga sanang tulad nito.

Sana tanggapin mo,
Sana paniwalaan mo,
Sana pagpasensyahan mo,
Sana, sana, sana, hay nako.

Sana man lang naramdaman mo,
Ang damdaming ikinubli ko,
Sa mga salita ng aking tula,
Na sana, sa puso mo'y tumama.

Sana man lang ika'y aking naantig,
Sana man lang ika'y aking napakilig,
Sapagkat di kaya ng aking mga bibig,
Di kayang sabihin, minsa'y nanginginig.

"sana" na higit sa aking pang-unawa,
Tulad ng "sana makuha ko rin ang iyong paghanga",
Ngunit iyo'y parang isang malayong tala,
Hanggang tingin lang, mata ko lang ang nakakakita.

Di ko alam kung ito'y panunuyo na ba,
Liniligawan na ba kita?
Dahil di ko alam sa sarili ko ang totoo,
Ang alam ko lang, ikaw ang tanging gusto.

Ako'y natatawa,
Ang landi ba naman nitong binata,
binatang naghahangad na sana,
Sana sa tamang panahon, ika'y kanyang makasama.

Ang pinapangarap nyang dalaga.
Euphrosyne Feb 2020
Di ko alam kung paano ko gagawin,
Ako'y di mapakali, sa aking aaminin,
Dahil ako'y kinakabahan,
Mga ginagawa ko'y baka di mo magustuhan.

Dahil ito lang aking makakaya,
Sa kasamaang palad ito lang talaga,
Itong aking mga kalatas at tula,
Ito lang at wala nang iba.

Damdamin ang naging panulat,
Inspirasyon ang syang nagtulak,
Musika ang sa aki'y umalalay,
Sa katahimikan ng umagang walang kapantay.

Di lahat ng tula ko ay iisa ang balak,
Yung iba'y para lamang ika'y humalakhak,
Ngunit di ko alam kung ako'y matagumpay,
Upang mapasaya ka ng tunay.

Kay rami nga ng aking naiisip,
Mga "sana", parang panaginip,
Inaasam, nais makamtan,
Kahit yung man lang, mapagtagumpayan.

Sana ikay napasaya ko,
sana napangiti ka kahit papano,
Sana naunawaan mo,
Mga sanang tulad nito.

Sana tanggapin mo,
Sana paniwalaan mo,
Sana pagpasensyahan mo,
Sana, sana, sana, hay nako.

Sana man lang naramdaman mo,
Ang damdaming ikinubli ko,
Sa mga salita ng aking tula,
Na sana, sa puso mo'y tumama.

Sana man lang ika'y aking naantig,
Sana man lang ika'y aking napakilig,
Sapagkat di kaya ng aking mga bibig,
Di kayang sabihin, minsa'y nanginginig.

"sana" na higit sa aking pang-unawa,
Tulad ng "sana makuha ko rin ang iyong paghanga",
Ngunit iyo'y parang isang malayong tala,
Hanggang tingin nalamang, mata ko lang ang nakakakita.

Di ko alam kung ito'y panunuyo na ba,
Liniligawan na ba kita?
Dahil di ko alam sa sarili ko ang totoo,
Ang alam ko lang, ikaw ang tanging gusto.

Ako'y natatawa,
Ang landi ba naman nitong binata,
binatang naghahangad na sana,
Sana sa tamang panahon, ika'y kanyang makasama.

Ang pinapangarap nyang dalaga.
PARA SAYO ITO DIANE SANA MABASA MO ITO LAHAT.
Marlo Cabrera May 2015
Pitasin mo ako,
At ilagay mo ako sa gitna mo at isara mo ito.

Alam ko,
Alam ko na hindi ko lugar Ito.
At sabi nila na akoy nararapat kung saan akoy pwedeng mabasa at masilawan ng araw.
Kung Saan akoy pwedeng mabuhay, at maalagan.

Pero, paano ako mabubuhay kung akoy nawawalay sa piling mo.

Alam ko, na ako ay mabubuhay sa piling mo,
Akoy nararapat na kasama mo, hahayaan ko ang pagmamahal mo ang bumasa saakin, at ang mga ngiti mo ang sumilaw saakin, parang araw sa umaga, sa hapon at hangang sa magdilim.
At hangang mag bukang liwayway.

Ako ay isang bulaklak, na pinitas ng isang umiibig na binatang lalake at ikay isang libro na Pag aari ng isang dalagang babae na sinisinta.

Kaya uulitin ko,

Pitasin mo ako,
Ilagay mo ako sa gitna ng mga pahina,
Sa gitna kung saan nakahimlay ang puso mo.
Doon akoy mananatili para sayo.
Ito ay para sa lahat ng mga bulaklak na inipit sa gitna ng mga pahina.
1.
Noong unang panahon, may lupaing walang makapapantay
Sa kariktan at kasaganahan nitong tinataglay
Ito ang “Ibalon” na kilala ngayong Bikol, Albay
Subalit ito’y iniiwasan ng mga manlalakbay
(Once upon a time, a land was known
For its beauty & bounty nothing outshone
It was Bicol, Albay which was then, Ibalon
Yet, travelers to there had been withdrawn)

2.
Dahil ito ay pinamumugaran
Ng mga halimaw na hayok sa laman
(Because it was teeming
With monsters to flesh were starving)

3.
Walang nangahas doon makapasok
Maliban sa lalaking si Baltog mula Boltavara na ubod ng lakas at pusok
(No one dared to enter in there
Except for Baltog, a daring & brave man from Boltavara yonder)

4.
Sinalanta niya ang mga halimaw na parang delubyo
Una si Tandayag, ang dambuhalang baboy-ramo
(He wiped out the monsters like a deluge
First was Tandayag, a warthog so huge)

5.
Mula noon, sa lupain na dating kinatatakutan
Mga tao’y dumayo at doon nanirahan
(From then on, in the land once feared
To flock & reside, people dared)

6.
Subalit hindi pa wagas na masaya
Dahil may mga halimaw pang natitira
(But it was not yet the happy ending
There were still monsters remaining)

7.
Si Baltog na matanda na ay labis nabahala
‘Pagkat siya’y mahina na at ‘di na makalaban pa
(Baltog was bothered now that he’s older
For he’s already weak and could fight no longer)

8.
Mabuti nalang at may binatang nagkusa
Siya si Handiong – matapang na, malakas pa
(Good there’s a young man who presented at last
He was Handiong so valiant and robust)

9.
Kanyang pinatumba ang duling na Sarimao
Pating na may pakpak at higantedng kalabaw
(He crushed down the cross-eyed Sarimao
The winged shark and the giant carabao)

10.
Subalit may nilalang na hindi niya nagapi
Ito ay mapanganib at tuso kasi
(But he cannot defeat a certain creature
For it was so dangerous and clever)

11.
Siya si Oryol, ang babaeng ahas
Lumalaban ba siya ng patas?
(She was Oryol, the snake lady
Does she fight impartially?)

12.
Sa kanyang mga yapos, walang nakapipiglas
Maging si Handiong na kaylakas, hindi nakaalpas
(On her grip, no one could break free
Even strong Handiong couldn’t escape from thee)

13.
Swerte ni Handiong, hindi siya binalak patayin
Bagkus ay ginamit nalang sa matagal na mithiin
(How fortunate was Handiong, there’s no plan to **** him
Instead, she just used him for her long-time dream)

14.
Laban sa mga mortal na kaaway, dapat tulungan siya ni Handiong
Na lipulin ang mga buwaya sa Ilog Ibalon
(Against her mortal enemies, Handiong must help her
To annihilate the crocodiles in Ibalon River)

15.
Matapos tuparin ang mapanganib na misyon
Si Oryol ay naging kapanalig sa Ibalon
(After fulfilling the dangerous mission
Oryol became an ally in Ibalon)

16.
Si Handiong ay naging mahusay na pinuno
Bangka, araro, alibata – kayraming naimbento sa kanyang pangungulo
(Handiong became an excellent ruler
Boat, plow, alphabet – many inventions were made during his tenure)

17.
At sa mga sumunod pang henerasyon
Naging mapayapa’t maunlad ang Ibalon
(And on the succeeding generations
Peace & prosperity reigned over Ibalon)

18.
Hanggang sa may sumulpot
Na panibagong kinatakutang salot
(Until there appeared
A new abomination so much feared)

19.
Siya’y nagtataglay ng katakut-takot na kapangyarihan
Hindi rin maipaliwanag ang kanyang kaanyuan
(He possessed a terrifying power
No one could even describe his feature)

20.
Siya ay isang mangkukulam na kilabot
Na tinatawag nilang Rabot
(He was a sorcerer fearsome
Called Rabot by some)

21.
Mapalad ang Ibalon, may natira pang bayani
Siya si Bantung, matalino’t maliksi
(Lucky was Ibalon, a hero was still there
That was Bantung vigorous and aware)

22.
Siya’y lumikha ng isang payak na plano
Pinaslang niya si Rabot habang natutulog ito
(He just devised a simple planning
He murdered Rabot while the monster was sleeping)

23.
Si Rabot ang pinakahuling halimaw sa Ibalon
Nang siya’y mapuksa, naging payapa na doon
(Rabot was the very last monster in Ibalon
Upon his death, peace reigned there from then on.)

-03/10-11/2012
(Dumarao)
*for Lit. Day 2012
My Poem No. 102
Shan Coralde Dec 2015
Ako
Hindi ito isang tunay na kwento, hindi ito galing sa iba, ngunit sa akin lamang, isa itong imahinasyon na naisip ko, isang sitwasyon na inasam ko, isang mundo na magkasama tayo, ngunit kahit anong gawin ko, sa huli ay napaghiwalay tayo, wala akong maisip na pagtatapos na kung saan masaya tayong nagsasama, kung kahit ang simula nating dalawa ay hindi manlamang nag-umpisa.

Ako ay isa sa mga bilyong bilyong binatang umiibig, naghahanap, nag aasam, at nangagarap sa isang maliit na chansang sa akin ay may magmahal. Matagal man itong darating ako'y handang maghintay, basta't sa aking pag antay ika'y darating. Ayoko umasa, ayoko masaktan, ayokong umiyak, humagulgol na parang tanga sa loob ng kwarto ko. pero susugal ako kahit gusto kong sumaya, ngumiti, tumawa, at nais kang makasama. dahil nangako ka sa akin na tayo'y magsasama, maaring hindi ito mangyari dahil hindi tayo tinadhana, pero pipiliin ko ang masaktan bukas basta makakasama kita ngayon, siguro sa mata ninyo tatanga ako, pero kahit sino mang matalino, sa oras na inalay ng pag-ibig ang kamay niya, tayo ay isang mangmang na hindi na natuto sa paulit-ulit na naranasan natin at ng iba.

Kung kaya't makikiusap ako, sa diyos na may kapal, sa mundong umaastang kupal, na sa pag alis mo ika'y huwag nang tumalikod, upang sa buhay natin ang sakit ay ating malimot, kung kaya't nakikiusap ako, sa susunod na may dumating, ako'y iyong ibigin at ika'y aking mamahalin, Huwag mo akong iwan at ika'y aking sasamahan. Kung ito ay magagawa mo pangako ko sa'yo, lahat ito ay gagawin ko.
Second tagalog poem yo
1.
Noong unang panahon, dumalaw ang isang diyosa
Sa bagong kapapanganak na ina
Na ang bagong silang na sanggol ay biniyayaan
Ng mga bertud na may kapangyarihan
(Once upon a time, a goddess visited
A mother who has just yielded
A newborn infant who was blessed
With amulets wherein powers are wielded)

2.
Ang ina ay nagsumamo sa diyosa
Na biyayaan ng mahabang buhay ang anak niya
(The mother to the goddess implored
For a long life to the child she labored)

3.
Hindi sumagot ang diyosa
Pero ikinwintas niya ang agimat sa bata
(The goddess did not answer
But a necklace to the child she did wear)

4.
Sa kwintas nakasabit ay tatlong bato
May taglay na kapangyarihan ang mga ito
(The stones are the necklace’s pendants
A power in them enchants)

5.
Ang isa ay nagbibigay-lakas, sa pangalawa ay bilis naman
At sa pangatlo’y proteksiyon sa kapahamakan
(The one grants strength, speed is by the second charm
By the third protection from harm)

6.
Ang nasabing sanggol si Biuag ang ngalan
Siya ay tubong Enrile, Cagayan
(The said baby is Biuag by name
Enrile, Cagayan is from where he came)

7.
Kaya niyang bunutin ang isang puno
Na kaydali para lang siyang nagdadamo
(He can uproot a tree
Just like weeding so easily)

8.
Kaya rin niyang lumangoy nang matulin
Maging mga buwaya’y ‘di siya kayang habulin
(He can swim so fast
Even crocodiles through him can’t get pass)

9.
Nahulog narin siya sa lugar na mataas
Subalit walang natamong anumang gasgas
(He even fell from a high place
But didn’t obtain any bruises)

10.
Dahil sa mga kapangyarihang ipinamalas niya
Mga tao’y dinayo siya at sinamba
(Because of powers by his showmanship
To him people came and worship)

11.
Sa kabila ng lahat, malungkot si Biuag
Dahil ‘di niya makuha ang napupusuang dilag
(Despite of all, Biuag is desolate
Because the dear maiden he can’t get)

12.
Ang nasabing babae sa Tuao ay katutubo
Hindi tanyag ang nilalang na ito
(That lady in Tuao is indigenous
This creature is not famous)

13.
Noon din ay may binatang katulad ni Biuag
Malakas, makapangyarihan, hindi duwag
(At the same time like Biuag was a man popular
Strong, powerful, not coward)

14.
Malana ang tawag sa kanya
Taga-Malaueg, Rizal ang magiting na binata
(Malana is he being called
From Malaueg, Rizal is this bachelor bold)

15.
Noong labing-walong taong gulang siya
Nilangoy niya ang ilog na maraming buwaya
(Eighteen years old when he was
Swam he the river with lots of crocodiles)

16.
Ito ay upang kumuha ng pagkain
Mula sa malayong lupain
(This is in order to get fodder
From a land that’s farther)

17.
Para sa mga nasalantang tao
Ng nagdaang bagyo
(For the people devastated
By a typhoon that thrusted)

18.
Nang makauwi si Malana
May nakita siyang isang pana
(When Malana returned home
Saw he a bow and arrow)

19.
At nang kanya itong ipukol sa hangin
Sa kanya ang bala’y bumalik din
(And when on air it was thrown
To him the arrow returned)

20.
‘Di naglaon kanyang nabatid
Na ang sandata’y may kapangyarihang hatid
(Soon it came to his awareness
That the weapon a power possesses)

21.
Siya rin ang iniirog ng dilag
Na kinahuhumalingan ni Biuag
(It is him also liked by the maiden
To who Biuag has fallen)

22.
At nang matuklasan ni Biuag na si Malana ang napupusuan
Hinamon niya ang karibal sa isang labanan
(And when Biuag learned that Malana is the beloved
To a fight his rival he challenged)

23.
Nagimbal ang buong bayan
Sa katakut-takot na labanan
(The whole nation felt horrible
Upon the terrifying battle)

24.
Higanteng buwaya ginamit ni Biuag
Babaeng gusto pinagsabihan siyang duwag
(Giant crocodile Biuag utilized
Coward is he said the lady he liked)

25.
Dahil doon, si Biuag ay napahiya
Sa huli, kanyang nilunod ang sarili niya.
(Because of that, Biuag was embarrassed
Drowned he himself at the very last).

-08/17-18/2013
(Dumarao)
*for Epic Day 2013
My Poem No. 222
kingjay Feb 2019
Pagsinta na ipinanganak
sa buwan na kulang-kulang ang mga araw
Kadalasan ay dalampu't walo at sa tuwing ikaapat na taon nagiging dalawampu't siyam

Winawangis sa tagsibol
ang panahon ng pagsilang
Kaya magiliw ang hangin,
bagong simoy hatid ng dalampasigan

Ang dapyo ng Amihan
simbanayad ng paghinga
sa pumapagaspas na dahon
sa bumabaluktot na sanga

Dahan-dahan nang nanaog
ang kaluwalhatian ng langit
sa mga batang umiibig
sa mga binatang naghihintay nang nanabik

Sa sumasangang pag-irog
dalawa o mahigit pang katipan
marami ang nagugustuhan
Walang wasto at tiyak na kamalian
sa pagmamahal

Di ang mayayabong bukirin at nagsitaasang gusali ang makapaghahadlang
Maging ang mga naging bulag na
ay matuwid kung lumakad sa daan

Sa batas ng pag-ibig
ang kalooban ang magtitiis
kung magkasala
ang damdamin ang maghihinagpis
hepirain Mar 2019
aku selalu mengibaratkan
kamu adalah bulan
aku adalah bintang
karena aku tahu
aku bukan satu-satunya bintang
the one and only sounds like a myth huh
Safira Azizah Oct 2018
katakanlah, aku celaka
tersandung ke dalam lumbung asmara.

                                    celaka kah aku
mengendap-endap di bawah rumah mu?

katakanlah, aku terkutuk
seorang yang tak diundang
tak semestinya duduk di ruang tamu.

                                 terkutuk kah aku
membubung asa di atas hampa?

                 sadarkah aku
        sedang menanti sekarat
           dan karamnya harap?

dan ku akui,
aku ini binatang keparat
--berharap dua cincin akan enyah jua dimakan karat.


sampai jumpa cinta masa muda,
aku akan menanti di ujung tua
menyesal, sembari menatap
harap dan nyata
mustahil bersua.

maafkan aku menunggu hingga renta,
tak lain karena dirimu di relungku, sintas.
based on a woman who waited in her whole life, to marry someone she loved dearly.
Diadema L Amadea Jun 2021
aku susun susun batu
kujadikan sebuah benteng
cukup kuat untuk beberapa waktu

malam malam ada yang mengunjungiku
datang datang memakai lonceng
cukup gaduh jadinya tidurku

coba kututup telingaku
sial! tambah keras itu suara lonceng!
sulit tidur, akhirnya kubangkit untuk cari tau

dari benteng, kuambil sepotong batu
terlihat sesosok manis tersenyum lebar
bukan main, tidak karuan hatiku


kutanya,
"kenapa kamu kesini?"
"aku ingin mengajakmu main, sepertinya akan seru"
"aku tidak mau, aku lelah"
"ayolah, nanti kita memetik buah beri liar di hutan"
"aku lelah, lagipula siapa kamu?"
"nanti kamu aku gendong. aku gabungan dari semangka dan tembakau, salam kenal"
"aku tidak tanya kamu itu apa tapi siapa kamu!"

lalu sosok itu mengambil beberapa batu yang ada di benteng
"aku gabungan semangka dan tembakau, ayo ikut!"
tanpa lama, sosok itu mengambil tanganku dan dibawanya lari menuju dalamnya hutan
lalu aku? akupun juga heran kenapa tidak ada penolakan
rambutnya yang tertiup angin hutan dan terkena cahaya matahari yang samar samar masuk dari banyaknya daun membuatku tersenyum sembari ikut berlari bersamanya

"sudah sampai!"

sosok itu tersenyum lebar dan puas

"katanya kamu akan menggendong aku, mana?"
"hehe maaf, lupa. habis saking semangatnya sih.. tunggu sini ya aku akan memetik beri"
"aku tidak ikut?"
"tidak usah, kamu istirahat di bawah pohon itu saja nanti aku menyusul"

akupun duduk dan bersender dibawah pohon besar itu
terlihat antusias sekali, padahal hanya memetik beri

"lucu"

kalimat itu keluar dengan mudah dari mulutku
tunggu, kenapa aku pikir dia lucu?
dia hanya gabungan semangka dan tembakau
itu aneh, dasar gila

"ini sudah selesai, ayo makan"

nyaman sekali berada dekatnya
senang sekali melihat matanya
iya mata itu yang sesekali ikut tersenyum saat sosok itu menatapku
aneh lagi, rasanya hatiku mau runtuh saat itu

"sudah kenyang, ayo main lagi"
"tidak mau, aku kan bilang aku capek"
"oh baiklah, sini"

sosok itu membawa kepalaku ke pangkuannya dengan lembut dan tiba tiba

"eh?!"
"sudah tidak apa apa, kamu tidur saja nanti aku yang berjaga"
"tidak mau aku takut, aku belum kenal kamu"

kecupan manis dan sedikit pahit meluncur di bibirku
tuhan! aku seperti mau meledak

"tidak usah takut, aku pemegang rekor"
"hahahaha rekor apa? ngaco!"

suaraku mulai terbata bata namun tidak ingin terlihat gugup

"sudah ya kamu tidur saja, istirahat"

kembali ia mengusap ngusap rambutku
nyaman
hangat
tenang


"brukkk!"

suara keranjang jatuh tepat beberapa meter dibawah kakiku
aku bangun melihat sekitar

"kemana?"

semangka tembakau sudah lenyap dari pandanganku
ingin kuberanjak pulang namun tertahan

"aku masih ingin menunggu"
"tunggu, untuk apa?"
"untuk temu bodoh"
"apa gunanya temu?"
"tapi aku masih ingin menunggu"
"aku rindu"

suara suara sialan itu menyeruak didalam kepala

kududuk didekat pohon besar sambil menunggu
memakan beri yang masih tersisa sedikit di keranjang


tidak terasa sudah larut
suara suara binatang, hmm ataukah monster itu sudah bersahut sahutan

"aku takut"
"tapi aku masih ingin temu"
"aku harus menunggu"

begitulah kebodohan aku
malam malam
di hutan
sendirian
menunggu orang siapa?

akhirnya aku membangun benteng lagi
di hutan itu
walau bukan di dekat danau yang banyak suara katak dan bunga lili tapi aku coba berusaha membangun benteng lagi untuk sekedar menunggu sosok itu datang

kususun lagi
benteng barupun terbentuk
cuma bedanya
sedikit tidak nyaman karena banyak sekali batang batang pohon tajam masuk ke sela sela batu
tapi aku tetap menunggu
kususun lagi
sampai tertutup
aku masih menunggu untuk temu
belilah majalah bobo untuk melihat cerpen oki dan nirmala di swalayan terdekat!
8 Isang hamak na mangingisda
Itong si Agus na makisig at masigla

9 Mga magulang niya’y kaytagal nang payapa
Kaya natutong mamuhay mag-isa

10 Gamit ang mga gawang-kamay nito –
Lambat, sibat, panggaid at isang baroto

11 Sa ‘di pangkaraniwang palad ay kasinggulang niya
Ang natatanging prinsesa ng bayan nila

12 Lingid sa kanyang kaalaman
Si Dara ay lagi siyang pinagmamasdan

13 Halinang-halina sa binatang kaygwapo
Dagdag pa ang katawang matipuno

14 Minsan naring natikman ng dalaga
Ang mga huling lamang-dagat ng binata.

-06/22/2012
*Gintong Lupa Series
My Poem No. 142
Elle Sang May 2018
Sambil mengendarai mobil, aku melirik calar yang menghiasi tangan kananku. Merah seakan salah satu kucingku baru saja mengamuk. Tapi hanya aku dan sebilah pisau di kamar yang tahu itu bukan hasil karya seekor kucing melainkan binatang yang jauh lebih biadab, depresi.
Lampu dijalanan berubah merah, sambil melihat sekeliling aku tersenyum mengamati hiruk pikuk yang sedang terjadi.
Aku jadi rindu perasaan utuh yang lambat laun terkikis waktu dan kalimat-kalimat bernoda.
"Kurang kuat iman sih"
Tak ada kaitannya dengan imanku, sayang.
"Mungkin cuma ada di kepalamu saja."
Dan kepalaku adalah satu-satunya tempat dimana aku tak bisa lari.
"Memang penyebab depresimu apa?"
Karena 1095 hariku tercemar darah, puntung rokok, pecahan gelas, dan caci makian tiada henti. Tak semudah itu untuk keluar hidup-hidup dari kandang singa, harus ada luka yang aku tanggung seumur hidup.
"Apakah kau gila?"
Aku bukan gila, aku baik-baik saja. Hanya ada bagian di dalam sana yang mati dan tak bisa diperbaiki lagi.
Lampu hijau dan klakson dari mobil membangunkanku dari suara-suara itu.
Tapi ketika sudah melaju dengan kecepatan yang nyaman ada satu suara yang muncul lagi, menoreh hatiku.
"Aku tak habis pikir bagaimana seseorang bisa nekat melukai dirinya sendiri sedangkan masih banyak yang bisa dilakukan"
Kalau kau tak paham, tak mengapa.
Tapi aku melakukan itu bukan untuk mati, aku lelah tak merasa apapun karena ada bagian di dalamku yang memang sudah mati.
"Kau mirip banteng ketaton"
Ya, aku marah kalau kau seenaknya menyebut aku gila.
Aku terluka kalau kau seenaknya main hakim sendiri.
Calar itu adalah sebuah pengingat bahwa aku masih hidup.
Untuk mereka, korban kebiadaban depresi.
Kalian tidak sendiri.
zrskii Jul 2021
Hidup dalam "zaman" baru yang terasa di dalam sangkar,
Terperangkap seperti binatang buas,
Hampir dua tahun umur dibazir untuk menatap nasib,
Imaginasi permulaan tahun baru kian terpudar,
Halus di udara menjejas kehidupan,
Manusia masih mengharap agar "kamu" terhapus.
15 Kaylapit nang gumabi
Si Alyna ay pauwi

16 Tangan sa kamay niyang pareho
Mga uling sa sako

17 Tila pagdilim ng langit kaybilis
At ang babae’y nakarinig ng bungisngis

18 At sumambulat sa daraanan niya
Isang tiktik na nakatawa

19 Akma siyang dadaluhungin
Upang siya ay kainin

20 Mabuti nalang at sa ‘di kalayuan
Binatang si Birio sila’y nasulyapan

21 Kaagad siyang sumaklolo
Tiktik ay itinaboy palayo.

-07/16/2012
*Gintong Lupa Series
My Poem No. 171
22 Paggising ng lahat pagkatapos
Mga bisig nila’y iginapos

23 Wala nang nagtangkang pumiglas
Dahil mga Amazona’y marami’t malakas

24 Kadiliman ay hindi alintana
Patungo sa lambak sila’y ipinarada

25 Malalim na ang gabi
Nang makarating sa paroroonan ang mga nakatali

26 Mayroon palang kuweba
Sa lambak na kinaroroonan nila

27 Ang mga Amazona’y pumili
Ng ililigtas na lalaki

28 Napili ang binatang pinakagwapo
Na ang katawan ay matipuno.

-07/23/2012
*Gintong Lupa Series
My Poem No. 183
8 Ang binatang si Ihib
Na matibay ang dibdib

9 Laging umaakyat ng bundok
Ilang beses na sa tuktok

10 Tirador ay bitbit
Kasama ng mga batang malupit

11 Na sa ibon iaasinta
Upang madakip sa tuwina

12 Mga bato’y umiimbulog
Sa ibong ihuhulog

13 Sa sanga ng bayabas
Higpit ang gomang pang-utas

14 Kasamang matimtiman
Magtungo saanman.

-07/07/2012
*Gintong Lupa Series
My Poem No. 157

— The End —