Submit your work, meet writers and drop the ads. Become a member
Megitta Ignacia Mar 2020
satu tangan menutup mata
satu tangan menutup telinga
belikatku bertahan kaku
tiap pijakan pelan, terseok
belum leluasa ku berlari

terpaan gelombang yang sudah-sudah
masih meninggalkan goresan dalam daging
dibantu merangkak, tapi dipaksa berlari
caramu mengenyahkan biru yang masih menyelubungiku

takut
pada lidah sangkalan beradu
bukankah lancang mencipta imaji semu
lalu menggantungnya pada tiang-tiang garam
berharap keras, tak begitu meleset pada manusia
sadar, tak se-Esa
namun jika Bapa memberi
siapa yang bisa menutupnya?

target apa, begitu mendesakkah?
soal pembendaharaan rasa
apalagi rancangan
telah kuserahkan padaNya
aku dungu & tidak mengerti, seperti hewan aku di dekat Bapa. Tetapi aku tetap didekat Bapa; Ia memegang tangan kananku.
140320 || 18:48 PM  lantai dua kosan, hmm sepertinya banyak poems-ku yang dimotori sama obrolan tentang hidup sm coworker sebelah meja, si ipul, kemarin lg ngobrol ga jelas sambil kerja ttg hubungan masing-masing, dia abis lamaran, sementara gw masih di fase abu-abu belajar adaptasi sm pasangan kesayangan yang nemenin hampir setahun lamanya. As ditanya hubungan mau dibawa kmn, gw blg ikut arus aja toh yg lama kandas padahal udah direncanain,  jd buat apa manusia berencana, pasti Tuhan udah atur yg terbaik. "Idup lo, lo yang atur. Ga bisa ngikut arus aja, harus punya target, udah umur brp lo." Berulang-ulang sampe berbusa dia bilang "ada masa depannya ga?" lalu gw bete karena sesulit itu untuk healing & masih sulit untuk berani berencana/berekspektasi apapun tp malah dijejelin pertanyaan yg ngeinduksi anxiety tp di 1 sisi juga bener harus dipikirin. Kewalahan berperang sm pikiran sendiri, pagi tadi buka sermon  kata-kata ps. Phillip Mantofa " kalau tidak tahu apa langkah berikutnya, jangan gelisah hatimu, percayalah & berserah pada Allah." Berencana aja, trs serahin semua rencana ke yg punya sorga, God will lead the way. Ada bagian dari Mazmur 73:21-23 dalam puisi ini.

— The End —