Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
David Nelson Mar 2020
Makin' Love

I knew from the start
you had stolen my heart
when I first met you
you were a queen
at the age of sixteen
when I first saw you

there is nothing I'd rather do
then make love to you
I know in time I'll go out of my mind
just dreaming about you'

makin' love
makin' love to you  
makin' love
makin' love to you

always so kind
if I fell behind
you'd be the first to console
you'd always help out
and it left me no doubt
first my heart now my soul

there is nothing I'd rather do
then make love to you
I know in time I'll go out of my mind
just dreaming about you'

makin' love
makin' love to you  
makin' love
makin' love to you

Gomer LePoet...
to listen to the musical version of this piece go to
https://soundcloud.com/gomer-lepoet/makin-love
Styles Jul 2017
Wish I could stop time or make it last longer
Feeling on your vibes, emotions getting stronger
The longer I ponder, the more I grow fonder
I can't be around you
There ain't no telling what i might do
I don't know if you can take it
It's too big, I might break it
Little waist tight dress
I can’t take it
Your body shakin
eyes looking at me
like your for my taking
our bodies groove
In our grooves
This kinda love is for the makin
Dancing like we two halves of one making
The moment sacred
Reading your body language
picturing you naked
screamin my name like its your favorite
I make your body do things
So your soul can savor it
Makin love until your ears ring
to our vibe vibrating as we do our thing
you cumin first until it’s past tense
Got a few things on my mind
Baby you are a hottie
Out of everybody
I want your body
Noandy Jan 2016
Laut Anyelir*
Sebuah cerita pendek*

Apa kau masih ingat kisah tentang laut di belakang tempat kita tinggal? Laut—Ah, entah apa nama sebenarnya—Yang jelas, itu laut yang oleh paman dan para tetangga disebut sebagai Laut Anyelir. Kau mungkin lupa, sibuknya pekerjaan dan kewajibanmu jauh di seberang sana sepertinya tidak menyisakan tempat-tempat kecil dalam otak dan hatimu untuk mengingat dongeng muram macam itu. Tapi aku ingat, dan tak akan pernah lupa. Hamparan pantainya yang kita injak tiap sore setelah bersepeda selama 10 menit menuju Laut Anyelir, angin sepoinya yang samar-samar membisikkan gurauan dan terkadang kepedulianmu yang terlalu sering kau sembunyikan, dan bau asinnya yang busuk seperti air mata.

Kau mungkin  lupa mengapa Laut Anyelir disebut demikian.

Kau juga mungkin sudah lupa ombak kecil dan ketenangan Laut Anyelir kala malam yang terkadang berubah menjadi merah darah saat memantulkan bulan serta arak-arakan awan dan bintangnya.

Iya, pantulan bulan dan bintang yang lembut pada air Laut Anyelir pada saat tertentu berwarna merah,

Semburat merah dan bergelombang,

Seperti rangkaian puluhan bunga Anyelir merah yang dibuang ke laut lambangkan duka.

Biasanya, setelah terlihat berpuluh bercak-bercak merah melebur di Laut Anyelir, akan ada sebuah duka nestapa yang menyelimuti kita semua. Mereka bilang, laut bersedih dan melukai dirinya untuk hal-hal buruk yang tak lama akan datang. Menurutku itu kebetulan saja, mungkin hanya puluhan alga merah yang mekar atau ada pencemaran.

Tapi aku masih tak tahu mengapa semua hal itu selalu terjadi bertepatan,

Dan, sudahlah, laut itu memang cocok disebut sebagai Laut Anyelir. Aku tidak berlebihan seperti katamu biasanya.

Kau sangat suka cerita sedih, mungkin sedikit-sedikit masih dapat mengingat kisah sedih dari paman yang juga tak percaya soal pertanda Laut Anyelir, cerita soal kekasihnya yang hilang saat mereka berenang di pantai sore hari ketika kemarin malamnya, air laut berwarna merah.

Benar, hari ulang tahun mereka bertepatan, dan pernikahan untuk bulan depan di tanggal yang sama juga sudah direncanakan dengan baik. Kekasih paman sangat jago dalam berenang, ia mengajari paman yang penakut dengan gigih, sampai pada sore hari ulang tahun mereka, paman mengajaknya untuk berenang di Laut Anyelir sekali lagi,

Sebagai hadiah,

Untuk menunjukkan bagaimana paman mengamalkan segala ilmu yang diajarkannya, sebagai pertanda bahwa mereka dapat berenang bebas bersama, kapanpun. Mereka memakai pakaian renang sebelum mengenakan baju santai dan berbalap sepeda ke pantai seperti yang biasanya kita lakukan. mereka langsung berhamburan ke Laut Anyelir tanpa memperdulikan desas-desus tadi pagi bahwa kemarin malam airnya berubah warna. Kekasih paman sangat terkejut dan bangga melihat jerih payahnya selama ini terbayar. Berbagai macam gaya yang ia ajarkan telah dilakukan oleh paman, dan sekarang ia akan mencoba menyelam dengan melompat dari sebuah karang tepat di tengah laut. Paman mendakinya—Ia handal mendaki, dan sekarang handal berenang—Lalu menatap kekasihnya dengan rambut kepang dua yang melihatnya begitu bahagia. Ia melompat dengan indah, dan meskipun sedikit kesusahan untuk kembali menyeimbangkan dirinya dalam air, paman akhirnya muncul dengan wajah sumringah, memanggil serta mencari-cari kekasihnya.

Tapi ia tak ada di sana,
Ia tak ada dimanapun.

Itu kali terakhir paman melihat kekasihnya, melihatnya tersenyum, sebelum akhirnya ia menemukan pita merah rambutnya terselip diantara jemari kakinya.

Malam menjelang, semua warga dikerahkan untuk mencari kekasihnya, namun sampai bulan penuh terbangun di langit dan dilayani beribu bintang yang menyihir air laut menjadi kebun anyelir, kekasihnya masih tak dapat ditemukan.

Itulah sebabnya apabila mendengar laut berubah warna lagi kala malam, paman tak akan memperbolehkan kita untuk mendekati laut sampai dua hari ke depan.

Kau bukan saudaraku—Bukan saudara kandungku. Tapi aku menganggapmu lebih dari sekedar teman, bahkan lebih dari saudara kandung atau saudara angkat. Kau bukan saudaraku, tapi paman begitu peduli padamu seperti anaknya sendiri. Sama seperti bagaimana ia menyayangiku.

Dahulu kami hanya rajin mendengarmu, tetangga pindahan, memainkan gitar di kamarmu sendirian, melihatmu dari balkon lantai 2 rumah kayu kami sampai kau akhirnya sadar dan tidak pernah membuka tirai jendelamu lagi. Mungkin kau malu, tapi kami masih dapat mendengar sayup-sayup suara gitarmu. Namun setelahnya, paman justru hobi melemparkan pesawat-pesawat kertas yang berisi surat-surat kecil. Mereka kadang berisi gambar-gambar pemandangan alam—Salah satunya Laut Anyelir—Dan surat-surat itu sering tersangkut di tralis kamarmu. Akhirnya paman memberanikan diri dan menggandeng tanganku untuk segera mengetuk pintu rumahmu, usiaku belum beranjak belasan, dan aku hobi mengenakan celana pendek serta sandal karet yang mungkin tidak cukup sopan dipakai untuk memperkenalkan diri. Tapi kalian tidak peduli, dan menyambut kami dengan ramah—Paman menceritakan bagaimana ia menyukai musik-musik kecilmu, dan mengajak kalian untuk melihat-melihat keadaan sekitar sekaligus berkenalan dengan para warga,

Paman mengajak kalian ke Laut Anyelir,

Kalian menyukainya;

Dan paman mulai bercerita soal kisah Laut Anyelir yang menghantui, serta ketakutan-ketakutan warga. Tapi ia belum menceritakan kisahnya.

Namun kalian, sama seperti kami yang menghibur diri,
Tidak peduli, dan tidak takut akan semburat merah pertanda dari Laut Anyelir.
“Benar, itu mungkin hanya kebetulan!”
Sahut kalian.

Hampir dua tahun kita saling mengenal, dan pada hari ulang tahunmu, paman mengajak kita semua untuk berpiknik di pantai Laut Anyelir pada sebuah sore yang cerah. Aku memakan lebih dari 3 kue mangkuk, bahkan hampir menghabiskan jatahmu. Tapi tidak masalah, orangtuamu juga tidak menegurku. Kau sudah menghabiskan jatah klappertaartku, dan menyisakan hanya satu sendok teh.

Apa kau masih ingat betapa cantiknya Laut Anyelir saat matahari tenggelam? Seperti sebuah panggung sandiwara yang set nya sedang dipersiapkan saat-saat menuju lampu menggelap. Matahari sirna dan berganti dengan senyum bulan di atas sana, bintang-bintang kecil perlahan mulai di gantung dengan rapih,

Dan air laut yang biru gelap berubah menjadi lembayung,

Sebelum akhirnya mereka menderukan ombak, dan terlihat bercak-bercak merah pada tiap pantulan cahaya bintang. Sekilas terlihat seperti lukisan yang indah namun sakit. Kalian tidak takut, justru takjub melihat replika darah menggenang pada hamparan lautan luas dengan karang ditengahnya. Paman langsung menyuruh kita semua untuk bergegas membereskan keranjang piknik, dan berjalan pulang diiringi deru angin malam. Ia tak memperbolehkan kita mendekati pantai esok harinya.

Esok lusanya, kedua orangtuamu pergi ke kota untuk melapor pada atasannya, kau dititipkan pada paman. Mereka berjanji untuk pulang esok harinya,

Tapi mereka tidak pulang.
Mereka tidak kembali,
Dan kita masih menganggapnya sebagai sebuah kebetulan saja.
Kau bersedih, namun tidak menangis.

Aku yang sedikit lebih gemuk darimu memboncengmu dengan sepeda merahku dan mencoba untuk menghiburmu yang terus-terusan memeluk gitar di Laut Anyelir. Aku yakin saat itu aku pasti sangat menyebalkan; terus-terusan berbicara tanpa henti dan menarik lengan bajumu dengan erat sampai kau memarahiku karena takut akan sobek.

Tapi akhirnya aku berhasil membujukmu untuk memainkan gitarmu lagi, kau tersenyum sedikit,
Dan entah kenapa aku cukup yakin kau mulai tidak menyukaiku karena terlalu memaksa;
Namun menurutku itu sama sekali bukan masalah.

Kau mulai tinggal bersama paman dan aku sejak saat itu, dan menjadi kesayangannya. Ketika kita sudah cukup dewasa ia selalu membawamu saat bekerja di toko jam—Kau sangat handal dalam merakit jam serta membuat lagu-lagu untuk jam kantung automaton dengan kotak musik—dan aku ditinggalkan sendiri untuk mengurus pekerjaan rumah. Tapi tetap saja aku tak dapat menghilangkan kebiasaanku untuk menyeretmu bersepeda ke Laut Anyelir saat senggang dan tidak bekerja; kau akan memainkan gitarmu dan aku akan entah menulis surat untuk teman-temanku atau menggambar, dan terkadang menghujanimu dengan berbagai pertanyaan yang tak pernah kau jawab.

Begitu kita kembali, paman yang biasanya akan menggantikanmu untuk bercerita dan bercuap-cuap sampai makan malam dan kita pergi tidur.

Kau orang yang pendiam,
Dan aku yakin paman kesepian.
Orang yang kesepian terkadang banyak berbicara.

Seiring usiaku bertambah, cerita menyenangkan paman terkadang berubah menjadi cerita-cerita yang pedih dan menyayat hati. Kau tak mengatakannya, tapi aku dapat melihat dari matamu bahwa kau sangat menikmati mendengar cerita seperti itu. Aku tak menyukainya, tapi aku tak akan menyuruh paman untuk berhenti bercerita demikian. Kalian berdua membutuhkannya.

Saat itulah paman menceritakan kisah tentang dirinya dan kekasihnya saat kita akan menyelesaikan makan malam. Aku kembali tidur dihantui cerita mengenai laut yang melahap kekasihnya itu. Dalam mimpi, aku seolah dapat melihat ombak darah menerjang dan melahapku. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, padamu, atau pada paman. Aku mulai menghindari Laut Anyelir pada saat itu.

Bunga Anyelir,
Dalam bahasa bunga, secara keseluruhan ia menunjukkan keindahan dan kasih yang lembut, seperti kasih ibu, kebanggaan, dan ketakjuban; namun kadangkala kita tidak memperhatikan arti masing-masing warnanya—
Anyelir merah muda berarti aku tak akan pernah melupakanmu,
Anyelir merah menunjukkan bahwa hatiku meradang untukmu,
Anyelir merah gelap merupakan pemberian untuk hati yang malang dan berduka.
Kurasa semua itu menggambarkan Laut Anyelir dengan tepat.

Setelah itu paman mulai makin sering bercerita soal kekasihnya yang hilang di Laut Anyelir. Aku tidak tahu mengapa, namun sore itu kau begitu ingin untuk pergi ke Laut Anyelir dengan gitarmu. Kali ini kau yang menggeretku menuju tempat yang selama beberapa hari kuhindari itu, kau tahu bagaimana aku menolak untuk pergi, kau yang biasanya tak ingin repot bahkan sampai menyiapkan sepedaku dan mengendarainya lebih dahulu.

Aku tak ingin kau pergi sendirian, aku mengikutimu. Kurasa tidak apa, tidak akan ada apapun hal buruk yang terjadi. Lagipula kita tidak akan berenang atau berencana untuk pergi jauh setelahnya.

Aku mengikutimu menuju Laut Anyelir. Kau duduk tanpa sepatah katapun, hanya menatapku. Dan mulai memainkan Sonata Terang Bulan oleh Beethoven dengan gitarmu saat matahari menjelma menjadi bulan. Saat itu barulah aku tersadar bahwa itu hari ulang tahunku, dan kau sengaja memainkannya untukku. Malam itu kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir berbincang-bincang, meskipun aku lebih banyak berbicara daripadamu. Aku tidak membawa surat-suratku, jadi aku hanya bisa memainkan dan memelintir rambutmu sambil berkata-kata.

Kita menghabiskan waktu cukup lama di tepi Laut Anyelir, dan tidak menyadari bahwa air lautnya berubah menjadi merah. Aku terkejut dan berlari seperti anak anjing ketakutan ketika menyadarinya; kau berganti menarik lengan bajuku dan berkata bahwa tidak apa, bukan masalah. Aku, kau, dan paman akan terus bersama. Mungkin Laut Anyelir berubah merah bukan untuk kita namun warga pemukiman yang lain, pikirmu.

“Jangan berlebihan, kau manja, selalu bertanya, dan terlalu membesar-besarkan sesuatu.” Katamu, sekali lagi. Itu hal yang selalu keluar dari mulutmu.

Pintu rumah kuketuk, paman membukakan. Aku terkejut ketika tahu bahwa paman sudah menyiapkan banyak makanan kesukaanku termasuk klappertaart; kali ini aku tidak memperbolehkanmu untuk memakan klappertaartku. Ternyata ini rencana kalian berdua untuk membuat pesta kecil-kecilan di hari ulang tahunku, merangkap ulang tahun paman keesokan harinya.

Paman, tidak kusangka, ingin mengajak kita untuk berenang di Laut Anyelir esok. Ia ingin mengingat masa mudanya ketika menghabiskan banyak waktu berenang bersama kekasihnya di Laut Anyelir, dan kata paman, kita adalah pengganti terbaik kekasihnya yang belum kembali sampai sekarang.

Aku tidak ingin mengiyakannya, mengingat barusan kita melihat sendiri air laut berubah warna menjadi merah darah. Tapi aku tak ingin kau lagi-lagi mengucapkan bahwa aku manja dan berlebihan. Aku menyanggupi ajakan paman. Namun aku takkan berenang, aku tidak pernah belajar bagaimana caranya berenang, dan tidak mau ambil resiko meskipun aku percaya kalau kau dan paman akan mengajariku.

Esok pagi kita berangkat dengan sepeda. Kali ini paman memboncengku, dan kau membawa keranjang piknik yang sudah kusiapkan sejak subuh serta memanggul gitarmu seperti biasa.
Begitu tiba, kau dan paman langsung menyeburkan diri pada ombak biru Laut Anyelir dan berenang serta mengejar-ngejar satu sama lain. Aku duduk di tepian air, menggambar kalian yang begitu bahagia sampai akhirnya kalian keluar dari air untuk mengambil roti lapis dan botol minum. Setelah menghabiskan rotinya, paman berdiri dan kembali ke air sambil berkata lantang,

“Aku akan mencoba menyelam dari karang itu lagi.”
Tanpa menoleh ke arah kita.
“Jangan, paman. Kau sudah tua.”
“Sebaiknya tidak usah, paman. Hari makin siang.” Kau juga mencoba menghentikannya, tetapi paman tidak bergeming. Ia bahkan tak menatap kita dan terus berenang sampai ke tengah. Kau mencoba menyusulnya dengan segera, tapi sebelum kau sampai mendekati karang,

Paman sudah terjun menyelam.

Setelah tiga menit yang terasa lama sekali, kau menunggu ditengah lautan dan aku terus memanggil paman serta namamu untuk kembali ke tepian, paman tetap tidak muncul.

Kau menyelam, menyisir sampai ke tepi-tepi untuk mencari paman, namun hasilnya nihil, dan kau kembali padaku menggigil. Aku membalutkan handuk padamu, dan meninggalkanmu untuk kembali bersepeda dan memanggil warga yang tak sampai setengah jam sudah berbondong-bondong mengamankan Laut Anyelir dan mencari paman.

Malam hari datang,
Hari perlahan berganti,
Bulan demi bulan,
Tahun selanjutnya—
Paman masih belum kembali, dan kita tak memiliki kuburan untuknya.

Kita tinggal berdua di rumah itu, kau bekerja tiap pagi dan aku memasak serta mengurus rumah. Disela-sela cucianku yang menumpuk dan hari libur, kau rupanya tak dapat melepaskan kebiasaan kita untuk bersantai di Laut Anyelir yang sudah lama ingin kutinggalkan. Aku tak dapat menolak bila itu membuatmu senang dan merasa tenang.

Dan aku bersyukur,
Selama hampir setahun penuh, sama sekali aku tak melihat air Laut Anyelir berubah warna lagi menjelang malam. Memang beberapa hal buruk sesekali terjadi, namun aku sangat bersyukur karena aku tak melihat pertanda kebetulan itu dengan mata kepalaku sendiri.

Pada suatu hari kau memberiku kabar yang menggemparkan, ini pertamakalinya aku melihat senyuman lebar di wajahmu; kau terlihat semangat, bahagia, penuh kehidupan. Kulihat para pria-pria muda di sekitar sini juga sama bahagianya denganmu. Mereka bersemangat, dan mereka bangga akan adanya hal ini karena ini adalah waktu yang tepat untuk berkontribusi kepada negara. Katamu, tidak adil bila yang lain pergi dan berusaha jauh disana sedangkan kau hanya berada di sini, memandangi laut.

Kau memohon untuk kulepaskan menjadi sukarelawan perang, dan aku menolak.
Kau memohon, aku menolak,
Kau memohon, aku menolak,
Aku menolak, kau memohon.

Dan karena aku sepertinya selalu memberatkanmu, atas pertimbangan itu, aku ingin membuatmu lega dan bahagia sekali lagi—Aku akhirnya melepaskanmu untuk sementara, asal kau berjanji untuk kembali kapanpun kau diizinkan untuk kembali.

Kau tak tahu kapan, dan aku akan selalu menunggu.

Aku akan selalu berada di sini, dengan Laut Anyelir yang berubah warna, dan hantumu serta hantu paman
Gitarmu yang selalu kau rawat,
Untuk sementara waktu aku takkan bisa menarik ujung lengan bajumu,
Dan tak akan mendengarmu memanggilku manja dan berlebihan.

Kita tidak pergi ke Laut Anyelir sore itu, begitu pula esok harinya. Kita sibuk mempersiapkan segala hal yang kau butuhkan untuk pergi, aku memuaskan menarik ujung lengan bajumu, dan menyelipkan harmonika pemberian paman yang tidak pernah bisa kugunakan untukmu.

Ia akan lebih baik bila berada di tanganmu, dan ia akan menjadi pengingat agar kau pulang ke rumah, kembali padaku.

Kita tidak melihat ke Laut Anyelir sampai hari keberangkatanmu, di mana dengan sepeda kau akhirnya memboncengku untuk pergi ke pelabuhan. Kita tidak melihat Laut Anyelir, aku tak tahu apa airnya berubah warna atau tidak.

Setelah kau naik ke kapal d
Styles Jul 2017
After the DJ dimmed down the lights
One look at you
I can tell it's gonna be a long night
I don't know if you can take it
It's too big, I might break it
Little waist tight dress
Your body shakin
Eyes Looking at me
like your for the takin
The way our bodies groove
make our bodies move
like love is for the makin
Dancing like we naked
dancin close like its sacred
Reading your body language
Screaming my name
like i’m your favorite
I make your body do things
Making love until your ear rings
Screaming out loud, speaking nonsense
make you *** first until is past tense
almat011 Mar 2019
Me pulls to you ..... so strongly attracted to you
color of your skin so ****, ******, and very attractive and beautiful
In my opinion you are the most beautiful in the all universe space, measurement, worlds
My compliments, the truth, and no there is no flattery. In my opinion, this is how looks the most beautiful girl in the world. You are a very beautiful girl. You're a very **** girl. You are perfect. You are a masterpiece. You phenomenon of beauty that can not be repeated. So juicy, so exotic. It seems to me that you have an amazing beauty. You are the most beautiful in the universe all the dimensions of all worlds, you are a supreme being supreme creation, the crown of evolution. You're beautiful melody of love. You are so beautiful, just magic.
You to the point attractive ****. What you want to do countless times having ***.
I only dream if only one your kisses that blossom my soul. And from the touch of your hands on my body, and your lustful-touch for my private parts. I only dream to merge with you forever, body and soul, I only dream of an eternal, continuous *** only with you alone. I only know one thing, that I will forever love only you
Only at your most beautiful, stripped the body, you want to watch and view forever.

Every cell and molecule of my body and my soul is overwhelmed with love only for you. I long to be your beloved husband for all eternity and all lives, and even after death

Do you desire, you are perfect. Soup-navel **** genius. Do you like the sound of "the sound of a roaring engine ****** smart cars": VUM) VUM) vuuuuuuuuoooooooooooooooooooooooooommmmmm) You paradise, you're mens happinesse. Easy, clean, gentle, heavenly delight. You dream of a lifetime. You're pretty unrealistic. On even to the extent to which she can be beautiful, it's just unbelievable. You are the best gift of fate. Before your powerful ****** charm simply irresistible. You're the most beautiful girl in the whole universe. It's a great, great. You luxurious gem. This delicate pearl skin, you sample the true human beauty and femininity. All the other girls compared to you quite simply uy) uy) uy) uy) uy), believe me you are very vip **** girl. Most also come up on the throne of honor honored the goddess, the great pedestal. Majestic music sounds, so subtly and sensitively praising your beauty for you. In your arms a man feels in the higher realms of pleasure. **** regal lioness. Graceful affectionately snarling tigress. Puff) bang) bang) bang) bang) mega glue your beauty kills all competitors by felling. Amazingly beautiful. Sultry, cool and ****-Mego. You are elite, you're a lux, you extra class Your beauty captivates the hearts of men. The queen of all men, divinely beautiful, majestic lady. **** kitten. Mens ******* myself in the pants, with excitement at the sight of you. My heart you certainly won. Imagine that you are on the sandy planet, and every speck of gold pure gold, these grains of sand, the golden thoughts about you and only about you. You stunned, and I from you noodle. You just incredible girl, unbelievable. You're a *** symbol. You is Brand, (dreaming about you) cool, greattbl, superebl. You're like a beautiful peacock, revealing to the people the infinite perfection of their external and internal beauty. Words gently kiss and hug. The outline playful. Queen of ardent passion, so a bit awe velvet body. You idol of femininity and nature ... anywhere in the world to find such a beautiful sight as yours, which is just crazy, captivating with their enchantments of love, and you can not escape from the past and it is impossible to pass, look pierces the tenderness of their feelings.
you thermonuclear *** bomb you lux extra class.
Your passionate gaze iceberg melt. A look of love, perfect beauty. You are an incredibly beautiful girl, you're a mega-explosion of a nuclear bomb.  Boooooooooooooooooooommmmmmmmm), a brain explosion, demolition of all its rivals mega wave. Sweet, sweet as honey. You're sweeter than any candy. You have the talent to charm the guys for their beauty. Your beautiful image of a gentle heart overflows with love for you. Goddess of all men. You are the most gentle in the world. You are wonderful. You as a model in these photos. Original and stylish. Pretty number one in the world. You like to radiate special energy of love and pulling for you. With you all the time you want to be, always and forever. With no one way can not be as good as you. You are infinitely deep and beautiful as the universe itself. Because it is simply not possible. After all, you're stylish, cool, cool. As you have all that is in the ideal image of a woman. Fantastically beautiful. Moon Flower, gently shimmering in the sunlight. How beautiful are your eyes, like a mermaid I want to plunge back to see you sitting on his throne, beautiful creature mermaid her voice beckons you, only your arms, I shall find eternal rest. Awesome adhesive modest. I can not believe my own eyes, how beautiful you are.  you like cream with chocolate .... same tender .... sweet ...... "Your charm charms as analgesia. Do you use it perfectly. Beautiful eyes look like hypnosis. Such a nice warm look. Concealing in itself a treasure of delicate beauty. Infinite height. from that soars from the love of you soul. I like your figure beautiful nymph ... I conquered your soft intriguing, mysterious look ... marvelous sweet charm tempts and drags a.
You are my sweet dream.
I give myself to you forever.
Your loyalty and sincere love.
That's all I want.
You only one I ever want.
You are my love, my fondest wish.
Your photo makes me so *****
I wait from you of reciprocity and understanding.
My word is my tongue that gently caresses your skin and soul.
Gentle and sweet flesh of thy nothing in this universe is not.
Hot passion of your reality in this I do not find.
My words and my eyes tell you only one thing.
The best you never find.
In) during) during) during) during) during) during) during) during) during) Check it out, acclaimed, reviewed, look. Composed for you, about you, tenderly loving s) a) a). **** Barbie, Babe attractive, graceful lady, tender crumb, kitty) kitty) charming cat, sweet baby. One only your smile, this is a great victory and the men feat. Rather Go up to the throne of the goddess honored the great pedestal. Lyrical music sounds just as sensitively and subtly praising your infinite beauty for you. You're a real beauty icon. Designed for real mens, and gentlemen. Vuuuuuuuufffffffffff) tuff) tutuf) tutuf) speak very gently and quietly) tshshshshshshshsh) sounds quiet hypnotic music of love) I'm fascinated by your sensual, delicate charms, leads to you inexplicable wonderful attraction, about how beautiful your magic your charms so vague and so beautiful like brave a charming dope) of your charismatic charm my calls so subtly, subtly and clearly, so sensuously and easily, fervently and passionately, and so ****, ****, cute and appetizing, attractive, beauty, beckoning your temptation, seduction, you're tempting, seductive life you my call, just you alone all the time waiting and call about how much obsession, just the warmth of your feelings gently warms and the confluence of feelings showers my thy soul seizes you soft velvet and silk, you're hot sweet gentle sweetness) only happiness) happiness) and serenity) verily, thou great priceless personality, being at the mercy of your hot emotions and sweet emotion, want to be in them always and forever), I gain peace and paradise on earth, the gentle heat of your mouth, and the warmth of your tender eyes , takes in the wonderful world of your bliss, perfect minute clock, and second only to you, and I want to be just with you, because you have life, you're my only reality, you are my world and the whole universe, keep true allegiance to you, and I just

quietly and timidly say that the only one you love. Without you, life is impossible. You're perfect, you're Suite) glossy, glamorous cute Moore) Moore) Cutie) Ya) ya) dastish fantastish) perfecto) shiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiik) You just mmmmmmmmmmm). This sweeeet) beautifuuuuuuuuul) well just aaaaaaaaaaaaahhhhh) pass out of love for you. Being with you is the continuous buzz, yummy relish) you so photo-film ****-genic photogenic, for movie movie-genic, urrrrrr). We humbly bow to your greatness, great, beautiful goddess, you are perfection. You cool muse, you're cool motif gives your beautiful image of a mega positive, you're a real Kulnev neo) neo) creative, "you're a real jackpot, juicy freshshshshshshsh)" you're the main leitmotif of this world, you're center of the world, a great Bagheera, the pearl of the world. Yes it's true because I think you only one I admire. The idol of all idols, the goddess of all goddesses. Take my word, because it's all true, and I sincerely hope that you give me at least not much pleased. Chorus: "You're **** Bugatti, Maserati best, fastest Ferrari, Pagani elegant. You stylish Bentley, luxury lambordizhni, royal Rolls Royce, wonderful noise voice, only for a cool boys ", voo tyzh) bad, whip. Your extraterrestrial beauty in a nutshell is this: "beautiful and saucily". And I long to see your gentle green light. abruptly, clearly, accurately, rarely smooth, sweet, stylish, strong, powerful, precise, transcripts, honorable. When you're near everything it is not important, so slow and so pointless. Great, great, grand girl yooo) Great, great, grand girl yooo) Great, great, grand girl yooo) ...... Yop) Thank you exist, let sit next to you, take my word for all this is not flattery, be your this is such a great honor, but this is a boon to any man, veeeest) Because you are the most cherished love and the dream of every man. Oooo) Olya-la-la **** figure in this world only you. All attention is focused only on you, everything pales in comparison around with you, and I want to be next only to you, but you pridnalezhat one. You are luxuriously best bust, sweet with sweet lips and mega **** predatory gaze from his amorous feelings rage, my wash only about you say, look what they do to me from the love of you are doing, your beautiful image on forever in itself charms shining, inspires, subordinates, intoxicating. **** goddess. Number one in the world. My low bow only to you) worship only you) Uffffffff) When you're around, getting hot, bright, nice, snip) snip) Vuoks) as a flamethrower let go the flame of his fine feelings, heart pounding more often you zhzhosh not for children, I want to see often, so sultry, beautiful, navel-soup finally, uhhhhhhhhhhh) love is so strong that even begins to hurt the heart. Luxury queen of all parties and catwalks, you unattainable pinnacle, all societies, beeeem) cupid shot of powerful magnum, oooo) complete demolition of all reason, can not hear anything except for you, and now can be seen, only you feel now just you and I I think that I was created just for you. Thank you, thank you, that drew on this as I am. For you, this is only for you, but it's all for you, all for you. I suffer, expect all the time I love you. You're the most desirable woman in the world. Epic, lyric, simpotichnaya) You're beautiful in everything in this world, only you're beautiful. You are endowed with charismatic energy inexplicably beautiful charm ... .ihi) ...... Mochi-mochi-mochi, manenko, manenko, manenko such mainka, mainka, krasotulechka, slyadkaya-slyadkaya girl Lapushka, adorable, cutie, baby, cute flower, candy, umnichka, bird, swallow, Rybonka, kitten, sun-golden-favorite-of-the-most-expensive, good-natured as fluffy hare .................. PSA) PSA) Oooh yeaaah) PSA-PSA) honor) worship, revere, and boundless respect, PSA-PSA) is the only real girl in this PSA, PSA world) you're the most epic, lyrical, lovely) PSA-PSA) you are best of the best, but you have no equal, PSA-PSA) you're the most endowed the title of the most beautiful in the history of mankind, PSA-PSA) you are the most important, the most glorious hero, the only one worthy of a goddess. PSA-PSA) is any place adorn, and instantly all the guys for their beauty by felling you fought, PSA, PSA) and all competitors envy into a deep depression makin PSA-PSA). Because you from herself beauty and eroticism idea tirelessly all its beauty and all are striking. Poetic, exotic, ****** lyrically. Living next to you harmony, grace, take my word, words can not convey, and I want to give you his heart. The sweetest voice only you, the skin so tender and pure, like a beautiful flower, on the face of my delight. So serene, so peaceful and quiet, static, nice and smooth, their places of origin is not in the universe, the soul like a light cloud in the sky hovering, always remembers you, you my love gives. The rays of your love life shines gently nurtures and warms, under your angel wings minds gradually falls asleep. A truly happy life does not happen without you. Next to you, my soul is in heaven remains, and only you, only one truly trusts. Your personality is loud, cool, beautiful, unique. Loud) loud) loud) You're a valuable copy of human beauty tadts-tadts-tadts) tadts-tat) tadts-tat) tadts-tat) uooo) uooo) uooo) tadts-tadts-tadts) tadts-tat) tadts-tat) tadts -tat) uooo) uooo) uooo) oooooo) you higher hooooootest bella mamasita, so moschnobl) with you all the time you want to be srochnobl) tochnobl) you're so cute, I love devotedly, furiously and fanatically. All zabyvaetsya around when you're around, captivated by your unique gentle gaze. Diamond beautiful, deep sapphire, stratsno rubirno, amazing emerald, pearl cute, I was very hooked, very surprised, so beautiful that a tear struck, and tenaciously for his soul took in your deep beautiful distance afield, was happily and easily, and suddenly the shower glittered and blossomed. One only makes your **** look and feel embarrassed blush. See how I want to enjoy it. It makes harder and harder to fall in love with you, I want to again and again appear near you, and never to say goodbye to you, and do not give up when you're around wants to smile with happiness, and you always stay on. Soft) soft) soft) How marvelous your gentle eyes, a beautiful shine, so deep beautiful color, hi) and the lips gifted hot, passionate force, like a sweet juicy berry, shine sweet tender crumb precious shine temptation, fantasy) romantic) ****** ) to you so goes the lipstick) gentle, spectacular pretty perfect) yes) so accurately) not lying, exactly) so refined, so perfect it all, only you, you can safely say all envious yeeeah) baa) baa) beeeee) each part of your body, is true, unattainable, infinitely ****, perfectly gospodstvennoe, divine perfection, which is the business card of your wonderful personality, a genuine sample of the sweet candy, delight, joy. You are an ideal model for the most famous, the channels, magazines, you have the sweetest voice in the world, so it is ideal in television and radio broadcast, a perfect icon of the media, the beautiful goddess of the VIP, I think so. And only love and honor. You are the most precious value in this universe. Heart and love is boundless open and so clean and perfect for you, all I say is not in vain, my love for you is a whole universe dedicated to you. You are beautiful in every way, so different, so special, your presence, gives a special feeling of harmony and peace, you are like a hot flaming fire of love and creation. Bright spark your feelings enliven, inspire. You are like a breath of life, fresh, cold water, your nature is so beautiful, so deep. Your acts as the earth itself give rise to life. You merry wind of freedom, infinitely great, free, you are giving hope and life, really need you like the air. Ooty) Ooty) Ooty) multi-billion-dollar celebrity babe, baby on triliard. I give you a well-deserved medals: for the record for the beauty of the world, a record for the entire beauty of the universe, the medal: in the beauty of a well-deserved
Author: Musin Almat Zhumabekovich
Noandy Jan 2016
Pondok Pancawarna*
Sebuah cerita pendek*

Apa aku harus menyesal pindah rumah? Tak ada anak seumuranku di sini. Tak ada penjual susu yang lewat tiap pagi, atau gelak tawa dari permainan sore hari. Aku sedih, tapi itu bukan masalah besar, mungkin. Toh tahun depan usiaku beranjak 15 tahun, aku tak punya waktu untuk banyak bermain. Rambut keritingku yang dipelihara ibu ini juga nantinya akan kupotong, aku tak mau berulangkali dikira sebagai perempuan di tempat tinggalku yang baru.

Tahun depan usiaku 15 tahun, dan aku takkan punya waktu untuk banyak bermain lagi. Aku ingin menghabiskan sisa usiaku dengan bermain di jalanan sampai sore hari. Sayangnya lingkungan ini terlalu asing untukku. semua jalannya terlihat sama dan terlalu besar, terlalu banyak rumput liar dari rumah-rumah kosong yang jaraknya terlalu jauh, dan dedaunan pohon menjuntai bak rambut kasar nenek tua.

Sayangnya lingkungan ini terlalu asing,

Dan aku tak punya pilihan lain selain menjelajahinya
Dengan senang hati.
Jangan bilang ibuku.

Ibu dan mbah selalu melarangku berjalan sendirian di luar saat pagi-siang-sore-malam semenjak pindah ke rumah yang terlalu besar ini, terlalu sepi ini. Mungkin untuk alasan keamanan. Aku tidak sebodoh itu untuk harus bertanya kenapa. Dan karena aku tidak sebodoh itu, aku tidak menyukai cara mereka—Wanti-wanti dari mereka agar aku tak berkeliaran sendiri.

Mereka bilang dahulu jalan besar di depan sana adalah tempat tengkorak para jawara-jawara pembela negara dikuburkan, dan tiap sore akan terlihat pria-pria muda dengan baju berlumur darah merokok serta makan-makan daun sambil bermain catur di pinggiran jalan.

Mbah tambah berkata kalau di perempatan sebelah rumah ini, apabila aku bermain sendirian, aku akan dikejar-kejar oleh serdadu kompeni tak berkepala yang akan menebas kepalaku, atau membawaku untuk disembunyikan.

Aku tak takut pada hantu-hantu bekas perang itu, aku juga tak tertarik pada mereka.
Kesalahan ibu dan mbah, dalam menakut-nakutiku, adalah menceritakan sebuah kisah yang, entah benar atau tidak, justru membuatku tertarik untuk mendekati sumbernya.

Di ujung gang, yang jalannya sedikit menurun, terdapat sebuah rumah kayu yang dijuluki oleh warga sekitar sebagai Pondok. Padahal, menurutku bentuknya tidak seperti Pondok. Rumah itu tidak buruk, justru didepannya terdapat taman besa. Sebuah gerbang mawar besar memagarinya; di taman indah itu, hanya terdapat lima jenis bunga bermekaran. Aku tak tahu jenisnya apa saja, yang kuingat dari cerita itu, pokoknya terdapat warna merah, ungu, biru, kuning, dan yang paling aneh, sebuah mawar hitam. Aku tak tahu bagaimana mawar hitam dapat tumbuh di tempat seperti ini. aku bahkan tak tahu kalau ada mawar yang berwana hitam.

Mereka menyebut rumah itu Pondok,
Pondok Pancawarna.
Pondok milik seorang pelukis yang kata orang-orang kakinya buntung.

Karena tak memiliki objek untuk dilukis, dan tak bisa keluar mencarinya, mereka bilang pelukis itu menarik gadis-gadis kecil dengan bunga yang indah di tamannya, lalu menyekap mereka dalam Pondok itu sampai ia puas melukisnya. Hal ini diceritakan setelah aku mendengar pembicaraan ibu saat membeli sayur pagi hari 2 minggu lalu, setibanya dirumah aku langsung menanyakannya soal cerita itu.
Seram?

Aneh, bukan seram. Memangnya seorang pelukis baru bisa melukis bila ada objeknya?

Kalau ingin membuatku berhenti berkeliaran dan bermain sampai larut malam di daerah baru, seharusnya mereka memberi alasan yang bagus dan masuk akal. Bukan malah menakut-nakutiku dengan sesuatu yang ditakuti anak perempuan.

Nah, malam ini aku akan menyelinap. Aku ingin mencari tahu mengenai pelukis itu; lumayan, aku dapat mencari kesenangan disela malam-malam yang selama ini selalu jenuh.

Setelah aku yakin ibu dan mbah terlelap dengan memperhatikan apa semua lampu sudah mati, aku melepas baju tidurku dan mengambil kemeja lengan pendek putih yang kupakai tadi pagi, celana pendek hitam, dan suspender yang biasanya kupakai setiap hari. Aku keluar lewat—Ini sebenarnya jendela atau pintu, sih? Bentuknya seperti jendela, terlalu besar, dan memiliki gagaing pintu—Aku keluar lewat jendela-pintu di kamarku yang langsung mengantarku ke serambi kanan rumah yang terlalu besar ini. Tanpa sepatu, aku berlari-lari kecil ditemani lampu jalan yang remang-remang dan rambut pohon yang menjuntai menuruni jalanan lebar nan sepi, menuju Pondok Pancawarna di ujung jalan.

Aku sampai didepan pagaarnya. Pagar besi hitam yang ditengahnya terdapat gerbang dari semak-semak mawar. Aku mendorog pagar yang ternyata tidak terkunci itu, berderit pelan, dan perlahan masuk. Kenapa tidak dikunci? Apa memang ia bertujuan untuk menarik anak-anak yang penasaran kemari? Dan sekarang, sejauh mata memandang dibawah bulan sabit yang temaram, aku hanya melihat hamparan taman bunga yang indah didepan sebuah rumah kayu tua yang mulai berlumut. Seperti kata mereka, dalam remang aku dapat melihat bahwa bunga didalam sini hanya memiliki 5 warna—mawar, yang jelas, bunga sepatu, lavender, violet—Entah apa lagi, aku hanya mengenali itu. taman ini terlihat makin gelap karena tak ada bunga yang berwarna putih. Aku mengambil sebuah ranting panjang yang patah, dan mengibas-ngibaskannya seolah itu adalah pisau untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan, aku seorang penjelajah.

Aku melihat taman dari ujung-ke-ujung, sampai akhirnya berhenti ketika aku mencoba untuk mencari jalan menuju belakang Pondok—
Di sana lah aku melihatnya,
Dengan sebuah lampu ublik yang ia letakkan di sebelah cagak kanvasnya,
Ia duduk pada sebuah kursi roda kayu,
Sambil terus melukis dan menoleh ke arahku.
“Nak?”
Ia memutar kursinya,
Dan kakinya tak ada—Tak ada dalam artian, benar-benar tak ada. Seolah tak ada apa-apa lagi setelah bagian bawah perutnya.
“Sedang apa kau kemari? Tak ada yang berani kesini, lho.”
Ia tidak tua seperti yang kubayangkan, tidak setua mbah, dan mungkin hanya beberapa tahun di atas ibu. Kemeja biru bergarisnya terlihat kusam di bawah mata sabit rembulan.
Aku terus mengayun-ayunkan ranting yang kupegang.
“Tak apa, aku hanya penasaran. Kukira bapak cuma sekedar cerita. Ibu dan mbah biasanya menakut-nakutiku.”
“Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat?”
“Tidak. Bapak terlihat seperti—”
“Ya?”
“Orang sedih, pak.”
“Lho, mengapa?”
“Karena bapak melukis  sendirian jauh dari orang. Aku punya teman yang selalu menggambar sendirian saat sedih.”
Bapak itu hanya tertawa. Dan memanggilku untuk melihat lukisannya lebih dekat.
“Ada apa dengan kakimu, pak?”
“Ini Memento Mori. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Pengingat kematian.”
Aku melihat lukisannya—Seperti tamannya, aku hanya mengenali lima warna pada lukisannya.
“Datanglah lagi bila kau mau. ”

Ketika aku datang esok pagi, setelah beli sayur bersama ibu dan mbah, (aku menyelinap setelah mereka masuk ke rumah) ia tak ada disana. Aku mencoba kembali malam hari, dan saat itulah aku sadar bahwa ia selalu melukis tiap malam, dan entah berada di mana saat pagi. Aku mulai mengunjunginya tiap hari, tiap minggu, sewaktu kesepian dan suntuk melandaku.

Aku mulai hafal pola-pola lukisannya, gurat-guratan garisnya yang abstrak. Ia tidak pernah menggunakan warna yang tidak ada pada tamannya, seolah cat yang ia dapat berasal dari bunga-bunga yang ia tanam. Yang ia hancurkan, dan renggut warnanya.
Pada suatu malam yang anehnya tidak dingin, justru sedikit hangat, ia bertanya,
“Apa yang kau lihat di lukisan-lukisanku, nak?”
“Hmm.. Apa ya.. Warna yang dicampur-campur.. Lima warna.. Garis putus-putus..”
“Ini warna-warna dan suara masa lampau.”
Aku menatapnya penasaran,
“Kau masih ingat Memento Mori?”
“Pengingat kematian?”
“Kakiku yang hilang ini bukan hanya pertanda agar aku selalu mengingat kematian. Tapi agar aku tak bisa melupakan, dan meninggalkan masa lampau.”
“Maksud bapak, agar tak bisa meninggalkan tempat ini juga?”
“Ya, ini tempat dimana aku kehilangan banyak hal, kehilangan orang-orang yang kukasihi. Aku ingin tetap bersama jiwa mereka di Pondok ini. Rumah tua reot kami yang sudah lumutan.”
“Apa ini ada hubungannya dengan bunga yang hanya memiliki lima warna?”
Ia meletakkan kuasnya dan memutar kursi rodanya menghadapku, lalu melonggarkan kerah kemeja putih lusuhnya; aku lebih suka kemejanya yang biru bergaris.
“Aku dahulu tinggal dengan empat orang anakku, dan istriku. Ia sangat suka berkebun, dan menanam enam bunga sesuai warna kesukaanku kami. Ia sangat cantik, tak banyak memikirkan soal dirinya. Pada suatu hari, nak, ketika ia pergi ke pasar pagi buta, mendung semilir, dan aku masih menemani anak-anak yang belum terbangun—Badai terjadi. Kami lindung didalam rumah sedangkan—Entah apa jadinya pada istriku dan ibu-ibu yang ke pasar pada pagi hari. Yang kutahu, ketika hujan mulai reda dan semuanya kembali seperti sedia kala, taman kami sudah tak berbentuk, kacau. Pepohonan semua tumbang, jalan-jalan dipenuhi lumpur, dan entah berapa lamapun aku menunggu,
Ia tak kembali dari pasar pagi itu.
Cuaca sangat buruk, dan untuk keluarga di daerah terpencil seperti ini, flu bukanlah penyakit yang mudah, nak.”
“Kau kehilangan keempat anakmu karena flu, pak?”
“Tepat sekali, dan setelahnya, aku mencoba menghidupkan mereka dalam warna-warna yang mereka sukai. Lima warna yang mereka gemari di pekarangan kasih ini. Tapi entah bagaimanapun, mawar putih yang kutanam untuk istriku, di tanah hitam yang sedih dan lembab ini, mendadak menunjukkan bercak-bercak hitam yang makin menyebar ke seluruh kelopaknya. Seolah alam bahkan tak mengizinkanku untuk mengenang dan bertemu lagi dengannya,
Seolah kami takkan pernah bersatu lagi.”
“Aku tak tahan, nak. Aku ingin pergi dari sini. Tapi jika aku pergi, siapa yang akan merawat bunga-bunga ini dan mengenang, mengasihi mereka di gelap sana? Aku berusaha keras mengurungkan niatku, dan untuk memaksa diriku agar tak pergi,
Aku memotong kedua kakiku.”
“Apa tetangga-tetanggamu tak berpikir kau gila, pak?”
“Tentunya. Hal terakhir yang kuingat dari mereka hanyalah kursi roda kayu ini.”
“Mereka menuduhmu menculik anak-anak.”
“Aku tak pernah menculik mereka, mereka datang sendiri, dan aku memperlakukan anak-anak itu sepantasnya.”
“Dasar, gosip ibu-ibu.”
Cerita mengerikan itu terus menghantuiku. Tapi aku tak dapat berhenti mengunjunginya. Aku kasihan padanya, bapak itu pasti kesepian;

Sama sepertiku.

Setahun hampir berlalu, dan minggu depan usiaku akan menginjak 15 tahun. Aku akan dikirim untuk tinggal bersama ayah di ibu kota, dan harus meninggalkan tempat ini.
Aku mengkhianati keinginanku untuk tidak banyak bermain dan mulai menjadi anak yang serius,
Aku tidak ingin kehidupan dewasa yang terlihat sepi dan penuh sesak serta hambar,
Aku masih ingin bermain.

Semalam sebelum ulang tahunku, aku melesat ke Pondok Pancawarna. Aku bersembunyi diantara semak bunga biru sampai pak pelukis menemukanku.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Sembunyikan aku, pak! Sampai dua hari ke depan?”
“Apa? Mengapa? Mbah dan ibumu akan mencarimu!”
“Aku tak ingin jadi orang dewasa yang sedih dan membosankan, aku masih ingin bahagia dan bermain! Besok lusa ayah akan menjemputku, dan aku harus ikut dengannya untuk belajar di ibu kota—Dengan seragam yang pucat dan kehidupan yang ketat.”
“Bukannya kau pernah bercerita akan memotong rambut keritingmu itu dan berhenti bermain-main.”
“Itu hanya untuk menghibur sepiku—”
“Jangan membohongi dirimu, nak.”

Aku menoleh melihat lukisannya—Lukisan yang biasanya abstrak. Meskipun tidak jelas, aku dapat melihat bahwa itu adalah lukisan Pondok ini, dengan hamparan taman harum dan 4 anak yang bermain riang bersama orangtua mereka, berlarian di pekarangan.

“Kuharap aku dapat bersenang-senang seperti yang lukisanmu itu.”
“Hei, ayolah, jangan murung. Kau harus senang dapat bersama orangtuamu.”
Aku hanya membenamkan wajahku dalam lututku.
“Baiklah, kau boleh menginap untuk dua hari ke depan.”

Pak pelukis menggiringku masuk sambil memutar roda kursinya; ia mempersilahkanku untuk tidur di kamar anaknya, dan minum teh malam sebelum terlelap. Aku biasa melakukannya dengan ibu, mbah, dan ayah; tapi semenjak pindah kemari dan ayah harus berada di ibu kota, ibu dan mbah tidak lagi mengajakku minum teh sebelum tidur

Keesokan harinya aku terbangun, cahaya matahari menyinari jendela kamar yang sedikit berdebu ini, namun terlihat lebih indah dan menarik daripada tadi malam. Mainan dan buku berserakan dibawahnya. Kakiku sedikt nyeri saat tak sengaja menginjak empat batang krayon yang tergeletak di karpet. Aku mencari pak pelukis, tapi sebelum menemukannya aku mendengar tawa riang anak-anak.

Aku berlari ke pintu depan yang letaknya kuraba-raba; aku tak tahu. Tadi malam kami masuk lewat pintu belakang. Pintu depan berhasil kucapai, dan dengan melindungi mataku dari sinar matahari pagi, aku beranjak keluar untuk melihat sebuah keluarga bahagia; empat orang anak dan sepasang suami istri bermain, berlari riang pada sebuah pelataran mengenakan mahkota bunga.
Sang ayah, dengan kemeja biru bergarisnya dengan mudah kukenali,
Itu pak pelukis, tapi ada yang berbeda dengannya.
Ia berdiri pada kedua kaki, dan berdansa dengan riang bersama istri serta anak-anaknya,
Tangannya terulur, ia mengajakku untuk bergabung dengannya,
Dan aku menyambutnya.

Kami berdansa, berdendang, dan makan enak sepanjang hari. Saat malam, aku mencoba untuk melewati gerbang mawar dan mengintip keadaan rumahku; tapi tak bisa. Yang kulihat selepas gerbang mawar adalah hamparan taman yang sama, lebih besar dan luas dari ini.

Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, tapi tak bisa.
Seolah ada kain kasar tebal yang membatasi antara aku dan taman selanjutnya.

Keesokan harinya kami masih bermain, bersenang-senang. Aku semakin akrab dengan empat orang anak yang pakaiannya berwarna sesuai dengan kesukaan mereka, dan dapat dengan mudah mengambil hati istri pak pelukis.
Tapi, malam ini,
Saat aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, di depan tirai kain tebal itu;
Yang kulihat adalah wajah ibu.
Wajah ibu, mbah, dan ayah yang panik serta berteriak seolah memukul-mukul tirai kain.
Aku menoleh ke belakang,
Istri pak pelukis memanggilku untuk makan malam.
Pagi hari setelahnya kami masih terus berdendang, dan berbahagia bersama. Tapi ini sudah esok lusa, dan aku harus pulang karena pasti ayah sudah kembali ke ibu kota dan tak akan ada yang mengambilku lagi.
Aku mencoba untuk melewati gerbang mawar, didepan tirai kain tebal itu;
Aku masih tak dapat melewatinya,
Tapi sekarang aku tak melihat taman bunga, ataupun wajah ibu dan mbah yang terlalu dekat—
Aku melihat ruang tamu rumahku,
Dengan ibu, mbah, dan ayah duduk termenung menundukkan kepalanya.
Aku menoleh ke belakang,
Pak pelukis mengajakku bermain lagi; empat anaknya, serta beberapa anak lain, berlari mengejar, menarik tanganku untuk tinggal bersama mereka.

Tinggal dan berbahagia di Pondok Pancawarna untuk selamanya.
Sorry for writing in my native language lately ^^
Ken Pepiton Aug 2018
A pocket of thought, ideas.
Impulses, has beens

epi-phenom-enal-con-currencies-synchron-icity
sorting places, thens and nows vying for attention

you see
we till stories in search of true tomorrows
not true
yesterdays (till, I said, not tell)
we **** the hard rows no one else will ***
so seed lies sown are never lies told, if the lies are never taught
or if the liars are caught before convincing the
intended crop to lie and swear a common liege Lord,
or die
for lack of knowing. Non-nascence, simplest
symptom to not see.
Whose death is yours to respond responsibly
to? My child's, or yourn?
In the early days, we knew less than we know now
about how knowing and growing were all
intended
to cost time. Ticks, ono motto whatever, the sound
gears and spiral springs pushing cogs
tick, one tooth tick at atime make

this rough, un polished, un glossed, is it wrong or

as I imagine a diamond in the rough must seem to a share cropper
experienced in diamond hunting, diamond prospecting,

prospecting expecting inspection to permit
seeing a 3.52 specific gravity,
specific
specify

species or spectacles,
spectators or special-if-eye-cation
value-en-abled. Weigh your mind in balance
with mine. I claim the mind of Christ.
What are the odds?

A wandering path, injoyable enable if-i-abble,
pacing is

everything, timing is everything, time is the test.

Time is the metagame.
Take your time. One word formed sylabble at a time.
Babble on, your confusion makes you mortal, to my mind.
Tick.
A quanta of time. Does time come in bits and pieces cernible,
but undiscernible from reality?

Babble.

Of course, time will tell. We learned that in our sleep, did we not?

Aesop taught us more than Moses, no,
Aesop taught us less than Moses.

But, we could learn to walk bearing the weight of knowing what
Aesop taught,
while we could not stand under the weight
Moses was said
to have taught.

Caught you, Jewboy. Whatchewknow?
The moral of the story.

THE IDEA is to win.
Beware the concision decision.
incisive devices, witty inventions.

Flip the shell, roll the bones, cast the runes and,
as luck might have it, die before your time.

Why factors are lies more oft than how factors.
Benefactors rule malefactors or
how or why would we invest our time in seeking reasons
to believe?

Is this the polished piece, the gemstone of specific gravity
(which currently means nothing to you. Here, you find too light
or too heavy, too weighty on the scale of specific value.)

Hard. Value hard, diamond hard, on Mr. Moore's scaled model of
Knowing exploding for reason's sake, raison d'etre, eh?
Too hard?
Not Mohs,
don't get me wrong.
We been Moore's law breaker all along.
We be manifested destinatory stories of heroes gone wrong.

Outlawed
knowing exploding to be reasoned with, by kind
children destined to become
written in stone, scarred by lies

Diamonds cutting diamonds, iron whetting iron
on eternity's edge.

Babylon, was it Bel's gate or fusion from below rising?

Magma fountains with diamond claws tearing the lands asunder
Is asunder still a word?, let me, allow me to define...
"into a position apart, separate,
into separate parts,"
mid-12c., contraction of Old English on sundran 
Middle English used to know asunder for
"distinguish, tell apart."
From <https://www.etymonline.com/word/asunder>
----

mumbler's humbler PIE, bowing before the knowers who
know nothing of my work.
Set apart, art thou holy aware?

Hermit me, meet the rest of me. The true rest that remained.
We live, you and I. Trust me, next is worth the wait.

Suffer needs no pain to make its point. Waiting is.

Grokk. WHO would believe that idea could live
through telegraphese to be tweet meets for the
Cosplay clans. How never grokked a rock,  why even less.

Strange, not be long in this
place. if
place this be. Odd
set aside
torn asunder
blown away.
Awake, little birdie, tell me true,
what's a man like me to do?

Did you meet the famous Mr. Blake?
I cleaned his chimney, way back when, chimbly's whut
we called em. Smoke stacks belchin' black
makin' black moths invisible to voracious
gulls.
Now the peppered moths are free
to be white-ish, for better or worse.

----

right, now, do right or

miss the mark,
the specific mark you made, maybe,
imagining, abstract obstructions missed
by the skin on Job's teeth as you run past

right now to more. You know?

----=

Story telling was the same as lying when I was a child, to me.

Telling stories was my gift I never took. Or am I lying? or mad,
in the old way.
Chailot's rag picker was my best friend.

No noble thought ever found it's home in my head, once
I thunk it, it stunk to high heaven, for me stinkin' thinkin' it.

Po' ems sang sour to fiddles wit' one strang and drums with no
cymbals
Screamin' he owed m' soul the comp'ny sto' bang bang thud.

I died, he lied, and lived to tell this story, ****** if I know,
****** if I don't.

True as true can be. I am lost, but once was found,
lyin' rough, uncut in acres of unseen gems.
----
* Voltaire refused to teach me any thing I could not define:
late 14c., deffinen, diffinen, "to specify; to fix or establish authoritatively;" of words, phrases, etc., "state the signification of, explain what is meant by, describe in detail," from Old French defenir, definir "to finish, conclude, come to an end; bring to an end; define, determine with precision," and directly from Medieval Latin diffinire, definire, from Latin definire "to limit, determine, explain," from de "completely" (see de-) + finire "to bound, limit," from finis "boundary, end" (see finish (v.)). From c. 1400 as "determine, declare, or mark the limit of." Related: Defined; defining.

So, imagine facets unseen, I am at least a meme, a bubble rising on the tide. Think, as you will. Amen?
Incorporating radical (root-related) definitions via cut and paste is my way of acknowledging that I have no ex-uses left for using words in a wrong, thus lying, way.
Noandy Jan 2016
Cerita Pendek Tentang Hantu*
Sebuah cerita pendek*

Anak-anak muda itu bilang bahwa Sundari cumalah hantu. Bagi mereka, Sundari sekedar cerita orang-orang tua zaman dahulu yang tak ingin anak lakinya pergi sampai larut malam. Parahnya lagi, mereka terkadang menganggap Sundari isapan jempol dan menggunakan namanya sebagai ejekan. Berbagai lelucon mereka buat untuk merendahkan Sundari,

Mereka pada saat tertentu menganggapnya seperti hewan kelaparan yang bersembunyi dan siap menerkam mereka,

Ketakutan sesaat.

Sayangnya, pada hari-hari berikutnya, Sundari malah terkadang lebih rendah daripada hewan.

Jika binatang buas dapat sewaktu-waktu muncul dan menyantap mereka dengan mudah, para pemuda justru berpikir bahwa mereka lebih tinggi dan mulia dibanding Sundari sehingga ia hanya akan menjadi segelibat penampakan.

Sundari cuma monster dan angan-angan, katanya, di zaman seperti ini mana ada hantu penculik jejaka. Pikiran anak muda memang berbeda dengan kebanyakan orangtuanya.

Padahal, Sundari sama seperti kita.

Sundari bukanlah siluman, hantu, atau makhluk mengerikan yang layak dijadikan lelucon semata.

Apalagi bahan cerita setan dan sarana menakut-nakuti bocah.

Dengar baik-baik, ia tidak terbang, ia tidak menghilang. Ah, Sundari bahkan tak punya kemampuan macam itu.

Sundari berjalan dengan dua kaki, melihat dengan dua mata, dan dapat memelukmu dengan dua tangan hangatnya. Yang mungkin berbeda adalah hati Sundari yang entah di mana sekarang. Inilah yang membuat ibu-ibu dengan anak lelaki begitu menakuti Sundari. Mereka yakin bahwa Sundari-lah yang akhir-akhir ini menculik buah hati mereka yang pergi malam, lalu menghilang selama satu minggu dan ditemukan gundul tanpa nyawa,

Tanpa hati,

Pada suatu sore yang hangat di padang ilalang dekat dusun.

Beberapa mengira bahwa Sundari adalah perwujudan pesugihan atau tumbal yang mengincar jawara-jawara muda, seperti andong-andong pocong yang dahulu sempat marak. Dahulu, pergantian kepala dusun di sini dilakukan dengan adu kekuatan. Para sesepuh percaya bahwa teh dari seduhan rambut pemuda dapat memperkuat diri dan meningkatkan kekebalan, ini menjadi salah satu spekulasi motif Sundari selain tumbal-tumbalan itu. Beberapa berpikir kalau Sundari menjual rambut lelaki muda di desa demi mendapatkan keuntungan baginya.

Kalau di antara gadis-gadis belia nan jelita yang bergelimang asmara, Sundari kerap digunakan sebagai sebutan untuk penyerebot kekasih orang. Terkadang huruf i di hilangkan, sehingga menjadi Sundar saja.

“Dasar, dia memang Sundari!”

“Padahal telah lama kita menjalin kasih, kenapa ia harus jatuh ke tangan Sundar macam dirinya!”

Apa Sundari begitu buruk hingga namanya lekat dengan orang serta kasih yang hilang?

Padahal dahulu Sundari hidup tenang,

Memang dahulu ia juga sumber perhatian,

Tapi ia hidup tenang dan dihujani kasih—

Yah, itu sebelum dusun ini akhirnya mengadili sendiri suaminya yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Menurut mereka, sangat tidak masuk akal seorang wanita pintar, seperti Sundari yang bekerja sebagai pendidik, memiliki suami yang lebih muda darinya. Pemuda berambut panjang itu hidupnya mungkin berkesan asal-asalan. Dandanannya serampangan, rambutnya berantakan dan panjang; padahal di dusun ini, sangat wajar bagi lelaki untuk memiliki rambut panjang. Banyak yang bilang tubuhnya bau tengik, dan ia jarang terlihat bekerja. Pada kedua tangannya, sering terdapat guratan-guratan warna. Berbeda dengan para petani pekerja keras yang terkadang tangannya diwarnai oleh tanah, warna-warna yang ada pada tangannya merupakan warna cerah yang tak mungkin didapatkan secara alami. Namun Sundari dan suaminya tetap dapat hidup dengan layak dan nyaman menggunakan upah mereka. Pasangan itu tak pernah meminjam uang, tak pernah mencuri.

Tak di sangka, orang-orang di dusun yang memandang bahwa agar dapat hidup berkecukupan harus digandrungi serta ditempa dengan kerja keras yang dapat dilihat oleh semua orang memandang bahwa dalam rumah tangga itu, hanya Sundari yang bekerja keras melayani suaminya. Sedangkan sang lelaki, menurut mereka, ambil enaknya saja dan kesehariannya sekedar leha-leha di teras rumah kayu mereka sambil merokok sebatang dua batang.

Mereka, terutama para bujangan, mencari-cari kesalahan pasutri bahagia itu.

Mereka kembali memanggil-manggil dan menggoda Sundari yang makin merapatkan kerudung hijau yang biasanya ia selampirkan apabila berjalan ke sekolah tiap pagi dengan kebaya sederhananya. Para bujang itu dipimpin oleh  Cak Topel yang istrinya lumpuh dan selalu ia tinggal sendiri dirumah. Mereka menungguinya tiap pulang, dan menghalangi jalannya kembali kerumah. Pernah sekali suaminya mengantarnya ke gedung sekolah reot itu, dan menungguinya sampai pulang. Sedihnya, ditengah perjalanan pulang ia babak belur dihajar  pemuda-pemuda berbadan besar itu—Setelahnya, Sundari melarangnya untuk sering menampakkan dirinya di depan warga dusun.

Yang harus dikagumi di sini adalah sifat pantang menyerah mereka. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjungkalkan Sundari dan suaminya dalam fitnah, sampai akhirnya mereka mencium sesuatu yang janggal dari rumah senyap mereka.

Bau tengik,

Ada yang bilang, jenis pesugihan macam tuyul sebagus apapun tetap akan mengeluarkan bau tengik atau busuk.

Mereka mulai menyambungkan hal ini dengan warna pada tangan suami Sundari,

“Itu tidak mungkin didapat dari bekerja di ladang.”

“Warna-warna itu pasti ramuan dukun.”

Dari situ, dapat dipastikan bagaimana Sundari dan suaminya dapat selalu hidup berkecukupan bahkan dengan uang mereka yang pas-pasan. Bujang-bujang berbadan besar itu segera menyebarkan cerita dan tuduhan-tuduhan yang membuat telinga panas. Sundari dan suaminya makin menarik diri dari warga dusun. Sundari bahkan berhenti mengajar setelah menemui kelas-kelas yang seharusnya ia ajar seringkali kosong, dan menemukan tatapan-tatapan sinis para ibu rumah tangga mengintipnya dari depan pagar kayu sekolah yang alakadarnya itu.

Entah kita harus bersyukur atau tidak, persembunyian itu tidak berlangsung lama. Pada sebuah malam bulan purnama yang lembab dan becek, Sundari melihat bola-bola cahaya dari jendela rumahnya yang ditutupi oleh anyaman jerami. Nyala api itu berasal dari berpuluh obor warga dusun yang berteriak-teriak dan menuntut Sundari dan suaminya agar mengaku bahwa mereka menggunakan pesugihan.

Sundari keluar sembari menyelampirkan kerudung hijaunya, diikuti suaminya yang rambutnya digelung tak rapih. Belum sempat mereka mengucapkan sepatah kata, para bujang menarik suami Sundari dengan menjambaknya dan melamparkannya ke tanah becek, menendangi pertunya, lalu menghajarnya seolah ia binatang peliharaan yang tak pernah patuh pada majikannya. Sundari hanya dapat menjerit dan menariki baju sejumlah laki-laki yang menghunuskan kepalannya pada tubuh kecil dan rapuh orang yang dicintainya. Setinggi apapun ia berteriak, suaranya seolah tenggelam dalam arus deras kebencian yang tak berdasar.

Jeritan untuk orang yang dikasihi itu lambat laun berubah menjadi jeritan untuk dirinya sendiri. Istri Cak Topel yang lumpuh rupanya merayap di tanah dengan sigap seolah laba-laba berkaki seribu, dan menarik bagian belakang kebaya Sundari sampai ia terjerembab ke tanah di mana ujung matanya menangkap sang suami yang rambutnya digunduli tanpa ampun dengan alat yang tak pantas. Saat menyaksikan adegan romansa sedih tersebut, wanita-wanita dusun menjambaki rambutnya, menampari pipinya dan menghajarnya tanpa ampun sambil menghujaninya dengan ludah-ludah mereka yang menasbihkan berpuluh hujatan menyayat hati. Setelah pasutri itu terkulai lemas di tanah musim hujan, barulah warga membumihanguskan mereka berdua yang tangannya tetap bergandengan.

Nasib naas, entah harus disyukuri atau tidak, menimpa suaminya yang terbakar hangus sepenuhnya. Sedangkan Sundari, dengan tubuhnya yang telah setengah terbakar, berhasil kabur dan hilang dari peredaran untuk beberapa saat.

Untuk beberapa saat,

Sampai lelaki yang menggoda, menghajar, membawa mereka pada keterpurukkan semuanya hilang satu persatu, termasuk Cak Topel.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau ronda, dan ditemukan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Orang-orang bilang bahwa ini Sundari yang menuntut balas. Meskipun entah di mana dirinya berada, ia masih tetap menghantui. Membayang-bayangi dengan perasaan bersalah yang menyakitkan bagi seluruh warga dusun,

Karena

Sundari dan suaminya tidak pernah melakukan pesugihan.

Dan, ah, itu cuma tipu muslihat para bujangan yang cemburu dan bersedih karena tak bisa mendapatkan Sundari dalam dekapan mereka sekeras apapun mereka berusaha. Entah sudah berapa lelaki dan lamarannya ditolaknya, ia justru jatuh hati pada pelukis bertubuh kecil yang sepuluh tahun lebih muda darinya.

Bagaimana amarah mereka tidak tersulut?

Seandainya warga dusun lebih mengenal bau cat dan minyak untuk melukis, mungkin mereka akan berpikir dua kali untuk menuduh Sundari dan suaminya terkait pesugihan.

Ah, coba mereka masuk ke rumah kayu kecil itu sebelum main hakim sendiri. Mereka tak akan sekaget itu saat menemukan gubuknya penuh dengan cat dengan bau tengiknya, tumpukan kertas dan bahan bacaan, serta lukisan-lukisan yang masih dikerjakan.

Hilangnya para bujangan lalu diikuti dengan hilangnya murid-murid sekolah menengahnya, dan lelaki muda lainnya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan ini.

Sundari tidak berhenti.

Mereka hilang kala malam, saat cangkruk atau berjalan di pematang sawah, saat menantang diri mengaku “tidak takut dengan Sundari itu!” lalu ditemukan dengan lebam sekujur tubuh, tak bernyawa, dan gundul tanpa sehelai rambut pun pada sore hari di tengah padang ilalang dekat dusun.

Sundari menyukai kerudung hijaunya yang hilang kala malam,

Kerudung tipis indah yang digunakan untuk menutupi kondenya—Yang direnggut paksa darinya lalu hangus rata dengan tanah.

Tapi Sundari lebih menyukai kehadiran,

Kehadiran suaminya dan tangannya yang bekerja melukis diam, kehadiran kerudung hijau yang melindunginya dari tatapan tajam, kehadiran murid-murid lelakinya yang dengan polos melontarkan lelucon serta godaan-godaan untuk Ibu Guru Sundari mereka, kehadiran anak-anakmu yang sombong.

Sundari menyukai kehadiran, dan itu merupakan alasan lain mengapa ia menggundul habis lelaki yang diculiknya, lalu mengupulkan rambut mereka yang ia sambung, anyam, serta kenakan dengan nyaman bak kerudung dan mantel bulu.

Maka dari itu, orang-orang yang melihatnya terkadang bilang kalau Sundari cumalah hantu; bayang-bayangnya selalu muncul dalam bentuk segumpal rambut menjelang malam.

Sundari lebih suka kehadiran,

Keadilan.

Tapi apa membalas dendam seperti ini juga salah satu bentuk keadilan?

Entahlah, ini pilihan hidup Sundari. Sudah kubilang kalau hatinya entah di mana.

Sekali lagi, Sundari bukanlah hantu. Ia manusia yang teraniaya sama seperti kita. Manusia yang disalahi.

Kalau dipikir lagi, bukannya setan terkejam adalah manusia sendiri?

Yah, itu sih sudah berpuluh tahun lalu. Entah apa jadinya Sundari sekarang. Sekarang lelaki cenderung berambut pendek, tak seperti dulu. Bayang-bayang Sundari kemungkinan tidak se beringas waktu itu, dan telah berkurang frekuensinya. Namun wanti-wanti mengenai dirinya terus ada dan berubah seiring berjalannya waktu, bervariasi.

Itu sudah
Berpuluh tahun lalu.
Mungkin sekarang ia telah jadi hantu sungguhan, atau ada perwujudan Sundari-Sundari lainnya?

Tidak masuk akal, ya?

Aneh, omong kosong, isapan jempol.

Kalau dipikir lagi, bukannya dunia ini selalu penuh omong kosong dan tangis dalam gelak tawa?
Bintun Nahl 1453 Feb 2015
‎Seringkali‬ saat bersama 'kekasih palsu(pacar)', kita merasa nyaman, Padahal itu bukan kenyamanan tapi ketertawanan.
Bersama 'kekasih' tlah sering dijadikan tolak ukur kenyamanan, maka makin matematis mengukur kesenangan. Sadari, ini kepalsuan.
Krna makin matematis, kita makin tidak puas dan makin tinggi standar hidup. Saat itulah dalam diri sinyal keberadaan Allah telah meredup.
Mendengar kata 'putus' seperti kilat menyambar di siang hari. Tidk pernah siap dan tak pernah menyiapkan diri.
Keterlanjuran yg mendalam dengan 'kekasih' mnjadikan buta. Tak pernah lagi bisa menghadirkan Allah dalam hati.
‪#‎YUK‬ MOVE ON
Brad Lambert Oct 2013
(I)

Whose coat is this? Sure as hell isn't my coat. I ain't got no coat with this parka ****, it's *******. I ain't no furry flamin' ******. I ain't no ****** chochy Molly-May-Ze-**** chokin' down chickens and nasalin' a'sniffin' snortin' nasty-*** choch; that ain't me. That ain't me. Look at this coat– I'm like an Eskimo *****. I'm like a butch-**** bull-**** crotch-lappin' a'swimmin' laps in that guy's swimmin' pool. Who's that guy? Who owns that guy? 'Ey, anyone here the owner of this guy– guy ain't got no owner? Whose coat is this? It's nice, real nice. Bet she said, "Does it come from France? Where do I buy one?" I want to buy one, I think I need to buy **** more. I sure as hell need to buy one of these. "And I need one these too and one of them too and I need a petticoat and a tipper-tapper and a whimpratic garfielder and one of them new bartlemores, I need more of them bartlemores. I need more, more, more, more, more, more..." That ain't enough. ****'s from France. ****'s from Paris, that's romantic. You think I'm romantic? I eat hearts for dinner, I chew down nails like nuts for my midnight snack. I smoke cigarettes and spit on concrete slabs, you think that's ****? I'll show you ****. I'll show you Paris, New York City, Rome, romance you in Rome. I'll get real ******' Roman. I'll take you to the desert and make love to you. That's how a free man does a woman, and I'm a real free man. Who's ownin' this guy? It ain't you, it ain't me. I don't own you, you don't own me. I'm a free man:

I said,
"Fire and wood, fire and wood, fire and wood. It is late, it is late, it is far, far too late."

I set
fire to wood, fire to wood; feel that fire fired fresh from that firewood.

I dug the pit,
he gathered the wood,
she started the fire.

She really does make that fire start.

O' how she makes that fire burn,
O' how the wood's wrapped in white hots,
O' how they smoke their smokestacked pipes,
O' tobacco teeming teenagers, tormented by and through youth,
O' adolescence, trending topics, and forget-me-not flowers,
O' old age, Floridan coffins, and coughing  cancers,
O' writers in the mountains writing to be,
O' painters and **** bodies in studies by the sea,
O' thinkers in their mindset, mindsetting the table for dinner,
O' tables set to bursting,
O' wallets so thick,
O' community,
O' society, our social games,
O' hope,
O' peace,
O' that I may be at peace,
O' that I may be content and pray only for peace,
O' how about them true believers,
O' how about that love at first sight,
O' sandstone. My sandstone. That guy sittin' on sandstone.

That's my guy. That's my guy. I own this ****.

Is a man breathing on a mirror the sum of his breaths?
Breaths foggin' a'mistin' my view,
my view of a body and that face,
you're a body.
You're a workin' day's bell,
you're my chill in an Icelandic draft,
you're my spare in a Middle Eastern draft,
you're my pawn in chest-to-chest chess.

You've got this. You've got this. You own this ****.

And it is ****, too. I'd be set, real ******' set, with someone like you. I'll make you a woman, check this parka ****. Coat's mine. I'm a classy igloo runner, runnin' a'ragin' a'czebelskiin' meriteratin', I'll be reiteratin' your points. Check the time, it's late! It's late! ***** was in the grassy knoll turnin' trap tunes on her turntable. Would you listen to that? She sounds late to me, does she sound late to you? I like the music; I like the music. What happened to Woodstock? Where's my watergate, Nixon? Where's my generation, Ginsberg? Where's the meaning? This music's too loud! We're so profound! O' profundity!

Tell me something I didn't know, I'm craving' the new.
Give me the new while I spit on the old,
while I spit on this fine art finely art'd by and for fine artists–
******' fine artists. ******* fine artists.

(You can realize radical-realist realism but you can't be real with me?)

O' fine art!
What fine art!
Which fine artists are dead?



(II)

Looks like they're dead.

Looks like them ******* choked out all them ghettos, choked out all them rednecks, chokin' a'stranglin' by-God-oh-God straddlin' the breeders. I sure did like them babes– babes with their laughin' a'lackin' o' cynicism. They don't know the word "****."

I sure am forgetful–
I forgot that smoke doesn't dissipate,
I forgot how to smell autumn leaves,
I forgot to check the heart against the fingertips,
I forgot why my fingertips went numb,
I forgot to cue in the meaning when the sentence was complete,
I forget to complete my sentences,
I forget who you were wanting when you said, "I want you."

I got as much depth as an in-depth discussion, high hats and electropercussion have got me going. I'm goin' downtown, uptown bourgeois tricked me out, johns and yellow Hummers laid me down and cussed me out. That's not a discussion. That's not my scent scenting my towel, this breath reeks of wintry air– my fingertips went numb.

"I want you."

"Oh would you look at that moon?
Take a look at that moon.
Look at that moon with the ******' mountains.
I love that moon.
That's my moon."

I love darin' a'dusty dareelin' derailin' your dreams, whose dreams are these? They ain't my dreams– ain't no dream derailin' a'nileerad radiatiatin' some hint of joy or Jamison Scotch Liqueur. Drink that ****. That's my ****, I own that ****.
I'm sittin' on this stoop like I own this ****, like this **** owns me; I owed me. I don't own me, you owe me:

Pay up man, feet off the stoop.
Pay up man, be real with me.
Pay up man, you ever thought of a man as a man?
Pay up man, give it in.
Pay up man, give in.
Pay up man, I need you to do me a solid. Do me solid from crown-to-toe, we're toe-to-toe let's do-si-do bro-to-** I'm ready go, **, jo, ko, lo, get low… Now I'm ramblin'. You say, "Ramble in to the stoop and tell me a story."

What's a stoop– who's a stoop? That **** ain't stoop– you ain't stoop. You're stupid. You're a joke, check out the joke. Hey ladies, you seen this joke– joke ain't been seen by them ladies? I'm a joke. We ain't laughin' with you, they're laughin' at you.

O' hilarity!
Such hilarity!
What hilarious histories have passed?



(III)*

"I said I loved him once. I only loved him once."
(
And how long once has been...)

I sure did like them hand-holdins,
them star-gazin' moments,
them moon phasin' nighttime nuances,
them fingertip feelin' a'findin',
them sessions o'meshin' limber legs unto steadfast *****,
heads cocked like guns toward the sky,
beyond the horizon
but well
below the belt.

Them star-gazing moments seeing stars seemin' small, I love how they gleam- gleamin' a'glarin' comparin' shine to shine, shimmerin' a glimmer shone stumblin' her way home from the bar. She's drunk. She's brilliant, brilliance of whit and wantin' a'wanderlustin' gypsy nomads- that ***** gyp'd me, no mad man would take a cerebral slam to the face lest them moving pictures are involved. Read a ******' book, it'll last longer. Kiss me on the collar bones, clavicles shone shining with slick saliva pining for my affections. You're clammerin' to feel me, clammin' up (Just feel me.) I want to run my hands through long hair and peg the nausea nervosa to the wall. The writing's on the wall:

The sun bent over so the moon could rise, chanting,
"Goodbye and good riddance,
I never wanted to shine down
on them seas o' tranquilities anyhow."*

O' what a day. What a day.

And the wind ruffles leaves and it ruffles feathers on birds eating worms in brown soil.

What a day. What a day.

And the men under the bridge gather in traitorous conversation of governments overthrown and border dissolution and poetry with meters bent out of tune.

What a day. What a day.

And the billboards are dry for all the consumers to consume, use, and review.

What a day. What a day.

And hearts break messiest when you're not looking.

What a day. What a day.

And the ego and the id and the redwood trees are talking. They're sitting **** in the marshes, bathing in the bogwater while fondling foreign fine wines and whisperin' a'veerin' conversations towards topics kept well out of hand, out of the game, nontobe racin' in races, rampant radical racists betting bets on bent, bald Bolshevik racists wagging Marxist manifestos in the bourgeois' faces, yes. Make it be. Nontobe sanity as the captain creases his pleats, pleasin' her creases and the dewdrops of sweat trailing down the small of her back– down the ridge of her spine forming solitary springs of saline saltwater in the small of her back. Aye-aye, guy's pleasin' a'makin' choices a'steerin'– government's a'veerin' a hard left into the ice.

'Berg! 'Berg!
Danger in the icy 'berg!
None too soon a 'berg!
Bound to bump a 'berg!
O' inevitably unnerving 'berg!
Authoritative 'berg!
Totalitarian 'berg!
Surveillance of *** and the sexes 'berg!
O' fatalist fetishist 'berg!
Benevolent big brother 'berg!
Homosocial socialization 'berg!
Romanticized Roman 'berg!
O' virginal mother 'berg!
City on a hill on a 'berg!
Subtly socialist 'berg!
Nongovernmental 'berg!
O' illustrious libertine 'berg!
Freedom of the people 'berg!
Water privatization 'berg!
Alcohol idolization 'berg!
O' corrupt and courageous 'berg!
Church and a stately 'berg!
Pray to your ceiling fan 'berg!
Biblically borne 'berg!
O' godly and gorgeous 'berg!
Ferocious freedom fighters launching lackluster demonstrations far too post-demonstration feeling liberty and love, la vie en rouge, revolving revolutionist ranting on revolution tangible as
an ice cold 'berg.

'Berg! 'Berg!
O' the 'berg, the ****** iceberg–
You'll be the death of me.
Noandy Jan 2016
Hotel Saudade*
Sebuah cerita pendek*

“Ceritakan padaku,”
Aku yakin semua orang pernah mendengar perintah, atau permintaan itu; diikuti dengan waktu senyap dan getir setelah diminta untuk bercerita dan mencoba menata tutur sedemikian rupa. Menata tutur untuk menyanyikan, dan menuliskan (jika dalam surat,)  pengalaman, senda gurau, romansa, kehilangan,
Rindu, yang entah bagaimana caranya,
Sepi.

Beberapa mengakui bahwa setelah bercerita, mencurahkan isi hati, mereka merasa lega seolah ada beban yang terangkat. Tapi, cerita tidak hanya dapat diutarakan hanya dalam bentuk sepatah kata, sepanjang tangis, pun dalam tawa. Pada sebuah perjalananku (pertamakalinya aku berpergian sendiri, menggantikan ayahku untuk merancang dan menggambar iklan salah satu perusahaan kenalannya.) Aku bertemu seseorang yang memutarbalikkan pandanganku mengenai cerita pengalaman pribadi.
Aku tak tahu siapa dirinya,
Aku belum tahu siapa dirinya—
Namun pria ini mengaku bahwa ia tak memiliki cerita,
Cerita apapun.

Inilah cerita yang kupunya untukmu, cerita yang aneh,
Bukan aneh dalam artian mengerikan.
Malam itu kereta sampai terlalu larut, dan niatanku untuk mencari penginapan yang lebih dekat dengan pusat kota telah lenyap; aku sudah lelah. Sebenarnya aku dapat datang besok, tapi aku memilih untuk datang 2 hari lebih awal dari hari yang dijanjikan agar dapat bersantai.

Aku menjinjing tasku keluar stasiun dan membenarkan topiku, melihat kanan dan kiri dengan was-was sebelum bertanya pada orang-orang sekitar apakah ada penginapan di sekitar sini. Kau tahu betapa canggungnya aku bila bertanya ini dan itu, aku tak biasa berpergian sendiri! Namun karena keadaan mendesak, ya beginilah jadinya. Aku mendapat rujukan bahwa dengan berjalan kaki (sedikit jauh, tapi tak sejauh bila harus menjelajah malam atau menjadi angkutan untuk ke pusat kota) aku dapat sampai ke sebuah penginapan yang namanya terlalu puitis—Hujung Malam.
Apa maksudnya? Penghujung malam?
Apalah yang ada dalam sebuah nama, yang penting aku dapat tidur tenang malam ini, dan berganti penginapan keesokan harinya!

Dinginnya malam kala itu membuat mantel dan bajuku yang berlapis mejadi tidak berguna. Aku sedikit berlari melintasi trotoar yang digenangi beberapa kubangan air kecil, terlihat bak emas disinari pantulan lampu jalan. Sesekali menggosok lensa kacamata bulatku dengan sarung tangan hitam yang kukenakan. Ranting-ranting gemeretak, seolah merasakan juga dingin yang menusuk tulang. Setibanya di sana, aku tidak menyangka bahwa bangunan penginapan satu lantai ini terlihat lebih tua (tapi sangat terawat) dan lebih besar dari kelihatannya. Aku diantar ke kamarku yang terletak pada lorong yang tepat mengelilingi sebuah taman besar.

Setelah mempersilahkan keluar pegawai penginapan yang terlalu ramah bagiku, aku membuka pintu dan memperhatikan keadaan taman kala malam; didepan tiap kamar diletakkan dua buah kursi dan meja kecil. Sebuah pohon besar berdiri gagah di sudut taman, pada bagian tengahnya terdapat air mancur yang dikelilingi patung-patung pualam kecil; malaikat, anak-anak, dan bidadari tak berhati.

Aku mulai memperhatikan keadaan sekitar (yang tak biasanya kulakukan) dan barulah aku menyadari bahwa aku tidak sendirian.
Tidak, tak ada hantu.

Hanya ada sayup-sayup suara harmonika tak sumbang, yang dimainkan dengan tepat dan sedih pada pedihnya malam dingin.
Aku tahu lagu ini,
Greensleeves.
Lagu zaman Tudor itu, lagu orang-orang yang ditinggalkan.

Aku menoleh seolah digiring oleh angin yang baru saja berhembus, beberapa kamar kosong (kupikir itu kamar kosong, lampunya dindingnya tak menyala) duduk seorang pria berambut panjang, digelung rapi ke belakang, hanya mengenakan kemeja dan rompinya.

Ia ramping, namun pakaiannya tidak lebih besar dari tubuhnya dan justru terpasang pas pada tubuhnya. Rambut bagian depannya yang panjang dan tak ikut terikat rapi ke belakang berjatuhan, membingkai tulang pipinya yang terlihat jelas. Pria itu sibuk dengan alat musiknya dan memejamkan matanya tanpa menyadari kehadiranku. Aku juga sibuk, sibuk memperhatikannya bermain dan mengingat bagaimana Greensleeves selalu menyayat hatiku. Ini kali pertamanya aku mendengar lagu itu dimainkan pada harmonika.

Setelah ia menyelesaikan musiknya, aku menyapa dari kejauhan sambil memegangi gagang pintu kamarku,
“Greensleeves?”
Ia hanya menatap ke depan tanpa menoleh atau menjawab, duduk di kursi depan kamarnya dengan kaki kanan disila pada lutut kaki kirinya. Aku hanya dapat melihat hidungnya yang mancung dan matanya yang dibayangi gelap, ia terlihat cantik, dan sepi. Setelah menunggu sedikit lama dan masih tetap diabaikan, aku menghangatkan diriku di kamar. Aku akan berpindah penginapan besok siang.

Ternyata esok berkata lain.
Aku membuka pintu kamarku untuk sarapan dan mendapatinya lagi di tempatyang sama, seolah ia tidak beranjak semalam suntuk.
“Selamat pagi,” sapaku canggung.
“Kau selalu di sini?”
Ia tidak menjawab, hanya menatapku, dan saat itulah aku melihat matanya yang tidak lebih redup dari matahari senja di laut kala mendung.

Ia tidak menjawab, dan aku malah menggeret kursi dari depan salah satu kamar kosong untuk kutempatkan disebelahnya. Kami duduk bersebelahan dalam diam, hanya ditemani rintik hujan yang tak hentinya menghujat; ia mulai memainkan harmonikanya.

Aku beranjak untuk sarapan, dan memperpanjang masa sewa kamarku sampai beberapa hari ke depan.

Setelah aku kembali, ia masih tetap duduk disana, benar-benar tak berpindah dan terus memainkan harmonikanya. Aku tak dapat memperhatikannya lebih lama, aku harus beristirahat dan bersiap-siap untuk besok.

Hari berikutnya tidak banyak yang berubah, pagi masih tetap dirundung hujan dan pria itu masih duduk termenung menghadap taman. Aku bergegas untuk sarapan sebelum pergi ke kota dan menyempatkan diri untuk bertanya mengenai pria yang tak beranjak dari tempatnya. Ada yang bilang bahwa ia dulunya buronan, teman pemilik penginapan yang lalu diberi tempat tinggal disini. Yang lainnya mengatakan bahwa ia dahulu pelancong yang akhirnya memutuskan untuk tinggal dalam penginapan setelah diberi kamar oleh bapak pemilik penginapan yang terkesima olehnya.

Sepulang dari kota aku mengeringkan payungku yang basah kuyub dan mantel yang bagian depannya basah karena terkena air dari kereta kuda yang mendadak lewat didepanku. Bagian bawah gaunku penuh lumpur, dan aku tak tahu apa jadinya sepatuku ini. Aku tak ambil pusing dan kembali keluar kamar untuk sekali lagi mencari tahu tentangnya.
Entahlah, ada hal yang membuatku merasa tertarik. Mungkin karena lagu Tudor itu, mungkin karena ia sama sekali tidak berbicara dan beranjak dari kursi kecil itu. Hanya sesekali melepas ikatan rambutnya, dan membuka jam kantungnya.

Aku sekali lagi menduduki kursi yang kuletakkan di sebelahnya, dan langsung melontarkan pernyataan dan pertanyaan,
“Mereka bilang kau dulunya buronan,” ia terus memandangi jam kantungnya,
“Kenapa kau selalu duduk di kursi ini?”
Aku kira ia takkan menjawabnya, namun malah sebaliknya.
“Memangnya kau tahu kalau aku selalu di sini?”
“Karena aku selalu melihatmu di sini.”
“Itu hanya sebagian bukan keseluruhan.” Ia mengangkat bahunya. “Karena kau selalu melihatku duduk memandangi taman bukan berarti aku selalu melakukannya.”

Aku mengintip jam kantung yang di genggamannya, belum ia tutup. Jarum detiknya tak berjalan, begitu juga jarum panjang dan pendeknya. Namun derasnya hujan dan gema suaranya membuat kesan bahwa jam itu terus berjalan mengejar rindu. Ia mengutak-atik sedikit jamnya, dan jam itu mengeluarkan suara kotak musik. Tapi ini bukan jam kantung dengan kotak musik yang biasa kita lihat, jarum jamnya berputar secara terbalik.

“Boleh aku tahu siapa namamu?” aku mencoba mengajaknya berkenalan.
“Aku membuatmu teringat akan apa?”
“Apa? Entahlah.”
“Bukannya kau berlagak seolah mengenalku? Mengatakan aku selalu di sini.”
“Kau mengingatkanku pada senja di laut saat mendung.”
“Kalau begitu, namaku Laut. Aku selalu di sini seperti laut, kan? Ia tidak berpindah dari tempatnya.”

Percakapan kami terhenti di situ karena hujan makin deras dan aku harus kembali ke kamar untuk menyegerakan gambarku. Aku tidak ke kota lagi esok hari, dan menghabiskan waktu menggambar iklan itu di kursi kecil yang menghadap taman tanpa sepatah katapun, disamping orang yang mengakui dirinya sebagai Laut dan dibawah lindung hujan deras. Kami tidak berbicara pun berbincang, tapi aku menikmati kesepiannya seolah ada rindu yang belum dilunasi.
Tapi entah mengapa aku justru memulai pembicaraan,

“Ada yang bilang kau pelancong, apa kau mau bercerita sudah pergi ke mana saja?”
“Kau jarang berpergian?”
“Sangat.”
“Kau jarang berpergian, dan aku tak punya cerita.”
“Tak punya cerita?”
“Tak ada yang menarik untuk diceritakan. Tak akan ada yang merasakan sebuah cerita seperti penuturnya.”
Aku menyelesaikan gambarku, dan bersiap untuk menyetorkannya keesokan harinya.

Sore hari setelah aku kembali ke penginapan dengan keadaan yang sama, basah, terguyur hujan. Senja dalam hujan kembali ku habiskan bersamanya tanpa sepatah kata dan ia kembali memainkan nada-nada pada harmonikanya. Lagu yang sama dengan yang diputar oleh jam kantungnya. Lagu soal sunyinya malam ditengah laut, menunggu rintik dan bulan yang tak kunjung datang.

“Lagu apa itu? Sama seperti di jam yang kemarin.”
“Pesan Malam.”
“Aku belum pernah mendengarnya.”
“Aku yang membuatnya, wajar kau tidak tahu.”
“Sayang lagunya pendek, lagu yang indah.”
Ia hanya mengangguk,
“Aku akan pulang besok. Terima kasih telah menemaniku disini.”
Ia tak menjawab, dan terus memainkan harmonikanya tanpa menoleh. Seperti suara rintik hujan yang tak tentu, bingung akan apa yang ia tangisi, pria disebelahku tak memiliki cerita, tak bisa bercerita. Namun ia dapat berkisah, kisahnya tertuang pada lantunan nada dan lagu-lagu yang ia mainkan. Aku memejamkan mata, mendengarnya fasih menyihir suara menjadi sebuah fabel dan parabel, berharap dapat menyisihkan kisah-kisah yang tak diutarakan secara tersurat dan harfiah.

Aku undur diri untuk tidur lebih awal, dan menulis sebuah pesan dalam secarik kertas; lagunya mengingatkanku akan bagaimana caranya mengingat dan rindu. Aku harus pulang, tapi entah mengapa aku ingin kembali ke sini.

Dalam hening tidur malamku, ada sebuah lagu yang berulangkali dimainkan tanpa henti. Lagu di penghujung malam, lagu sunyi laut. Aku terbangun, dan dentingnya masih berputar dalam kepalaku.
Sayangnya aku harus kembali sebelum jam 12 esok hari, dan ketika terbangun, aku sayup-sayup sadar akan ketukan halus di pintu kamarku. Aku membukanya setelah memakai mantel, dan memejamkan mata pada keadaan yang sama sambil meluruskan gaun malamku. Hujan masih rintik, malam masih gelap, lampu-lampu menyala beberapa saja, dan hanyalah satu perbedaan; pria itu tak duduk pada kursi kecilnya.

Aku kembali masuk, linglung. Siapa yang tadi mengetuk pintu kamarku? Tanganku meraba gagang pintunya yang sudah menghitam dan saat itulah aku melihat sebuah jam kantung tergantung lesu pada lampu dinding didepan kamarku. Jam kantung yang selalu ia lihat, yang jarum jamnya berputar terbalik.

Tidurku tak kulanjutkan. Aku mengutak-atiknya sesperti yang ia lakukan tadi, dan menyadari bahwa bukan hanya ada satu lagu di situ, namun beberapa lagu pendek. Tiap lagu memiliki suasanya dan warna nada yang berbeda, membangkitkan berbagai macam bentuk ingatan dan kisah-kisah yang dapat kita bayangkan sendiri tanpa dipacu cerita dari siapapun. Hanya sebuah lagu, dan seuntai suasana.

Aku tak dapat terlelap lagi setelahnya. Aku membereskan barang-barangku dan beranjak untuk meninggalkan penginapan. Aku ingin berpamitan padanya dahulu, mengembalikan jam kantungnya, dan berterimakasih atas kisah-kisah yang ia ceritakan secara tersirat dalam senandung sepi. Tapi ia tak di sana, tidak pada kursi kecilnya. Tidak dengan harmonikanya, tidak menatap taman. Ia tak ada dimanapun untuk saat ini, dan aku mengitari taman serta koridor untuk mencari tanda-tanda kehadirannya untuk hasil yang nihil.

Ketika aku menuju serambi depan penginapan barulah aku melihatnya lagi, di ujung koridor, menatap kosong kearahku lalu tersenyum simpul. Senyum yang tak lama langsung sirna. Ia dibalut jas yang biasanya hanya ia selampirkan di kursi kecil dan ia mengurai rambutnya. Aku menyematkan secarik kertas kecil pada telapak tangan kiri beserta jam kantungnya, namun ia enggan menerima jam kantung yang kukembalikan.
“Simpan, dan jaga baik-baik.”
“Aku akan kembali.”
“Kembali kemana?”
“Ke tempat ini.”
“Untuk apa?”
“Bertemu denganmu. Lagi.”
“Bagaiamana kalau aku sudah pergi?”
“Aku akan tetap datang kesini.”
“Terserahmu.”
Ia meninggalkanku dalam remang-remang lorong kosong, sambil menggumam setelah melihat tulisan kecil di kertas yang kuberikan.
“Aku tidak paham puisi.”

Aku tak menoleh ke belakang saat ia berjalan melewatiku; yang kutahu, saat aku membalikkan badan untuk melihat apakah ia duduk di kursi kecil yang sama atau tidak, ia sudah tak ada, dimanapun. Bahkan tak ada suara pintu dibuka yang menandakan apabila ia memasuki kamarnya. Tidak ada lampu dinding didepan kamar yang menyala, hanya aku dan sunyi. Aku, sunyi, dan jam kantung yang putarannya terbalik mengindikasikan kisah masa lampau.
Sebagaimana ia memberi pesan di malam hari, aku mengirimkan secarik surat dalam bentuk sajak;

Untuk pesan malammu,
Yang tiap barisnya menari
Perih dalam benak,
Biarkan tanyaku dirundung rindu
Dan menjadi alasan
Untuk tertawa pada angan yang terlalu luluh
Mereka berhantu,
Dan akan kembali—
Sebagai sesayat serpih
Untuk melabuhkan kisah yang lain
Dalam seuntai surat malam

Memang tidak ada perlunya aku kembali, sayangnya lagu itu berputar-putar terus di kepalaku. Seolah nada-nadanya nyata mengirimkan pesan dan kisah yang berubah pada tiap bunyinya; fana, hanya dalam benak.

Mungkin cerita memang tidak selalu harus diutarakan secara tersurat begitu saja; akan banyak emosi yang terkikis habis, tidak tersalur secara utuh dalam penyampaiannya. Kisah yang disampaikan akan mati. Namun dalam lagu-lagu yang ia pahat abadi dalam jam itu, dan yang ia lantunkan dengan alat musiknya, ia menggiring hati yang tersesat dalam imaji untuk menguraikan kisah-kisah sendiri berdasarkan benak serta pedih. Dan tiap lembaran kisah itu,
Mereka membara,
Dalam kasih dan hidup yang belum pernah kita jalani,
Bahkan sekalipun.

Aku akan kembali, setelah membawa kidung-kidungnya pulang bersamaku. Bukan kembali pulang, namun kembali menemuinya di kemudian hari. Aku yakin, percaya, ia akan tetap disana—Menatap taman dan hujan. Entah bermimpi, entah bercerita dalam asa. Karena ia seperti laut, yang selalu disana dalam gelagap rindu, selalu ada dalam dahaga dan dan sejuknya malam. Juga seperti hujan, yang datang kala sepi dan tak kunjung pulang jua. Menemani dengan gesit suaranya, dalam tiap rintih fana.

Aku akan kembali,
Dan ia akan ada di sana.
Santiago May 2015
It's just me against the world
[Girl:]
Oooohhh, oooohhh
[2Pac:]
Nuttin to lose...
It's just me against the world baby
[Girl:]
Oahhhh, oahhhahh
[2Pac:]
I got nuttin to lose
It's just me against the world
[Girl:]
Oh-hahhh
[2Pac:]
Stuck in the game
Me against the world baby

[Verse 1: 2Pac]
Can you picture my prophecy?
Stress in the city, the cops is hot for me
The projects is full of bullets, the bodies is droppin
There ain't no stoppin me
Constantly movin while makin millions
Witnessin killings, leavin dead bodies in abandoned buildings
Can't raise the children cause they're illin
Addicted to killin and the appeal from the cap peelin
Without feelin, but will they last or be blasted?
Hard headed *******
Maybe he'll listen in his casket - the aftermath
More bodies being buried - I'm losing my homies in a hurry
They're relocating to the cemetary
Got me worried, stressin, my vision's blurried
The question is will I live? No one in the world loves me
I'm headed for danger, don't trust strangers
Put one in the chamber whenever I'm feelin this anger
Don't wanna make excuses, cause this is how it is
What's the use unless we're shootin no one notices the youth
It's just me against the world baby

[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
It's just me against the world
[Girl:]
Ooooh yeah, ooo-hooo
[2Pac:]
It's just me against the world
[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
Cause it's just me against the world baby
[Girl:]
Hey!
[2Pac:]
Me against the world
[Girl:]
Ooooh yeah
[2Pac:]
I got nuttin to lose
It's just me against the world baby
[Girl:]
I got nothing to lose

[Verse 2: Dramacydal]
Could somebody help me? I'm out here all by myself
See ladies in stores, Baby Capone's, livin wealthy
Pictures of my birth on this Earth is what I'm dreamin
Seein Daddy's *****, full of crooked demons, already crazy
And screamin I guess them nightmares as a child
Had me scared, but left me prepared for a while
Is there another route? For a crooked Outlaw
Veteran, a villian, a young ****, who one day shall fall

Everday there's mo' death, and plus I'm dough-less
I'm seein mo' reasons for me to proceed with thievin
Scheme on the scheming and leave they peeps grieving
Cause ain't no bucks to stack up, my nuts is backed up
I'm bout to act up, go load the Mac up, now watch me klacka
Tried makin fat cuts, but yo it ain't workin
And Evil's lurking, I can see him smirking
When I gets to pervin, so what?
Go put some work in, and make my mail, makin sales
Risking 25 with a 'L', but oh well

[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
With nuttin to lose
It's just me against the world
[Girl:]
Ooh yeah... oooh-ooooh
[2Pac:]
It's just me against the world baby
[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
I got nuttin to lose
It's just me against the world
[Girl:]
Oahhhohh
[2Pac:]
Ha ha
It's just me against the world baby
[Girl:]
Ha-ahh, HA-AHH!
[2Pac:]
With nuttin to lose
It's just me against the world baby
[Girl:]
Me against the world, hoahhh
[2Pac:]
Me against the world
I got nuttin to lose
It's just me against the world baby
[Girl:]
Ha-hahh (hehe) heyy!

[Verse 3: 2Pac]
With all this extra stressin
The question I wonder is after death, after my last breath
When will I finally get to rest? Through this supression
They punish the people that's askin questions
And those that possess, steal from the ones without possessions
The message I stress: to make it stop study your lessons
Don't settle for less - even a genius asks-es questions
Be grateful for blessings
Don't ever change, keep your essence
The power is in the people and politics we address
Always do your best, don't let the pressure make you panic
And when you get stranded
And things don't go the way you planned it
Dreamin of riches, in a position of makin a difference
Politicians and hypocrites, they don't wanna listen
If I'm insane, it's the fame made a brother change
It wasn't nuttin like the game
It's just me against the world

[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
Nuttin to lose
It's just me against the world baby
[Girl:]
Me against the world
[2Pac:]
Got me stuck in the game
It's just me against the world
[Girl:]
Oahahhhh
[2Pac:]
I'd be ashamed to lose
It's just me against the world baby
[Girl:]
Me against the world

[Outro: 2Pac]
Heh, hahahahahahah
That's right
I know it seem hard sometimes but uhh
Remember one thing
Through every dark night, there's a bright day after that
So no matter how hard it get, stick your chest out
Keep your head up, and handle it

[Girl:]
Me against the world [x3]
Yes its big yosef a true heavy weight makin' earthquakes through all states watch for the snakes
In the grass never front for the cash who wanna clash?
With a mighty Titan I'm on a God status love hoes with the **** size of Trish stratus
Now tell me who's the baddest
ya on a one way trip with Gladys Knight
On a Midnight train to Georgia no one heard of ya
Ya flows is wack your skull will get crack ******' with the mack
I make a love connection from my smif and wesson learned ya lesson no plexin'
On my team one man supreme like  a lion i be the king makin' suckas sing
Lullabies I feel ya soul cry reaching for the sky
Ain't no ******* allowed puff a cloud til the city unda a smoke shroud
Fools Talk loud but die silent known to be be violent
If provoked by a fake loc my pistol loves to smoke it stays high
Leavin' holy bodies to fry
Who could outwrite this? my style will diss rhymes deeper than an abyss make ya ****
Out ya own blood as  ya face down in the mud with no crud
Touchin' my eyes sleep with one eye
Open scopin' and hopin' got more scams than Ken Copeland I'm still floatin'
On cloud nine almost to ten sippin' gin never see me grin my lyrics touchin'
Every last one of you wack rappers so come again.....
Michael Marchese Apr 2017
Prometheus ignites to spark this
Molotov to make his Marxist
On swine Fuhrer's Faux News tweet
Hashtag it #GorbachevWallStreet
'Cuz Putin's puppet Pinochet's
Whipped Creme de Kremlin's CIA  
From JFK to Allende
Like Russian roulette ricochet
I'll Trotsky through McCarthy's brains
Leave slain these ****** sugar Keynes   
Discred' the Fed’s six-figureheads
With strikes at dawn more red than Debs  
Still breakin' breads with Mulan Bouges
Makin' men of Khmer Stooges
Seein’ Rouge when Al Spans Greens
Potemkin loan wolf ponzi schemes
Who count the sheep like Philippines
Then Black Pearl Harbor GRANMA’s dreams...

Of Marilyn Monroes in store
Just off-shore ****** who **** the poor
A Glass of Steagall's broken trust
Half emptier than bowls of dust
In rust beltways still spewin’ fumes
As factories become Khartoums
No carbon footprint tax the hint
Of Amazon decays in Flint
Just pop the caps and drown in debt
Like Kent State drinkin' to forget
That cuttin’ class engenders race
Leaves glory, gold and God's disgrace
To slaughter Moor than Reconquista  
From Marti to Sandinista     
With Zapata sharin’ crops  
Till my Mexica heartbeat stops

I'm Pancho infiltratin’ villas
The Magilla of guerillas
In the midst of Congolese  
Same colonies, just different thieves
To me, my breed’s of landless deeds
So how you like ‘dem Appleseeds?
FReeducatin’ caves of youth
Fed Citizen’s United Fruit
‘Cuz now my open eye of Horus
Battle cries Grito de Lares
Che is centered in these veins
So my Ashoka takes the reigns
These Iron paci-Fists pack hits
Like Jimi on some Malcolm ****
Still Hajj mirages I barrage
The Raj with sheer Cong camouflage

Deployin' Sepoys on viceroys
And pol desPots’ in the employs
Of Tweedledums who run the slums
With country clubs of loaded guns
These Betsy Deez bear arms to school
Till no kids fly kites in Kabul
So gas-mask your Sharia flaw
I'll Genghis Khan Sheikoun it raw  
'Cuz refugees are rising
And we're anti-socializing
Subsidizing private party plans
Who take commands from ***** hands
These grand old klans coup klux control
Your diamond minds with mines of coal
An oil Standardized existence
Solar powers my resistance

******* sun of Liberty  
My fear itself is history  
Rewriting wrongs of Leo’s creed
In culture’s blood and vulture’s greed
An alt-right/all-white cockpile   
Stockpilin' human capital
In tricklin’ contests over spoils
Of the cotton-ceded soils
Jingos chained to Cruci-fictions
Swallowin' good Christian dictions
I spit Spanish Inquisition
Trippin' Socrates sedition
Droppin' Oppen's fission quest
For "now I am become death"
'Cuz G-bay pigs in-Fidel's sites
Flew U-2's into my last rites

These Saddamites, I smite Assad
Then spread 'em like Islamabad
Convert for-profit prison tsars
From Escobars to Bolivars 
Like currency in Venezuela
Current police-state favela
Where 9/10th's of your possession's
Worth less than your Great Depression’s
Upscale bail ‘em outs of jail
With Dodd-Frank banks too big to fail
Your FDA-approved psychosis
From Campos’ daily dose of
More defense? Here’s my two cents
These slave wages ain’t excrements
So just say no to Reaganomics    
Got us hooked, but not on phonics

Just that Noriega strain
Of Contras stackin' crack contain
Like MAD dogs who trade weapons-grades  
For Ayatollah hate tirades
On “don’t ask, don’t tell” plague ebonics
Drug crusAID Jim Crow narcotics     
Warsaw rats injected, tested,
Quarantined, and then arrested
Guess the J. Arbenz' lens
Still Tet offends their ethnic cleanse
Still Wounding Knees of Standing Sioux
Till Crazy Horses stampede you   
For Mother Nature’s common ground
My Martin Luther’s gather ‘round
Is hellbound sounds of Nero’s crown  
Let's burn this Third World Reichstag down

Vox populyin’ to remove ‘ya
Like Lumumba then Nkrumah
So some Pumbaa kleptocrat
Declares himself the next Sadat
To hide supply-side Apartheid
Increase demand for genocide
So check your factions in Uganda  
Tune into Hotel Rwanda
Come play pirates with Somalis
Then desert ‘em like Benghazis
Thirst for blood so French Algiers  
It boils mine in Trails of Tears  
My destiny unManifest-
Oppressive Adam-Smitten West
So pay your overdues to Mao
I’ll Mussolini Chairman Dow

Then flood this 9th ward Watergate
With killing fields of glyphosate
I'll redistribute IMF’s
With leftist depth so deft it’s theft
I’ll My Lai massacre these lines
With sweet Satsuma samurhymes
I'll make these Madoff Hitlers squeal
With that Bastille New Deal cold steel
Now feel that Shining Pathos wrath
Drop Nagasaki aftermath
On Nanjing kings and dragon’s Diems
With ****** bodhisattva zens
To show you how I pledge allegiance
With razed flags still rapt in Jesus  
Laosy liars pogrom psalms
Can’t Uncle Phnom my Penh’s truth bombs

On heroes shootin' ******
My fix is un-American
Tiananmen democracies
To Syngman Rhee hypocrisies  
Theocracies drive me Hussein
With Bush league’s mass destruction claim
So I dig laissez pharaohs graves
With pyramids of Abu Ghraibs
Then nail their coffers closed like Vlad
I AM THE GHOST OF STALINGRAD
My hammer forged in winters past
My sickle reaps the shadows caste
By pantheons of penta-cons
Whose Exxons lead to autobahns
When liberal Arts of War and Peace in
Free speech teach my voice of treason
“Fascism will come to America wrapped in a flag and carrying a cross”
-Sinclair Lewis
tufa alvi Mar 2014
What's it gonna be 'cuz I can't pretend
Don't you want to be more than friends
Hold me tight and don't let go
Don't let go
You have the right to lose control
Don't let go

I often tell myself that we could be more than just friends
I know you think that if we move too soon it would all end
I live in misery when you're not around
And I won't be satisfied till we're taking those vows

There'll be some love makin', heart breakin', soul shakin' love
Love makin', heart breakin', soul shakin'...

What's it gonna be 'cuz I can't pretend
Don't you want to be more than friends
Hold me tight and don't let go
Don't let go
You have the right to lose control
Don't let go
Noandy Jan 2017
sebuah ingatan*

Aku tak mungkin mampu bersanding denganmu dalam segala warna dan wangi. Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, hanya dua warna yang dapat kukenali: Merah bara meranggas dan hitam abu mengapur. Sedang wangi yang membekas dan meracuni paruku tak jauh dari getir arang serta harum menyan di sekujur tubuhmu.

Sampai usiaku berpuluh, beratus, beribu tahunpun, lelehan baja akan tetap mengalir dalam nadiku—leleh baja pula yang telah membekukan
mematikan
menyayati
Segala rasaku padamu. Tanpa warna; tanpa wangi; tanpa harap; tanpa pinta; tanpa ampun—tanpa apapun.

Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya. Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Helai rambutmu yang menggantung dan perlahan terurai enggan meninggalkan benakku meski aku terus hidup melampaui waktumu. Kedua lenganmu yang tak tertutupi apapun dan bersimbah darah masih terus menorehkan noktah pada hidupku. Dan kedua tangan kecilmu, sesekali gemetar, menggenggam erat keris ciptaanku seolah hidupmu bergantung padanya.

Seolah hidupmu bergantung padanya, kau menghunuskan keris buatanku pada dirimu sendiri.

Aku bangkit dari semadiku karena tawamu yang tak hentinya bergema ketika aku mengosongkan diriku, seolah angin yang murung, entah darimana, meniru suaramu untuk memanggilku. Semenjak kematianmu aku tak lagi dapat melakukan tapa lebih dari tiga purnama lamanya. Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama karena aku hanya dapat melukai bukan mencintai meski sesakti apapun aku di matamu, di mata mereka, di mata yang menangis.

Walau di tanah ini akhirnya didirikan lagi sebuah Pakuwuan dengan akuwu yang dahulu merupakan jelata, dunia ini tak berubah lepas kematianmu. Aku mengira suara tak akan lagi terdengar dan warna akan sirna sepenuhnya—nyatanya, tak ada yang berubah. Hanya hatiku yang kian mengeras, mengeras, dan mengeras.

Gemeresak daun tak lagi mengantarkan tubuhmu yang menguarkan wangi menyan. Ranting-ranting yang berserak tak lagi bergemeletuk karena langkahmu yang sembarangan. Dalam alamku masih terukir bagaimana kau mengeluh karena tak dapat melihat dengan jelas dan akhirnya tersesat sampai ke gubukku yang dipenuhi oleh benda-benda tajam; bagaimana dunia bagimu hanyalah segumpal warna-warna yang buram, hingga kau berujung nyasar menuju gubuk tempat belati penumpah darah dihasilkan.

Kau begitu terkejut melihatku sosokku yang di matamu pasti tak terlihat seperti apapun walau dahulu aku lebih gagah dan rambut hitamku begitu tebal. Kau hanya terkejut, itu saja. Orang lain akan membungkuk karena mereka takut pada, menurut mereka, kesaktianku—yang hanya dapat membawa kengerian pun kematian. Kukira sahabatku Bango Samparan kembali mengunjungi, nyatanya yang datang hanyalah seorang gadis yang kesusahan melihat.

Lelah berjalan, kau meminta izin untuk rehat di gubukku sejenak saja yang tanpa peduli apapun aku kabulkan. Aku tak ambil pusing atas kehadiranmu dan kembali merapal mantra serta menempa keris. Sayangnya kau membuyarkan konsentrasiku dengan balas merapal mantra serupa sebuah kidung yang dilantuntkan dalam suara yang sama sekali tidak merdu sembari memahat sebuah arca kecil di tanganmu.

Kubiarkan sudah segala baja, timah, dan tungku yang menyala. Kuambil kendi dan gelas selaku tuan rumah yang baik. Di antara air yang tertuang dan kedua wajah kita aku dapat menangkap bagaimana matamu kau sipitkan sedemikian rupa demi menangkap wajahku. Aku yakin kau tidak tahu aku tua atau muda, kau hanya tau aku seorang laki-laki dari suaraku. Aku tak ingin memberitahukan namaku, tidak perlu. Saat itu aku cukup yakin kita tidak akan bertemu lagi.

“Rapalan mantra apa yang kau lantunkan?”
“Doa yang aku rapal sendiri kala memahat.” Dan kau menunjukkan sekeranjang penuh arca-arca kecil dan hewan-hewan pahatanmu di bawah matahari yang dalam beberapa hembusan angin saja akan tenggelam. Kau memahat begitu dekat dengan matamu, dan itu menyakitkanku kala melihatnya.

“Kembalilah, gadis.” Kau hanya terdiam dan menggendong keranjangmu, lalu meletakkannya kembali sebelum meraba-raba tanah di depan gubukku untuk mencari ranting yang lebih besar.
“Matur nuwun, Kanda—?”
“Kau tak perlu tahu namaku.” Mata yang disipitkan, lalu kau menghilang di antara pepohon dan semak begitu saja. Aku menyukainya—aku menyukai bagaimana kau tak ambil pusing atas siapa diriku raib begitu saja dalam petang. Orang-orang biasanya begitu menakutiku dan wanita-wanita menjauh dariku. Mereka datang bila menghendaki senjata dalam bentuk apapun itu atau jimat sembari memohon padaku “Mpu, Mpu, tolonglah Mpu. Buatkan sekarang juga.”

Apa yang membuatku begitu menjauhkan diri dari kerumunan? Apa benar karena kesaktianku? Kesaktian ini sungguhkah mengalir dalam nadiku?

Pada petang esok harinya aku tak menyangka kau akan datang lagi dan membawakanku beberapa buah pahatan untuk kupajang sebagai tanda terimakasih. Aku tak paham bagaimana kau dapat kembali ke gubuk lusuhku dengan mata yang kau katakan tak dapat melihat dengan jelas itu. Meski mata hitam legam itu tak dapat melihat guratan pun pola yang begitu kecil, kau berusaha keras untuk menatap dan menggaris bentuk wajahku sedemikian rupa.

Lambat laun setiap hadirmu di gubukku, segala rapalan mantra serta kesaktianku luruh seluruhnya.

Penempaan keris serta tombak-tombak terhambat hanya karena kehadiranmu. Sungguh kau sumber masalahku. Entah mantra apa yang kau rapal selama berada di sebelahku. Kau sendiri juga tidak menghalangiku dari pekerjaanku—tak banyak kudengar kisah terlontar dari mulutmu jika aku tak bertanya. Hanya saja kala kau duduk pada undakan di depan gubukku, aku tak ingin melakukan hal lain selain duduk di sebelahmu. Tidak ada orang yang akan betah duduk berlama-lama dengan seorang empu yang meski menguasai kesaktiannya di kala muda, membuat senjata dengan sebegitu mengerikan dan buasnya. Hanya kawanku Bango Samparan yang kini entah kemana, aku tak tahu.

Keadaan wilayah ini sedang buruk-buruknya. Pemberontakan dan penjarahan terjadi di berbagai desa. Wanita diculik dan pria dibakar hidup-hidup, para pemberontak yang jadi membabi-buta karena terlena itu membawa senjata yang mata pisaunya berwarna merah. Aku mendengar desas-desus itu dan menatap kedua tanganku—haruskah aku berhenti dan kupotong saja dua tangan keparat ini?

Tanah sedang merah-merahnya, dan bertelanjang kaki, kau terus datang ke gubukku.
Di luar rapalan mantramu kau terbalut dalam kesunyian. Aku tak menyebutkan namaku dan kau tak menyebutkan namamu pula. Aku memanggilmu Sunya atas kesunyianmu itu lalu kau sama sekali tak mengajukan keberatan. Kau tak tahu harus memanggilku apa, dan aku dengan enggan serta waktu yang lama membuka mulutku, menimbang-nimbang apakah aku harus melafalkan namaku di hadapanmu atau tidak. Hembusan nafasmu terdengar pelan lalu kau tersenyum,
“Gandring,” satu cukilan kayu,
“Mpu Gandring yang tinggal terpencil dalam gubuknya di hutan desa Lulumbangan. Mereka bilang kau empu muda yang sakti namun begitu gila. Seluruh bilah mata pisau yang kau hasilkan berwarna merah karena kau mencampurkan sendiri darahmu di dalamnya.”
“Kenapa tidak kau katakan sedari dulu bila memang mengenalku?”
“Aku tidak mengenalmu, empu, aku hanya tahu soalmu setelah bertanya selepas tersesat.”
“Kau tahu tentangku dan terus datang tanpa kepentingan. Lihat segala kerusuhan di luar sana karena sekelompok orang dengan mata pisau berwarna merah.”
“Aku punya kepentingan untuk berterimakasih atas kebaikanmu memperbolehkanku beristirahat, Gandring.” Kau tak menggubris peringatanku di akhir.

Kulihat kakimu yang penuh guratan merah serta telapak dan pergelangan tanganmu yang dipenuhi sayat, lalu kau meninggalkanku dengan arca-arca kecilmu yang kau atur sedemikian rupa.
“Untuk melindungimu.”
Dan kau mengukir sebuah mantra pada pintu gubukku, yang aku tak tahu ditujukan pada bathara atau bathari manapun. Aku tidak tahu apa kepercayaanmu, tapi saat itulah aku mengetahui bahwa aku mempercayai kesunyian yang ada padamu.

Dalam terpejamnya mataku aku dapat mendengar arca-arca kecilmu terus menyanyi dalam suaramu. Menyanyi, merapal, dan berdoa; menarikku dari keinginan untuk lelap dan menempa lagi sebilah keris merah yang kubuat sembari merapalkan ulang doa-doa yang terlontar dari ranum bibirmu.

Pada petang yang semestinya, kau tetap datang menemuiku dengan keranjangmu yang penuh pahatan. Kau tak peduli pada pemberontak dan dedengkot penjahat di luar sana, kau terus menemuiku dalam senandika sunyimu.
“Malahan tak ada yang akan dapat menemukanku selama aku bersamamu.”
Saat itulah pertamakali, dengan abu dan darah kering di sekujur tanganku serta helai kasar rambut terpapar panas yang menjuntai terjulur dari ikatannya, itulah kali pertama aku mendekapmu dan membawamu masuk ke gubukku. Aku tak akan membiarkanmu menjejakkan kaki telanjang di tengah api membara dan tanah tergenang darah.
Kau tetap diam dalam tawananku sampai nyaris dua purnama lamanya. Aku pun terheran bagaimana warga desa dikata hidup dalam kesengsaraan di bawah tangan dedengkot itu.

Kau menatap nyala api ketika aku masuk ke dalam gubuk, kau tak memperhatikanku dan tak dapat melihatku dengan jelas,

“Sunya,” dan seiring dengan tolehanmu kusodorkan sejajar dengan dadamu sebilah keris bermata merah yang sama dengan milik para pemberontak itu. Kau melindungiku dengan secara arcamu dan kini aku yang harusnya lanjut melindungimu dengan sebilah mata pisauku.
“Kita saling membalas rasa terima kasih, Gandring?”
kau merenggut keris itu dariku, membungkusnya dengan selendang yang tergantung di pinggangmu sebelum tanpa kata-kata kau undur diri.

Dalam tidurku dapat kudengar jeritan serta lolongan dan kepanikan yang jauh dari tempatku. Aku terbangun mengusap mata dan tak menemukanmu di manapun dalam gubukku. Untuk pertamakalinya aku tak memperdulikan tatapan ngeri orang-orang yang kulalui. Tubuhku yang tinggi dan rambut yang terurai saat itupun tak menanamkan rasa iba di hati orang yang berpapasan denganku atau permintaan untuk pertolongan, namun hanya kengerian, ngeri, ngeri, dan ngeri.

Aku sampai pada pemandangan di mana segala yang ada dijilati oleh api sedemikiannya. Di antara reruntuhan kau menunduk meraih-raih dua orang wanita yang diboyong pergi oleh sesosok pria bertubuh besar namun kurus. Pria yang di elu-elukan sebagai “Ametung!” oleh kanca-kancanya. Aku masih terus melangkah mendekatimu saat sesosok pria lainnya menjambakmu tanpa ampun tan menengadahkan paksa kepalamu. Kesunyianmu berubah menjadi kepedihan dan untuk pertamakalinya di depanku kau berteriak sejadinya.

Aku masih terus melangkah mendekatimu
Dan kau tak dapat melihatku.
Aku hanya bayangan buram di matamu.
Mungkin kau mengiraku sebagai salah satu dari mereka saat itu,
Karena yang kulihat selanjutnya adalah merah mata keris yang kuberikan padamu, kau tusukkan sendiri pada perutmu dan membuat merahnya makin gelap dengan darahmu.

Mereka semua, yang membunuh dan merampas, berlarian kala melihat sosokku mendekat. Kau tetap terkulai dengan rambut berantakan, gemetar dan kedua tanganmu berlumuran darah. Aku meletakkanmu di pangkuanku dan mendekapmu sembari menekankan tanganku pada perutmu untuk menghentikan darahmu.

Kesaktianku,
Kesaktianku tak ada artinya.
Kesaktianku hanya dapat mematikan.

Kau kembali dalam kesunyian setelah merapal namaku berulang kali dan terbata-bata berkata,
“Berhentilah beriman pada kehancuran dan kematian, gunakan kesaktianmu untuk kebajikan. Janganlah kau hidup dalam kesendirian dan kesengsaraan, Gandring.”
Dan sungguh kau telah kembali pada kesunyianmu.

Setelah itu tak ada lagi kesunyian tiap aku bertapa. Setelah itu tak ada sunyi pada sepi hidupku. Hatiku yang sempat membara laksana kobar api kembali padam dan mengeras sekeras leleh baja yang telah membeku. Aku tak dapat mempersembahkan apapun selain mata pisau setajam akhir cerita di mana kita tak kekal di dalamnya. Mata pisau yang akan membawa kemenangan tapi tidak atasmu. Mata pisau sejeli jarum yang menjahit dendam pada hati penggunanya.

Darah dan daging yang merah merekah tak akan mungkin menggantikan mawar, bukan? Dan kilau yang dipancarkan oleh keris ataupun tombak bukanlah ganti yang sesuai atas emas dan berlian. Maka tak akan pernah lagi aku belah dadaku dan kucabik-cabik hatiku karena luka sayat berpedih abulah yang akan menguar darinya, bukan cinta serta kasih yang dapat membelai kulitmu tanpa hasilkan borok bernanah.

Leleh baja akan terus mengalir dalam tubuhku, lalu membeku, hingga aku tak dapat lagi bergerak. Akan menjelma pisau dan dipotongnya diam-diam tubuhku dari dalam, akan dicabiknya segala kasih purbawiku padamu. Hingga ia tak lagi berbentuk dan mengeras dalam timbunan tanah yang merasuk melalui hitam kukuku. Dan timah serta mata pisau yang terlahir dari kedua tanganku, tak ada dari mereka yang akan peduli pada segala macam kesaktian di jagat raya ini.

Maka bila kelak aku bercermin pada ciptaanku, kesaktianku kusumpahi akan luruh seluruhnya.
Dan dengan itu, hidupku akan berakhir di liku keris yang kubentuk sebagaimana lelehan baja mematikan kasihku.


                                                      ­ //////////////////

“Empu, aku datang untuk mengambil keris yang aku pesan.”
“Arok, keris yang kau pesan masih jauh dari sempurna.”

Aku masih duduk bersila membelakangi pria muda yang mendatangiku, berusaha bertapa dan merapal mantra yang terukir pada pintu gubukku, sembari terus menggenggam keris yang dahulu pernah memasuki tubuhmu; merasakan hangatnya kedalamanmu.

Arok, menyambar kerismu dari tanganku,

“Empu tua bangka!”

Darahmu yang mengering pada keris itu
Bercampur dengan darahku.
Kita tidak pernah bersama dan hanya dapat bermimpi untuk bersama
Tapi kini darahku dan darahmu akhirnya dapat menyatu padu.
Aku tak perlu lagi hidup melampaui waktumu.


Januari, 2017
Untuk seseorang yang akan memerankan Mpu Gandring di pagelaran esok Maret.
William Clifton Dec 2020
The Donald went down to Georgia
He was lookin' for a state to steal
He was angrily blind 'cause he was way behind
And he was lookin to make ah deal
When he came across this Q man
Sawin' on Twitter and layin' plots

And the Donald jumped upon a hickory stump
And said, "Q let me tell you what"
"I guess you didn't know it, but I'm a Twitter tweeter too
And if you'd care to take my fare, I'll Twitter follow you

Now you lay pretty good tweets, Q, but give the Donald his due
I'll bet a Tower of gold for your soul
'Cause I think your tweets are cool"

The Q said, "My game's phony, and it might be a sin
But I'll take your bet, you won't regret
'Cause my tweets'll ensure you win

Q, fire up your phone and type your Twitter hard
'Cause Hell's broke loose in Georgia and the Donald deals the cards
And if I win, you get this shiny Tower made of gold
But if you lose, the Donald gets your soul

The Donald opened up his cell and he said, "I'll start this show"
And fire flew from his thumb tips as he tweeted just for show
And he pulled his thoughts across word streams and he made a evil hiss
And a band of MAGAs joined in, and they tweeted somethin' like this

When the Donald finished
Q said, "Well, you're pretty good ol' Don
But sit down in that chair right there
And let me show you how tweet's done"

"Biden's in the Basement", run, boys, run
The Donald's in the Whitehouse having fun
Ivanka's in the West Wing makin' dough
Jared, do your thoughts bite? No, Don, no

The Donald bowed his head because he knew that Q could tweet
And he laid that golden Tower at the ground of Q's feet
Q said, "Donald, just don't concede if you ever wanna win again

I done tweeted you once, you *******
Cuz my tweets will make you win" he played
"Biden's in the Basement", run, boys, run
The Donald's in the Whitehouse having fun
Ivanka's in the West Wing makin' dough
Jared, do your thoughts bite? No, Don, no
Election Qanon Trump
Aridea P Aug 2014
Inderalaya, 27 Agustus 2014

Seorang gadis kebingungan di antara kerumunan orang dewasa yang asyik menikmati pesta dansa yang diadakan penguasanya
Matanya biru terang, namun jauh di lubuk hatinya, ia begitu kelam
Seorang yatim yang ditinggalkan ibundanya tuk melayani pria yang bukan pasangannya
Gadis itu terpaku, hanya sendiri di tengah-tengah manusia lain berdansa berpasangan
Namun dia hanya sendirian

Musik telah terlalu lama menyeberangi gendang telinganya
Otot-otot di kepalanya mulai berontak tuk membuat gadis itu pergi meninggalkan tempat ia berada
Namun ia hanya  diam, matanya memancar sorot sangat kebingungan
Pikirannya terbang jauh menelusuri kenangan saat ia masih balita dibawa Ayahnya pergi ke taman paling indah di negaranya
Dentuman keras kaki-kaki manusia yang masih berdansa tanpa lelah dan tanpa jeda
Menyadarkan sekali lagi bahwa gadis itu masih sendirian

Kaki gadis itu serasa tak mampu lagi tuk melangkah
Maka ia mulai membuat gerakan tak berarti pada kedua tangannya. ke kanan dan ke kiri, mengitari tubuhnya
Semakin lama gerakan tangannya semakin cepat dan kini gadis itu menari pada akhirnya
Sekali lagi, ia menari sendiri, berputar-putar bagai roda yang diputar pedal sepeda
Kini semakin cepat gadis itu berputar-putar
Semakin cepat
Semakin cepat
Semakin makin cepat
Gadis itu menutup matanya, ia bahkan dapat merasakan detakan jantungnya
Ia memutar makin cepat dan sangat cepat
Sampai akhirnya di antara putaran yang cepat itu, ia berteriak
AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA­AAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH­HHHHHHHHHHHH

Ia kemudian terjatuh di pelukan Ayahnya
Sang Ayah yang telah lama pergi meninggalkannya
Sang Ayah kini kembali, namun tiada satupun manusia di sana menyadari kehadirannya
Pesta dansa terhenti dan semua pasang mata tertuju pada pemandangan tak biasa di tengah-tengah mereka
Sang Gadis sedang berdansa dengan Ayahnya

Suasana menjadi hening, hentak kaki manusia yang sedang berdansa kini benar-benar sunyi
Oh kelamnya hidup ini
The call center Bunny cannot sit Still.
He's a t-t-t-twitchy *******
with an Easter Grill.
His foot just thumps, and thumps, and thumps, and thumps until.
Beep!
Receiving a call, now it's ***** to the wall.
He's Makin' a Deal.

Welcome to the Magic Bean order center My name is thump~

"STOP RIGHT THERE RABBIT!
Tricks are for kids.
I'm 100 years old tomorrow,
I'm not placing a bid.
I'm calling about that free sample,
can you do that or not?"
"Brace for impact boys" Says Thumper.
"She's coming in hot."

Up to the plate with Rapport.
A ******* and a Miss.
"That's a great question, deary."
As he lights up a spliff.
Now the Dinosaur responded,
Well it was more like roaring.
Through the headset this woman
Led on quite a story
Most men would be huffing and puffing as she blew their house down.
But thumper sat there patiently
Turned her frown right around.

He pulled a lot more than grass
Out of his basket of Candy
"Listen here, kiddo.
You have a chance to be happy."
Get a Bunny enough paint.
He turns ******' Picasso.
"What's that beautiful?
You gonna let that rock go?"

"If you mail your wedding ring today.
We'll throw in an extra back bone."

This ******' rabbit Is tamin' raptors
on the phone like Chris Pratt.
He reads The wrap-up verbatim
Then does a victory lap.

The call center Bunny cannot sit Still.
He's a t-t-t-twitchy *******
with an Easter Grill.
His foot just thumps, and thumps, and thumps, and thumps until.
"Hey Thumper."
His little bunny smirk seems to
Spot himself a thrill.

"Seems like everybunny here is taking' Adderall."
So he pops and he smokes
He snorts and he cokes.
lines back up
with a wink, a pill, a couple less bucks.

Waves goodbye to the boss.
Swivels down in his spinny spot.
Snaps one headphone to his ear hole
Then stares attentive at the clock.

Tick tock tick
The bunny vibrates as he wait.
Usually he not so wide eyed
more drifting or asleep.
big white dress feet over
keyboard and mouse.
His tie pulled loose,
his ego is out.
The Pink bunny looks
seems to whistle and shout.
The bathroom stall is empty
where they usually hang out.
So they set AQE.
Though their meeting be brief.
It was Tactical.
Vertical
***** relief.
With her cotton tail up,
Her skirt to her knees.
Their paws on their flaws
A nibble for His carrot
Her Cadbury thong.
Got this pink bunny dialing
up against the wall.
you heard the thump, and thump, and thump, and thump and call.

For The call center Bunny
who can NOT sit Still.
He's a t-t-t-twitchy *******
with an Easter Grill.
Her foot just thumps, and thumps, and thumps, and thumps until.
Beep!
Receiving a call, now it's ***** to the wall. She's Makin' a Deal

soundcloud.com/geekelement
This Poem Is not about Thumper.
Dunya Sun Sep 2013
Is it bad that, I never made love
no I never did it but I sure knew how to **** 'em
until I met you
You flipped it all around
got me going up and down
no not makin not one sound
Yes I had some issues
Could not commit
Na, wasn't havin it
but at least I can admit that I was baad to them
Yea I was bad before,
but I'll be good to you

surrenderin' my all to you
givin' you what I got
cause you know how to hit the spot
every time we reach to the top
Im tellin you I don't want no body else
could it just be you and myself
I don't want that lame ****
talk to a bunch a ****** fake ****
tryna hide what i feel inside
cause the demons that tried to erase me
yeah they tried to erase me
by makin' the one's i love
betray me, betray me
made me hate me
I know,
I thought thats all I was good for
that no good **** who's stay on all four
suckin **** like a no good *****
but she's pure
she's pure
I know its hard to believe
but we all deceive
she's a mystery
come look at me
and i'm sure you'll see
Lacked love
So she ******
You came
Changed the game
She's sane
Rise above
Bad girl
Time is up
There is no understandin' for Crazy Makin'
                It just is, what it is, what it is...
There is no formula to fix things so broke
                It just is, what it is, what it is...

There are no words to express,
when the shootin' starts and your the target.
All you can do is take cover and hope your
ear drums don't pop.
When you become the focus of all
disappointment and anger...
No way to rest in that.
No way to heal there. 
No way to breath comfortably any more...

Where do we find the strength to escape.
Put our blown up parts back together again.
What if we are too ****** and damaged
to connect the pieces.
How do you mend a heart ripped to shreads
I ask this....

What then,
What then... Cuz,
               It just is what it is what it is....


Copyright © 2014 Christi Michaels.
All Rights Reserved.
Crazy Makin'
Svetoslav Nov 2021
Let the night in, for I'll be writin' the letters of light in the air.
Our bodies pulsate by the notes of gentle symphonies, and we adhere.
Two elements shakin' and mergin' into one.

We are makin' it and cravin' for more of this addictive fun.
The moonlight rays reach the shapes of the furniture, movin' along with the temperature, increasin' with each movement.

Like desert diamonds, we will reflect in the pearly sun.
You will be the meadow that I will prefer and the lover within my arms to cover. Until amusement, let my cries give you inducement.

From the color of sulfate, this night is glowin' with universal sparks.
We both have bewitchin' feels for each other.
I am tastin' honey on the curves of her skin, and we embark on the hill.

The darkness is sailin' on the waves of our unity.
We stomp on a bed full of cherries, and the night stays still.
She feeds me with her tempting body, and I see her lucid thrills.

I climb on her high balconies, and I am one with the moon,
drinkin' from the passion of her milky skin.
Our hearts entwined. I attune from the voice of the raccoon.

Her body is femininity incarnated into a guitar. I play on her strings, listenin' to the music from noon until dawn, bound to our emotional devotion. Our irresistible pleasure is bowing to our connection.
Excerpt from my novel ''Last Occurrence''
Read it here: https://www.amazon.com/dp/B09KF4DYMJ
Check it I be the mic originator greater than the next hater
So my nines will degrade ya send ya back to ya maker undertaker
Shake ya
With my earthquake flows formin' portals bigger than the black hole leave ya third eye swole
My thoughts travelin' faster than the speed of light say goodnight from the snake bite
A rhyming python wears cables and nylon runnin' bars harder than marathon true champion none could knock a don
Birthed by the sun raised by moon Sonic booms soundwaves from heart rates feelin' doom and soon
To be resting in the womb
The belly of the earth retaining my turf know my worth make words hurts
So suckas better tuck in ya skirts
I'm catching mirth
Along with death til my last breath cookin' up rhymes from the *** of my mind n continue to shine
Its asinine to flex ya mind if you cross the gun line don't be a victim of a graphic design

(Ya tapped out)



Scatzzz all over the kitty katz with my woody bat making them brains cracks
Cells it ain't hard to tell ****** fear me cuz I be the archangel Michael
fallin' deep into the depths of my hell o well
If you try to inhale my lyrical tales this ship is set to sail
On ya brainwaves these days fools rappin' for cheap pay lookin' all gay **** that I rather use the AK
Sittin' by the window seal signing the release will my soul'll still
Be reaching regardless the hardest artist
Usually ends up a carcass manifest the darkest
Rhymes but shine light at the same time crime at an all time
High once I blaze my thoughts cells fought & caught
By the smokin' arrows of a ghostly pharoah
Thats just my ancestors though lettin' me know it's time to show and go blow for blow toe to toe
Hands or the chrome pistol
The ghetto Aristotle makin' bodies mold from the enemies that caught a cold
'
There is no understandin' for Crazy Makin'
                It just is, what it is, what it is...
There is no formula to fix things so broke
                It just is, what it is, what it is...

There are no words to express,
when the shootin' starts and your the target.
All you can do is take cover and hope your
ear drums don't pop.
When you become the focus of all
disappointment and anger...
No way to rest in that.
No way to heal there.  
No way to breath comfortably any more...

Where do we find the strength to escape.
Put our blown up parts back together again.
What if we are too ****** and damaged
to connect the pieces.
How do you mend a heart ripped to shreads

I ask this....
What then,
What then... Cuz,
               It just is what it is what it is....


Copyright © 2014 Christi Michaels.
All Rights Reserved.
RE-POST
LET Sep 2013
makin coffee in the French press
- sippin the hot coffee
- takin the red line to class
- finally singing after a long time
- looking up & realizing I am existing in Chicago
- feelin good
- knowing I will always stay who I am
- incorporatin the word "truely" into my daily thoughts in order to inspire myself into being true with everything and truely accomplishing everything for myself
- textin my mom and saying I love her
- textin my dad and saying I love him
- sendin my journalism teacher a thank you email
- textin my choir director a hello text
- texting Roni and loving Roni all the time
- stopping on the street and breathing and feelin the air around me because I'm alive
- havin this same feeling tomorrow
Svetoslav Nov 2021
Let the night in, for I will write the letters of light in the air.
Our bodies pulsate by the notes of gentle symphonies, and we adhere.
Two elements shakin' and mergin' into one.

We are makin' and cravin' for more of this addictive fun.
The moonlight rays reach the shapes of the furniture, movin' along with the temperature, increasin' with each movement.

From the color of sulfate, this night is glowin' with universal sparks.
We both have bewitchin' feels for each other.
I am tastin' honey on the curves of her skin, and we embark on the hill.

The darkness is sailin' on the waves of our unity.
We stomp on a bed of cherries, and the night stands still.
She feeds me with her tempting body, and I see her lucidly.

I climb on her high balconies, and I am one with the moon,
drinkin' from the passion of her milky skin.
I attune from the voice of the raccoon.

Her body is femininity incarnated into a guitar.
I play on her strings, listenin' to the music from noon until dawn,
bound to our emotional devotion.
Excerpt from my novel ''Last Occurrence''
Read it here: https://www.amazon.com/dp/B09KF4DYMJ
Magick 13

My rhymes periglacial slash through foes ****** leavin' corrupted maxillofacial stay laced with the coco
Til my nose blow out nothing but deadly keys makin' monopolies at ease see my desert ease
Could make the devil freeze with the beautiful ephipanies laid though my flow cinematography ain't no fictions here G
My pedigrees been deadly since the age of three
First sips of Hennessy pictured a glare of my enemies stories of me biblically
Born a David killin' Goliath's society defiant
Knock down the orders in the cornered borders
Of the Jesuit I'm the black Pope
Elope to the celestials gods that rope
My mind hanging on to the highs of the ****
Better yet the marijuana sneaky as an anaconda
Once I tighten cells begin biting
Fighting tryna stay alive like Bee Gees
Fiendin' for my lost dynasties kin to Nefertiti since I ****** on *******
As a baby I got a taste of the universe thoughts deeper than a hearse words hurts exciting flirts beating all perks through my vengeful works
My alias an archangel leave the game triangled Titan mentality dribble like Cousy so you might loose me?
Sick with the tracks axe minds like Moses to the red sea  knockin' down Rome legacy
Back on top like the greatest plot dimensions traveler like Bishop
Capitalizin' land plots I be the Black Wieshaupt
Noandy Jan 2017
Sebuah cerita pendek*

Saat itu mereka sering menonton Mak Lampir di televisi, dan mulai memanggil wanita yang merupakan nenek kandungnya dengan nama yang sama.

Nenek itu punya nama, dan jelas namanya bukan Lampir. Tapi apa pedulinya anak-anak itu dengan nama aslinya? Mereka tak pernah mendengar nama nenek disebut. Mereka sendiri yatim-piatu, dan dahulu, orangtuanya tak pernah mengajarkan nama nenek mereka. Tapi begitu melihat Mak Lampir di teve, mereka langsung mendapat ide untuk memanggil nenek sebagai Mak Lampir. Rambutnya nenek putih panjang dan tiap malam dibiarkan terurai, ia sedikit bungkuk dengan kedua tangan yang terlihat begitu kuat dan cekatan. Matanya senantiasa melotot—bukan karena suka marah, tapi memang bentuknya seperti itu. Yang terbaik dari nenek, meski giginya menghitam sudah, nenek selalu berbau harum karena suka meramu minyak wanginya sendiri. Mereka tidak takut melihat Mak Lampir—mereka justru kagum karena sosok itu mengingatkan pada nenek yang selalu menjaga mereka.

Si nenek sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu, ia malah merasa nyaman. Disebut sebagai Mak Lampir membuatnya merasa seperti orang tua yang sakti, hebat, dan serba bisa. Nenek adalah Mak Lampir baik hati yang selalu mengabulkan permohonan cucu-cucunya, serta memberi mereka wejangan. Jenar dan Narsih sayang dan berbakti pada nenek. Nenek—yang sekarang berubah panggilan menjadi Mak—adalah dunia mereka. Dua gadis itu dapat menghapal tiap lekuk pada keriput Mak, menebak-nebak warna baju apa yang akan dipakai Mak pada hari mendung, bahkan mereka ingat betul kapan saja uban-uban Mak mulai bermunculan.

Mak awalnya tidak menyukai, bahkan hampir membenci, dua anak gadis yang harus diurusinya. Ia terlalu tua untuk melakukan hal ini lagi. Wanita  yang sudah tak ingat dan tak ingin menghitung usianya lebih memilih kembang-kembang di taman ketimbang Jenar dan Narsih.  Mak lebih memilih segala tanaman yang ada di rumah kaca sederhananya ketimbang dua cucunya.

Tapi saat sedang menyirami bunga matahari dan membiarkan Jenar serta Narsih bergulingan tertutup tanah basah, Mak merasa seolah ada yang membisikinya, “Sama-sama dari tanah, sama-sama tumbuh besar. Dari tanah, untuk tanah, kembali ke tanah.” Wangsit itu langsung membawa matanya yang sudah sedikit rabun namun tetap nyalang pada sosok dua cucunya yang sudah tak karu-karuan, menghitam karena tanah.

Sejak saat itulah Mak menganggap Jenar dan Narsih sebagai kembang. Sebagai kembang. Sebagai kembang dan seperti kembang yang ia tanam dan kelak akan tumbuh cantik nan indah. Harum, subur, anggun, lebur. Perlahan Mak mulai meninggalkan kebun dan rumah kacanya, perhatiannya ia curahkan untuk Jenar dan Narsih, yang namanya Mak singkat sebagai Jenarsih saat ingin memanggil keduanya sekaligus. Jenarsih dijahitkannya baju-baju berwarna, diberi makanan sayur-mayur yang sehat, diajarkannya meramu minyak wangi, bahkan diberi minum jamu secara terjadwal sebagaimana Mak menyirami bunga.

Kebun Mak perlahan-lahan melayu dan makin sayu. Saat matahari mengintip, tidak ada bebunga yang tergoda untuk mekar. Semuanya redup dan meredup, mentari pun meredup pula di kebun Mak. Karena sirnanya kembang dan embun, Mak tak lagi bisa memetik dari kebunnya untuk membuat wewangian khasnya. Mak jadi sering menyuruh Jenarsih untuk memborong bunga.

Tapi sebagaimana ada gelap ada terang, selepas kebun yang muram, kau akan memasuki beranda rumah di mana matahari tak henti-hentinya bersinar. Bagian dalam rumah yang ditinggali seorang nenek ranum dan cucu-cucunya itu melukiskan hari cerah di musim penghujan.

Di musim penghujan
Di musim penghujan
Musim penghujan
Membawa mendung dan kabut yang menyelubungi mentari.

Narsih jatuh sakit, ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
Darah merah
Darah
Merah
Jenar selalu di sisinya dan melarang Mak untuk mendekat karena takut tertular.

Mak, meski tak lagi dapat menghitung umurnya, mati-matian menawarkan Jenar agar mau digantikan oleh Mak saja. Umur Mak tak bakal sebanyak Jenar, mending Mak saja yang di sisi Narsih, katanya. Tapi Jenar tak mau tahu, ia lebih memilih berada di sisi kembarannya ketimbang menuruti perkataan Mak yang biasanya tak pernah ia bantah. Semenjak itu mentari tak lagi menyembul. Kebun telah mati, rumah kaca tak lagi rumah kaca, beranda dingin, dan setiap hari adalah penghujan yang tak pernah mau pergi.

Hijau dan jingga hangat berubah menjadi rona kehitaman dalam hijau pucat. Ranting-ranting serta daun memenuhi jalan. Sesekali Mak mengantarkan makanan ke depan pintu kamar Jenarsih, tapi sebagian besar usia senjanya kini dihabiskan mengurung diri di kamarnya setelah Jenar ikut membatukkan darah.

Di suatu sore Mak tidak memperdulikan apapun lagi. Ia menghambur masuk ke kamar Jenarsih dan bersimpuh di bawah kasur kedua cucunya. Jenarsih tak punya tenaga lebih untuk menghalangi Mak, mereka hanya punya satu permintaan. Satu keinginan yang kira-kira dapat membuat mereka merasa lebih baik.

Dengan tersengal-sengal,
“Mak Lam, Jenar dan Narsih ingin bunga matahari.”
“Akan Mak belikan segera di pasar kembang.”
“Ndak mau, Mak. Ingin yang Mak tanam seperti dulu.”
“Nanti menunggu lama,”
“Kami ingin itu, Mak.”

Mak tak membalas berkata. Hanya mengangguk lemas dan bergegeas meninggalkan kamar kedua cucunya, bunga yang telah layu. Di tengah hujan, dengan punggung sedikit bungkuk, tangan yang kuat, wanginya yang digantikan oleh bau tanah, dan gigi yang menghitam meringis menahan tangis, Mak Lampir berusaha menghidupkan kembali kebunnya yang mati. Mak Lampir seolah mau, dan dapat membangkitkan yang mati.

Tapi Mak Lampir tak dapat menyembuhkan.

Segera dibelinya bibit bunga matahari, dan di tanam dalam rumahnya yang kini sunyi.

Mak Lampir sudah tak dapat mengolah minyak bunga yang membuatnya selalu harum,
Sudah tak dapat meminta Jenarsih untuk membeli bunga yang mewarnai rumah mereka,
Sudah tak dapat melihat warna selain hijau, hitam, dan coklat.

Mak Lampir, menangisi kebun yang dahulu ditinggalkannya.

Apa untuk mendapatkan sesuatu selalu harus ada yang dikorbankan? Dan kini kebun, kembang, ranting, dan rumah kaca menuntut balas?
Diam-diam Mak menyelinap ke kamar Jenarsih, diambilnya darah cucu kesayangannya dan ia gunakan untuk menggantikan wewangian yang kini tak dapat ia buat lagi—salah satu cara yang ia gunakan untuk mengingatkannya bahwa Jenarsih masih ada bersamanya.

Mak Lampir sudah tak tahu berapa lama waktu berlalu selama ia hanya memperhatikan bunga matahari milik Jenar dan Narsih. Bunga itu, entah karena apa, tak dapat tumbuh. Mungkin Mak telah kehilangan tangan hijau dan kemampuannya untuk berkebun. Mak kembali ke rumah dan melihat Jenar serta Narsih masih terlelap tak bergerak, lalu ia ambil lagi sebotol kecil darah untuk menjaga wangi tubuhnya.

Ia tahu itu akan membuatnya sakit, dan hal ini akan dapat membuatnya merasakan penderitaan Jenarsih. Wanita tua yang rambut putihnya memerah karena darah kedua cucunya itu terheran-heran mengapa ia tak merasakan sakit di manapun kecuali di hatinya. Pedih di hati saat melihat Jenarsih.

Dibelinya lagi lebih banyak tanah dan bibit bunga matahari. Mak Lampir harus menemukan ramuan yang tepat untuk menumbuhkan bunga matahari yang sempurna. Bunga matahari hasil tanamnya sendiri yang akan membuat Jenarsih baikan. Mak tidak membawa jam, apalagi kalender. Mak hanya mengandalkan matahari untuk menyirami bunga mataharinya sendirian di rumah kaca kecil kumal sambil memakan dedaunan kering.

Di tengah malam, Mak yang kuat menitikkan air mata pada ***-*** bunga matahari di hadapannya. Berbotol-botol kecil minyak wangi dari darah Jenar dan Narsih perlahan ia teteskan pada *** yang tak kunjung berbunga juga. Perlahan, perlahan, perlahan. Lalu lambat laun menyesuaikan dengan jadwal menyiram bunga matahari yang seharusnya.

Dari tanah kembali ke tanah,
Dari tanah untuk tanah,
Dari tanah kembali ke tanah.

Desir angin menggesekkan dedaunan, membuat Mak mendengar bisikan itu lagi dan terbangun.
Mak mengusap matanya yang seolah mencuat keluar dan melihat bunga-bunga matahari berkelopak merah menyembul, mekar dengan indah pada tiap potnya. Hati mak berbunga-bunga. Bunga matahari merah berbunga-bunga. Matahari Jenarsih berbunga-bunga.

Tangan kuat Mak segera menggapai dan mencengkram dua *** tanah liat dan ia berlari memasuki beranda rumah yang pintunya telah reot. Dari jauh sudah berteriak, “Jenar, Narsih, Jenarsih!!”
Mak seolah mendengar derap langkah dari arah berlawanan yang akan menyambutnya, tapi derap itu tak terdengar mendekat. Maka berteriaklah Mak sekali lagi,

“Mak bawa bungamu Jenarsih! Bunga matahari merah yang cantik!”

Lalu Mak dorong dengan pundaknya pintu kamar Jenarsih yang meringkik ringkih,
Mak terdiam memeluk *** bunga,
Jenarsih terlelap seperti terakhir kali Mak meninggalkannya,

Sebagai tulang belulang semata.

                                                            ///

Aku menutup laptop setelah menonton ulang episode Mak Lampir Penghuni Rumah Angker yang aku dapat dari internet—episode yang membawaku kembali ke masa kecil saat Misteri Gunung Merapi masih ditayangkan di teve, dan aku menonton dengan takut. Di tengah kengerianku, ibu malah menceritakan kisah tentang Mak Lampir dan bunga matahari yang diyakininya sebagai kisah nyata.

Sekarang episode sinetron itu tak lagi membuatku bergidik, malah tutur ibu yang masih membekas. Kisah itu seringkali terulang dalam alam pikirku, terutama saat melirik rumah reot tetangga di ujung jalan yang dipenuhi dengan bunga matahari merah.


Januari, 2017
You and I...
or am I just dreamin'-
I'm not sure-
This...
is far too good,
too real,
to ever
end!
Oh no...
don't wake me
if I'm dreamin'-
Come back here with me...
Come back to bed...
Lay right here beside me...
Come Back Into My
Dreams!

You and I...
we're outdoors in the country-
surrounded by trees-
green grass all around us-
star-filled sky-
night sounds
fill the quietness;
frogs croakin',
crickets chirpin',
babblin' brook
cascadin' into a waterfall
splashin' into a pond-
Come back here with me...
Come back to bed...
Lay right here beside me...
Come Back Into My
Dreams!

You and I...
makin' plans
for our tomorrow's
together-
talkin' of our
dreams-
holdin' hands-
sharin' passionate
kisses-
Lovin' this night...
this moment-
right here-
right now-
locked forever
in my heart-
Come back here with me...
Come back to bed...
Lay right here beside me...
Come Back Into My
Dreams!

You and I...
cuddlin'-
cocooned in a blanket
after our love makin'-
a fire blazin' in the pit-
illuminatin' us with it's
glow-
each of us
as satisfied
as the other,
feelin' fully spent-
snugglin' together,
as we close
our eyes-
the dawn just peakin'-
greetin' us
with a new day-
Come back here with me...
Come back to bed...
Lay right here beside me...
Come Back Into My
Dreams!

You and I...
or am I just dreamin'?
Wait...
I'm alone-
you've already
left-
had an earlier start
to the day-
sun is shinin' through
our open window-
illuminatin' me with it's
rays-
night sounds?
Oh no...
it's my alarm clock-
I'm runnin' late again!
Come back here with me...
Come back to bed...
Lay right here beside me...
Come Back Into My
Dreams!

You and I...
or am I just dreamin'-
Come Back Into My
Dreams!

2008

COPYRIGHT; Sabrina Denise Healey,
~Angelmom~
Matt Jursin Dec 2009
Dont be so stuck-up, i'm just bein' nice.
Jus tryin' to have an intelligent conversation...
Maybe I'm fairly flirtatious, but...
Im bein' polite.
Not tryin to take you home tonight.
Unless you give me the green light, then maybe I might...

C'mon, I'm just playin...

Y'know...
I could make you blush in a few minutes time.

Could get you naked in a few moments...
Dont...
Be...
No...
Fun.

Dont tell me you dont like it...
I know when I hear lies.
Dont call me if you dont lick it...
'Cause I know what I like.

If you don wanna practice makin babies...
**** it.
I'll just **** it 'til I dribble.
That one's for you ladies;-p

I can paint a clear mental picture...
A perverted portrait with my paintbrush...
Of your hot, soft, wet flesh before me...

I could show you a few things.

A perverted portrait...
My.
Paint.
Gets.
You.
Wet.

A perverted picture.
Your body wincing...
Pinching me.
Every inch of me.
A few more than 3 or 4...
You'll find...
A couple more...

If...
You...

Want...
To...
Score.
Yah well...I'm a Scorpio;-)
The stereotype of the female type/ packing more than you give yourself credit for/
Spineless, backstabbing ******* in backless dresses fronting to impress dogs who are/
Barking at ******* that are easy to prey on/ hoping to get a good **** to sniff/
While your tail is out there waggin/ makin’ their tongues turn stiff/
There are many who live in that dog eat dog world/ And boy it can get pretty rough out there/ catch that innuendo?
You see, effing around is simple and it works like this; you F what you see/
Sometimes you find what you think to be ‘the one’ only to be deceived/
Because you believed what you saw and didn’t take the time to dig deep/
Next thing you know, your heart has been sunk in the pool of tears you weep/
You resort to a resolution to that’s easy to keep/ rectify to the erectified/
Yes, maybe some of this is harsh/ but if you cant handle the truth/
You wont know the difference between what’s right and wrong to do/
There’s a difference between a princess and a queen/
A princess who’s prince-less will settle for the frog/
While a queen knows how to stand on her own two feet/
Royalty is respected and they stand tough even when they’re rejected/
It’s hard to see something beautiful be used by a tool who’ll/
Only add her to the collection of his tool box/ then look for a new one/
But the reality of realism is/ reality can be pretty unreal sometimes/
And Miss Congeniality secretly believes the fallacy/ she wasn’t born to shine/
Selling herself at a price her mom would hate to see/
Giving out discounts because she can’t even count on herself/
The worst part is, it’s all manipulating her moral health/
And it’s demeaning her demeanor, being treated like Miss Demeanor/
But she didn’t mean for/ her life to turn to this/
She made three-left turns/ only to find the fourth right doesn’t exist/
Maybe a forthright person is all it takes to set her straight/
Boost her confidence/ make her feel great/ and tell her it’s never too late/
To find a new place to start over/ and get your mind in a better state/
That’s why this poem is called Tulip Teaser/ your own two lips are teasing you/
Impeding you from being you/ misleading you through your own garden/
But you’re better than that/ and there’s more to your garden than you think/
Just stick to your roots and let yourself grow to be the beautiful flower everyone likes to see/
A slam poem of mine off of my project I'm working on.
Chuck Jan 2013
Now, I'm here to tell a story
Bout some lessons learned shawty
I got me a tough crew, know what um sayin
We played da diss game, slaydum
Not one a da crew, brought da game shame

First, I dubbed myself Kang
I'm good, true! But didn't mean a thang
Then coughed ma gural Sumpim
She got da club thumpin
Put her own style in da game, bra
We still thuggin? Na!
She first coughed a little gural princess
Kicked in the castle, copped the Queen's dress
Took the crown, made her own success
Her rhymes get the heart pumpim
Much respect to me gural Somthin

Next, little siss picked up the mike
Jumped on the tandem, started peddlin the bike
Shawty's rhymes hit dem in da face
She rhymed like a ****, dresses in satin an lace
Mad props out  to my siss, Madison grace

I was alone,  like a stand  a timber
****! Forest on fire with Diein Ember
Laid down rhymes so tight
He'd have my back in any fight
I gotta thank ma boyyy
Gangstan whichu was a flippin joy

Otta nowhere swaggs a tru Gansta chick
Bustin rhymes en droppin dimes like she was Slick Rick
Wedyan be da real trick! Thanks gural slick

Finally, swooped the dark Raven
Rollin on 22's gatz a blazzin
Loyall to da shawtys
Flyin like a bomber on sorties
Droppin posers to der knees
Makin succaass  beg, brotha please

To all ya all I got ta tell ya
Would I do it again, hell ya
Um movin on to a new gig
Pull off my crown, plop on a wig
To ya readers out dare got some advice
Giv it a spit, it's Gangsta's Paradise!!!
Thank you all for playing along and reading along. The truce is out! Use Gansta form to have fun with any subject. These were all in fun not meant to offend anyone? Thank you all, especially those who tried it with me.
Bunhead17 Nov 2013
Intro: 2Pac

There's gon' be some stuff you gon' see
that's gon' make it hard to smile in the future.
But through whatever you see,
through all the rain and the pain,
you gotta keep your sense of humor.
You gotta be able to smile through all this *******.
Remember that.
Mmm, yeah.
Keep ya head up.Yeah.

Verse One: 2Pac

Our lifestyles be close captioned
addicted to fatal attractions
Pictures of actions be played back
in the midst of mashin'
No fairy tales for this young black male
Some see me stranded in this land of hell, jail, and crack sales
Hustlin' and heart be a ***** culture
or the repercutions while bustin' on backstabbin' vultures
Sellin' my soul for material wishes, fast cars and *******
Wishin' I live my life a legend, immortalized in pictures
Why shed tears? Save your sympathy
My childhood years were spent buryin' my peers in the cemetary
Here's a message to the newborns, waitin' to breathe
If you believe then you can achieve
Just look at me
Against all odds, though life is hard we carry on
Livin' in the projects, broke with no lights on
To all the seeds that follow me
protect your essence
Born with less, but you still precious
Just smile for me now

Chours: Johnny P, 2Pac

Smiiiiiile for me , won't you smile (smile for me now)
Just smiiiile (smile), smile for me
(What cha lookin' all sad for, ***** you black, smile for me now)
Smiiiiiile for me (***** you ain't got nothin' to be worried about)
Won't you smile (no doubt, smile for me now) just smiiiiile
(And the next generation)

Verse Two: Scarface

Now as I open up my story
with the blaze a your blunts
And you can picture thoughts slowly
up on phrases I wrote
And I can walk you through the days that I done
I often wish that I could save everyone
but I'm a dreamer
Have you ever seen a ***** who was strong in the game
overlookin' his tomorrows and they finally came?
Look back on childhood memories and I'm still feelin' the pain
Turnin' circles in my life came to dealin' *******
To many hassles in my local life, survivin' the strain
And a man without a focus, life could drive him insane
Stuck inside a ghetto fantasy hopin' it'd change
But when I focus on reality we broke and in chains
Had a dream of livin' wealthy and makin' it big
And after all my momma's thankin' God for blessin' the child
All my momma gots to do now is collect it and smile
Smile

Chorus (without 2pac)

Verse Three: 2Pac

**** the world as we ???? and witness furious speeds
of nasty questions keep us all stressin', curious G's
Backstabbed and bleedin', ******' thoughts laced with ****
Learnin', duckin' stray shots, bullets be hot, they burnin'
Inhalin' sherm smoke, visualized the flames
Will I be smothered by my own pain?
Strange whispers, cowards conversate, so quick to dis us
Takin' pictures for the feds, and desperate hopes they'd get us
Hit us off, give us plenty centuries, forgive my sins
Since I ain't in many penitenturies the best revenge is **** friends
We military minded soldiers, bustin' shots blindly
Tryin' to find Jehovah to help me
Somebody save me
Lost and crazy, scared to drop a seed hopin' I ain't cursed my babies
Maybe now ****** feel me now, picture my pain
embrace my words make the world change
And still I smile *****

(Scarface talking)

And now a moment of silence, let us pray
And as you journey into outerspace
may the angels help to lead the way
shine up on your soul to keep you safe
And all the homies that done passed away
They there to greet you as you pass the gates
And as you headed to the tunnel's light
I hope it leads to eternal life
We say the prayers for our homie 'Pac
Smile

(Smile for me)
(All ya need to do is smile)
(Woooo smile for me)
(Come on smile for me)
R.I.P : (2pac) Tupac Shakur. #bandanna and nose ring  
the lyrics to "Smile" by Tupac.
Brody Blue Sep 2017
Brass plays a sad tune
Over the motors of the pontoon.
I was lost; now I'm found
Rescued from
The dog pound

Mama! Mama! Go get a doctor!
Send forty days of rain
And a kettle of copper.
Ride that train! Hurry uptown!
That ol' blue norther's pourin'
At the dog pound

Well, it's hard to be humble
In this land by the sea
But it's so easy here to stumble,
Ain't it hard livin' free?
Hear that train? How sweet the sound...
That Burlington's a-blowin'
At the dog pound

Rally! Rally! Creepin' up the alley!
Rope that heifer! No slack on the dally!
Make her now become a cow
And milk the puppies
At the dog pound

And with the storm well on its way,
Back and forth the breakers sway;
Fools rush in, makin' their rounds,
But the muzzle has 'em puzzled
At the dog pound
A song about a train robbery
Joshua Soesanto Jun 2014
aku ingin teriak
menghilangkan penat yang semakin memberat
sendiri tanpa wujud manusia bersama malam, mengelapkan bumi
titik terang seperti tidak berpihak di antara hati dan jiwa bergejolak
mimpi semakin jauh

satu cerita seperti gambaran perjalanan hidup
mengarah kepada kematian jiwa
keraslah
keringlah
seperti akar hasrat yang haus akan hujan nurani sebuah sosok

lalu makin penuhlah pikiran dengan kotoran suara "omong kosong"
puisi jingga yang kata banyak orang sebagai makna dari "hidup"
kapankah sebuah imajinasi berwujud nyata?
bertumbuh, bermutasi sebagai bagian dari mimpi yang pernah ada

sepertinya kopi dan rokok pun sudah bosan
mendengar celoteh sang pemberontak
tapi, mereka selalu ada
suntikan darurat adrenaline ke otak

disaat itulah..
aku membunuh tuan waktu
lupa reluk, remuk.
siraman spiritual kepada luka-luka nanah di masa muda

mungkinkah kopi berwujud manusia?
*apakah ia bidadari? *
dan
mengapa aku menanti dia mati?

ternyata benar
kematian adalah sebuah regulasi
ia menjadi bubuk mantra.. luruslah hidup katanya
seduh
delapan puluh derajat panasnya
sebuah bisikan kata-kata "pesona"
maka meronalah ia.. berbusa senyum
cairan itu.. damai

damai
selalu damai
lima huruf memukul ingatan akan senderan hangat dada yang empuk
detak jantungnya terdengar berdebar
kembalinya mantra halus jatuh dari bibir
kata-kata tertahan yang tak sempat kembali

akan kah kembali?
mungkin.
****** and ******* ain't **** let's play house...


Huh its so many ****** and ******* claimin'
They real
When they only showing out for mass
Appeal
I'm a gangstarr cuz all eyes are on me look at
The insanity
Fools claim they livin' it when they fakin'
It
See the demons chillin' in the snake
Pits
The hardest to hit none above me so keep on
Talkin' ****
Advance my haters to an early grave make
'Em my slaves
Treat em worse than Pharoah my rod and staff
Shall conquer
****** and ******* tryna diss me subliminally but they ain't  stopin' me
Or droppin' me with so many phonies switchin' up
Personalities
I'm addin' Talleys from another fatality huh I'm
War veteran
So keep on talkin' got all these *******
Walkin'
Feel my shadow of death I see the colds from ya
Breath
Ya casket bound soon to drown and get
Pound
Fake folks all around say they about unity but
I feel ya anger enraged
Suckas mad cuz my mind ain't caged and
Staged
Plays of drama word to my mama most ****** on
Her livin' they life in
fear
Say the same **** different day which results
That make no pays
My own people worse than them pale devils I'm
A warrior and a rebel
So come on let the games begin bring on the
Sins
Showin' out too hard for pain I see you getting
Migraines
But y'all ****** ain't ready for my war games so
******* fake ****** and dames cuz real folks
Ain't the same huh





Now that I've been crucified I turned
To the dark side
My melanin hide ain't got **** but my
Pride
Fake ****** fear me mad cuz I
weakened their energy
Circling around me I see a ****** of
Crows
Visions of me chained by own
People
Death row feel the depths of hell
Below
Embraced by the revolutionaries
principles
Labelled an animal I'm a terrorist cynnical
Makin' miracles
Once the pen and pad touches my hand I
Form a band
Of legions see these ****** barely breathin'
And reachin'
Out no doubt let the gun muzzle rest on their
Snout
Lord forgive 'em for they know not what they
Do
Still give em ghetto blues soon to snooze you
Lose
Huh Everytime ya try step into my sward from the
SP to the Third ward
I was born hard from fake friends to family
Y'all ******* cant ****
With me
Too many tattoo tears shed I'm.feelin' like what
Pac said
Say real **** on the streets ****** iz gunnin'
Bullets at ya head!!!??



#fakeconsciousness #allafad #foolstillwithaslavementality #stillinthesestreetz
#fakefolksalwaysthefirstoclaimtheyreal
#muth­afuckazwannaseemeinmycasket

Just like Pac said "my own people turned on
me I'm tryna reach & stand for
my people
but my own people
put a bullet in
me" (echoes)
This is a special dedication to a fake conscious sista you a joke loc

— The End —