Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
JOJO C PINCA Nov 2017
“Set wide the window. Let me drink the day.”
― Edith Wharton, Artemis to Actaeon and Other Verses

Matapang, sino ang tunay na matapang?
Yung siga ba sa kanto?
O yung pulis na marami nang na-tokhang?
Hindi kaya ang senador ng oposisyon
Na laging bumabanat sa administrasyon?
O baka naman yung mamang komentarista
Sa radyo at telebisyon?

Saludo ako sa mga sundalo’t pulis na
Nakipaglaban doon sa Marawi. Walang
Sindak ang mga bombero na sumusugod
Sa nagngangalit na dila ng apoy.
Hindi matatawaran ang kagitingin ng
Mga nagpapakasakit para sa kalayaan
At kapakanan ng inang bansa.

Pero may ibang anyo ang katapangan
Na mas malalim at kahanga-hanga.
Ang katatagan ng puso at isipan sa gitna
Ng dusa at malagim na paghihirap.
Ang hindi pagsuko ng kaluluwang hindi
Kayang ibilanggo ng takot at banta ng paghihirap.

Si William Ernest Henley ang bayani ng
Katapangan na tinutukoy ko s’ya ay di nalupig
Kailanman. Hindi s’ya sumuko sa siphayo ng kapalaran
Hanggang sa huling sandali.

Pagnilayan natin ang kanyang Invictus:

“Mula sa gabing bumabalot sa akin,”

May mga kawawang nilalang na walang umaga
Ang kanilang buhay puro gabing madilim
ang laging umiiral. Walang liwanag, walang bukang-liwayway.
Mula pagkabata hanggang pagtanda puro hinagpis at pait
Ang kanilang laging sinasapit.

“Kasingdilim ng hukay na malalim,”

Maraming bangin sa buhay ng mga kapos palad
Na nakabaon sa dusa at hilahil. Hindi nila ito ginusto
Hindi kailanman pinangarap kaya’t hindi nila ito
Kailanman matatanggap.

“Sa mga diyos, ako’y nagpapasalamat”

Ang mga kawawang mahihirap at mga mangmang
Sa kaalaman na laging salat sa mabuting paliwanag
Ay laging nagpapasalamat sa diyos. Salamat sa diyos……
Hahaha….. walang diyos mga hangal. Kung may diyos
Wala sanang kahirapan at kaapihan na umiiral.

“Sa kaluluwa kong hindi natitinag.”

Katawang lupa lang ang sumusuko
Ang kaluluwa at pusong matatag
Kailanman ay hindi ito magagapi.

“Nahuli man ng pangil ng kapalaran,”

Ang pangil ng malupit na kapalaran
Ay laging nakabaon sa leeg ng mga hampas-lupa
At mga walang makain sa araw-araw.
Pero hindi nito kayang sakmalin ang mayayaman at
Ang mga burgis. Bahag ang kanyang buntot
Sa harap ng mga panginoon.

“Kailanma’y di nangiwi o sumigaw.”

Kahit sumigaw ka at ngumawa nang husto
Walang tutulong sa’yo, walang makikinig
Dahil bingi ang mundo at bulag ang mata
Ng panginoong mapagpala.

“Sa mga pagkakataong ako’y binugbog,”

Paos ang tinig ng mga inang mapapait kung humikbi
Mga pinanawan ng pag-asa at ulirat dahil sa pag-iyak
Walang saysay ang sumigaw – nakaka-uhaw ang
Pag-iyak magmumukha ka lang uwak.

“Ulo ko’y duguan, ngunit ‘di yumukod.”

Bakit ka naman yuyukod sa putang-inang kapalaran
Na walang alam gawin kundi ang mang-dusta at mang-api.
‘Wag mo’ng sambahin ang isang bathalang walang-silbi,
Lumaban ka at ‘hwag magpadaig.

“Sa gitna ng poot at hinagpis”

Galit at lungkot ito ang kapiling lagi
Ng mga sawimpalad. Malayo sa masarap
Na kalagayan ng mga pinagpalang sagana
Sa karangyaan at kapangyarihan.

“At sa nangingilabot na lagim,”

Nagmistulang horror house ang buhay ng marami
Walang araw na hindi sakbibi ng lagim, walang oras
Na hindi gumagapang ang takot. Takot sa gutom, sakit,
At pagdarahop.

“Mga banta ng panahong darating,”

Bakit ang mga walang pera ang paboritong
Dalawin ng katakot-takot na kamalasan sa buhay?
Ganyan ba ang itinadhana ng diyos na mapagmahal
At maunawain? Nakakatawa diba?
Pero ito ang katotohanan ng buhay.

“Walang takot ang makikita sa ‘kin.”

Tama si Henley bakit mo kakatakutan ang lagim
Na hindi mo naman matatakasan? Mas mabuti
Kung harapin mo ito ng buong tapang at kalma.

“Kipot ng buhay, hindi na mahalaga,”

Para sa isang lugmok sa pagdurusa wala nang halaga
Ang anomang pag-uusig at kahatulan na nag-aantay.
Impeyerno? Putang ina sino’ng tinakot n’yo mga ulol.

“O ang dami ng naitalang parusa.”

Parusa, ang buong buhay ko ay isang parusa.
Ano pa ang aking kakatakutan na parusa?
Hindi naging maligaya ang buhay ko ano pa
Ang mas malalang parusa na gusto mo’ng ibigay?

“Panginoon ako ng aking tadhana,”

Oo ako lang ang diyos na gaganap sa aking
Malungkot na buhay. Walang bathala akong
Tatawagin at kikilalanin ‘pagkat wala silang pakialam sa’kin.

“Ang kapitan ng aking kaluluwa.”

Walang iba na magpapasya sa aking tadhana
Ako lang hanggang sa wakas ng aking hininga
Ang dapat na umiral.

Si Henley ang tunay na matapang dahil kahit
Pinutol na ang kanyang mga paa, sa gitna ng sakit
At matinding dusa hindi s’ya sumuko. Ang kanyang
Kaluluwa ay nanatiling nakatayo.
Aridea P Oct 2011
Palembang, 22 Juni 2011

Api itu hampir merajai waktu
Merenggut harta benda tanpa ampun
Mangarang tubuh yang sesepuh
Duduk pun terdiam di kursi besi butut

Kekuatan api bagai Sang Supernova
Membumbung tinggi tak ada yang terjaga
Meletup-letup bagai haus dan lapar
Tinggallah hamparan abu di senja tiba

Sebelum fajar menyingsing indah
Berisik di tengah jalan sirine mengulang
Langkah kaki mondar-mandir yang tentu arah
Bergotong royong pun dengan peluh dan baju basah

Ku duduk terdiam terpaku
Setengah melamun di sebelum senja muncul
Ku tersadar pun di tengah padam lampu
Dan ku lihat Monalisa tersenyum pada ku

Ku duduk bersimpuh di kaki
Menunduk dan berharap ini hanya mimpi
Dan aku bangkit tuk lihat situasi
Ku dengar mayat rapuh bagai tiada arti lagi

Tak mampu tumpah air mata
Hanya tubuh kaku mati rasa
Pikiran yang ingin selalu waspada
Mental ini rapuh butuh udara

Abu terasa di mana-mana
Terinjak, menyatu dengan tanah
Menutup mata kini selaalu terjaga
Menjaga hari tanpa Supernova

9 Juni penuh cerita
Di bawah tangisan dan panikan
Wanita memasak dan menjaga anak
Pria bahu membahu membangun rumah
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Aridea P Oct 2011
Palembang, Selasa 21 Juni 2011


Aku punya mimpi mulia
Butuh seribu tahun tuk menggapainya
Ku tak serius, hanya mengira
Karena ku selalu tak sempurna tuk jalaninya
Hingga betisku biru
Lututku lecet
Bobot tubuhky berlipat
Sampai pikiran ku sangat terbebani
Hanya dapatkan phobia sesaat
Saat api kulihat di mata tepat
Mulutku kelu ludahku kering dan aku berkeringat
Dan tersadar tak satupun peduli aku di malam pekat
Ingat hanya aku tahu semampunya
Tak buktikan apa-apa yang telah ku buat
Orangpun merendahkan aku bagai tersiksa
Tak bisa ku membela sendiri karna tlah telat
Sadar-sadar di hari nan senja
Bahwa ku makan hanya sisa saja
Ku terima karena ku akui aku memang suka
Berharap perbaikan akan datang mangubah semua
Nama-Nya selalu ku sebut di setiap masa
Meski aku dan Dia tahu bahwa aku masih salah
Namun salahkah aku masih ingin dicinta?
Kepalaku berat bagai hampir tak bernyawa
Aridea P Jan 2012
Palembang, 31 Desember 2011

Ku tak berharap malam ini akan spesial
Mengingat kembang api tak mau memperlihatkan sinarnya
Terompet pun enggan mengumandangkan suara nyaringnya
Apalagi, arang bersumpah takkan membara malam ini

Jahat sekali mereka padaku 

Aku sudah mengira malam ini akan menjadi bosan
Ditinggal sendirian di rumah
Dilarang pergi ke rumah teman
Ditambah modem tak mau konek

Jahat sekali kalian padaku 

Baiklah
Aku hanya bisa bermimpi saja
Mendengar gemuruh kembang api
Melihat cahaya indahnya
Menghirup wangi jagung bakar
Menyantap ayam panggang
Dan ketika aku kenyang, aku tertidur

Esok pagi
Yang ku temui hanya sepi
lampu lampau telah mati.
dicekik bahasa-bahasa cinta
yang menguar dari mulutmu.

ruang penuh raung itu maka
padam. aku diselimuti hangat
tenang dan bara senang.

lihat, setelah punggung
yang kauberi kemarin,
kembang-kembang api
kini tak mau meledak di langit.

pucuknya selalu pecah
sebagai kesunyian
di kepalaku.


kanya, 2017
Aridea P Oct 2011
Jika aku berdosa Tuhan
Hati tak ingin disalahkan
Karena jiwa yang serakah
Telah terbelah menjadi dua

Ingin hati terbang ke Surga
Apadaya terbelenggu senja
Mentari panasi dunia
Bagai raga ku yang mulai gersang

Tuhan... Tolong...
Teriakan ku memohon
Hujanilah raga ku yang gersang ini
Beri tanda jiwa yang asli

Jiwa keras bagai karang
Terhempas ombak baru mengalah
Jiwa lembut bagai awan
Terhempas angin baru tersadar

Sadar akan 2 jiwa yang terbagi
Begitu berbeda bagai langit dan bumi
Amat berbeda bagai air dan api
Ku sadari, aku manusia yang Munafik

Created by Aridea Purple
Steve D'Beard Jan 2013
I should've guessed
by the nondescript response
teenagers glazed
by 'proper' use of language;
'old-speak' as some would see it
yet to be blessed by a words prowess
fazed by more than 1 syllable
seems inconceivable
and yet text-speak sits,
or rather, should be, languish,
as a hybrid of our languages
prompts me to write this
out of plain literary anguish.

each year on birthdays
write a small poem or limerick
the momentary excitement of opening the card
is lapsed by reason
(it does not contain a £20 note)
the thought bubble denotes
they express some disdain
the speech bubble that follows
the spark in the brain
just another of Uncles gimmicks
lacking the imagination to invoke
something more personal
than a hardback book:
another 200 recipes
for the aspiring young cook

they implied they enjoyed lunchtimes at school
instead wanted an iPad or something
equally expensive and cool

So I try to embrace it
this thing they call urban
write something poetic in text-speak
the very premise of it
is somewhat disturbing
the infinite curve of learning
LOLs from actual LOLS;
the mobile language equivalent
of online voyeurs,
the posters of nonsense,
noobs and trolls

apparently a ROFL
is more-or-less as potent as ****
I scratch my head in wonder
text-speak is used by millions
to converse on a global scale
some how

Q: does SUM exist
(as in 'shut ur mouth' )
is that acceptable?

A: not yet cordially invited on the list
(its an actual word
doesn't count as an acronym)
Im told

the coal face of the lexicon:
indigestible
the steep learning curve:
unpredictable

by your 30s its automatically
re-classified:
Congratulations
You are now officially 'Old'

we are merely wordsmith pedestrians
lost in the tide of text-speak equestrians
jumping and leaping and rolling in SETE and S2R's
are we binned as an S4L, the Spam For Life?
(perhaps I haven't got that abbreviation quite right)

in the context of text-speak
they are suitably troll-like in their essence
forgive me dear teenager
I am but a
SNAG in your presence:

'Sensitive'
(on occasion)
'New
Age' and
'Grown-up'
(given the right persuasion)

the riposte would be SUYF!!
('Shut Up You Fool' - said like MR. T in A-Team)
STM and Spank The Monkey
apologise, SOZ, SRY and Apls
or something equally short,
snappy and funky

at this juncture
before the brain has a puncture
simply BBFN, lest I
BBS or BBIAB or BBIAF
[thankfully this isn't a test]

like WCA
(Who Cares Anyway)
but you'd remark WAI
(and thats I for Idiot)
let out a long distance sigh
wave the imaginary fist
at the youth of yesteryear

all you'd get back was
Wicked Evil Grin
(WEG) for a
Wild *** Guess
(WAG);
a WEG for a WAG
and a PDQ x 2

would be the sum parts of the conversation
between me and you

if language and words and meaning was lost
if acronyms and abbrieviations
in CAPS
was all that there was

*** smeared in ***
with APLS for the PMJI
TXT SPK has got me PML
when MHBFY and
M8s on a MOB crusade
AWOL and dizzy for the next API
MGB for your MF device
throw in some GALGAL logic
where GIGO will simply suffice
Warning: PAW and GJIAGDV
(where the latter is Volcano)
include your GF for some cuddly GBH
and some GHP if she says so

its T2Go
be positive with the T+
and all of that Text-Speak CUZ
I'll T2UL and T for your time,
I'll TAH on the whole TBC

next year i'll just slip in a £20 note
and simply write:
Happy Birthday
with LV
from me
I have a disdain for text-speak as a replacement for language but it seems the only way to converse with teenage cousins on mobile, so I wrote this in response to that.
Diska Kurniawan Apr 2016
Pukul satu, kakiku melangkah ke sudut warung kecil itu
Sunyi, lalu ku pilih tempat duduk di ujung sana
Setelah memesan kopi, pilot ku menggores kertas
Yang sama putihnya dengan kulitmu
Tak lupa kubakar ujung rokokku
Yang namanya sehangat pelukanmu
Lalu kuhembuskan kepulan asap tembakau
Menguar sama harumnya dengan tubuhmu
Sepekat nikotin di pembuluhku

Ku tulis kisah kita, dari awal mula hingga akhir bersua
Yang terdampar di sudut kenangan dan rindu,
dan kupaksakan masuk ke dalam loker kerjaku
Sehingga lupa ku adalah tabu, dan memoir adalah *****
Dirimu ku lukis dalam surat ini;


"Di hingar bingar kota, dimanakah kau berada?
Jika lelahmu beradu, dimakah kau berteduh?
Aku disini kasih, Surabaya tempatmu lari
Menolehlah jika kau ada di sudut persimpangan
Mungkin, aku disitu mencari dan mencari
Sisa-sisa cintamu jika itu memang terjatuh
Menadah air matamu, jika itu memang tercecer.
Temui aku, jika berkenan menjumpa nostalgia"


Kuhembuskan uap-uap tar yang menguning
Menerawang di bohlam remang-remang.
Ketika kabut itu pergi, begitu pula aku
Saat api ini padam, redup juga jiwaku

Pukul tiga aku beranjak,
Bayar dan pergi
Surat itu kutinggalkan di atas meja.
Credit to Burhan-san for title
JOJO C PINCA Nov 2017
“Real generosity towards the future lies in giving all to the present.”
― Albert Camus

Kung gusto may paraan, kung ayaw laging may dahilan. Pero may mga taong sadyang mahina kaya’t nahihirapan makahabol. May mga naghahabol naman na hindi talaga umaabot. Kahit anong gawin walang nasasambot, parang bunga na laging bubot at mukhang hindi na mahihinog. Hindi mo kailangan na maging alipin ng sistema kung ito ay iyong isinusuka. Kumawala ka at maging palaboy kung kinakailangan. Ibinabaon ka ng mga sama ng loob at ng matinding awa sa sarili. Hindi dapat maging ganito ang buhay.

Dalawang taon nang pagtitiis, dalawang taon na puro hinagpis at dalawang taon na panay tanggap ng mga galit at paninisi. Tama na, ito na ang panahon para wakasan ang lahat. Sapat na ang mga pagpapakumbaba at pagsasawalang kibo. Hindi ka aso, tao ka tandaan mo yan. ‘Hwag mo’ng ipilit kung hindi naman talaga sukat dahil kahit anong pilit hindi ito babakat. Maging karapt-dapat ka sa paggalang na dapat ibigay mo sa’yong sarili. Tama lang yan magpahinga kana.

Ang mundo ay de-kahon hindi kapa isinisilang ganito na ito, wala ka nang magagawa para baguhin ito. Pero ‘pwede kang kumawala, maging rebelde at lagalag. Oo, maghimagsik ka laban sa mapang-dusta na sistemang umiiral. Patunayan sa kanila na kaya mo’ng mabuhay sa labas ng sapot na bumabalot. Hindi ka balut kundi tao kaya hindi ka dapat na matakot kahit naglipana pa ang mga salot. Hindi ka dapat na lumuhod at magmaka-awa sa mga taong umaastang panginoon.

May mga nag-di-diyos-diyosan na mga kupal na nasa lipunan na ang paboritong tapakan ay ang mga mahihina at hampas-lupa na tulad mo; mga putang-ina sila na walang alam gawin kundi ang mang-api ng mga taong kapos sa dunong at pinag-aralan. Ganito ang sistema ng lipunan, ganito kabaho ang mundo na pinatatakbo nang mga walanghiyang tao na kung umasta ay aakalain mo’ng mga kagalang-galang. Mga hindot sila na walang pakundangan sa damdamin ng iba maitanghal lamang nila ang huwad na kadakilaan ng kanilang nabubulok na mga sarili.

Tama lang ang ginawa mo, tama lang na kumalas ka sa naaagnas na sistema na nagkukubli sa loob ng mga magagarang opisina. Tama yan, itakwil mo ang mga panlalait na pinakikinis nang mga salitang Inglis na inilalagay sa mga dokumento. Panahon na para maging totoo ka sa iyong sariling damdamin at pagkatao. Binabati kita dahil sa wakas nagpasya ka ng may katapangan – sana noon mo pa ito ginawa. Ako na ang sasalo sa natitira mo’ng kalat, ako na ang haharap sa mga halimaw na iyong tinakasan.
Para kay Rey
Safira Azizah Sep 2019
Apa yang terjadi ketika
minyak tanah bertemu api?
Kebakaran.
Itulah yang terjadi pada kami
Saling menghabisi sampai terlalu sering.

Tapi terkutuklah!
Tiada habis-habisnya sumber daya kami,
mungkin baru habis kala reyot nanti!/
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Saat-saat kami melebur
menghasilkan bunga api yang berkobaran—
saling mengadu tinggi lidah api,
hingga disembur air mata
dari mulut sang jawara,
itu lebih berharga dalam sarekat ini
dibandingkan bercokol bagai sahaya di kelas./

Sungguh absurd.
Sepertinya kami harus jauh-jauh
dari lahan gambut,
biar tak ada lagi karhutla bersengkarut.
Sebab Lautan pun
membara dekat-dekat kami./

Tapi
Jangan serius-serius betul lah
Kami lucu benar, percayalah.
Kami lebih suka berkelakar,
daripada diciduk karena jadi makar.
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
#ReformasiDikorupsi
Aridea P Jun 2012
Palembang, 11 Juni 2012

Debu ini sudah lengket, tak bisa hilang
Meski ku usap dengan kain dari ulat sutra
Angin sudah terlanjur tertiup
Aku tak sempat lagi tuk pakai penutup

Petir sedari tadi mengamuk
Aku hanya bisa bersembunyi di bawah selimut
Banjir belum juga surut
Hujan tak pernah berhenti sedetikpun

Lampu belum juga padam
Padahal lilin dan api telah aku siapkan
Aku sudah siap menekan tombol Stop
Padahal lagu masih panjang untuk dinyanyikan

Aku belum juga tertidur
Padahal aku sudah menentukan mimpiku
Aku masih terjaga menunggu pagi
Meskipun malam belum akan berakhir
Mateuš Conrad Aug 2018
<!DOCTYPE html>
    <html class="guide-pinned show-guide content-snap-width-1 no-focus-outline" lang="en" data-cast-api-enabled="true">
        <head></head>
        <body id="body" class=" visibility-logging-enabled ltr gecko gecko-42 exp-inver…th-enabled-snap yt-user-logged-in page-loaded inverted-hdpi" data-spf-name="other" dir="ltr">
            <*** id="early-body"></***>
            <*** id="body-container">
                <*** id="a11y-announcements-container" role="alert"></***>
                <form action="/logout" method="POST" name="logoutForm"></form>
                <*** id="masthead-positioner">
                    <*** id="ticker-content"></***>
                    <*** id="yt-masthead-container" class="clearfix yt-base-gutter">
                        ::before
                        <button id="a11y-skip-nav" class="skip-nav" tabindex="3" data-target-id="content"></button>
                        <*** id="yt-masthead">
                            <*** class="yt-masthead-logo-container "></***>
                            <*** id="yt-masthead-user" class="yt-uix-clickcard"></***>
                            <*** id="yt-masthead-content">
                                <form id="masthead-search" class=" search-form consolidated-form" data-visibility-tracking="CAEQ7VAiEwip5O50vcAhVTwNUKHbXDDosojh4­" data-clicktracking="CAEQ7VAiEwip5O50vcAhVTwNUKHbXDDosojh4" onsubmit="if (document.getElementById('masthead-search-term').value == '') return false;" action="/results">
                                    <button id="search-btn" class="yt-uix-button yt-uix-button-size-default yt-uix-button-default search-btn-component search-button" tabindex="2" dir="ltr" onclick="if (document.getElementById('masthead-search-term').value ==…ById('masthead-search').submit(); return false;;return true;" type="submit"></button>
                                    <*** id="masthead-search-terms" class="masthead-search-terms-border " dir="ltr">
                                        <input id="masthead-search-term" class="search-term masthead-search-renderer-input yt-uix-form-input-bidi" type="text" aria-label="Search" title="Search" placeholder="Search" tabindex="1" value="" name="search_query" onkeydown="if (!this.value && (event.keyCode == 40 || event.keyCode == … event.keyCode == 34)) {this.onkeydown = null; this.blur();}" autofocus="" autocomplete="off" aria-haspopup="false" role="combobox" aria-autocomplete="list" dir="ltr" spellcheck="false" style="outline: medium none;"></input>

lement {
    outline: medium none;
}
#masthead-search-terms input {
    background: transparent none repeat scroll 0% 0%;
    border: 0px none;
    display: inline-block;
    font-size: 16px;
    height: 100%;
    left: 0px;
    margin: 0px;
    outline: medium none;
    padding: 2px 6px;
    position: absolute;
    width: 100%;
    box-sizing: border-box;
}
.search-term {
    width: 100%;
}
body, input, button, textarea, select {
    font-family: "YouTube Noto",Roboto,arial,sans-serif;
    font-size: 13px;
}
button, input, textarea {
    font: 12px "YouTube Noto",Roboto,arial,sans-serif;
}
#masthead-search-terms {
    font-size: 14px;
    line-height: 30px;
}
canvas, caption, center, cite, code, dd, del, dfn, ***, dl, dt, em, embed, fieldset, font, form {
    font-size: 100%;
}
body {
    word-wrap: break-word;
    font: 12px "YouTube Noto",Roboto,arial,sans-serif;
}
body {
    line-height: 1;
    text-align: start;
}
hr, html, i, iframe, img, ins, kbd, label, legend, li, menu, object, ol, p, pre, q, s, samp, small, span, strike, strong, sub {
    font-size: 100%;
}
Sarah Oct 2013
Maaf
Maaf
Maaf

Kau bukan secarik kertas
yang dibuang begitu saja setelah kupakai
Kusut, coreng-moreng
Bukan, kau adalah kartu pos
yang disimpan rapi di lemari jati
Meski usiamu tiada muda

Kau bukan terik matahari
yang dicaci orang ketika ada,
diabaikan ketika tiada
Bukan, kau adalah suara rintik hujan
yang dipuji, dikagumi, didengar
Meski kau membasahi baju mereka

Kau bukan jam rusak
yang digantung terlalu tinggi untuk diganti
Berdebu, usang
Bukan, kau adalah api
yang dicari orang sampai kalang-kabut
Meski kau membakar rumah mereka

Tapi maaf jika aku membuatmu merasa seperti
secarik kertas, terik matahari, dan jam rusak
Bukan niat ingin menyakiti
Tapi aku memang tak bisa dicintai

Maaf.
GOD I **** AT WRITING IN BAHASA INDONESIA but hey this is my first attempt so please forgive me?
Elle Sang Feb 2016
Awan hitam tersenyum telak
Hujan datang menyambut
Jari jemari yang biasa menari
Terlelap dalam dingin
Membeku membiru
Sinarnya telah hilang
Dibawa oleh lamunan
Dikandaskan oleh waktu
Api yang dulu merah meradang
Kini hilang ditelan sunyi
Bercak emas itu bukanlah dia
Dibiarkanlah semua membeku
Dengan begitu ia tak perlu tertatih berjalan
Biar waktu yang membunuhnya perlahan
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Aku putus asa di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan
Di saat aku sedang sibuk menyemangati orang lain untuk bertahan
Tepat di saat aku berceramah agar mereka terselamatkan
Aku  membela orang lain padahal aku sendiri seorang tahanan
Aku sendiri tak mampu untuk mengembalikan kehidupan, hanya berangan
Melewati waktu tanpa batas yang membuat aku tersesat di jalan
Dengan berani ku telusuri labirin tak berujung di hari tak berawan
Aku mampu menjadi lentera orang lain, di jalan gelap di ujung perapian
Namun aku tetaplah lilin yang tak berapi, angin meniup api dan angan
Aku masih tetap menjadi tahanan yang ingin terbakar di ujung perapian
Aridea P Oct 2011
Segenap usia t'lah ku pegang. Namun, akankah telepas? Usia akhir hampirkah dekat. Apakah raga akan terbunuh?

Cintaku belum tergapai. Bisik hasut baik, terngiang di telinga. menyerukan kata indah tentang cinta. Agar ku tak merasa terikat usia.

Belum lama ku cicipi dunia. Akankah kandas bagai tergilas. Tiupan angin menjadi puing. Terbakar api menjadi debu.

Nyawa kini menjadi asap. Tak berguna tanpa cinta. Menangis haru karena suara indah. Dan tersenyum bahagia bermimpi cinta.

Created by. Aridea Purple
JOJO C PINCA Dec 2017
sinusunog na mga bahay,
sinasamsam ang mga ari-arian,
sinasaktan pati ang mga bata,
ginagahasa ang mga babae,
at pinapatay ang mga lalake.
ganito araw-araw ang kanilang sinasapit,
hindi sa kamay ng mga tulisan o rebelde,
hindi sila ang salarin sa pang-aapi,
kundi ang estado at militar ang pasimuno.
sila ang pasistang halimaw na naninibasib,
pagkat gusto nilang maubos ang mga Rohingya.
hindi daw sila taga Burma,
latak daw sila ng mga Arabong dayo,
kaya kailangan na sila'y malipol.
walang magawa si Aung San Suu Kyi,
pati s'ya hawak sa leeg ng militar.
walang ginagawa ang Amerika at UN,
palibhasa wala silang mapapala sa mahirap na bansa.
isa na naman ba itong Rwanda,
o katulad sa Gaza?
walang gustong tumulong sa kanilang walang pakinabang.
maramot ang saklolo sa mga madaling maloko,
hindi kinakalinga ng langit ang mga tunay na api at kapos palad,
sapagkat ang mata ng kasaysayan ay nakatuon lagi sa Europa
at sa mga bansang masagana.
Bintun Nahl 1453 Mar 2015
Tanda Ahli Neraka, Omongannya Pedes #
“…Rosulullah ditanya tentang seorang wanita yang masyallah. Wanita ini ibadahnya jangan ditanya. sholat malamnya,kemudian puasa sunnahnya sedekahnya juga banyak. Tapi yang jadi masalah,dia itu PEDES NGOMONGNYA.
Ada yang pedes. Kalo ngomong itu NYLEKIT katanya. BIKIN SAKIT HATI.
Apa kata rosul shollallahu alaihi wasallam tentang perempuan yang suka ganggu orang dengan ucapannya ?
ﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻫﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ....
NGGAK ADA KEBAIKAN DI WANITA SEPERTI INI. TEMPAT DIA DI NERAKA. Kata rosul shollallahu alaihi wasallam.
Jadi kita harus memperhatikan, mengevaluasi diri kita ini terkadang sebagian kalo disuruh ibadah jangan ditanya.
datang kajian jangan ditanya. Tapi kalo ngomong suka nyakitin orang. Maka hati-hati orang yang seperti ini dia TIDAK AKAN SELAMAT DARI API NERAKA…”
Ust DR Syafiq Reza Basalamah menjelaskan
Astagfirulloh
hati2... mari menjaga lisan dari perkataan yang menyakiti orang lain.
jangan jadi
ga Jun 2018
Pertama kalinya kugenggam tanganmu
Satu kembang api dipantik dari ulu hatiku
Seribu lainnya menyusul saat jemari kita saling bertaut
Menghiasi langit malam dengan pendar menggoda
Hitam pekat dibasuh percik api warna-warni
Kusaksikan dengan jelas saat kutatap wajahmu lekat-lekat

Kala itu tak satupun kata berhasil kita ucapkan
Namum dalam hati, tiap detik kulayangkan ribuan doa
dan segala mantra :
"Tuhan sang empunya dunia ini, hendaklah hentikan waktu sejenak untuk hambamu ini. Atau panjangkanlah malam sebelum mentari terbit nanti. Terima kasih Engkau turunkan bidadari, tepat disebelah hambamu ini".

Rambutmu bagaikan ombak musim panas
Bergulung-gulung indah harum manis bergairah
Namun dadaku layaknya laut dikala badai
Gemuruh layaknya seribu ksatria berkuda
Inginku berteriak sekencang-kencangnya
Gemanya terdengar sampai kampung Ayah-Ibuku

Jikalau nun jauh di belahan dunia sana
Seseorang berhasil menginjakkan kakinya di bulan
Inginku umumkan pada dunia
Malam itu akulah manusia pertama yang berhasil menggenggam bulan
Akulah pungguk yang melawan seluruh hukum gravitasi
Akulah pungguk yang tak lagi merindukan bulan

Kalau saja bisa, saat itu juga
Ingin kutuliskan berlembar-lembar puisi cinta
Ingin kupetik gitar dan bersenandung mesra
Karena bisikan lembutmu melantunkan hasrat hidup
Tatapan sayumu membiaskan mimpi-mimpiku
Senyuman indahmu melukiskan harapan-harapanku
Mimpi dan harapan seorang lelaki biasa
Menghabiskan hidup dengannya, tuan putriku ratuku, malaikatku, wanitaku yang istimewa
22/05/2018
Pagi mulai menjelang, biar kuantar kau pulang
Fahali Machi Mar 2012
jika sebuah botol berisi api harus dilemparkan ke wajah-wajah anonimus sebagai bentuk pembelaan terhadap kaum-kaum marjinal. akan kuisi botol ini berisi bunga dan kulemparkan kepada dirimu sebagai bentuk pembelaan diriku terhadap benih-benih benci dirimu kepadaku.
(in English)

if this bottle that filled with fire i must throw to the face of the anonymous as a form of my defense to the marginals, i'll fill the bottle with flower and i'll throw it to your face, as a form of defense of your hatred to me
sobrang hinahangaan Kita dahil napakagaling **** gumawa ng mga istorya,
mga istoryang tila talo na pero sa huli ay naipanalo Mo pa.
sa una'y aping api ang bida
pero di nakakapagtaka na sa huli sila ay naging masaya
dahil pangako Mo na hindi kami mag-iisa.
Hindi kami magiisa dahil Ikaw ay kasama,
kasama sa hirap at ginhawa, sa lungkot at tuwa,
talikuran man kami ng madla Ikaw ay hindi mawawala.
Ikaw ang napako hindi ang Iyong mga pangako
kasalanan naming lahat ay Iyong inako
Iyong pagmamahal ay damang dama saan mang dako.
Daan mang tinatahak ay bako bako
Direksyon mang sinusunod ay liko liko
Walang sapat na rason para kami'y sumuko
Dahil pinaglaban mo kami at hindi isinuko.
there is no implied right to dim the sun ..
there is no sign most solemn moon ..
when wood was burn by the fire until melted charcoal,
then earth sincerely embracing ember without a groan..*

┈┈┈┈»̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶  ƦУ  »̶·̵̭̌✽✽·̵̭̌«̶┈┈┈┈┈┈┈┈

"tiada tersirat sang mentari kan meredup,
tiada tersurat rembulan kan tersyahdu..
bila kayu terbkar oleh api hingga melebur arang,
maka bumi kan tulus merangkul bara tanpa mengerang.."
it's not possible for the sun to get the moon and the glory night also can't precede the afternoon..
and each circulating is in an orbit..
Favian Wiratno Jun 2018
Dirimu bagaikan api yang membara
Panas jika disentuh sembarang,
Tapi indah jika aku menatapnya dengan benar.

Dirimu bagaikan lautan yang luas
Tenggelam jika tidak berhati-hati,
Tapi bisa membuatku menghargai keindahanya.

Bagiku dirimu adalah keindahan
Tapi bagimu diriku hanyalah sepotong cerita masa lalu.
Lawrence Hall May 2021
Lawrence Hall
Mhall46184@aol.com
https://hellopoetry.com/lawrence-hall/
poeticdrivel.blogspot.com

                   Can Internet Service Providers be Saved?

                      Hey, that’s no way to say goodbye.

                                     -Leonard Cohen

Multiple Voices from an ISP:

Our order support team reported back…
you had 2 work orders. Your work order with us
has been cancelled and the email you forwarded
to me is the installation group you will need
to contact about scheduling. Sorry…We have received
this work order that was already scheduled for 5/8
morning. There are no notes from any dispatcher
speaking to you and changing the appointment
date/time. Below are the notes on the account
and no appointment changes have been made.
Called to t/s modem; modem is offline…
t/s modem is offline…Upgrade for
the Unlimited Bronze 12…set expectations…
I do not know who this sales group is. They
do state you are scheduled for 5/4 but the work
order they sent to the 3rd party installer
shows your [sic] scheduled for 5/8. We do not
have techs in your area tomorrow…I have sent
your account to the order support team…Your appointment
scheduled [sic] has been updated…Changes have been made
to your ViaSat account.

API INSERT (Note) 04/30/2021 11:01:56 AM CDT BEP scheduling work order during creation. API UPDATE (Schedule Date) 04/30/2021 11:01:56 CDT Unscheduled Unassigned API INSERT (Note) 04/30/2021 11:01:53 AM CDT

Installation notes…Our records indicate…
We need to confirm your appointment…Your appointment
schedule has been updated…as your preferred date
could not be accommodated. We sincerely apologize…
We have been trying to reach you with the number you provided…
We have received your work order and would like to confirm…
Sorry, we were unable to deliver your message
to the following address…Your Viasat Internet
payment failed…Payment has not been received…
If you do not make a full payment soon…
relaying denied…To avoid interruption
of your Viasat service…You may also call us…
agent assist fees may apply…

Thanks for being a Viasat internet customer!
The sub-contractors who do the installation and repair are professional; the problem is with the office-gnomes who appear not to listen even to each other.
NURUL AMALIA Aug 2017
Lihat..
Kamu hanya berdiri seorang sendiri
Tak takut dan tetap berani
Bahkan api merah itupun melelehkanmu
Angin menyentuhmu dengan lembut
Tapi itu akan membunuhmu
Namun kau masih bahagia
Kau menerimanya dengan senang hati
memutuskan dengan percaya dirimu
Memberikan cahaya di tempat yang gelap dan dingin
Kamu rela dibakar habis
Meskipun kamu sudah tahu bahwa kamu ..
Tidak akan mendapatkan apapun, mungkin hanya sakit yang kau dapat
Bahkan kamu tau akan dilupakan dan lenyap
Tapi ini adalah pilihanmu
Ingin tetap diam atau bertindak
Memberikan cahaya ajaib pada kegelapan ..
Megitta Ignacia Jul 2019
membingkai itu ada tujuannya
dilapisi kaca biar tidak terkotori
aku mengamplas ingatan yang sempat luntur
terbawa pada lamunan utuh & seruan sendu
silam, bertumpu berapi-api enggan berkeputusan asal
sampai kini, aku masih patuh pada prinsipku

kamu memintaku,
namun hatiku berprasangka itu rancangan induk
bukan asli pemintaanmu
kupilih menepikan diri
diam-diam berharap kamu bercerita lebih dalam
tapi nihil, malah indukmu maju
aku mau, tapi apa keputusan ini benar
pepetan restu, tekanan waktu
dihimpit ketakutan indukmu atas cemooh
orang, siapa? tetangga? saudara?

keengganan bersepaham
kuuji kamu dari belakang
menantang setara, seimbang, sejajar
lontaran kata pengundang debat
berlindung atas wejangan duda muda yang baik
"dua jenis prinsip tujuan pernikahan"
satu, untuk memulai keluarga baru
dua, untuk menyatukan keluarga
dengan kesadaran kupilih yang bertolak denganmu
karena saat itu aku belumuran ragu
sejauh mana kedewasaanmu?

kamu gagal pada tesmu,
tapi aku tetap bertahan kala itu,
setelah semua berjarak, mungkin kamu sadar ikatan pernikahan bukanlah hal main-main
kubedah diriku, ada setitik kekecewaan
seumpama semesta menghajarku dengan keras
tapi Ia tidak melepaskanku pada maut
disadarkanNya pula, inilah jawaban doa
"jauhkanlah aku dari yang jahat & dekatkanlah dengan yang baik"
jari manisku takkan tersemat cincin duri sebab ranting emas berbunga daisy telah memekarkan diri
230719 | 19:35 PM udah di kost Bali lagi, minum kopi sambil makan roti canai, ini luapan emosi, tentang transformasi ke arah yang baik. Tuhan menjaga kita semua.
Donall Dempsey Mar 2015
COME VIENE...VIENE!
(WHAT COMES...COMES!)

The sun is
preaching her sermon

to the town
of Praiano

that clings to the cliffs
in wonder.

Here in her hand
of light & water

she tells the parables
of pebbles.

One wave waves to another
as she walks upon the water.

Bells undress Time
disrobe her of her hours.

Lemons grow
big-bellied on branches

pregnant
with yellow.

The juice
of the Future

praying in a church
of trees.

Here, a congregation
of butterflies & bees.

Grapes dream of being
turned into wine.

Figs ripen
with pleasure.

The gods of pagan times
survive

disguised as statues.

I only believing
in the religion of

a woman's
laughter.

And even now
as darkness

grows
upon the rose

it's as if
the sunlight never leaves

only changes
colour

and the sunlight darkens
only to blossom

into the next morning
in love with Time.

**

CHE COSA SI FA

Il sole
sta predicando

alla citta
di Praiano

che miracolosamente
si aggrappa alle scogliere.

Qui nella sua mano
di luce ed acqua

racconta le parabole
di ciottoli.

Un' onda fluttua verso un'altra
come cammina sull'acqua.

Le campane spogliano il Tempo
la svestono delle sue ore.

I limoni crescono
rigonfi sui rami

gravidi di giallo.

Il succo
del Futuro

che prega in una chiesa
di alberi.

Qui una congrgazione
di farfalle ed api.

L'uva sogna di essere
trasformata in vino.

I fiche maturano
con piacere.

Le divinita dell'epoca pagana
sopravivono

transvestite in statue.

Io credo solo
nell religione

di una risata di una donna.

E anche ora
come il buio

aumenta
sopra la rosa

e come se
la luce del sole non andasse mai via

ma cambia
solo colore

e la luce del sole si oscura

per fiorire
la mattina dopo

innamorata del Tempo.
Tace ora, mi chiedo se oppressa dal suo Karma,
(so della sua vita, del nome che le dà, e del senso)
mentre mostra a lungo lo schermo
sul selciato una moltitudine
stecchita in una posa tra sonno e morte
levarsi a stento in preghiera e spulciarsi nell'alba.
Né forse la colpisce il primo aspetto
ma un altro più recondito, e vede
una giustizia di diverso stampo
in quella sofferenza di paria
orrida eppure non abietta, e nella sua che le scende addosso.

"Avere o non avere la sua parte in questa vita"
riemerge in parole il suo pensiero - ma solo un lembo.
E io ne tiro a me quella frangia
ansioso mi confidi tutto l'altro,
attento non mi rubi niente
di lei, neppure l'amarezza, ed attendo.
S'interrompe invece. Seguono altre immagini dell'India
e nel loro riverbero le colgo
un sorriso estremo tra di vittima e di bimba
quasi mi lasci quella grazia in pegno
di lei mentre si eclissa nella sua pena
e l'idea di se stessa le muore dentro.

"Perché porti quel giogo, perché non insorgi"
mi trattengo appena dal gridarle,
soffrendo perché soffre, certo,
ma più ancora perché lascia la presa
della mia tenerezza non saziata e piglia il largo piangendo;
"Ascoltami" comincio a mormorarle
e già penso al chiarore della sala dopo il technicolor
e a lei che sul punto di partire
mi guarda da dietro la lampada
della sua solitudine tenuta alzata di fronte.

"Mario" mi previene lei che indovina il resto. "Ancora
levi come una spada, buona a che?,
lo sdegno per le cose che ti resistono.
Uomo chiuso all'intelligenza del diverso,
negato all'amore: del mondo, intendo, di Dio dunque"
e indulge a una smorfia fine di scherno
per se stessa salita sul pulpito, e quasi si annulla.

"Davvero vorrei tu avessi vinto"
le dico con affetto incontenibile, più tardi,
mentre scorre in un brusio d'api, nel film senza commento, l'India.
O dolce usignolo che ascolto
(non sai dove), in questa gran pace
cantare cantare tra il folto,
là, dei sanguini e delle acace;
t'** presa - perdona, usignolo -
una dolce nota, sol una,
ch'io canto tra me, solo solo,
nella sera, al lume di luna.
E pare una tremula bolla
tra l'odore acuto del fieno,
un molle gorgoglio di polla,
un lontano fischio di treno...
Chi passa, al morire del giorno,
ch'ode un fischio lungo laggiù
riprende nel cuore il ritorno
verso quello che non è più.
Si trova al nativo villaggio,
vi ritrova quello che c'era:
l'odore di mesi-di-maggio
buon odor di rose e di cera.
Ne ronzano le litanie,
come l'api intorno una culla:
ci sono due voci sì pie!
Di sua madre e d'una fanciulla.
Poi fatto silenzio, pian piano,
nella nota mia, che t'** presa,
risente squillare il lontano
campanello della sua chiesa.
Riprende l'antica preghiera,
ch'ora ora non ha perché;
si trova con quello che c'era,
ch'ora ora ora non c'è...
Chi sono? Non chiederlo. Io piango,
ma di notte, perch'** vergogna.
O alato, io qui vivo nel fango.
Sono un gramo rospo che sogna.
ga Jan 2018
Andaikan aku dirimu
Akan kulangkahkan kakiku keluar pintu
Melayang seringan bunga kertas
Kan kupenuhi hari-harimu dengan warna indahku

Andaikan aku dirimu
Akan kujelajahi setiap sudut kota
Kutelisik namamu di papan-papan pengumuman
Kucari wajahmu dalam setiap poster iklan
Kan kuceritakan padamu hargamu bagiku
Sambil mengantarmu pulang ke rumah

Andaikan aku dirimu
Aku akan berkawan dengan malam
Kutangisi bintang-bintang jauh yang berpendar lemah
Kemudian kupeluk rembulan dengan erat
Kurayu agar ia mau menyinari jendela kamarmu
Dan sinar lembut sewarna perak menerpa wajahmu
Indah menemani kau yang terlelap

Andaikan aku dirimu
Jikalau nanti kau tak melihat diriku
Aku sedang mencari pulau yang tak dikelilingi air
Biar kuisi dengan lautan kembang api
Agar kau menyaksikan letupan-letupan rindu penuh warna
Merasakan jarak indah yang menyiksa
29/01/2018
mirai
So Dreamy Feb 2020
sulutan api mengubah abu
menjadi seikat amarah
rembesan air dari balik kelopak mata
disulap menjadi rintik air hujan

dan bumi pun berdansa
pada mereka yang bersenang-senang
bergembira
menepuk-nepuk tanah melalui kaki riang
suka cita
dalam pesta pora
satu ruang sesak berisi
terompet seruan hura-hura

menjerit dan meronta
lalu tertawa
dalam kebohongan
tersedak dan tersedu
ketika bintang pergi dan hilang
hanya untuk punah sementara

untuk datang dan
terlempar kembali ke dunia nyata
menyambut kesolekan-kesolekan
dan kemunafikan-kemunafikan
kepura-puraan
topeng-topeng dalam sandiwara,

seluruh umat manusia.
ZZ Mar 2018
Dari mana kau tahu mawar itu merah
Dan melati itu putih?

Dari mana kau tahu ruby itu merah
Dan kapur itu putih?

Dari mana kau tahu api itu merah
Dan awan itu putih?

Dari mana kau tahu berani itu merah
Dan suci itu putih?

Darimana kau tahu darah itu merah
Dan tulang itu putih?

Dari mana aku tahu hatimu merah
Jika tiada hitam diatas putih?
3 Februari 2015

juga diterbitkan di https://tintaqabila.wordpress.com/2015/02/03/dari-mana-merah/
ga Feb 2018
Semalam aku melihat harimau
Harimau kalut
Gugup menyeberangi
lautan kembang api

Hari ini aku melihatmu
Membawa angan
Melangkahkan kakimu
ke dalam mimpiku

Semalam aku melihat bidadari
Tersenyum manis
Melambungkan angan
ke khayangan

Hari ini aku menimbang hati
Lebih berat
Karena ia
terbelah dua

Semalam aku merangkai kata
Puisi manis
Untuknya
gulali arum manis

Hari ini musim berganti
Angin bertiup
Menyapu namamu
yang tersangkut
dalam hatiku
03/02/2018
mirai

— The End —